Senin, 23 Maret 2015

Tianna Dan Peri Yang Dikutuk

Aku membuka lembar demi lembar album foto yang sudah lama sekali. Album itu berisi foto-foto diriku bersama kedua sahabatku dulu, tapi sekarang mereka berubah, mereka bukan sahabatku lagi. Bulir bening di ujung mataku perlahan menetes membasahi pipiku. Terkadang aku tersenyum sambil mengenang masa-masa indah ketika bersama sahabatku. Aku ingat sekali ketika kami bertiga membuat rumah pohon dan pergi ke danau sambil membuat burung-burung kecil yang terbuat dari kertas. Setiap sepulang sekolah kami pergi ke rumah pohon itu, kami saling berbagi cerita suka ataupun duka, kami bercanda tertawa bahkan bercerita hal yang tidak masuk akal.
Setelah aku membuka lembar terakhir dari album itu, aku menemukan tulisan tangan mereka. Kami berjanji bahwa kami akan menjadi sahabat sejati selamanya. Dan kami pernah mengukir nama kami bertiga di pohon besar dekat rumah pohon kami.
Melihat wajah-wajah mereka tertawa gembira dalam album foto itu membuat aku seperti kembali ke masa lalu bersama mereka.
Semua itu cukup mengobati rasa rinduku pada mereka. Lalu kuletakkan di meja belajarku sementara. Dan aku membongkar sedikit demi sedikit barang-barang yang sudah lama dalam lemari kecil di kamarku. Untung saja aku menyimpannya di tempat yang aman dan rapi, kalau tidak pasti barang-barang ini akan hancur di gigiti tikus-tikus kecil.
Dalam lemari itu aku menemukan buku diary-ku yang sudah lama, aku membacanya dan betapa malunya aku pada diriku sendiri, karena hal-hal yang tidak jelas kutuliskan di buku itu.
Aku ingat sekali bahwa dulu aku selalu mengharapkan pergi ke dunia lain yang ajaib, bertemu dengan para peri, tidak pernah ingin menjadi dewasa, bisa berbicara pada hewan, bisa terbang, memiliki rumah pohon, mempunyai kekuatan sihir, dan sebagainya.
Aku ingat betul masa-masa itu. Dan salah satu hal yang sudah tercapai dari keinginanku tersebut adalah aku sudah memiliki rumah pohon bersama dua sahabatku waktu itu.
Selesai membaca sekilas buku diaryku, lalu aku meletakkannya dekat album foto itu.
Dan ku bongkar lagi isi lemari itu, ternyata didalamnya masih ada barang atau hadiah yang diberikan oleh sahabatku, seperti kalung, boneka, baju, dan beberapa barang yang lainnya. Bahkan burung-burungan dari kertas itu masih ada, walaupun sudah hancur.
Lalu aku menghapus air mataku lalu aku tersenyum bahagia karena aku masih bisa mengenang masa-masa itu dengan beberapa barang yang sangat berkesan bagiku.
Ku kembalikan semua barang yang tadi ku bongkar, dan ku susun rapi di dalam lemari. Aku tidak ingin barang-barang itu hilang. Lalu ku tutup lemari itu dan ku kunci.
Rasanya aku ingin seperti diriku yang dulu lagi. Aku sangat ingin merasakan hal indah seperti dulu sekali lagi.
Lalu aku berdiri dan mengambil gitar di pojok kamarku dan bergegas pergi ke rumah pohon yang dulu. Tidak peduli rumah pohon itu masih ada atau tidak, sudah rapuh atau belum, yang penting aku merasa senang.
Saat sebelum keluar dari kamar, aku sempat melirik lemari besar di dekat pintu kamarku, aku teringat saat itu aku sering masuk dalam lemari karena aku ingin masuk dunia ajaib seperti Narnia. Dan jendela itu, aku benar-benar ingat bahwa dulu setiap malam sebelum tidur, aku selalu menunggu Peter Pan datang untuk mengajakku terbang pergi ke Neverland dan tidak pernah tumbuh menjadi dewasa.
Akupun langsung pergi keluar kamar setelah beberapa saat teringat hal-hal seperti itu.
Aku masih ingat dimana tempat rumah pohon kami berada, tidak terlalu jauh dari rumahku. Aku pergi kesana menggunakan sepeda.
Singkat cerita, aku mengayuh sepedaku dengan cepat dan akhirnya aku tiba disana.
Rumah pohon itu ternyata masih ada, tapi kayunya sudah mulai rapuh karena kami membuatnya sudah 2 setengah tahun yang lalu, pohon-pohon besar yang berdiri kokoh lainnya di sekitar rumah pohon kami masih sama seperti dulu.
Lalu aku pergi ke danau dimana waktu itu kami sering membuat burung-burungan kecil dari kertas. Danaunya masih seperti dulu. Masih terlihat indah. Aku menyempatkan diri duduk di kursi tepi danau itu dan membuat burung-burungan kecil dari kertas, setelah itu aku menaruh burung itu di atas genangan air danau tersebut.
Setelah itu aku kembali ke rumah pohon. Aku duduk di atas rerumputan hijau dan bersandar di bawah pohon besar, pohon yang terdapat ukiran nama kami bertiga. Sambil bersenandung lagu dan diiringi suara gitar yang kumainkan. Dulu kami sering bernyanyi bersama-sama di bawah pohon ini.
Rasanya aku ingin menyihir tempat ini dan rumah pohon ini seperti dulu lagi. Aku ingin sekali kembali ke masa lalu.
Tiba-tiba aku menghirup aroma kue dan sarden, tak tahu dari mana aroma itu berasal. Sepertinya ada yang tinggal di sekitar sini, padahal sebelumnya tidak ada orang yang mau bertempat tinggal disini.
Aku berdiri dan mencari sumber aroma itu, dan aku melihat seorang anak laki-laki yang sedang mengumpulkan kayu bakar.
Aku terus mengintipnya di balik pohon besar.
“Danny, cepat masuk ke dalam,” teriak seorang wanita dari dalam pohon—sepertinya ia tinggal di dalam pohon besar—dan aku bisa menebak suara itu pasti suara ibunya. Tapi aku bingung, bagaimana bisa mereka membuat rumah di dalam pohon?
“Iya bu, sebentar lagi,” kata Danny,
Tiba-tiba tangan kiriku di gigit semut “Aww,” tidak sengaja aku mengeluarkan suara dari dalam mulutku. Setelah aku melihat ke arah Danny, ia sudah menghilang. Mungkin dia mendengar suaraku tadi.
Ketika berbalik badan, aku terkejut sekali! Karena Danny ada dihadapanku. Matanya yang berwarna biru menatap mataku dengan tajam. Aku takut dia marah padaku.
“Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu,” kataku gugup, “baiklah, jika kau marah, aku akan meninggalkan tempat ini,”
Sepertinya ia ingin memarahi diriku, tapi ibunya datang dan melihatku sambil tersenyum. Ibunya sangat cantik. Benar-benar cantik.
“Danny… Kenapa kau tidak mengajak temanmu masuk ke dalam?” Tanya ibunya,
“Bu, tadi…” Belum selesai berbicara tapi ibunya sudah memotong pembicaraan Danny.
“Oh tadi kau sudah mengajaknya? Tapi kau tidak pernah memberitahu ibu kalau kau memiliki teman perempuan. Dia cantik dan manis,” kata ibunya sambil merangkul bahuku, “siapa namamu, sayang?”
“Aku? Namaku Tianna,” kataku, aku mencoba menjelaskan kepadanya bahwa aku bukan temannya Danny tapi ibunya langsung mengajakku ke dalam rumahnya dan tampaknya Danny kesal padaku.
Saat ibunya membuka pintu rumahnya, mataku terbelalak seakan tidak percaya ini semua. Bayangkan saja pohon besar yang didalamnya adalah rumah yang besar dan mewah. Ruangannya benar-benar luas sekali.
Di sebelah kanan ada ruang tempat tidur, dan tempat keluarga. Disebelah kiri ada meja makan yang panjang, meja itu penuh dengan makanan yang membuat air liurmu menetes, semua makanan itu tersusun rapi.
Di bagian depan dekat pintu masuk adalah ruang tamu.
“Apa kau lapar?” Tanya ibu Danny,
Aku menggeleng sambil tersenyum,
“Baiklah, kalau begitu kau main di dalam rumah saja bersama Danny,” kata ibunya, “oh iya, kau suka membaca buku tidak?”
“Iya aku suka sekali membaca buku cerita,” kataku sambil mengangguk.
“Kebetulan Danny suka mengkoleksi buku-buku cerita, jadi kami membuatkannya perpustakaan kecil. Kau boleh kesana jika kau mau membaca beberapa buku.” ucap ibunya Danny, “Danny, kau jangan diam saja. Ayo ajak Tianna kesana,”
Dengan terpaksa Danny mengantarkanku karena perintah ibunya.
“Maaf ya jika aku membuatmu kesal,” kataku pada Danny setelah kami berada di perpustakaannya, “aku jadi merasa bersalah,”
“Ya,” jawabnya singkat.
Sebelumnya aku belum pernah sama sekali melihat atau membaca buku-buku ini. Bukunya memang menarik. Sangat menarik. Dan yang lebih hebatnya lagi, sampul bergambar ataupun gambar-gambar yang ada dibukunya bisa bergerak. Dan aku sempat melihat buku yang berisi mantra-mantra, sejarah, dan semacamnya.
“Dan, sejak kapan kau tinggal disini?” Tanyaku,
“Sejak rumah kami dihancurkan karena lahannya akan dijadikan pabrik,” jawabnya, “kami kehilangan saudara-saudara dan teman-teman kami. Yang tersisa hanya sedikit, para peri juga tidak banyak lagi. Kami tidak tahu harus pergi kemana lagi. Jadi satu-satunya tempat terdekat ya tinggal disini,”
“Tapi kalau boleh aku bertanya, kau ini apa sebenarnya?” Tanyaku,
“Aku. Aku adalah peri yang di kutuk menjadi manusia. Bukan hanya aku, masih banyak peri-peri yang di kutuk menjadi manusia. Aku tidak bisa menjelaskan mengapa kami di kutuk menjadi manusia,” Jawabnya sambil menjelaskan, “kau tahu kenapa tadi aku ingin marah karena kau memata-mataiku di balik pohon besar? Itu karena aku menganggap manusia adalah makhluk yang jahat. Aku terlanjur benci pada manusia karena mereka sudah menghancurkan rumahku, menghancurkan hidupku, menghancurkan hal yang berharga bagiku, termasuk mereka telah membunuh Ayahku,”
Sejenak kami berdua terdiam, tidak ada sepatah katapun yang keluar dri mulut kami. Tapi aku melihat betapa sedihnya Danny mengingat Ayahnya.
“Sebenarnya aku tidak ingin berteman denganmu, tapi karena ibu aku terpaksa berteman denganmu. Ibu mengatakan bahwa tidak semua manusia di dunia ini jahat,” kata Danny,
“Jadi selama ini kau membenci manusia? Oleh karena itu beberapa manusia menggambarkan peri sebagai sosok yang usil dan suka mengganggu manusia,” kataku dengan nada agak tinggi,
“Jangan menyalahkan kami! Yang membuat ulah manusia duluan. Para peri marah dan mereka mengganggu manusia,” kata Danny, ia seperti kesal denganku.
“Kau tahu? Dulu aku selalu mengharapkan bertemu dengan peri baik yang mau berteman denganku. Tapi justru aku bertemu peri jahat yang membenci semua manusia,” kataku, “aku setuju dengan ibumu, bahwa tidak semua manusia jahat, ada beberapa manusia dari sekian banyak manusia yang masih peduli dengan lingkungan alam mereka, dan bisa dikatakan aku salah satunya. Begitupun dengan peri, aku percaya tidak semua peri jahat dan membenci manusia, pasti ada peri yang baik, salah satunya adalah ibumu,”
Lagi-lagi kami terdiam untuk beberapa saat.
“Baiklah, aku akan pulang. Kalau kau tidak mau berteman denganku, aku tidak akan pernah mengganggumu lagi, asalkan kau membiarkan aku pergi ke rumah pohon di depan sana, karena itu tempat yang—” aku langsung berhenti berbicara, “maaf aku tidak bisa menjelaskannya, yang jelas rumah pohon itu sangat berarti,”
Setelah itu aku langsung pergi meninggalkan ruangan itu dan berpamitan pada ibunya Danny, lalu pulang ke rumah.
Sekarang aku percaya bahwa peri itu masih ada. Seandainya aku masih bersahabat dengan Emma dan Amy, aku akan menceritakan semua hal yang terjadi di dekat rumah pohon tadi. Tapi sayangnya mereka berdua sudah melupakan hal-hal seperti itu. Sekarang mereka sudah sibuk dengan teman-teman barunya yang lebih gaul daripada aku dan bahkan mereka sudah memiliki pacar yang keren seperti yang telah mereka idam-idamkan.

Setelah pulang sekolah, aku langsung pergi ke rumah pohon. Ketika sampai disana, aku melihat Danny sedang memperbaiki rumah pohonku dan sekarang rumah pohon itu menjadi seperti dulu lagi.
“Hai Tianna,” sapa Danny, “akhirnya kau datang juga. Aku ingin meminta maaf padamu tentang kejadian kemarin karena sikapku yang kurang baik,”
Aku hanya tersenyum, “tidak apa-apa. Tapi aku sangat berterimakasih padamu karena kau sudah memperbaiki rumah pohon ini,”
“Sama-sama,” kata Danny, “Oh iya, tadi saat sedang membereskan rumah pohon ini, aku menemukan kotak kecil ini, dan aku membukanya dan ada beberapa kertas lalu aku membaca kertas-kertasnya. Ternyata rumah pohon ini menjadi kenangan indah dirimu bersama dua sahabatmu ya?”
Aku hanya mengangguk.
Tidak kusangka kertas-kertas dan gambar-gambar itu masih di dalam kotak. Serta burung-burungan yang kami buat, kukira sudah hancur atau hilang.
Kertas-kertas dalam kotak itu berisi mimpi-mimpi dan keinginan kami.
“Maaf ya jika aku membaca kertas-kertas ini semua. Karena aku sangat penasaran,” kata Danny, “aku juga membaca keinginan-keinginanmu,”
“Sungguh? Hahaha, aku malu sekali. Karena itu keinginan yang tidak masuk akal,” kataku sambil tertawa kecil,
“Iya,” kata Danny, “Tianna, Sekarang kita berteman ya?”
Aku mengangguk senang karena Danny tidak membenciku lagi.
“Sekarang aku ingin menunjukkanmu sesuatu, tapi ini rahasia. Kuharap kau bisa menjaga rahasia ini. Oke?” kata Danny,
“Oke, aku janji,” kataku sambil tersenyum.
Lalu kami berdua berpegangan tangan. Dan tidak kusangka aku terbang bersama Danny! Baru kali ini aku terbang. Rasanya seperti terbang bersama Peter Pan.
“Ini salah satu keinginanmu ‘kan?” tanya Danny, “jika kau takut ketinggian, pejamkan saja kedua matamu. Bersiaplah! Kita akan menuju suatu tempat,”
Aku memegang tangan Danny erat-erat, dan kamipun mendarat di suatu tempat, kata Danny tempat ini tidak jauh dari rumahnya, jadi tempat ini masih satu kawasan dengan rumah pohonku. Sampai di tempat ini, lagi-lagi Danny membuatku tidak percaya. Peri-peri berterbangan di sekitar pohon-pohon, tempat ini benar-benar indah! Disisi lain, ada hewan-hewan yang bisa berbicara, ada juga peri yang di kutuk menjadi manusia. Ini semua nyata. Semuanya seperti sihir. Aku tidak bisa menjelaskannya lagi.
“Tianna, aku tahu kau senang, tapi kuharap kau jangan memberitahu siapa-siapa,” kata Danny, “maaf, Tianna kita tidak bisa berlama-lama disini, karena peri disini juga ada yang membenci manusia. Jadi kita harus pergi sekarang, karena kurasa aku telah membuatmu cukup merasa senang, iya ‘kan?”
Aku hanya mengangguk senang. Dan kamipun langsung terbang dan kembali ke rumah pohon itu.
Hari itu aku menghabiskan waktu bersama Danny, dan aku makan siang bersama ibunya serta beberapa teman-temannya.

Sudah beberapa hari ini aku berteman dengan peri yang dikutuk menjadi manusia, yaitu Danny, serta teman-temannya. Rasanya aku seperti mendapat kebahagiaan yang dulu lagi, walaupun bukan bersama Emma dan Amy.
Tapi, tadi pagi di kelas aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Amy, Emma, dan teman-temannya bahwa orangtua Amy dan Emma bekerjasama untuk mendirikan perusahaan besar, dan sepertinya perusahaan itu akan didirikan di dekat rumah pohonku, otomatis rumah Danny, dan rumah para peri akan dihancurkan.
Aku termenung sambil duduk di kursi. Mencari cara agar tempat itu tidak jadi dibuat perusahaan. Aku tidak ingin kehilangan Danny, dan aku tidak bisa membiarkan tempat tinggal mereka hancur.
“Tianna, ada apa denganmu?” Tanya ibuku,
“Tidak bu,” kataku sambil tersenyum, “menurut ibu, jika ada orang yang ingin mendirikan perusahaan di tempat yang merupakan tempat tinggal makhluk hidup bagaimana?”
“Jika ada orang yang tinggal di tempat itu, ya seharusnya perusahaan itu didirikan di tempat lain, atau boleh saja perusahaan itu didirikan asal mereka mengganti atau membawa orang yang ada di tempat itu ke tempat yang lebih layak,” kata ibu, “memangnya kenapa?”
“Aku hanya meminta pendapat ibu saja,” kataku.
Saat itu juga aku langsung pergi ke kamar dan bergegas mengambil handphone-ku. Aku masih menyimpan nomor Amy, semoga saja ia mengangkatnya walaupun sudah lama kami tidak saling menyapa satu sama lain.
“Hallo,” Amy mengangkat telepon dariku,
“Halo, Amy? Ini aku Tianna. Ku dengar orangtuamu bekerja sama dengan orangtua Emma untuk mendirikan perusahaan besar ya? Aku senang orangtua kalian bekerja sama. Tapi bisakah kau bilang pada orangtuamu, tolong jangan dirikan perusahaannya disana. Karena ada beberapa orang yang tinggal disana. Dan makhluk hidup yang tinggal disana. Oh ya! Kau ingat? Rumah pohon yang kita buat waktu itu juga masih disana,” aku langsung menjelaskan tujuanku menelpon Amy.
“Hey Tianna! Tumben sekali kau tiba-tiba meneleponku dan langsung bilang seperti itu. Memangnya kenapa? Kau takut jika rumah pohon itu hancur dan kau akan kehilangan kenangan kita yang dulu?” Tanya Amy sambil tertawa licik, “biarkan saja rumah pohon itu hancur, lagi pula kita sudah tidak bersahabat lagi ‘kan? Jadi jangan pernah memohon-mohon padaku. Biarkan ayahku dan ayah Emma mendirikan perusahaan itu. Lagipula orang-orang yang tinggal disana pasti akan di bayar oleh Ayah. Toh nanti mereka juga pergi ke tempat lain. Kok kamu yang ribet sih? By the way udah ya, aku sibuk. Oh iya satu lagi, sejak tadi pagi proyeknya udah di mulai, jadi mungkin rumah pohon kita udah dihancurkan. Bye Tianna. Have a great day!” Amy langsung memutus teleponnya.
Aku terkejut saat Amy mengatakan bahwa proyeknya sudah di mulai sejak tadi pagi. Pikiranku mulai tidak tenang. Aku memikirkan Danny dan para peri yang tinggal disana. Tanpa basa-basi lagi aku pergi ke sana.
Saat tiba disana, aku melihat mobil-mobil besar yang telah menghancurkan tempat itu. Rumah pohonku dan rumah Danny sudah hancur. Ketika aku di tempat itu. Mobil-mobilnya mati, mungkin para pekerja sedang beristirahat dan makan siang.
Pada saat itu juga aku pergi ke tempat para peri untuk mencari Danny dan Ibunya. Walaupun sempat tersasar akhirnya aku sampai di tempat para peri. Tiba disana, semua peri langsung menatapku dengan tatapan yang tidak enak. Termasuk Danny.
“Ternyata kau sama seperti manusia lainnya Tianna,” kata Danny sambil menatapku sinis, dimatanya terbesit kebenciannya pada diriku, “kukira kau baik, tapi kenapa kau lakukan semua ini pada kami? Kukira kau teman baikku. Tapi apa? Kau memancing orang-orang itu kesini dan mendirikan bangunan besar disini. Lalu dimana kami akan tinggal? Kau benar-benar jahat!”
“Aku benar-benar tidak melakukan semua ini. Semua ini karena orangtua sahabatku yang ingin mendirikan bangunan itu. Jangan salahkan aku. Aku sudah mencoba membujuk sahabatku. Aku mencoba menolong kalian semua,” aku berusaha menjelaskan.
“Maaf Tianna, tapi kau tidak dapat di percaya lagi. Kami akan pergi dari sini dan tolong jangan pernah mengganggu kami lagi,” ucap ibunya Danny.
“Tapi tolong jangan pergi. Berikan aku kesempatan sekali lagi untuk menggagalkannya. Aku akan berusaha agar proyek ini gagal,” kataku.
Lalu aku pergi meninggalkan mereka.
Dan tiba di dekat rumah pohon yang sudah hancur, aku langsung menemui ayah Amy dan Emma. Aku memohon pada mereka agar mengagalkan proyek ini. Tapi mereka tidak mau mendengarkanku.
“Pak, tolong jangan buat tempat ini sebagai tempat perusahaan bapak. Bapak mungkin bisa mendirikannya di tempat lain. Tolong jangan di tempat ini. Saya mohon,” sekali lagi aku memohon,
“Kami bisa saja membuatnya di tempat lain, tapi kamu harus membayar kami,” kata Ayah Amy.
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Pikiranku kacau dan aku bingung. Aku pulang ke rumah untuk meminta bantuan ibu. Siapa tahu cerita dengan ibu, dan ibu akan menjelaskannya pada orangtua Amy dan Emma.
Tapi di tengah perjalan menuju rumah, sebuah truk besar yang mungkin akan pergi ke tempat proyek itu menabrakku. Aku terpental dan tergeletak di pinggir jalan. Padahal aku sudah mengendarai sepedaku dengan benar dan berhati-hati. Tapi tidak tahu mengapa aku bisa sampai tertabrak.
Aku merasakan sakit dan memar-memar di seluruh tubuhku. Rasanya tulangku ingin rontok. Aku sulit bergerak. Dan darah dari hidung dan keningku terus menerus keluar. Jalanan saat itu sepi, jadi aku tidak bisa meminta bantuan.

Bunga-bunga yang masih segar bertaburan di atas gundukan tanah yang empuk. Dan di atas tanah itu terdapat batu nisan yang bertuliskan namaku. Keluargaku serta teman-temanku yang ada disana menangis, termasuk ibuku. Ia seperti belum bisa menerima kenyataan bahwa aku telah pergi selamanya. Setelah semua orang meninggalkan pemakamanku, hujan turun dengan deras. Hal yang masih terpikirkan dikepalaku adalah, kuharap Danny dan keluarganya aman dan masih tetap hidup. Aku tahu mereka membenciku dan aku tidak bisa menyelamatkan mereka.
Dan aku tahu, pasti Danny, Ibunya dan para peri hingga saat ini masih ada. Mereka bersembunyi di tempat yang benar-benar aman. Mereka tinggal di tempat yang jauh dari manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar