Di sini, di tempat inilah aku terjatuh bersimbah darah,
serpihan-serpihan besi alumunium tertancap hampir di seluruh tubuhku,
biji-biji peluru belanda kian melengkapi sakaratulku waktu itu, terasa
ngilu dan sedikit pegal di punggungku. Sempat bertanya, entah apa yang
ku perjuangkan, diri sendiri, keluarga, atau mungkin negeri yang
semerawut ini? Genggaman erat bambu runcingpun tak terasa terlepas
perlahan, mataku sayup terkantuk menyambut tidur yang ku pastikan akan
nyenyak. Teriringi bayang-bayang penyemangat dari seorang sosok pelopor
anti penjajah. Seruan kerasnya membuatku tersenyum sesaat sebelum aku…
“Dengarlah aku wahai rakyatku, kita sebagai orang Indonesia harus
menjaga harga diri negeri ini, jangan sampai mereka mengambil semuanya
dari kita!”
Dengan gagahnya ia menyerukan perlawanan dari penjajahan orang-orang asing itu.
“Kalian jangan diam saja, ayo kita lawan dan kibarkan merah putih di penyangga tertinggi. MERDEKA… MERDEKA… MERDEKA…!”
Semua orang kian berseru ‘MERDEKA… MERDEKA… MERDEKA!’.
Semangatku berkobar, kekuatan juangku dibangkitkannya, tak ada lagi rasa takut, yang ada hanyalah kata ‘Berjuang dan melawan’.
Tiba-tiba suara asing menyapaku di semak-semak pertempuran.
“Hai kawan?”
Aku menoleh dengan tetap menggenggam geranat yang sempat ku curi dari
musuh, juga bambu runcing yang ku acungkan tanpa melepaskannya. Tampak
seorang laki-laki lusuh menghampiriku.
“Sudah lama kau jadi pejuang?” tanyanya lugas.
“Untuk sementara ini, bisa dibilang begitu.” Jawabku
Ku sebut dia sebagai teman baru.
“Untuk siapa kau melakukan hal bodoh ini?” Lanjut tanyanya.
Dahiku berkerut. Kian ku jawab ujarannya.
“Ini bukanlah hal bodoh, kita bertarung demi menjaga harga diri kita sebagai orang indonesia.”
“Kau membela negara ini? Selama ini kau sudah diberi apa saja oleh atasan-atasanmu?”
“Tidak ada.”
“Lantas, untuk apa kau berperang?”
“Semua ini ku lakukan demi masa depan anak-anakku nanti.”
Laki-laki yang ku anggap teman baruku itu hanya tersenyum tanpa uraian
kata. Ku pikir tak ada artinya berbincang di saat seperti ini.
Gemuruh api ledakan di setiap penjuru hutan berirama dengan sorak
teriak peperangan, di tambah lagi jeritan-jeritan histeris menghiasi
bumi, bertanda gugurnya para sahabat seperjuangan. Aku bersyukur sampai
detik ini masih bisa menangis, keringat ini akan menjadi saksi bisu
perjuanganku.
“Apa tidak sebaiknya kita istirahat sejenak? Sedikit ku merasa bosan dengan perang tanpa hentinya ini.”
“Tidak.” Jawabku. Ku pikir rehat sejenak bukanlah solusi terbaik.
“Memang kenapa?”
“Tempat peristirahatan kita sudah hancur oleh mereka, kita tidak punya tempat berlindung lagi.”
“Kenapa tidak? Masih ada tempat peristirahatan kita yang damai tanpa
gemuruh, di sana kita bisa beristirahat dengan tenang tanpa
bayang-bayang peperangan.” Lanjutnya.
Aku paham apa yang dibicarakannya. Murtad itu bukan jalan yang baik menuju sorga. Kian ku bertanya pada temanku itu.
“Apa kalian sudah menyerah dengan semua ini? Mana tekad kalian untuk mempertahankan harga diri negeri ini?”
“Tidak ada harga diri siapapun atau apapun yang kita pertahankan di
sini, kita hanya diperbudak oleh kepecundangan para raja, harga diri
negeri hanya ocehan bodoh agar kita berani menjaga mereka dan berada di
garis terdepan, tentunya dengan bertaruh nyawa. Hitler, seorang tokoh
bela negara saja mencari peristirahatannya di tempat yang hampir tidak
diketahui orang lain, dia bosan pada keburukannya yang melarang
kelahiran bayi perempuan, dia jera dengan aib dirinya sebagai manusia
yang teramat keji. Sampai-sampai setiap ada bayi perempuan yang baru
lahir dia membunuhnya.”
“Tapi kita dan negeri ini bukanlah Hitler.” Sanggahku.
“Memang bukan, tapi apa yang kita pertahankan sampai detik ini adalah
kebodohan semata. Kita berperang demi kehancuran di masa depan, bukan
merdeka. Merdeka itu sendiri telah dikotori oleh para petinggi negara,
rakyat kelaparan, demonstrasi, saling hasut dan menjungkalkan, semua itu
kerap kali menjadi trending topik hampir di setiap berita di televisi
atau koran. Apa itu yang disebut merdeka? Sesuap nasi saja sulit untuk
dicerna, apalagi mencari kesejahteraan.”
Memang teramat sulit mencari kesejahteraan, apa lagi keadilan. Negeri
ini terlalu dipenuhi penjahat. Hukum tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Raja negeri ini adalah uang, bukan keadilan. Mungkin keadilan
itu hanya ada di akherat sana.
Tak sempat ku berkata. Tiba-tiba suara menggelegar terdengar di dibelakangku.
“Duaaarrrr.”
Terdengar begitu keras, sampai-sampai gendang telingaku hampir pecah.
Serontak ku menoleh ke arah suara itu berasal. Kaget dan panik. Tampak
dari jarak kurang dari 100 meter, monster bertubuh besi dengan
dilengkapi roda bergerigi dan laras raksasanya tepat mengarah ke arahku.
Tanpa pikir panjang ku langsung ambil jarak dengan langkah seribu kaki
menjauh dari tempat itu.
“Cepat sembunyi… ambil jarak aman… jangan sampai tertembak…!”
Begitu yang ku dengar dari teriakan orang-orang yang sama denganku. Apa
boleh buat, aku harus lari. Tapi, peluru besar benda raksasa itu terlalu
cepat menghampiri posisiku dan teman-teman sekitarku. Tak lama…
”Duarrr…! Bum…Bam…” untuk ke dua kalinya mercon berisi amunisi itu meledak.
Seketika aku terpental jauh. Terhempas sejauh ratusan meter ke arah depan dan…
‘Buk, Gubrak!’ Terpelanting ke tanah.
Tulang rusukku terasa patah, kepalaku terbentur batang pohon
semak-semak, pinggangku serasa terkilir. Pandangan memudar, dunia seakan
berputar 90 derajat. Aku sekarat, tubuhku berlumuran darah, tapi aku
masih bisa melihat meski sedikit kurang jelas, serpihan-serpihan besi
alumunium tertancap di punggungku, entah dari mana itu. Kini aku
terkapar tanpa daya. ku pikir inilah saatnya aku harus tidur dan
beristirahat dari peperangan tanpa akhir ini. Perlahan-lahan mataku
mulai sayup dan…
gelap.
—
“Ayah…jangan dulu pulang, tetaplah ayah di sana. Aku dan ibu mendoakan ayah dari sini.”
‘Suara itu…!?’
“Ron…Nina benar, kau harus tetap berjuang membela negeri ini. Ingat,
suatu saat negeri kita akan bebas dari perang besar ini. Kau harus terus
melawan dan bangkit sebagai pejuang. Kepergian aku dan anakmu bukanlah
salahmu. Jangan jadikan itu beban. Aku dan Nina anakmu akan selalu
mendampingi dan mendoakanmu agar kau selalu dalam lindungan tuhan. Kami
akan selalu ada dan abadi di jiwamu. Sampai perang ini berakhir. Bahkan
hingga dunia ini kiamat.”
‘Suara itu… mereka… istri dan anakku.’
Perlahan sosok mereka memudar dari pandanganku, bersatu dengan cahaya.
Lambaian tangan dan senyuman manis mereka seakan menunjukkan bahwa
mereka masih ada di dunia ini.
Remang-remang sedikit mulai ku buka mataku. Perlahan dan lambat laun mulai terang. Aku masih hidup atau sudah mati? Ku tersadar.
‘Dimana ini? Argh…! tubuhku tak bisa digerakkan. Masih terasa sakit.’
Tiba-tiba suara seorang anak perempuan terdengar di telingaku. Ia seakan menunjukkan keadaanku pada seseorang. Siapa mereka?
“Ah…! kek, lihat nampaknya dia sudah siuman.”
Laki-laki tua dan seorang anak perempuan menghampiri pembaringanku.
Tampak mereka terkejut melihatku yang mencoba bangun dan bergerak dari
tempat tidur. Ku lihat sekujur tubuh yang dipenuhi beberapa lilitan
perban berwarna putih, di kepala, lengan kanan, paha bagian kiri dan
bagian leherku. Ku pikir mereka yang telah menolongku dari hantaman bola
peluru monster besi tadi.
“Kau sudah bangun anak muda!” tanya kakek tua itu.
“Ugh…! Siapa kalian?” tanyaku lugas.
Si kakek tua tersenyum. Ia tak lantas menjawab pertanyaanku. Senyumannya
seraya mengejekku dari kecerobohan yang ku lakukan saat perang tadi.
“Kau terlalu gegabah dalam mengambil tindakan. Jika kau ingin bertahan hidup lebih lama, baiknya sembunyi saja.”
Aku terkejut mendengar pernyataannya yang begitu mudah ia katakan. Ku
jawab ujarannya yang menganggap enteng pada peperangan yang berlangsung
saat ini.
“Sembunyi, kau bilang sembunyi kek. Apa tidak salah? Negeri kita sedang
di jajah habis-habisan, bahkan mungkin sampai di masa yang akan datang
nanti. Sembunyi hanya akan menjadikan kita pecundang atau sejatinya
seorang penakut.”
Kakek itu kian membalas ujaranku dengan gaya khasnya yang menyombongkan diri.
“Aku ini sudah tua, pengalamanku lebih luas, aku lebih pintar darimu
yang baru seumur jagung. Kau masih bau kencur untuk menghadapi perang
ini. Uhuk… uhuk… uhuk…” Kakek itu batuk.
“Kau keras kepala orang tua, aku akan pergi dan kembali berperang. Demi negeri ini dan mengembalikan harga diri keluargaku.”
Aku mencoba berdiri sekuat tenaga yang masih tersisa. Ku lihat
perlengkapan perangku yang tergeletak di lantai rumah kakek dan cucu
perempuannya.
“Aku akan pergi dan kembali ke medan perang.”
Langkahku di hadang oleh cucu perempuan kakek-kakek itu.
“Tapi luka di sekujur tubuh kakak masih belum pulih. Kakak harus tetap istirahat dulu di sini.”
Ku elus-elus kepala adik kecil itu dan lantas ku serukan kalimat bernuansa nasehat.
“Adik kecil, jika aku terus seperti ini, lantas siapa yang akan
mempertahankan harga diri keluargaku. Harapanku hanyalah menjaga atau
mengembalikan harga diri dan kehormatan keluargaku yang telah mereka
renggut dariku. kita harus mengusir mereka dari tanah ini yang sudah
sepatutnya kita jaga dengan bertaruh nyawa dan kehormatan.”
Adik kecil itu hanya tertunduk lesu dan menganggukkan kepalanya seraya sukar melepasku dari gubuk mungilnya.
“Biarkan dia pergi cu.”
Sang cucu hanya menatap kepergianku tanpa sepatah helaan kata. Sorot
matanya menandakan seolah ada harapan yang ia bebankan padaku. Meski
begitu aku tak berani jamin bahwa aku bisa kembali menemui mereka. Biar
bagaimanapun juga aku berhutang jasa pada mereka.
Aku kembali ke medan pertempuran
Dari kejauhan terdengar sorai gencatan senjata dan bara api mewarnai
setiap sudut hutan. Aku kembali ke medan perang dengan tekad
mengembalikan harga diri keluarga dan negeri tercinta Indonesia raya.
Satu persatu teman-temanku tumbang, ada yang kehilangan lengan kanannya
karena tembakan, ada juga yang merintih kesakitan karena tertembak di
bagian kaki. Aku masih bisa bertahan dengan luka yang masih belum sembuh
total. Keringat bercucuran dari seluruh tubuh, tanpa lelah aku masih
bisa bertarung dengan bangsa penjajah. Peluru mereka sama sekali tidak
mengenaiku.
Tiba-tiba ku dengar kembali teriakan dari arah belakang dengan suara kencang.
“awaaas…!”
Aku menoleh ke arah suara itu dan…
‘Buuum…’
Ledakan keras tanpa diketahui asalnya menghantam posisiku yang saat itu
tengah berdiri dengan bambu runcingku yang telah tumpul. Aku akan
terluka dan kembali merasakan sekarat. Tapi ternyata itu tidak benar,
kali ini hanya gelap dan hening.
Di sini, di tempat inilah aku terjatuh bersimbah darah,
serpihan-serpihan besi alumunium tertancap hampir di seluruh tubuhku,
biji-biji peluru belanda kian melengkapi sakaratulku waktu itu, terasa
ngilu dan sedikit pegal di punggungku. Sempat bertanya, entah apa yang
ku perjuangkan, diri sendiri, keluarga, atau mungkin negeri yang
semerawut ini? Genggaman erat bambu runcingpun tak terasa terlepas
perlahan, mataku sayup terkantuk menyambut tidur yang ku pastikan akan
nyenyak.
Aku menatap batu nisan bertuliskan namaku yang jelas terpampang.
Sebuah situs tanpa arti yang aku tinggalkan di dunia fana tanpa
keyakinan. Berhasil atau tidak, merdeka itu tak pernah aku temui hingga
saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar