Rabu, 18 Maret 2015

Tak Lekang Oleh Waktu (Part 4)

Rom dan Sam masih menodong supir bus yang malang itu. Karena ditodong, akibatnya supir itu tidak konsentrasi dalam menyetir. Seekor anjing tiba-tiba melintas mendadak. Supir bus terkejut bukan main. Ia berusaha mengerem, namun, ia kehilangan keseimbangan, bus itu berbelok secara tiba-tiba, dan jatuh ke danau. Semua penumpang menjerit. Joe merasakan pipinya terbentur, dan mulutnya dipenuhi air. Bus itu sekarang mengapung di danau. Airnya sebatas pinggang Joe sekarang. Joe menjerit dalam hati. Kenapa sih untuk mengikuti audisi The Master saja berbagai rintangan harus dia hadapi? Dari mulai dirampok, ditusuk, kerusuhan, dan sekarang ini..
Joe berusaha tetap tenang. “Abu?” panggilnya pelan. Abu ternyata tidak pingsan. “Ya. Aku disini.” kata Abu. “Rain?” panggilnya. “Ya, ya, aku hidup!” jawab Rain.
Joe merasa lega sekarang. Kemudian ia menoleh. Ia baru sadar ternyata penumpang bus itu kebanyakan anak-anak!
Anak-anak itu menangis ketakutan. Joe tak punya pilihan. Ia harus menyelamatkan mereka semua. Joe melihat ke depan. Si supir, Rom, Sam, Darko tergeletak pingsan. Anak-anak itu menangis sampai akhirnya Joe berdiri dan berkata, “Tenang, kita harus keluar dari sini!” kata Joe sambil berusaha menenangkan anak-anak itu. Anak-anak itu tetap menangis. “Dengarkan aku, dengarkan aku!” serunya. Namun anak-anak itu tetap menangis…
Abu kemudian bersusah payah berdiri. “Hentikan.” Katanya. Semua anak-anak kemudian diam. Dan menoleh kepadanya. “Kami tidak akan membiarkan apapun terjadi pada kalian!” kata Abu tegas. “Kami akan mengeluarkan kalian. Kalian tidak usah takut!” serunya.
“Joe, Rain, ayo.” kata Abu. Joe mengangguk perlahan.
Rain kemudian menyuruh anak-anak itu diam dan membagi mereka menjadi 2 barisan. Barisan pertama akan dikeluarkan oleh Joe, dan barisan kedua dikeluarkan oleh Rain.
Joe menggendong anak pertama. Anak itu menangis. “Tidak apa-apa,” bisik Joe menghibur anak itu. Joe kemudian membawa anak itu berenang ke tepi, diikuti Rain yang juga membawa anak lain. Rasanya jauh sekali ke tepi. Sedangkan bus makin miring, jika mereka terlalu lama maka semua akan tenggelam.
Joe dan Rain sampai ke tepi. Mereka menaruh anak-anak yang mereka bawa ke tepi. “Tunggu disini, jangan kemana-mana.” Kata Joe. Rain pun mengatakan hal serupa kepada anak yang digendongnya. Mereka kemudian berbalik ke bus yang semakin miring. Abu ikut membimbing mereka. Satu persatu anak-anak itu berhasil mereka bawa ke tepi.
“Sudah semua, ayo Abu!” kata Joe. Abu hendak melangkah keluar dari bus, tapi, tiba-tiba terdengar suara tangis seorang anak.
“Tunggu! Masih ada satu!” kata Abu sambil berusaha mencari-cari sumber suara itu. Namun tiba-tiba.. bus itu perlahan menggeser dan sudah miring sekali. Abu tentu saja tidak menyadari kalau bus itu sudah menggeser jauh.
“ABU!” teriak Joe yang masih di tepi. Tanpa pikir panjang ia langsung melompat kembali ke danau itu. Rain berteriak memanggilnya, kemudian ikut melompat ke dalam danau.
Abu bersusah payah berenang dengan tidak lancar. Air sudah sebatas dada sekarang. Dengan panik ia mencari suara anak kecil yang masih menangis itu. Ia menemukannya. Anak laki-laki itu tampak menggigil kedinginan. “Tolong.. Kakiku terjepit.” Kata anak itu sambil meringis. “Tahan.” Kata Abu. Ia mengambil nafas dalam-dalam, kemudian menyelam. Ia mencoba mencari apa yang menjepit anak itu. Ternyata sebuah tiang yang jatuh.
Abu kemudian berusaha mengangkatnya. Berat sekali. Di luar, Joe dan Rain masih berusaha menemukan Abu. Joe berkali-kali memunculkan kepalanya ke luar. “Abu, Abu!” panggilnya berulang-ulang. Abu berusaha mengangkat besi itu ketiga kalinya.
Bus semakin miring sekarang.. Sedikit lagi mereka akan tenggelam. Saat mencoba mengangkat untuk yang keempat kalinya, Abu akhirnya berhasil mengangkat besi itu. Si anak membuka jendela bus dan menangis tersedu-sedu.
Joe mendengar suara tangisan anak itu. Dengan cepat ia mengulurkan tangannya. “Ayo, Nak, tidak apa-apa,” kata Joe. Anak itu kemudian menyambut tangan Joe dan Joe menariknya keluar. Joe langsung menyerahkan anak itu kepada Rain. “Bawa dia ke tepi. Aku harus menolong Abu, dia masih di dalam,” kata Joe.
Rain menurut. Rain kemudian menggendong anak itu ke tepi.
“Abu?” seru Joe sambil berharap dengan cemas. Abu kemudian muncul. Joe berusaha mengeluarkannya. Joe mengulurkan tangannya. Abu berusaha menyambutnya. Tangan mereka sama-sama basah sehingga Abu kesulitan memegang tangan Joe.
“Ayo.. pegang tanganku!” kata Joe serak. Ia terus berusaha menarik sahabatnya itu keluar dari bus. Abu kemudian mencengkeram tangan Joe. Joe berusaha menarik Abu sekuat tenaga. Bus semakin miring… Rain telah melompat kembali ke danau. Ia berusaha membantu Joe. Rain menarik baju Joe sekuat tenaga. Joe mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mengeluarkan Abu. Ia menghentak keras-keras, dan akhirnya Abu keluar dari besi itu. Abu sudah pingsan. Ketika Abu keluar, bus itu langsung tenggelam, bersama si supir, Darko, Rom dan Sam.
Joe dan Rain langsung membawa Abu ke tepi. Anak-anak itu masih menangis. Rain kemudian pergi mencari bala bantuan. Joe merasa lelah sekali. “Abu, jangan tinggalkan aku.” bisiknya. Kemudian kepalanya membentur tanah.
Joe membuka matanya. Segalanya menjadi kabur. Joe menyipitkan matanya. Ia meraba-raba. Kemudian memakai kaca matanya kembali. Ternyata dia sudah ada di rumah sakit, rumah sakit sewaktu ia diobati lukanya beberapa hari yang lalu.
Joe keluar dari kamarnya. Rain langsung menyambutnya. “Joe! Kau tidak apa-apa!” kata Rain lega. Joe mengangguk. “Mana Abu? Bagaimana dia? Aku ingin bertemu dengannya.” kata Joe pelan. “Mari. Ia tidak begitu baik. Tapi Abu hebat. Anak-anak selamat semua berkatnya.” jawab Rain, sambil berjalan mengantar Joe ke kamar Abu.
Tampak Abu memejamkan matanya. Di hidungnya bertengger selang pernafasan. Joe menghampirinya. Rain kemudian meninggalkan mereka berdua. Abu membuka matanya perlahan-lahan. “Anak-anak selamat semua?” bisiknya. Joe mengangguk. “Tidak usah khawatir.” jawab Joe. Abu tersenyum lemah. “Ternyata aku bisa menjadi pahlawan juga. Aku bisa berguna juga.” kata Abu pelan.
“Tidak ada yang suka orang pamer,” kata Joe, dengan suara sengau. Abu tersenyum lemah. “Aku akan menemanimu disini sampai kau sembuh.” Kata Joe. Abu tersenyum. Dua hari mereka lewati… Abu sampai merasa bosan di rumah sakit itu.
“Supaya tidak bosan, bagaimana jika kita melakukan permainan?” kata Joe, merasa kasihan dengan sahabatnya itu. “Permainan apa?” tanya Abu tertarik. Joe berpikir sejenak. Kemudian ia melihat suster yang lewat. “Bagaimana jika kau pura-pura mati, kemudian aku pura-pura menangis dan memanggil Dokter, kemudian kau mengagetkan mereka?” kata Joe sambil nyengir jahil. Abu tertawa lemah. “Sepertinya menyenangkan. Baiklah.”
“Tunggu disini.” kata Joe. Kemudian ia keluar dari kamar Abu. “Dokter, dokter! Tolong! Teman saya tidak bernafas sama sekali, tolonglah, Dokter!” kata Joe, berpura-pura terisak sambil memohon kepada Dokter yang lewat. Dokter itu tampak panik, kemudian masuk ke kamar Abu. Joe mengedipkan matanya. Abu pura-pura memejamkan matanya.
Ketika si Dokter mencoba memeriksa detak jantung Abu, Abu langsung membuka matanya dan berteriak, “KENA!” Si Dokter tentu saja terkaget-kaget. Ia langsung keluar dan marah-marah, menggerutu mereka seperti anak kecil. “Jantungku.. Ya Tuhan..” kata Dokter itu lagi dan pergi.
Joe dan Abu terkekeh. Joe tertawa terbahak-bahak. “Siap untuk mangsa berikutnya?” tanya Joe. Abu mengangguk. Joe kembali berpura-pura tersedu-sedu. Mereka kembali berhasil mengagetkan dokter lain. “Tidak lucu!” seru Dokter itu.
“Sekarang, mangsa yang terakhir, ayo kita kerjai Dr. Limbad.” Kekeh Joe. Abu mengangguk. Joe kembali ke luar kamar, mencari Dr. Limbad. “Dr Lim, tolonglah, temanku tidak bernafas,” kata Joe sembari berpura-pura terisak. Dr. Limbad tampak kaget. Ia bergegas menghampiri Abu. Abu kembali memejamkan matanya. Joe kemudian mengintip dari balik pintu.
Dr. Limbad memeriksa detak jantung Abu. Joe bersusah payah menahan tawa. Tapi Abu tidak bergerak sama sekali. “Ayo, Abu,” bisiknya. Namun Abu tetap tidak membuka matanya.
Dr Limbad menghampirinya. Dr. Limbad menepuk pundak Joe. “Joe, aku turut berduka,” gumamnya. Joe menatap Abu yang kelihatan masih tertidur dengan tidak percaya. Ia memaksakan untuk tertawa. “Dia cuma bercanda,” kata Joe sambil memaksakan tawa. Kemudian ia menghampiri Abu. “Ayo bangun.. Abu, kau bercanda kan?” kata Joe lagi dengan tawa yang sangat dipaksakan. Dr. Limbad hanya memandanginya dengan sedih. Joe mengguncang badan Abu. Abu tetap tidak bergeming. “Kau janji kita akan selalu bersama, Abu! Ayo bangun!” seru Joe sambil mengguncang badan Abu.
Dr Limbad berusaha menenangkannya. “Biarkan dia istirahat, Joe..” bisiknya. Perlahan-lahan air mata Joe menetes. “Lihat, dia tersenyum. Dia meninggal dalam kedamaian.” bisik Dr Limbad lagi. “Tapi tadi ia masih bersenda gurau denganku!” kata Joe sengau. Dr Limbad mengangguk. “Ya tapi benturan ketika kalian kecelakaan itu sangat keras.” bisiknya.
Rain masuk ke dalam kamar Abu. Melihat Joe yang kelihatan sangat terguncang dan Dr Limbad yang berusaha menenangkan Joe, Rain langsung berkesimpulan: Abu sudah tiada.
Rain perlahan-lahan menghampiri Dr. Limbad. “Dr. Lim? Bolehkah aku meminjam telepon?” tanyanya. Limbad mengangguk. Rain kemudian ikut berusaha menenangkan Joe, dan meminta nomor telpon orangtua Abu. Joe yang masih terguncang kemudian memberikan nomor telpon orangtua Abu. Rain kemudian menelepon orangtua Abu. Bagai disambar petir orangtua Abu menerima kabar itu…
Dua hari kemudian, dua hari namun terasa seperti 5 menit bagi Joe, akhirnya Abu akan dimakamkan di Jakarta. Ia masih tidak percaya bahwa sahabat terbaiknya di dunia sudah tiada. Semuanya terasa berlalu begitu cepat dalam beberapa hari ini. Joe berusaha tampak tegar meski hatinya sakit sekali. Ia berjalan ke ruang depan rumah duka dengan langkah lesu, kemudian ia duduk. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha agar air matanya tidak keluar.
“Joe?” panggil seseorang. Joe menoleh. Pak Andre. “Bolehkah aku duduk?” tanya Pak Andre lembut. Joe mengangguk. Ia berusaha keras tidak menatap wajah Pak Andre.
“Ini semua salah saya.” kata Joe. Pak Andre langsung mengangkat tangannya. “Tidak. Jangan berbicara seperti itu.” kata Pak Andre tegas. “Aku dan istriku tidak menyalahkanmu, ini semua sudah kehendak Tuhan. Putra kami sudah lama sakit, kau tahu itu,” kata Pak Andre lagi.
Joe mulai tidak bisa mengontrol emosinya. “T-tapi jika s-saya tidak membawanya ke sini, ia akan masih bersama anda!” kata Joe sambil menggertakkan giginya. Suaranya bergetar sekarang. “Joe, tenang Nak! Tidak baik menyalahkan dirimu!” seru Pak Andre lagi.
Secara tak sadar Joe menabrakkan kepalanya ke dada Pak Andre. Pak Andre kemudian mengelus rambut Joe dan memeluknya layaknya putranya sendiri. “I-ia selalu berkata ingin sekali tampil di hadapan jutaan orang! D-dan saya sudah membuat mimpinya kandas!” kata Joe tergagap. “M-maafkan aku! M-maafkan aku!” seru Joe lagi.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan! Kau akan melanjutkan mimpi Abu! Kau akan tetap mengikuti kompetisi itu, dan jadilah juara!” kata Pak Andre tegas. “Hapus air matamu Nak.” Joe melepaskan diri dari pelukan Pak Andre. Ia merasa malu karena tidak bisa mengontrol emosinya. “Bolehkah aku melihat Abu untuk terakhir kali?” tanya Joe masih dengan suara sengau. “Bicara apa kau, Nak? Tentu saja boleh!” kata Pak Andre lembut.
Joe kemudian masuk ke dalam rumah duka itu. Jenazah Abu masih berbaring disana, tangannya mendekap, matanya tertutup dan tersenyum. Wajahnya terlihat damai sekali. Ia bisa disangka sedang tidur. Perlahan-lahan Joe menatap jenazah sahabatnya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kancing atas kemeja Abu terbuka. Joe kemudian mengancingkan kancing itu dengan pelan.
Secara perlahan-lahan, Joe kemudian menekukkan lututnya. Ia ingin bicara untuk yang terakhir kali kepada sahabat karibnya itu. Meski Joe tahu, tindakannya ini bodoh. Kepala Joe telah sejajar dengan kepala jenazah Abu sekarang. Joe kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Abu. “Hey ini aku, jagoan bodoh,” bisik Joe.
“Kau egois, eh? Katanya kau akan menemaniku sampai kapanpun. Kau bilang, kau akan selalu mendukungku. Tapi kau malah enak-enakan tidur disini,” gumamnya. Joe kemudian tertawa kecil. Ia kemudian menyedot ingus yang perlahan keluar dari hidungnya.
“Kau tahu, aku benci padamu. Aku benci kau melanggar janji kita untuk bersama selamanya.” lanjutnya lagi dengan suara yang sangat sengau. “Kau pergi begitu saja tanpa pamit. Tahukah kau itu perbuatan yang sangat tidak sopan?” Joe memaksakan diri untuk tertawa. “Aku benci kau, Abu. Aku benci kau meninggalkanku sendirian begitu saja seperti ini.” gumam Joe lagi. Selama sepersekian detik, Joe hanya menatap jenazah Abu dengan tatapan yang sangat kosong. Tiba-tiba di benaknya, terlintas sesuatu.
Joe melepas sebelah sepatu Abu dengan sangat hati-hati. Ia kemudian melepas sebelah sepatunya juga. Kemudian Joe mengeluarkan spidol dari sakunya. Ia kemudian menulis inisial namanya dan nama Abu di sepatu mereka masing-masing. Dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan, Joe memakaikan kembali sepatu yang telah ia tulisi dengan inisial namanya dan nama Abu ke kaki jenazah Abu. Sekarang jenazah Abu tampak agak ganjil dengan mengenakan sepatu yang berbeda, dengan masing-masing sepatu bertuliskan huruf “JS” dan “AM”. Tanpa disadarinya, ia tersenyum. “Pergilah ke surga, biar para malaikat menjagamu kawan,” bisiknya. “Sampaikan salamku terhadap papa dan mama kalau kalian bertemu di surga.”
Pemakaman pun berlangsung dengan singkat… Joe merasa lega, entah mengapa, meskipun hatinya terasa bagaikan diiris sembilu. Rain menepuk punggung Joe, berusaha menghiburnya. Joe hanya bisa tersenyum kecil kepadanya. “Aku harus pulang ke rumah.. memulai hidup baru.. Bisakah kau memberikan nomor telpon mu? Supaya sekali-sekali kita bisa berkomunikasi” kata Rain. Joe tersenyum. Ia kemudian memberikan nomor telponnya. Setelah selesai pemakaman, Rain pergi. Joe kemudian berpikir setelah Rain pergi. Pak Andre benar, pikirnya. Ia harus melanjutkan mimpi Abu.
Joe akhirnya mengikuti audisi The Master. Dari sejak audisi, Joe sudah membuat para juri terpukau.. Perjalanan Joe cukup panjang di The Master tersebut. Sampai akhirnya malam final tiba, dan Joe dinobatkan menjadi juara. Saat dinobatkan menjadi juara, Joe melihat kursi yang kosong, dalam hatinya ia berpikir, kursi kosong itu seharusnya diduduki oleh Abu.
“Untuk siapa kemenangan ini kau persembahkan?” tanya pembawa acara The Master tersebut. Joe menghela nafas. “Untuk sahabat saya, Abu Marlo, yang tak lekang oleh waktu. Seharusnya ia juga berdiri disini bersama saya, tapi kini ia telah tiada. Seharusnya kami bersama-sama di kompetisi The Master ini, tapi ia pergi mendahului saya. Untuk itu, saya persembahkan kemenangan saya ini untuk mengenang persahabatan kami yang tak akan lekang oleh waktu,” kata Joe.
Seluruh hadirin bertepuk tangan sambil berdiri. Sebagian bahkan ada yang mencucurkan air mata. Joe menatap ke atas… Abu pasti sedang mengawasinya dari surga sana… Dirinya tidak akan lekang oleh waktu.. Dan saat itu, Joe baru menyadari bahwa Abu tidak pernah benar-benar pergi, melainkan akan selalu hidup di dalam hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar