Selasa, 24 Maret 2015

Pantun Jenaka

Hilir lorong mudik lorong,
Bertongkat batang temberau,
Bukan saya berkata bohong,
Katak memikul paha kerbau

Pantun Jenaka

Anak bakau di rumpun salak,
Patah taruknya ditimpa genta,
Riuh kerbau tergelak-gelak,
Melihat beruk berkaca mata

Pantun Jenaka

Pokok pinang patanya condong,
Dipukul ribut berhari-hari,
Kucing berenang tikus berdayung,
Ikan di laut berdiam diri

Pantun Jenaka

Jual betik dengan kandil,
Kandil buatan orang Inggeris,
Melihat buaya menyandang bedil,
dan kerbau tegak berbaris

Pantun Jenaka

Punggur berdaun di atas kota,
Jarak sejengkal dua jari,
Musang rabun,
helang pun buta,
Baru ayam suka hati

Pantun Jenaka

Anak dara Datuk Tinggi,
Buat gulai ikan tilan,
Datuk tua tak ada gigi,
Bila makan kunyah telan

Pantun Jenaka

Buah jering dari Jawa,
Naik sigai ke atas atap,
Ikan kering lagi ketawa,
Dengar tupai baca kitab

Pantun Jenaka

Anak cina menggali cacing,
Mari diisi dalam tempurung,
Penjual sendiri tak kenal dacing,
Alamat dagangan habis diborong

Pantun Jenaka

Jalan-Jalan ke Kota Sumedang..,
Ada Kambing Makan Rumput..,
Anak-anak pada Senang ..,
Melihat banci Bergoyang Dangdut..

Pantun Jenaka

Senangis letak di timbangan,
Pemulut kumbang pagi-pagi,
Menangis katak di kubangan,
Melihat belut terbang tinggi

Pantun Jenaka

Jalan-jalan ke Kota Arab,
Jangan lupa membeli kitab,
Cewek sekarang tidak bisa diharap,
Bodi bohai betis berkurap

Pantun Jenaka

Ada buah manggis,
Ada juga buah anggur,
Awalnya romantis,
Pas tekdung malah kabur

Pantun Jenaka

Ada apa diseberang itu,
Mentimun busuk dimakan kalong,
Ada apa diseberang itu,
Bujang bungkuk gadis belong

Pantun Jenaka

Orang Sasak pergi ke Bali,
Membawa pelita semuanya,
Berbisik pekak dengan tuli,
Tertawa si buta melihatnya

Pantun Jenaka

Naik kebukit membeli lada,
Lada sebiji dibelah tujuh,
Apanya sakit berbini janda,
Anak tiri boleh disuruh

Pantun Jenaka

Sakit kaki ditikam jeruju,
Jeruju ada didalam paya,
Sakit hati memandang susu,
Susu ada dalam kebaya

Pantun Jenaka

Limau purut di tepi rawa,,
Buah dilanting belum masak,
Sakit perut sebab tertawa,,
Melihat kucing duduk berbedak

Pantun Jenaka

Elok berjalan kota tua,
Kiri kanan berbatang sepat,
Elok berbini orang tua,
Perut kenyang ajaran dapat

Pantun Jenaka

Ikan gabus di rawa-rawa,
Ikan belut nyangkut di jaring,
Perutku sakit menahan tawa,
Gigi palsu loncat ke piring

Pantun Nasehat

Menepuk air di bak mandi,
terpercik muka sendiri.
Bila ingin setiap waktumu berarti,
jangan terjebak rutinitas sehari-hari.

Pantun Nasehat

Di gunung sana kau suka berlibur
Di gunung sini kau suka tertawa
Bila sudah masuk kubur
Hanya amal yang dibawa

Pantun Nasehat

Jalan-jalan ke kota Blitar
jangan lupa beli sukun
Jika kamu ingin pintar
belajarlah dengan tekun

Pantun Nasehat

Ngun Syah Betara Sakti
Panahnya bernama Nila Gandi
Bilanya emas banyak dipeti
Sembarang kerja boleh menjadi

Pantun Nasehat

Padang tamu padang baiduri
Tempat raja membangun kota
Bijak bertemu dengan jauhari
Bagaikan cincin dengan permata

Pantun Nasehat

Parang ditetak kebatang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu

Pantun Nasehat

Kayu cendana diatas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang

Pantun Nasehat

Kayu cendana diatas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang

Pantun Nasehat

Bikin kue dari buah
Buahnya apel sama delima
Bila engkau suka berdakwah
Dakwahlah seperti ulama

Pantun Nasehat

Hati-hati membeli rokok
Karena rokok panjang-panjang
Hati-hati memilih cowok
Karena cowok mata keranjang

Pantun Nasehat

Tiap nafas tiadalah kekal
Siapkan bekal menjelang wafat
Turutlah Nabi siapkan bekal
Dengan sebar ilmu manfaat

Pantun Nasehat

Ke hulu membuat pagar,
Jangan terpotong batang durian;
Cari guru tempat belajar,
Supaya jangan sesal kemudian.

Senin, 23 Maret 2015

Pantun Nasehat

Jangan patahkan atap mengkuang
Atap patah kumbangpun lalu
Jangan patahkan cakap orang
Cakap patah orangnya malu

Pantun Nasehat

Kalau ranting sudah bertangkai
Janganlah dililit-lilit juga
Kalau berunding sudah selesai
Jangan diungkit-ungkit juga

Pantun Nasehat

Kalau memagar rumpun bawang
Pagar dahulu lapis berlapis
Kalau mendengar pengaduan orang
Dengarkan dulu habis-habis

Pantun Nasehat

Jangan mengipas-ngipas arang
Kalau dikipas banyak baranya
Jangan memanas-manaskan orang
Kalau panas banyak maraknya

Pantun Nasehat

Hari panas jangan ke laut
Kalau ke laut kapal tergalang
Hati panas jangan diturut
Kalau diturut akal pun hilang

Pantun Nasehat

Kalau ada jarum yang patah
Jangan simpan dalam peti
Kalau ada kata yang salah
Jangan simpan dalam hati

Pantun Nasehat

Kalau keladi sudah ditanam
Janganlah lagi meminta talas
Kalau budi sudah ditanam
Janganlah lagi meminta balas

Time to Come a Freedom for Palestina

“Assalamualaikum anak-anak!” Ujar Abi Salman.
“Waalaikumsalam Biiiiiiiiii.” Jawab anak-anak.
“Nah anak-anak, sekarang kita akan mempelajari matematika. Ayo buka halaman 70.”
Semua murid mulai membuka bukunya, tetapi ada seorang gadis yang hanya melihat keluar jendela. Karena terus melihat ke arah jendela, Abi Salman menegur gadis tersebut.
“AISYAH! AISYAH!” Panggil Abi Salman.
Aisyah terkejut dan bertanya,
“Ada apa Bi?” Tanya Aisyah. Semua murid tertawa mendengar jawaban Aisyah.
“Sekarang kamu buka buku matematika halaman 70.”
“Baik Bi.” Jawab Aisyah langsung membuka buku matematikanya.
BUUUUUUMMMMMBUUUUUUUMMMMM, terdengar suara ledakan dari arah luar.
“Astagfirullah, apa itu?” Tanya Abi Salman.
Anak-Anak yang lain ketakutan dan menangis. Aisyah yang melihat temannya menangis, langsung menyemangati mereka semua.
“Teman-teman, kita harus tetap tegar. Jangan takut dan jangan bersedih, karena Allah akan selalu melindungi kita.”
“Kamu benar, kita tidak boleh takut. Soalnya yang kita takuti hanya Allah SWT.” Jawab Ahmad.
Mendengarnya, teman-teman yang lain langsung berdiri tegak dan berkata “Kita harus berjuang. Allah Akbar.” Sambil berteriak beberapa kali.
Lalu mereka keluar dari sekolah, saat keluar terlihat dimana-mana banyak gedung-gedung yang runtuh. Langit mulai hitam, manyat dimana-mana. Mereka mencemaskan keluarga mereka, mereka takut akan menjadi yatim piatu. Bergegas mereka langsung berlari ke rumah masing-masing. Aisyah berlari dengan sangat kencang, ia takut akan kehilangan ibu dan kakaknya setelah kematian ayahnya saat ia berumur 7 tahun. Sesampainya dirumah, Aisyah langsung masuk dan mencari ibu dan kakaknya.
“UMIIIIIII, KAKAAAAAAAKKKKK. Kalian di manaaaaa?”
“AISYAH! AISYAH! Kami disini, tolong kami…” Terdengar teriakkan di dalam lemari.
“UMI! KAKAK! syukurlah kalian selamat. Aisyah takut, kalian akan ditangkap para tentara Israel itu.” Ujar Aisyah memeluk umi dan kakaknya.
“Umi juga takut terjadi apa-apa dengan anak Umi.”
“Umi, Aisyah, sebaiknya kita segera pergi ketempat pengungsiaan. Nanti tentara Israel datang kesini.” Ujar Kak Fatimah.
“Benar, ayo kita segera pergi.” Ujar Umi Aisyah.
Sesampainya mereka di tempat pengungsiaan, mereka melihat banyak orang yang terluka parah akibat terkena tembakan, dan banyak juga orang yang meninggal. Aisyah yang celingak-celinguk mencari guru dan teman-temannya. Lalu terlihatlah Siti dan keluarganya yang sedang mengobati luka ibunya.
“Siti.” Ujar Aisyah menyentuh pundak Siti.
“Aisyah! kamu baik-baik saja?” tanya Siti.
“Alhamdulillah aku baik-baik saja, kamu gimana?”
“Alhamdulillah juga baik.”
Mereka keasyikan mengobrol sampai adzan azhar berkumandang. Mereka cepat-cepat mengambil air wudhu di dekat sungai, karena hampir seluruh masjid dihancurkan oleh tentara Israel. Setelah shalat berjamaah bersama-sama, mereka semua berdoa agar di beri keselamatan.
“Ya Allah, ya Tuhanku, ampunilah dosa hamba dosa umi hamba dan dosa kakak hamba. Berikanlah keselamatan kepada kami semua agar kami bisa bertahan dari serangan orang-orang Israel. Amiiiiinnnnn.” Ujar Aisyah dalam hati yang meneteskan air mata.
Sudah seminggu Aisyah dan keluarganya tinggal ditempat pengungsian, dan semakin banyak orang-orang yang terkena serangan Israel. Aisyah yang tak tahan lagi dengan serangan Israel, segera menyuruh teman-temannya berkumpul dan menyusun rencana untuk penyusupan ke ruang senjata Israel.
Setelah menyusun rencana kira-kira setengah jam, rencana pun selesai. Mereka juga mengajak seluruh pengungsi di tenda untuk bersatu melawan Israel. Sekitar 3 jam mereka menyusup ke ruang senjata tentara Israel tanpa diketahui oleh tentara Israel dan mereka membawa hasil yang memuaskan dengan membawa 5 pisau, 10 postol, 20 Ak47, 37 granat, basoka 1 unit, GLM 5 unit, dan 10 gas air mata.
Selesai menyusun rencana penyerangan kami semua berpencar menjadi beberapa bagian sesuai dengan rencana. Aisyah, teman-temannya dan Abi Salman dan yang lainnya pergi untuk menghancurkan benteng mereka. Setelah berhasil melumpuhkan benteng, mereka terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Mereka terus berperang dengan tentara sampai waktu subuh dan akhirnya usaha mereka selama ini membuahkan hasil yang sangat membahagiakan. Seluruh rakyat hanya bisa bersyukur kepada Allah SWT dan beseru “Allah Akbar dan Alhamdulillah” berkali-kali.
Akhirnya, perjuangan para rakyat Palestina berhasil mencapai kesuksesan. Sekarang rakyat Palestina sudah merdeka dan tidak perlu takut lagi akan ancaman rakyat Israel. Sedangkan rakyat Israel, mereka mundur dari Palestina dan menyatakan kemerdekaan negara Palestina. Kejadian ini membuat para seluruh umat islam di dunia bahagia akan perjuangan kami rakyat Palestina.
Sekarang Aisyah dan teman-temannya sudah bisa bersekolah dengan tenang. Tidak ada lagi penjajahan Israel. Dalam waktu 1 bulan, mereka sudah bisa membangun lagi negara Palestina, gedung-gedung pun sudah mulai direnovasi. Aisyah dan teman-temannya sangat bahagia, karena mereka sudah bebas dari penjajahan. Sembangan dari negeri-negeri tetangga pun mulai berdatangan. Aisyah dan keluarganya mendapatkan rumah baru dari pemerintah.
Keesokan harinya…
“Assalamualaikum anak-anak…” ujar Abi Salman.
“Waalaikumsalam Abi Salman…” Jawab mereka serentak.
“Bi? sekarang kita belajar apa?” Tanya Faqih.
“Nah, sekarang kita akan belajar pelajaran tentang Agama Islam. Buka bukunya dan buka halaman 60.”
“Baik Bi.” Jawab mereka serentak.
“Aisyah, kamu sedang apa?” tanya Abi Salman
“Saya sedang menggambar ini Bi.” Ujar Aisyah sambil menunjukkan gambar Palestina merdeka.
“Wah Aisyah, gambar kamu bagus sekali. Pertahankan ya, tetapi sekarang kamu berhenti menggambar dulu. Karena sekarang kita akan belajar Agama Islam.” Ujar Abi Salma lembut.
“Baik Bi.”
THE END

Sepasang Teratai Muda

ndonesia adalah negara sedang berkembang, dimana masih banyak terdapat kekayaan alam yang belum dapat diungkap keberadaannya. Juga kota-kota besar yang katanya di sana berkumpul semua orang-orang berjas dan berdasi, juga bertabur berbagai fasilitas mewah kehidupan, seperti Mall, Hotel, Perumahan, Restoran, Taman Hiburan, Diskotik, dan masih banyak yang lainnya.
Jakarta adalah Ibu kota dari Indonesia sendiri. Yang katanya, kota dimana pusat pemerintahan, politik, korupsi, dan kemewahan ada di dalamnya, termasuk juga kriminalitas dan terutama kemiskinan pastinya.
Di tengah-tengah kota Metropolitan yang sangat sibuk dan dibangga-banggakan itu, ternyata masih ada tinggal jutaan orang-orang miskin bahkan di bawah kategori miskin. Dan di sana hiduplah sepasang bersaudara Ayu, yang masih berumur 10 tahun, dan adiknya Neil, yang berumur 7 tahun.
Mereka berdua ditinggal mati kedua orangtuanya saat Ayu masih berumur 8 tahun. Yang mereka tahu orangtua mereka meninggal karena sakit keras. Kini mereka tinggal di tepi jalanan. Gubuk kecil peninggalan orangtua yang ada di kampung kumuh mereka, tempo hari sudah diratakan oleh orang-orang berjas dan berdasi yang tidak bertanggungjawab. Yang mereka dengar dari orang-orang sekitar, katanya tanah itu akan dijadikan perluasan untuk pembangunan sebuah pusat perbelanjaan. Lagi-lagi generasi bangsa seperti mereka harus disingkirkan oleh orang-orang berjas yang begitu tergiur dengan lembaran rupiah.
Tapi hal itu tidak membuat Ayu dan Neil cengeng. Mereka terus berusaha dan bekerja keras untuk mengisi sejengkal perut lapar mereka. Dari pagi hingga sore mereka harus menapaki kota Metropolitan itu untuk mencari botol-botol minuman bekas dan dijual pada bandar pemulung. Sehari mungkin mereka hanya mendapatkan uang sebesar sepuluh hingga lima belas ribu rupiah untuk 1 kilogram botol minuman yang sudah susah payah mereka kumpulkan. Tapi mereka tidak pernah bersungut-sungut. Uang yang mereka dapat mereka belikan untuk satu bungkus nasi dan satu plastik kecil air minum, dan mereka bagi berdua. Ketika malam tiba, mereka hanya tidur di pinggir jalan beralaskan aspal. Tubuh mereka hanya dibalut sepasang baju kumel. Dinginnya malam yang menusuk dan mencabik tiap lapisan kulit mereka, tidak lagi mereka hiraukan. Mereka hanya saling berpelukan satu sama lain ketika angin malam sudah semakin menusuk ke lapisan kulit terdalam mereka.
Suatu sore di tengah kerlip lampu jalanan dan mobil mewah yang lalu lalang, Ayu dan Neil duduk di pinggiran jalan untuk memakan satu bungkus nasi yang mereka beli dari hasil memulung sejak pagi hari.
“Kakak! Ayo cepat dibuka! Aku sudah lapar!!”
“Iya! Iya! Ini juga lagi dibuka!” kata Ayu sambil ligat membuka karet yang mengikat nasi bungkus itu.
Setelah bungkusan nasi terbuka, Ayu meletakkannya di antara mereka berdua lalu berdoa dan mengucapkan syukur atas apa yang mereka dapatkan hari itu. Setelah selesai berdoa, segera mereka mencuci sedikit tangan kanan mereka dan mulai menyuapi nasi ke dalam mulut mereka. Tapi tiba-tiba datang seorang nenek tua renta dan bungkuk menghampiri mereka.
“Nak?” kata nenek itu dengan suara yang gemetar. Segera Ayu dan Neil menghentikan rayap tangan mereka pada nasi bungkus itu.
“Ada apa, nek?” tanya Ayu pada nenek itu.
“Anu?.. Nenek lapar, sudah dua hari nenek belum makan apa-apa..”
Sejenak Ayu menatap nasi bungkus itu, kemudian tanpa ragu ia berkata..
“Kalau begitu, nenek makan saja nasi kami ini. Tadi kami sudah makan beberapa suap, kok?!” kata Ayu, sambil mendekatkan nasi bungkus itu pada nenek tua itu.
“Lagian kami sudah kenyang kok, nek!” sambung Neil.
“Aduh! Terimakasih banyak ya, nak?!” kata nenek tua itu sambil duduk di hadapan nasi bungkus itu dan mulai menyuapi nasi dengan lahap ke dalam mulutnya.
Ayu dan Neil hanya melihat nenek tua itu makan. Meski sebenarnya mereka masih sangat lapar. Tapi kemurahan hati dan rasa belas kasihan mereka, membuat mereka tidak enggan dan tidak menyesal memberikan nasi itu pada nenek tua renta dan bungkuk itu.
Beberapa saat kemudian nenek tua renta itu sudah membersihkan lembar kertas dari semua butir nasi.
“Alhamdulillah! Terimakasih banyak ya, nak? Kalau tidak karena kemurahan hati kalian, nenek pasti sudah mati kelaparan!”
“Kami senang bisa membantu nenek!” jawab Ayu dengan senyum.
Kemudian nenek itu membuka ikatan kain yang dibawanya, lalu diambilnya sehelai kain panjang yang terlihat masih bagus.
“Ini nenek berikan untuk kalian. Anggap saja sebagai rasa terimakasih nenek.”
“Tidak perlu, nek! Kami iklas, kok!” jawab Ayu.
“Tolong terimalah! Nenek akan merasa sangat menyesal jika kalian tidak mau manerimanya. Lagipula nenek masih punya satu lagi!” kata nenek itu sambil menyerahkan kain panjang itu ke tangan Ayu.
“Kalau begitu terima kasih banyak ya, nek?!”
“Sama-sama!” ucap nenek itu dengan senyum dan mulai beranjak dari situ, meninggalkan Ayu dan Neil.
Sejenak Neil menatap lembar kertas yang telah bersih itu.
“Kak? Aku masih lapar…”
“Kakak juga lapar. Tapi kita seharusnya bersyukur, karena kita masih bisa makan hari ini, meski hanya beberapa suap. Sedangkan nenek itu sudah dua hari belum makan, kita tidak tahu apakah besok dia akan dapat makan atau tidak?”
“Kakak benar!?”
“Begini saja! Kita tidur sekarang supaya laparnya tidak terasa!”
“Emm.. Iya.” angguk Neil dengan senyum.
Lalu Ayu membentangkan kain panjang pemberian nenek tua itu. Setelah itu mereka berdua merebahkan tubuhnya di atas kain panjang itu. Lelah tubuh mereka, membuat mereka semakin cepat terlelap, keributan lalu lintas tak lagi mengganggu tidur mereka. Hembusan angin malam yang merobek pori-pori kulit mereka, membuat mereka semakin berpeluk erat antara satu dengan yang lainnya, setidaknya hal itu dapat menghangatkan sedikit rasa dingin pada kulit mereka.
& & &
Sore itu, seperti biasa Ayu dan Neil mencari tepi jalan yang aman untuk tempat mereka beristirahat dan menikmati sebungkus nasi hasil jerih payah mereka satu harian.
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya Ayu menemukan tempat yang nyaman dan aman. Tapi mereka harus menyeberangi jalan raya. Dengan hati-hati Ayu menggandeng tangan adiknya untuk mulai melangkah menyebrangi jalan raya. Tapi dari kejauhan Neil melihat mobil mini bus melaju dengan kencang. Sontak ia langsung menarik tangan Ayu ke pinggir, tapi sayangnya nasi itu terjatuh dan mobil mini bus itu menggilas nasi mereka.
Dengan sedih Ayu melangkah hati-hati untuk mengambil nasi bungkus yang sudah tergilas itu, dan dibawanya ke pinggir jalan.
“Yah kak?! Nasinya sudah kotor?!” ucap Neil dengan sedih.
“Maaf ya, Neil? Kakak tidak hati-hati.”
Kemudian digandengnya kembali tangan Neil sambil memegang nasi bungkus itu. Dan dengan hati-hati mereka mulai menyeberang, dan akhirnya sampai pada tepian jalan yang ada di seberang.
Kemudian duduklah sepasang bersaudara itu, sambil Ayu meletakkan nasi bungkus kotor itu di antara mereka. Dengan segera Ayu mencubili butir nasi kotor dan membuangnya, Neil pun turut membantu. Setelah dibersihkan, ternyata hampir habis setengah dari porsi yang sebelumnya. Yang tadinya cukup untuk dibagi dua, kini hanya cukup untuk satu orang saja.
“Sudah! Kamu saja yang makan?! Kakak tidak lapar, kok?!” kata Ayu menyerahkan nasi itu pada Neil. Tapi Neil yang tahu kalau Ayu sangat lapar, segera membagi dua nasi itu lalu meletakkannya di antara mereka.
“Kakak? Kakak juga harus makan! Kita cuma hidup berdua, apapun yang kita miliki harus dibagi dua. Lagian kalau kakak sakit terus pergi meninggalkan Neil… Neil akan tinggal dengan siapa lagi?”
Ayu sangat terharu dengan ucapan adiknya itu.
“Kalau begitu… Kita makan sama-sama, ya?!”
Setelah mereka selesai makan, mereka mencuci sedikit tangan kanan mereka dengan sebungkus kecil air minum yang tadi dipegang oleh Neil, kemudian mereka berbagi air minum itu. Setelah itu mereka membaringkan tubuh mereka di atas dinginnya aspal tepi jalanan dan mereka menyelimuti tubuh mereka dengan kain panjang itu.
Esok pagi sekitar jam empat pagi-pagi buta, mereka sudah bangun dari tidur mereka. Segera Ayu melipat dua kain panjang itu dan melilitkannya pada lehernya, kemudian mereka mulai berjalan menyusuri tepi jalanan untuk mulai mengumpulkan botol minuman bekas. Sesekali mereka berpencar untuk bisa mengumpulkan lebih banyak botol minuman bekas.
Matahari mulai meninggi tepat di atas kepala mereka. Teriknya matahari yang membakar kulit mereka dan panasnya aspal jalanan yang membakar telapak kaki mereka, tak menyusutkan semangat mereka untuk terus mengumpulkan botol-botol minuman bekas. Tapi ganasnya sinar manatahari membuat mereka haus.
“Kakak, aku haus?” ucap Neil sambil menatap kakaknya.
“Kakak juga haus.. Begini saja! Kita mengamen sebentar, mana tahu ada orang yang berbaik hati memberikan kita beberapa recehan?!” Usul Ayu pada Neil.
“Ya! Ya! Aku setuju?!”
Segera Ayu dan Neil berjalan mencari perempatan jalan yang terdekat, kemudian meletakkan karung tempat botol bekas mereka di pinggiran jalan. Ketika lampu merah, Ayu dan Neil turun ke jalanan dan mendatangi satu per satu kendaraan beroda empat sambil bernyanyi dan bertepuk tangan. Tapi tak satu pun dari mereka yang mau memberikan recehan.
Lampu merah berikutnya, mereka kembali turun ke jalanan. Mereka menghampiri sebuah mobil mewah, kemudian bernyanyi sambil bertepuk tangan.
“Indonesia… tanah airku… Tanah tumpah darahku… Di sanalah aku berdiri.. Jadi pandu ibuku…” Ayu dan Neil bernyanyi dengan riang.
Kemudian pengemudi mobil itu membuka kacanya…
“Hehh!! Bisa diem gak sich loe?!! Loe nyanyi lagu apaan sich?!! Kampungan banget lagu loe!! Emang loe pikir ini tujuh belasan apa?!!! Udah! Udah! Pigi loe dari mobil gue! Ntar lecet lagi!” bentak pemudi yang mengendarai mobil mewah itu, seraya menutup kembali kaca mobilnya.
Segera Ayu dan Neil meninggalkan mobil itu. Tapi kemudian ada seseorang wanita yang mengendarai sepeda motor memanggil mereka. Segera mereka menghampiri wanita itu.
“Ada yang bisa kami bantu, buk?” tanya Ayu.
“Ah, tidak?! Ini ibuk kasih sedikit uang untuk kalian?!” kata wanita itu sambil menyerahkan selembar uang limaribu.
“Tapi buk, kami tidak bisa menerimanya. Kami tidak melakukan apa-apa untuk ibuk?!”
“Ada kok? Dari tadi ibuk mendengarkan nyanyian kalian?! Ibuk senang sekali masih ada anak-anak seperti kalian yang mau menyanyikan lagu-lagu nasional. Jadi diterima, ya?!” kata wanita itu sambil menyodorkan kembali uang tersebut.
“Terimakasih banyak ya, buk?!” kata Ayu dengan wajah yang gembira sambil menerima uang itu.
Segera mereka pergi meninggalkan jalan raya dan menuju ke tepi jalan tempat mereka meletakkan karung mereka. Segera Ayu mengangkat karung itu dan menggandeng tangan Neil untuk mencari warung kecil.
Setelah menemukan warung, segera Ayu membeli dua buah aqua gelas, lalu membaginya pada Neil kemudian mereka meminumnya.
“Kakak… Neil lapar.”
“Gimana kalau kita beli kue basah tiga bungkus dan dua aqua gelas lagi?!”
“Yaa?!” ucap Neil dengan semangat.
Segera Ayu menghabiskan sisa uang itu untuk membeli tiga bungkus kue basah seharga seribu rupiah dan dua aqua gelas seharga limaratus rupiah. Lalu segera Ayu memberikan sebungkus roti pada Neil dan sebungkus lagi untuknya dan satu bungkus lagi dibaginya dua. Lalu dibaginya satu aqua gelas pada adiknya. Dan segera mereka memakannya dengan lahap.
“Kenyang!!” ucap Neil.
“Ya sudah, ayo kita lanjut nyari botol minuman?!”
“Ayo! Kalau sudah kenyang begini, rasanya mencari botol minuman bekas sampai besok pun, Neil tetap semangat?!”
Mereka kembali menyusuri tepi jalanan, tak lupa juga mereka memasukkan botol aqua gelas milik mereka tadi. Haripun semakin sore, Ayu dan Neil segera pergi menuju tempat penyerahan barang-barang bekas yang selalu mereka datangi.
Tapi setibanya di sana alangkah terkejutnya mereka melihat tempat itu bagai diamuk angin topan. Semua tempat yang terbuat dari tepas-tepas sudah dihancurkan dengan mobil-mobil berat, dan semua barang-barang bekas diangkat dengan mobil pengkeruk dan dipindah ke tempat pembuangan sampah.
Ayu dan Neil yang penasaran, segera mananyakan penyebab hal itu pada orang sekitar yang sedang lewat.
“Pak? Pak?! Kenapa tempat ini dihancurkan?!” tanya Ayu.
“Aduh dek?! Yang bapak dengar, katanya di sini mau dibangun ruko.”
“Ohh, makasih ya, pak.”
Dengan perasaan kecewa dan sedih Ayu dan Neil meninggalkan tempat itu dan mulai mencari tempat untuk mengistirahatkan tubuh mereka.
Tapi tiba-tiba rintik air hujan mulai jatuh ke permukaan tanah. Segera Ayu dan Neil mencari tempat berteduh. Dan mereka menemukan lorong buntu di antara rumah-rumah dan segera mereka menuju ujung lorong itu dan duduk menyandar ke dinding yang di atasnya kebetulan ada atap bangunan yang dilebihkan sedikit, sehingga mereka terlindung dari rintik air hujan.
Tapi beberapa saat kemudian, hujan menjadi sangat lebat, angin bertiup semakin kencang. Segera Ayu menyelimuti tubuh mereka dengan kain panjang. Tapi hujan lebat itu membuat sedikit demi sedikit air merembes kepakaian mereka. Ditambah kencangnya angin, membuat tubuh mereka menggigil. Tapi mereka menghangatkan diri dengan saling berpelukan, hingga akhirnya mereka tertidur di tengah kencangnya angin dan lebatnya hujan.
Dalam kepolosan wajah mereka yang sedang tidur seakan ingin menyampaikan sesuatu kepada semua orang..
“Kami berharap tak akan ada lagi orang-orang dan teman-teman kami, yang mengalami nasib yang sama seperti kami. Kami berharap setetes kasih dan kepedulian dari orang-orang berjas dan berdasi untuk kami kaum miskin. Kami juga berharap ibu pertiwi semakin jaya kedepannya agar orang-orang seperti kami bisa merasakan sedikit kehidupan yang layak nantinya.
Salam perdamaian untuk negriku, Indonesia.”
Akhirnya sepasang teratai muda ini tidak sanggup bertahan lebih lama dari amukan hujan dan cambukan angin yang menghantam tubuh mereka.
Dan sekali lagi, generasi bangsa harus gugur di medan pertempuran melawan kejamnya orang-orang yang menduduki kursi berputar di kota Metropolitan.
Cerpen Karangan: Puspita Sandra Dewi
Blog: http://worldartsandra.blogspot.com
Puspita Sandra Dewi, atau lebih akrab dipanggil Puspita atau juga Sandra, lahir pada 17 September 1992 di Medan, Sumatera Utara. Ia adalah putri pertama dari J.M. Bangun dan D.R. Pardede, dan kakak dari Arjuna Walker dan Veronica Trisha.
Saat ini ia berkuliah di UKSW dan mengambil jurusan Teologi, angkatan 2010. Ia mulai menyukai dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku SMP kelas 2. Ia tidak hanya tertarik menulis novel, tetapi juga menulis cerpen, dan puisi-puisi. Selain menyukai seni menulis ia juga menyukai seni lukis.
Hobi yang digemarinya adalah membaca novel, cerpen, puisi, dan menikmati karya lukis. Ia menyukai olahraga renang. Ia juga tertarik membaca mitos-mitos dan mitologi. Novel yang paling dikaguminya adalah Sherlock Holmes karya Sir Athur Conan Doyle.

Lihat Semangat Kami

Cerita ini hanya fiksi. Terinspirasi dari film “LASKAR PELANGI” sapa tau bisa diangkat jadi film LASKAR PELANGI 2 ya, hahhahaha ( nghayal terus ).
Cerita tentang sekelompok anak yang ingin mengenyam pendidikan. Mirip layaknya cerita laskar pelangi. cerita ini diawali dari susahnya menikmati pendidikan yang layak bagi orang 2 yang tinggal di pedalaman.
Terletak di tepian sebuah perbukitan dan gunung dimana letaknya sangat jauh dari keramaian, dan di kawasan itu ada sekelompok masyarakat yang tinggal disana. Dengan kondisi yang seadanya, jalan yang ada pun hanya jalan setapak yang menghubungkan antar rumah ke rumah dan ke kampung yang agak ramai yang letaknya sekitar 20 km
Banyak generasi muda yang tidak mengenyam pendidikan, bahkan anak2 kecilpun enggan sekolah, bukan salah pemerintah yang tidak mendirikan sekolah disana, tapi memang tempatnya sulit di jangkau, dan tak banyak guru yang mau menjadi pengajar di desa kecil itu karena medan yang ditempuh cukup sulit dan akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit mereka bilang, gak cocok sama bayarannya. Mobil saja gak bisa masuk kesana, motor pun harus dengan susah payah mengendarainya. Apakah kita sebagai masyarakat sekitar desa itu, yang memiliki sedikit kelebihan baik itu pendidikan, pengetahuan, ataupun harta kita, hanya mau berdiam jika melihat kondisi seperti itu. hahhahaha. Tak banyak orang yang mau membantu soal pendidikan, katanya itu tugasnya Pemerintah, hahahhahaha. Lagi–lagi pemerintah yang disalahkan. hahhahahaha, padahal kita bisa melakukkannya tanpa bantuan pemerintah. Jangan salahkan pemerintah terus mari berkaca kepada diri sendiri, apakah kita sudah melakukan hal yang berguna bagi anak-anak yang putus sekolah, atau kita hanya cuek saja dan selalu menyalahkan pemerintah, atau ada juga guru yang selalu memandang imbalan atau gaji untuk melakukan pengajaran bagi anak didiknya, ataukah bantuan dari Pemerintah itu sudah datang tapi tidak sampai kepada mereka yang membutuhkan, ataukah kita sebagai masyarakat sekitar tak tahu kondisi sekitar kita, sehingga tidak tahu apa yang terjadi. Hahhahahahha, sudah biasa itu terjadi. Jangan cari siapa yang salah, tapi mari segera perbaiki kesalahan itu.
Dan apa boleh buat demi terciptanya pendidikan dan demi semangat mereka yang ada disana harus ada solusinya. Sementara ini mereka hanya belajar dari guru ngaji mereka serta otodidak baik dari koran maupun buku2 lainnya, sampai mereka bisa membaca karena diajari oleh orang tua masing2 bukan oleh guru sekolah.
Cerita ini diawali dari perbincangan beberapa orang anak di tempat Ditengah tengah kegiatan sehari2 mereka yang tak tentu. mereka punya keyakinan bahwa belajar dari ALAM dan agama itu sudah cukup bagi mereka. Mereka sama 2 membantu orang tua mereka, di tepian sungai di lereng gunung, ada yang memandikan sapi, ada yang mencuci baju, ada yang mencari kangkung, dan ada juga yang memancing,
Salah seorang anak sebut saja Edi berkata, “masa kita mau begini terus sampe tua?”.
Seorang lagi menjawab sebut saja Tini “Ya beginilah enaknya, daripada kita di kota yang ramai, dan memperburuk kehidupan kita, lebih baik kita disini nikmati alam kita, belajar dari alam”.
Berkata seorang lagi sebut saja Dono kepada temannya “Hahhahaha gak cukup itu semua, kita harus belajar semuanya, alam, agama, pendidikan, pengalaman, dll, supaya kita pandai”
Seorang anak lagi menjawab sebut saja Totok “Jangan menghayal, kalian, kerjakan saja apa yang kalian bisa kerjakan”
Seorang lagi bertanya sebut saja Dul “ah pendidikan?, makanan apa itu?”
Dono menjawab dengan hati yang penuh harap akan pendidikan dan hati yang tulus dan dia meminta Dul untuk meniupkan serulingnya selama dia berbicara dan dia berkata “pendidikan, sedih hatiku mendengar kata itu, karena kata itu hanya bisa kita dengar, tanpa kita rasa. Tapi kami tidak takut meski kami tidak mengenyam pendidikan, kami punya semangat dan hati yang besar yang akan membawa kami menuju impian dan cita-cita kami”.
Seorang anak lain lagi berkata sebut saja Teten “hahhaha, pendidikan itu artinya sekolah dul” dan Dono menjawab “bukan hanya sekolah, tapi kita belajar dari orang tua dan guru ngaji kita serta mentaati didikan mereka itu juga merupakan pendidikan, tau”
Seorang anak yang lain berkata sebut saja Tono “hahhaha betul betul, tapi gimana rasanya kalo sekolah ya?”
Dono menjawab “daripada penasaran setelah pekerjaan kita beres semua bagaimana kalo kita turun kebawah ke desa sebrang melihat anak2 sekolah sapa tau kita bisa pinjam buku mereka untuk belajar”
Tini menjawab “itu jauh, mungkin agak siang hari baru kita bisa sampai” Dono menjawab “kalo kau punya semangat mengapa tidak, bagaimana, siapa yang mau ikut?”
Mereka semua menjawab “ikuuuuuuuuuuuuuuuuuuttt”
Dono berkata “ok, setelah kalian selesai semua aku tunggu di jembatan merah dan kita turun ke desa sebrang, jangan lupa bawa bekal ya, hahhahahaha”
Setelah percakapan itu terjadi maka ke 7 anak itupun nekad turun ke desa sebrang hanya untuk melihat anak-anak sekolah, dengan jarak yang mereka tempuh sekitar 10 km, merekapun turun lewati jalan setapak, turun dan naik bukit, lewati persawahan yang hijau dan mereka tetap bersemangat.
Setelah lama berjalan kemudian sampailah mereka ke tembok pinggiran sekolah. Mereka terlihat capek dan lelah, bahkan ada seorang anak yang berkata, “gimana pulangnya nih, hahahha”, tapi lagi2 semangat mereka kalahkan kelelahan itu. Mereka mengendap ngendap mengintip dari jendela sebagian kelas dan memanjat tembok untuk lihat anak2 sekolah belajar. Seorang dari mereka ada yang mengangis, terharu, berpikir bahwa dunia tidak adil, sampai2 kami tidak bisa seperti mereka.
Mereka memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh salah seorang guru, bahkan seorang guru sempat melihat aksi itu tapi untungnya hanya dibiarkan saja, karena guru itu tau bahwa itu anak-anak itu dari lereng gunung yang ingin bersekolah. Untunglah guru itu adalah orang yang penyabar dan pengertian
Di sela-sela itu mereka main ke pintu halaman sekolah dan bekenalan dengan penjaga sekolah dan bertanya gimana caranya untuk bisa bersekolah? Sang penjagapun menjawab, harus daftar dulu bayar uang gedung, beli seragam, bayar spp, punya sepatu, dll. Sedih hati mereka mendengar itu. Rasanya hanya orang-orang yang memiliki uang yang bisa menikmati pendidikan. Lalu bagaimana dengan kami yang hanya punya semangat dan sebongkah hati dan sebongkah harapan yang ingin mengenyam pendidikan seperti mereka yang adadi sekolah itu.
Mereka sering menjadi olok-olokan anak-anak sekolah karena pakaian mereka yang compang camping, kotor tanpa alas kaki. Bahkan pada suatu hari ketika mereka pergi ke sekolah itu, sempat ada yang mengejeknya dan mengatakan kepada mereka.
Sebut saja Adi, “ngapain kalian kesini, pulang sana, mandiin sapi, ato nyangkul, hahahhaa” ,
Dono pun si anak desa gunung itu menjawab “memang beginilah kami, kami tidak bersekolah, tapi asal kau tau, suatu saat semangat dan hati kami akan kalahkan kalian semua yang ada disini, terima kasih,”
Dengan hati yang panas merekapun pulang dan terus semangat dari hari ke hari terus belajar lewat apapun juga, termasuk mengintip di sekolah,
di saat yang lain juga mereka sempat diusir oleh penjaga sekolah karena mengintip pelajaran di kelas-kelas lewat jendela, ada sebagian guru yang tidak senang dan merasa terganggu ketika mereka melakukan aktivitas itu. tak banyak guru yang membiarkan mereka mengintip lewat jendela itu, mereka sering diolok olok oleh anak2 yang ada didalam ruangan kelas, itu. Sempat juga mereka di teriakin maling, dan sempat juga dilempar penghapus papan tulis, dll, tapi mereka cuek aj, yang ada dalam diri mereka hanya semangat untuk belajar tak hiraukan yang lain.
Berbeda dengan guru yang penyabar itu sebut saja namanya Bono, ketika mereka melakukan aktivitas mengintip itu, dia membiarkan saja, karena dia tahu betapa mahalnya untuk sekolah, bahkan sempat ada murid di kelas yang protes dan berkata “pak usir saja anak desa itu, itu mengganggu kami”
Sang guru Bono menjawab “dengan apa mereka mengganggu?, apa mereka berisik, apa mereka melemparimu dengan batu, atau mereka mengolok2 kamu, tapi justru sebaliknya, yang kalian lakukan di kelas ini, kalian sering ribut, tidak mendengarkan pelajaran dari guru, bahkan sering lempar-lemparan satu sama lainnya, hai kamu yang protes, saya bertanya kepada kamu, apakah kamu yang memberi makan mereka, atau kamu yang sudah melahirkan dan merawat mereka sehingga kamu punyak hak untuk usir mereka dari jendela, ingatlah, kita harus bersyukur, kalian bisa sekolah, tidak harus mengintip seperti mereka yang diluar”
setelah sang guru itu menasehati murid dikelasnya, tak ada satupun murid yang berani berkomentar, mereka mulai berpikir dan berkaca kepada diri sendiri.
Sempat juga pada suatu ketika ke 7 anak itu berkenalan dengan salah seorang murid yang kasian meliat keseharin mereka, sebut saja Nina dan dia sering memberikan buku pelajaran sekolahnya kepada ke 7 anak itu. Salah seorang anak desa itu berkata “mengapa hanya kamu yang baik dan perhatian kepada kami, sementara yang lain lihatlah, asik dengan sendirinya tanpa ada rasa apapun terhadap kami, yang ada mereka hanya mengejek kami”
Nina menjawab “ya mungkin mereka belum pernah merasakan menjadi keluarga miskin tidak punya uang untuk sekolah, sehingga mereka tak mengerti hal-hal yang begini”
Dono si anak desa itu berkata “emangnya kamu pernah miskin “
Nina pun menjawab “dulu orang tuaku hanya biasa2 saja, aku sempat putus sekolah, karena kurang biaya, akhirnya TUHAN memberikan rejeki kepada keluarga kami, makanya aku tahu gimana rasa dan hati kalian sama seperti aku waktu dulu”
Nina juga sering menfotokopi buku2 sekolah dengan menyisihkan sedikit uang sakunya dan di dia berikan kepada ke 7 nak itu. Sungguh mulia hati Nina sang murid ini, dengan memangkas uang sakunya dia rela berkorban bagi anak2 itu. Lalu bagaimana dengan kita dan masyarakat sekeliling kita, banyak rumah 2 mewah bertebaran, gaji yang besar setiap bulannya, tapi tak jarang yang menyisihkan sebagian berkatnya untuk membantu anak2 putus sekolah. Tak malukah kita kepada Nina sang murid ini, hanya dengan memangkas uang sakunya dia mau untuk membantu ke 7 anak itu.
Karena keseringan aktivitas mengintip itu, akhirnya terdengar juga kegiatan mereka ke telinga kepala sekolah. Banyak guru dan murid yang protes karena aksi mereka, dan tak banyak guru yang membela mereka. Sang kepala sekola pun menjawabnya sama dengan sang guru yang baik itu dengan perkataan yang hampir sama di berkata kepada semua guru dan murid ketika upacara sekolah,
dia berkata “saya mendengar kabar kalo ada yang sering mengintip pelajaran di sekolah ini lewat jendela. Tolong beritahukan kepada saya dimana letak kesalahan anak-anak yang sering mengintip itu. Apa dia mengganggu? dengan apa mereka mengganggu, apa mereka berisik, apa mereka melemparimu dengan batu, atau mereka mengolok-ngolok kamu, tapi justru sebaliknya, yang kalian lakukan di kelas ini, kalian sering ribut, tidak mendengarkan pelasaran dari guru, bahkan sering lempar lemparan satu sama lainnya, kita semua harus bersyukur, kalian bisa sekolah, tidak harus mengintip seperti mereka yang diluar, harusnya kita semua bisa membantu mereka, bukan mempersulit keadaan mereka, saya akan biarkan ini dan mencari solusinya, selama mereka tidak menagganggu ketertiban di sekolah ini”
Tanpa mereka sadari kegitan itu sudah hampir sebulan mereka lakukan dan merekapun mendapat pelajaran yang sama dengan yang anak yang di dalam sekolah. Setiap melakukan kegiatan itu mereka membawa buku dan alat tulis untuk mencatat dan mempelajari semuanya.
Pada suatu saat, ketika mereka sedang mengintip, Seorang guru yang penyabar itu ( pak Bono ) yang sempat mengetahui kelakuan ke 7 anak itu, keluar dari halaman sekolah dan mengendap ngendap menghampiri ke 7 anak itu. Mereka sungguh kaget, ada yang lari ke tengah sawah, ada yang jatuh dari jendela,
tapi sang guru itu berkata “jangan lari kalian semua, aku bukan harimau, aku tidak mengusir kalian”
seorang anak berkata (Tinem) dengan muka yang penuh sedih dan pasrah dengan penuh semangat “pak bolehkan kami mengintip dan menikmati pelajaran itu karena kami tak mampu bersekolah?“
Sang guru Bono pun menangis mencucurkan iar matanya tak mampu berkata apa-apa, tertegun sejenak sambil mengambil kertas yang digemgam anak itu,
dan berkata, “boleh bapak lihat apa isi kertas itu, sang guru pun bertambah sedih dan semakin deras air matanya keluar, dan berkata “sungguh hebat kalian, anak-anak yang di dalam sana belum tentu bisa menangkap pelajaran saya, tapi kamu dengan keadaan yang seperti ini memanfaatkan semuanya, dan membuat itu menjadi berguna”
sang guru pun bertanya “dimana kalian belajar menulis dan membaca?” Dono si anak desa itu menjawab “dimana saja pak, di guru ngaji kami, di orang tua kami, pokoknya semua, pak, yang bisa membaca dan menulis kami akan minta mereka untuk mengajari kami, meskipun tak seperti belajar di sekolah, tapi kami sudah bersyukur kami bisa mendapatkan itu dari sebagaian masyarakat desa kami.”
seorang anak lain menjawab (Totok) “itu semua kami lakukan karena semangat kami pak. Kami memang begini keadaannya, tak punya apa2, kami hanya punya semangat dan hati yang besar pak”
sang guru pun mengusap air matanya dan menjawab, “dengan apa yang aku punya baik itu kemampuan tenaga, atau apapun itu, aku bersumpah akan merubah kalian semua” dan merekapun saling berpelukan satu sama lain termasuk guru itu.
Setelah itu sang guru Bono pun berkata “baiklah, silahkan kalian lanjutkan mengintipnya, tapi ingat jangan berisik ya! besok hari minggu tunggu aku di desa kalian aku akan datang dan kita buat rencana”.
Ke 7 anak itu pun berpamitan pulang dan dengan senang dan girang, karena mendapatkan perhatian dari salah seorang guru itu. Mereka saling bersenda gurau dan berkata “itulah yang kita punya, hanya semangat yang bisa kalahkan dan merubah semuanya, terimah kasih ya ALLAH, engkau sudah mendengarkan isi hati kami, dan merekapun sama2 bersujud menunjukkan rasa terima kasih itu kepada sang PENCIPTA.
Hari yang mereka tunggu-tungggu adalah MINGGU masih 2 hari lagi, hati merekapun tak sabar, mereka tetap melakukan kegiatan mengintip pelajaran itu dengan penuh semangat.
Tiba di hari minggu pagi yang cerah, sang guru Bono tadi berangkat pagi hari menuju desa terpencil itu, ditengah jalan guru itu sempat menangis, dan berkata “oh TUHAN, sungguh jalan yang berat untuk sampai ke desa itu, tapi aku tak habis pikir, mereka bisa sampai ke sekolah dengan jalan kaki, mereka punya semangat yang tinggi, kalo mereka bisa, mengapa kau tidak?” Dengan berbekal mengingat ucapan dari ke 7 anak itu bahwa, “semangat akan kalahkan semuanya” diapun terus memacu motor bututnya untuk sampai ke desa itu.
Sementara sang guru sedang dalam perjalanan, ke 7 anak itu sudah bersiap menunggu di depan jembatan masuk ke desa mereka.
Seorang anak berkata ( Dul ) “pak guru itu gak mungkin datang, lebih baik kita pulang saja lanjutkan pekerjaan kita”.
Dono menjawab “Dimana Semangat kalian, apa sudah hilang?”
dan Tini pun berkata “lebih baik kita berdoa saja semoga pak guru itu datang “
Satu jam berlalu, akhirnya pak guru itu sampai ke desa mereka, ke 7 anak itu pun senang riang bahwasannya sang guru itu menepati janjinya.
Akhirnya sang guru pun diajak ke suatu tempat,
Dono berkata “pak motornya tinggal disini aj, gak bakalan ilang kita jalan kaki saja”
dengan rasa was was sang guru Bono pun mengikuti anak2 aitu menuju suatu tempat, dan dalam hati pak guru itu bertanya “mau dibawa kemana saya “ini. Setelah 10 menit berjalan lewat jalan setapat masuk ke rerimbunan hutan, akhirnya sampailah di suatu tepian sungai dimana anak-anak itu sering bermain disana. Dan ternyata apa yang terjadi?
Disitu sudah ada sebuah gubuk yang mereka bangun sendiri dengan tangan dan keringat mereka sendiri dan dengan semangat mereka, dan mereka bilang kepada sang guru “disinilah tempat kami belajar pak, inilah sekolah kami, yang kami bangun dengan keringat keringat dan semangat kami”.
Sang guru Bono pun tertegun melihat semangat mereka yang begitu tinggi untuk sekolah sampai-sampai dia bisa membangun gubuk kecil ini untuk kegiatan belajar.
Setelah beberapa saat berbincang dan bersenda gurau, dan berkanalan satu dengan yang lainnya, mereka pun membuat suatu rencana untuk membangun tempat yang sedikit layak di perkampungan mereka untuk dijadikan tempat belajar / sekolah kecil.
Akhirnya merekapun tanpa panjang lebar, langsung menemui kepala desa (sesepuh desa) untuk membicarakannya. Mereka pun sempat mengenalkan guru guru ngaji itu menyambut baik kedatangan sang guru itu. Tak lama kemudian sampailah kepada rumah sesepuh desa dan mereka memperkenalkan guru itu kepadanya. Setelah berkenalan, sang guru pun menyampaikan maksud kedatangannya serta rencana untuk membangun tempat yang layak untuk belajar.
Sesepuh desapun berkata “kalo cuman tempat seperti rumah, kami bisa dan sanggup membangunnya, tapi yang jadi pertanyaan , siapakah yang akan mengajar anak-anak disini?”
sang guru Bono pun menjawab “saya pak, saya siap mengajar mereka apapun yang resikonya saya juga akan mengajak teman2 saya yang mungkin mau secara sukarela untuk mengajar anak2 disini”
sesepuh desa berkata “baiklah kalo pengajarnya sudah ada, tapi dengan apa kami harus membayar pengajar-pengajar itu?”
sang guru Bono pun menjawab “dengan senyuman anak2 ini saya rasa sudah cukup pak, di senyuman mereka mengalir sebuah semangat yang tinggi yang membuat saya tak hiaraukan gaji atau pengorbanan apapun”
sesepuh pun menjawab” baiklah kalo begitu, mereka memang punya semangat yang tinggi saya tau itu, mereka sudah bikin gubuk kecil yang mereka sebut itu sekolah merekal di tepi sungai, kalo mereka saja bisa bikin seperti itu mengapa kita tidak bisa membuat yang lebih baik, baiklah saya berjanji 10 hari dari sekarang saya dan orang2 kampung akan siapkan tempat untuk belajar yang bisa menampung 20 – 30 orang, pegang janji saya” sang guru Bono pun senang mendengar itu dan anak2 pun senang dan menangis karena tak sia-sia perjuangan dan semangat mereka.
Tak lama kemudian sang guru Bono itu pun berpamitan pulang setelah puas kelililing dan bermain bersama ke 7 anak desa itu. Tiba di jembatan, sang gurupun berkata “besok 2 hari lagi setelah ngajar di sekolah saya langsung kesini saya akan bawakan kalian film tentang semangat sekelompok anak yang juga ingin merasakan pendidikan dan kita sama2 menontonnya”
Dono “mau nonton dimana pak disini yang punya tv cumin pak sesepun itu pun cuman malam dihidupinnya, apa boleh kita meminjamnya?”
sang guru pun menjawab “tenang saya bawa laptop besok dan kita nonton disana, ato kalo mungkin saya akan membawa proyektor biar kalian puas nontonnya hahahha”
Dul bertanya “lapot apaan pak, masak nonton pilm pake kompresor juga gimana caranya tuh “
seorang anak lain berkata ( Totok ) “hahahhahaha, laptop tuh computer, dul, kalo protor saya belom pernah denger pak, hahahha”
sang guru Bono pun berkata “sudah kalian jangan ribut, besok liat saja apa yang saya bawa, ok “
Akhirnya sang guru itu pun pulang, dan anak2 itu dengan hati yang riang kembali ke kampungnya untuk membantu rencana pembutan tempat belajar itu.
Tak berhenti sampai disitu, sang guru itu bekerja sama dengan pihak sekolah untuk mencari siapa yang mau mengjar sukarela di desa itu. Tapi lagi-lagi uang yang menjadi masalah, guru-guru enggan mengajar jika tidak ada imbalan atau imbalannya tak sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Hanya seorang guru wanita yang mau melakukan itu sebut saja namanya Dina, meskipun dia bukan orang yang mampu / kaya, tapi dia juga punya hati yang tulus untuk melakukan itu semua.
Sang guru Bono itu berkata kepada Dina temannya “mengapa kamu mau melakukan ini?”
si guru wanita Dina itu menjawab “hatiku terpanggil mas, ketika melihat mereka mengintip di jendela, mereka mengintip bukan untuk hanya melihat, tapi mereka ikut belajar juga “
Dina juga berkata “bahkan pada suatu ketika aku adakan kuis matematika di kelas, tak seorangpun yang bisa, tapi ada suara dari luar, mungkin mereka tidak sengaja, atau mereka ingin menjawab dan menunjukkan kepada kita bahwa mereka bisa, ada seorang anak dari jendela yang meneriakkan jawaban yang benar akan kuis itu, aku terteegun sejenak dan segera berlari hampiri mereka, tapi mereka sudah pergi ketakutan karena takut dianggap berisik”
Sang guru Bono pun berkata “baiklah, meskipun kita cuman dua orang kita pasti bisa, kita secara bergantian setiap hari pergi ke desa itu untuk ajari mereka, saya yakin dengan semangat dan hati mereka, mereka bisa menjadi lebih pandai dari pada anak di sekolah ini”.
Lagi-lagi kata semangat yang dielu elukan, mungkin kata itu memang harus kita miliki atau hanya kita ucapkan tanpa kita resapi arti kata semangat itu.
Suatu hari ada seorang pemburu yang sering datang ke tempat itu, dia juga sering mengajari anak-anak di desa itu walalu hanya sebentar sambil bersenda gurau. Rupanya sang pemburu adalah teman dari sang guru Bono yang baik hati itu, dia tinggal juga di desa sebrang dan satu desa dengan guru itu.
Pada suatu saat mereka saling bertemu, sang guru Bono mengutarakan keinginan hatinya untuk mengajar sukarela di desa itu, sang pemburu pun menjawab” sebelum kamu datang kesana, aku sudah sering kesana dan mengajari sebagian anak itu meski hanya sebentar dan memberi pelajaran ala kadarnya, ataupun menjawab semua pertanyaan-pertanyaan mereka. Dan kalau itu sudah menjadi niatmu aku siap membantu apa saja yang aku bisa selama aku punya waktu luang”
Setelah 2 hari berlalu sang guru Bono pun menepati janjinya untuk membawa kan film dan memutarnya di desa itu, bersama dengan sang pemburu, dan teman guru wanitanya, sore hari pun mereka berangkat.
Tiba disana sudah di tunggu oleh ke 7 anak itu. Dan mereka diajak sama nonton film LASKAR PELANGI. Mereka menghayati dan bercermin kepada mereka sendiri, ternyata kondisi mereka hampir sama dengan kondisi di film itu. Setelah 1 jam asik nonton
Dono berkata “kalo mereka saja bisa, kenapa kita tidak”
sang guru Bono pun menjawab “betul itu, jika mereka bisa seperti mengapa kita tidak, kita sama2 makan nasi, kita sama-sama punya semangat, apalagi semangat kalian adalah semangat yang luar biasa”
dari film itu mereka mengambil pelajaran, bahwa yang miskin, yang terbelakang, dan yang terpencil sekalipun, pasti bisa menggapai impiannya asal punya semangat dan hati yang besar.
Lambat laun waktupun berlalu sampai tempat untuk kegiatan belajar mereka sudah berdiri dan siap digunakan, ke 3 orang pengajar itu saling bergantian mengajar mereka tanpa imbalan uang sepeserpun. Tapi terkadang juga ada masyarakat yang berberikan sedikit hasil alamnya baik itu berupa jagung, ayam atau sayuran kepada ke tiga pengajar itu. Selalin sedikit hasil alam, disaat sedang mengajar mereka hanya disuguhin sedikit makanan serta secangkir kopi untu menemani mereka mengajar. Tapi bukan itu yang dilihat oleh ketiga pengajar itu, melainkan adalah semangat anak-anak di desa itu yang mau untuk belajar.
Sering juga kawan-kawan guru dan kepala sekolah menanyakan kegiatan mengajar mereka di desa itu, bahkan mereka menanyakan, dibayar berapa sih ngajar disana, kok sampe mau-maunya,
sang guru Bono pun sering menjawab “kami mengajar bukan karena imbalan, meski kami mengajar hanya dibayar dengan secangkir kopi panas, tapi kopi panas itu sudah membangkitkan semangat saya dan teman-teman saya untuk membantu mewujudkan impian anak-anak yang ada disana, jadi uang tidak penting bagi kami, yang penting LIHATLAH SEMANGAT MEREKA yang ada disana”
guru-guru yang lain pun terdiam tak berani berkata apa-apa.
Di jaman sekarang ini susah mendapati guru yang rela mengajar tanpa ada imbalannya, anak – anak di desa itu sering berkata “dimana letak pepatah dahulu kala yang katanya GURU adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Yang ada sekarang guru-guru yang sering korupsi uang sekolah, Cuma memandang besarnya gaji “. hahhahahhaha ( itu kata mereka, loh ,bukan kata saya, hahahhahha )
Lama berselang tiba saat di sekolah itu diadakan kegiatan-kegiatan tahunan, ada drumben, pentas seni, melukis, gerak jalan, pawai, cerdas cermat, serta kegiatan olahraga lainnya.
Ke 7 anak itu pun mendengar kabar itu, dan saling beratanya tanya satu dengan lainnya , apakah mereka bisa ikut dalam kegiatan itu. Rasanya mustahil bagi sebuah kelompok belajar desa terpencil yang tanpa memiliki ijin, dll untuk ikut dalam kegiatan apapun, padahal mereka punya sebongkah kemampuan dan semangat untuk bisa ikut dan memenangkan kegiatan itu. Ke 7 anak itu sudah berharap seperti yang ada di film LASKAR PELANGI mereka berharap untuk ikut di kegiatan dan berusaha memenangkan setiap kegiatan yang diikutinya itu.
Seoarang anak berkata kepada sang guru “pak bisakah kita ikut kegiatan itu?’
sang guru Bono pun terdiam lama dan menjawab “APA YANG KALIAN PUNYA dari sejak kita bertemu?”
seorang murid pun menjawab “SEMANGAT DAN HATI KAMI pak”
sang guru pun menjawab “kalo itu yang kalian terus miliki, kita pasti bisa, aku akan mengurusnya dengan segala kamampuannku, kalian berdoa saja untuk hal yang mustahil ini “
Sang guru pun ingin mengikutkan anak-anak di desa terpencil itu untuk ikut dalam kegiatan itu. Dengan semangat dia mendatangi panitia, kepala sekolah, untuk mengutarakan niatnya itu. Lagi2 kesulitan dialaminya, dia ditanya, apa nama sekolahnya, sudah punya ijin belum, sudah terdaftar belum, akhirnya dia pulang dengan cucuran air mata kecewa dan terus semangat untuk melakukan niatnya itu. Sambil berpikir bagaimana caranya.
Akhirnya setelah berembuk bertiga dengan teman pengajarnya, sang guru Bono pun mendapatkan ide, dia kembali ke panitia keesokan harinya, dan berkata kepada semua panitio dan pimpinan yang ada disana dan didengarkan oleh ketua panitia.
Dengan suara yang lantang Dia berkata “pak tempat belajar kami, bukan sekolah dasar, karena kami tidak punya ijin , dll, kami hanya kelompok belajar di desa terpencil yang dengan SEMANGAT KAMI, kami bisa melakukan semuanya itu. kami hanya ingin ikut kegiatan itu pak, meski kami harus mendaftar biaya yang besar, kami akan membayarnya, jangan lihat dan jangan perhitungkan kami, jangan anggap kami ada sebagai peserta di kegiatan itu, anggap saja kami adalah sekelompok anak-anak gila yang ikut di kegiatan itu, kalo kami menang kami tak butuh piala, kami tak butuh uang, dan kami tak butuh penghargaan, kami hanya mau tunjukkan bahwa dengan SEMANGAT dan HATI kami, kami bisa menanakllukkan kalian semua”
ketua panitia pun mendengar keributan itu, dan mempersilahkan sang guru itu masuk kedalam ruangan dan berbicara 4 mata.
Ketua penitia berkata “sebernarnya saya mau membantu kamu, tapi ini adalah prosedur, tapi saya adalah manusia yang juga punya HATI seperti kamu, ok, apapun resikonya kamu silahkan tampil di kegiatan itu meskipun kamu tidak akan mendapatkan apa-apa walaupun memenangkannya”
sang guru Bono itu menjawab dengan tersungkur “terima kasih pak terimah kasih ya ALLAH engkau sudah dengar doa MEREKA”.
Lalu dia bergegas pulang mengambil TV dan Radio kesayangannya untuk dijual dan dia pergunakan untuk biaya pendaftaran di kegiatan itu. Oh sungguh mulia hati sang guru Bono ini, dia rela berkorban demi Semangat dan Hati anak –anak di desa terpencil itu. Bagaimana dengan kita, apakah kita mau melakukan hal seperti guru Bono ketika melihat kondisi seperti itu di sekeliling kita, yang ada kita hany salaing penyalahkan antara satu dngan yang lai, tanpa melakukan apa-apa.
Sang guru Bono pun membawa kabar gembira itu kepada anak didiknya.
Berhari-hari setelah kabar genbira itu mereka dapatkan mereka mulai berpikir sama-sama apa saja kegiatan yang bisa mereka ikuti dengan kondisi yang seadanya, sang guru Bono pun memilihkan kegiatan untuk anak-anak itu. Satu persatu mereka ikutin dan persiapkan, dan inilah hasil nya:
• Cerdas cermat JUARA 3
mereka menjadi pintar karena mereka belajar dari apa saja yang mereka dapatkan,termasuk mengintip. Coba saja waktunya masih panjang dan mereka mendapatkan bimbingan yang sama dengan anak-anak sekolah lain, mereka pasti bisa jadi JUARA 1
• Melukis JUARA 3
mereka hanya melukis menggunakan pensil tanpa warna, tapi hasilnya adalah istimewa, suatu saat jika mereka sudah bisa menggunakan alat pewarna, mereka pasti bisa JUARA 1
• Lari JUARA 1
jangan ditanya deh soal yang beginian, anak-anak desa punya kemampuan yang lebih di bidang ini
• PUISI JUARA 1
ada seorang anak yang sering malantunkan puisi di tepi sungai setiap hari untuk menghibur dan memberi semangat kepada semua temannya, jadi ini adalah pekerjaan yang mudah bagi dirinya, hahahaha
• MUSIK JUARA 3
walau hanya menggunakan rebana dan galon aqua kosong dan belajar dari guru ngajinya, mereka bisa melantunkan lagu islami dengan baik dan membuat penonton senang. Ini bukan menjadi hal yang sulit, setiap minggu mereka pasti latihan musik-musik islami dengan menggunakan rebana dan kentongan melantunkan lagu islami dengan biak dan enak didengar.
• DRUM BAND JUARA 2
persaingan sangat berat, mereka tidak punya alat musik, mereka hanya punya seruling, terompet tahun baru, dan galon aqua yang kosong, dll, tapi hasilnya istimewa, dan yang paling diacungi jempol, mereka meniru persis seragam yang ada di film LASKAR PELANGI dengan hanya menggunakan dedaunan
Sempat terjadi kebingungan bagi mereka dengan apa mau main drum band. Gak punya apa 2, mereka saling berpikir dan sang guru memberi saran dengan hati yang sedih berkata “pakailah apa yang kalian punya”. Akhirnya mereka pulang kerumah masing-masing mencari apa yang mereka punya yang bisa mengeluarkan suara, ada yang membawa panci bekas, kaleng kosong, dll, bahkan ada yang membawa kentongan, galon aqua bekas yang sudah pecah, serta terompet tahun baru sisa tahun kemarin yang masih mereka simpan. Mereka kumpulkan semua, dan mereka berlatih dengan SEMANGAT MEREKA dan akhirnya membuahkan hasil yang menyenangkan.
Sungguh miris hati ini melihat itu, hanya dengan alat seadanya itu, mereka bisa kalahkan semua pesainggnya. Lalu bagaimana dengan yang sudah punya alat musik Drum band yang harganya mahal-mahal. Hahhahahhaa, mereka hanya punya alat itu, tapi mereka tak punya SEMANGAT dan HATI untuk mememainkan dan melakukan sesuatu.
• PAWAI JUARA 1
Penonton kerkesima melihat seoang anak yang berdiri di atas kerbau dan sapinya sambil memainkan serulingnya dan berjoget diatas nya sepanjang pawai dan menghiasi sapi-sapi dan kerbau-kerbau mereka dengan indah dan iiringi musik tradisional yang bagus, bereka anggap ini aksi akrobatik, padahal bagi ke 7 anak ini, ini adalah hal biasa yang dilakukan saat memandikan sapi dan kerbaunya di sungai, hahhahaha
Tapi setelah kegiatan itu, walau mereka memenangkan sebagaian kegiatan, mereka melanggkah pulang tanpa membawa piala, penghargaan, dll.
Seorang anak berkata “pak kita kan sudah menang, apa kita gak dapat piala tau yang lain”
sang guru Bono menjawab “apa pentingnya sebuah pila, yang penting kamu sudah bisa tunjukkan kepada semua orang bahwa kalian bisa melakukan semuanya itu dengan SEMANGAT dan HATI yang kalian miliki, tak jadi masalah tanpa piala, kita cukup membawa kegembiraan kemenangan ini sehingga bisa menambah SEMANGAT kita untuk terus belajar”
sembari berkata sang guru Bono pun mengangis deras dan merekapun saling berpelukan.
Akhirnya yang pada awalnya perjanjian jika mereka menang tak bisa mendapatkan apa-apa, sang ketua panitia pun berembuk bersama dan mengakui kehebatan mereka, dan sesaaat pada waktu ke 7 anak dan sang guru Bono dalam perjalanan pulang ada seorang yang berteriak memanggil mereka untuk kembali ke acara dan mendapatkan hak mereka. Dan ada seorang dari pusat kota yang menyaksikan itu, dan menyerahkan piala dan penghargaan lain bertanya kepada anak – anak desa itu. “dari SD mana?”,
seorang anak menjawab dengan cucuran air mata kebanggan “dari SD SEMANGAT pak , kami gak punya ijin, dll pak, kami SD yang ala kadarnya yang selalu mengintip anak2 sekolah belajar “
mendengar kata2 itu. Timbul pertanyaan bagi orang pemerintah pusat itu dan dia berkata “siapa yang mengajar”
lalu sang guru Bono dan ke 2 temannya maju mendekat dan berkata “saya dan ke 2 teman saya pak “,
lalu orang itu berkata “besok kamu ke kota “kamu harus bangun tempat itu dan cari siapa yang mau mengajar disana akan mendapatkan gaji yang sesuai, untuk ijin dlll saya akan bantu uruskan “
mendengar itu pun sang guru Bono dan ke 7 anak itu bersorak penuh gembira. Mereka telah berhasil tunjukkan bahwa SEMANGAT DAN HATI mereka sudah membawa mereka menuju impian mereka untuk menikmati pendidikan.
Berjalannnya waktu membuat anak di desa itu semakin pandai dan bisa menikmati pendidikan dengan bantuan pemerintah tanpa membayar sepeserpun, mereka yang pintar disekolahkan keluar dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sang guru Bono pun senang dan terus mengajar di desa itu tanpa henti-henti nya sampai diangkat menjadi kepala sekolah di sekolah yang baru itu dan menikahi si guru wanita Dina. Sementara sang pemburu karena yang sebenarnya bukan seorang guru juga terus memberi pengajaran diluar sekolah selama masih ada waktu.
Itulah akhir cerita itu. LIHATLAH SEMANGAT KAMI, kata ke 7 anak itu, mereka bisa wujudkan impian mereka bukan dengan uang, bukan dengan keuasaan, tapi dengan keterbelakangan, kemiskinan, SEMANGAT dan HATI MEREKA.

I’m is Reporter

Sikap angkuhnya begitu ketus, namun kulayangkan senyum lebar ke arahnya, dengan memalingakn muka dia meniggalkanku. Tentu ini sudah menjadi resiko menjadi seorang wartawan yang terus memburu berita, sampai berurusan dengan pengadilan karena dituduh telah menggagu privasi. Tak di sangka sebagai wartawan lepas, Firman akan merasakan pahitnya penjara. Berburu berita adalah keahliannya, bagai elang yang terus mengejar mangsa, tak akan lepas dalam pelupuk mata.
Bang Firman panggilan teman-temannya, tinggi seratus tujuh puluh centimeter, badan kurus, sering memakai celana safari, perangainya sungguh sopan dan ramah. Bekerja sebagai seorang wartawan lepas, tak terikat namun apa yang di angkat benar-benar orang terpikat. Saat orang tak berani mengungkapkan pendapat, Ia maju dengan tulisannya yang membuat para koruptor menjadi panas dibuatnya.
Hari itu di mana kejadian malapetaka datang, sang elang berita tertangkap basah ketika sedang memburu seorang pejabat yang di tuduh telah melakukan korupsi, bersembunyi di balik pepohonan rindang, ternyata tak membuat dirinya aman.
“Sudahlah Bang, hentikan semua ini” Bujuk Candra adik Firman sebelum persidangan dimulai.
“Kau tak mengerti Dra, bagaimana perasaan Abangmu ini sebagai wartawan” Dengan raut wajah serius Firman menjawab.
“Apanya yang wartawan, Abang hanya mengantarkan nyawamu Bang” Timpal Indra emosi.
“Sudahlah Dra, jaga adik-adik di rumah, ya? Ingat jangan sampai Kau dibuntuti pulang nanti” Dengan memegang pundak, sambil membisikan pada telinga.
Langkah kakinya begitu yakin, Ia tak pernah gentar melawan sebuah ketidak adilan. Tidak ada yang tidak Ia takuti, selain Maha pemilik jiwa.
***
Palu pun diketuk tiga kali, keputusan Hakim sudah tidak dapat diganggu gugat, namun dengan wajah tersenyum Firman keluar dari ruang pengadilan. Ia di hukum enam bulan penjara. Pejabat itu tertawa melihatnya masuk kedalam mobil tahanan, Firman tetap tersenyum membuat raut muka Pejabat itu keheranan.
“Jadi adik-adik Dra, jangan sampai mereka tahu rumah kita, aku tak mau membahayakan kalian karena tindakanku” Dalam hati Firman ketika menuju perjalanan ke penjara.
Lembaga Permasyarakatan Cipinang adalah penjara yang akan Ia tempati, sebuah penjara kelas I di Jakarta. Ia menyadari ada sebuah skinario besar dalam pemenjaraannya di LP Cipinang, akan ada sebuah kejadian luar biasa yang akan Ia hadapi. Masuk dengan tangan masih di borgol, di kawal oleh dua orang sipir di kanan dan kiri dengan pentungan hitam dipingganganya, wajah mereka sungguh tidak bersahabat.
“Ayo cepat masuk!” Dengan suara tegas sipir itu memasukan Firman dalam sel.
Bola matanya melirik mengawasi setiap sudut sel yang akan Ia tempati selama enam bulan. Tiba-tiba seseorang langsung menghampirinya.
“Napi baru ya, kenalin nama Gua Garda” Dengan nada sedikit seram Ia menyulurkan tangannya.
“Firman” Langsung menyambut tangan Garda.
“Baru kali ini sipir penjara, menyatukan Gua dengan seseorang”
“Apa baru kali ini!”
“Ya, Baru kali ini!!”
“Kalau boleh tahu kejahatan apa yang telah Abang lakukan?” Heran Firman
“Membunuh orang” Dengan santai Garda menjawab.
Firman hanya terdiam saat mendengar jawaban Garda, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan maksud sipir tadi menyatukan selnya dengan seorang pembunuh.
“Hey…” Tepuk Garda, “Tenang saja itu hanya masa laluku Man” Kali ini Garda tersenyum.
Mereka berdua saling berbincang–bincang, Garda sudah hampir satu tahun tidak mengobrol dengan seseorang. Ia sungguh senang ketika ada orang yang tidak takut mengobrol dengannya, badannya yang tinggi dan besar, membuat orang–orang menjauhi dirinya, apalagi dengan penjara yang jauh dari yang lain. Mereka mengobrol sangat lama, Sekali–kali tawa lebar keluar terbahak-bahak.
“Jadi apa yang membuat Lu dipenjara Man?” Tanya Garda
“Hmm… berurusan dengan pejabat, dengan tuduhan yang tak masuk akal karena menggagu privasinya” Dengan santai Firman menjawab.
“Lu wartawan yang hebat Man, bisa membuat pejabat ngirim Lu sampai ke penjara” Dengan kagum Garda memuji.
“Ya, begitulah” Senyum Firman.
***
Udara malam semakin dingin menguliti kulit, tidur beralaskan tikar dibawah remang–remang lampu pijar. Terbayang wajah adik-adiknya yang masih sekolah, dengan harapan agar mereka baik-baik saja dirumah. Malam ini Ia tak bisa tidur sama sekali, tak terasa azan shubuh berkumandang, para sipir penjara membuka sel-sel yang berjajar rapi yang didiami oleh para napi.
Dengan mata yang masih mengantuk Firman berjalan menyusuri lorong penjara yang begitu gelap, namun tiba-tiba dari belakang…
“Ah…” Baju Firman sudah berlimbah darah, Firman tersungkur kebawah.
“Man… Firman” Garda mengahampiri Firman, Ia langsung mengangkat tubuhnya dan berlari-lari tak karuan.
“Awas… minggir-minggir… minggir” Para napi terlihat keheranan, Garda dengan nafas terengah-engah langsung membawa Firman ke klinik kesehatan yang ada dipenjara. Wajah Firman semakin pucat, darah terus mengalir dipunggungnya, Ia belum juga ditangani secara serius oleh suster yang ada dipenjara. Tubuhnya semakin dingin, seakan sudah waktunya Ia akan mati sekarang.
Ternyata Allah belum menakdirkannya untuk mati sekarang, seorang suster baik hati datang langsung menyelamatkannya, suster Ani namanya. Firman akhirnya selamat walaupun harus kehilangan banyak darah. Wajahnya masih sangat pucat, badan yang begitu lemas tak bertenaga, namun tak ada satupun sipir penjara yang mempedulikannya, mereka masih bekerja seperti biasa, mereka mungkin mengira bahwa Firman akan mati.
“Ini ga boleh dibiarin Man” Emosi Garda.
“Sudahlah Bang, kita tak bisa berbuat apa-apa, semua sudah terencana oleh pejabat yang mengirimku kesini”
Garda keluar dengan emosi, Ia tak bisa menahan amarahnya, ingin sekali menemukan siapa pelakunya. Sedangkan Firman masih terbaring, tubuhnya masih lemas tak bertenaga dalam sudut ruangan hanya ditemani lampu remang-remang.
Seorang sipir tiba-tiba masuk…
“Kamu masih hidup rupanya Firman” Dengan nada ketus dan sombong, “Kau tahu siapa yang telah melakukannya? Makanya jangan macam-macam lah, hiduplah dengan tenang Firman. Ingat sekali lagi kau melakukannya, nyawamu akan hilang” Sipir itu pergi dengan langkah sombongnya, seperti orang sok kuasa.
Firman tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa berbaring dan merenungi apa yang harus ia perbuat, hanya terlitas dalam pikirannya “Semoga adikku baik-baik saja di luar sana”.
****
“Apa si Firman itu masih hidup” Emosi sang pejabat, “Goblok… kalian ini bisa kerja nggak” sesekali menghisap cerutu di tangannya.
“Ta… tapi Ia kayanya sudah kapok Bos”
“Apa Kau berani jamin Hah? Kalian Aku bayar buat menghabisi si sialan Firman itu… goblok”
Kedua anak buahnya dimarahi habis-habisan, muka pejabat itu benar-benar merah padam mendengar laporan dari anak buahnya.
Disudut penjara Firman merenung seorang diri, hanya ditemani riuhnya suara gaduh dari luar, para napi yang sedang asik bermain bola kesana kemari. Tak banyak hal yang Ia perbuat, hanya duduk sendiri, memikirkan apa yang akan terjadi seterusnya dalam penjara ini. Punggungnya masih terasa sakit, sesekali mengeluarkan darah ketika Ia bergerak terlalu berlebihan.
“Sudahlah Man, Ayo kita main di luar, supaya kau lebih Fresh” Bujuk Garda.
“Aku tak mau ada di keramaian Bang, Abang tahukan nyawaku sedang terancam? Sudah beberapa hari ini Aku terus berfikir tentang hal itu”
“Ingatlah Man, Kau jangan takut ataupun ciut melawan para pejabat yang korup, mana dirimu yang dulu Firman? Yang gagah berani, hingga pejabat pun kalang kabut dan menjebloskanmu ke penjara”
Waktu semakin cepat berlalu, enam bulan sudah Firman berada di Penjara.
“Makasi Bang, sudah waktunya Aku menghirup udara bebas, sudah bosan Aku di sini menjadi babu-babu para sipir penjara, yang tak kenal waktu menyuruhku melakukan hal-hal yang begitu menjijikan dalam hidupku” Pamit Firman kepada Garda.
“Ingatlah Man, Nyawa di ujung tombak pun sudah kau rasakan, jangan Kau mundur Man”
Firman melangkah dengan yakinnya keluar dari dalam penjara, tersenyum ketika banyak para napi yang melihatnya, “Selamat tinggal penjara, tunggulah para koruptor, Aku tak akan berhenti melawan kalian” dalam hati Firman. Sesampainya diluar penjara, mobil sedan putih menghentikan langkahnya.
“Silahkan masuk” Sopir membukakan pintu untuknya, layaknya seorang Bos. Ia pun masuk.
“Firman… Firman, apa kabar? Perkanalkan namaku…

Senyuman di Langit Awangga

Awan mendung menggelayut langit Awangga. Angin dingin berhembus menerkam kebahagian. Semua berganti muram. Awangga telah lelah dipermainkan oleh alam. Dan saat ini negara itu telah jatuh dalam kemurungan. Kesedihan melanda seluruh istana.
Tangisan lirih menggema dari sudut ruangan besar di kaputren. Sebuah ranjang tergeletak dengan sesosok tubuh diatasnya. Terdengar suara isak tangis tertahan. Hari ini apa yang telah dikuatirkan oleh Dewi Surtikanti benar-benar terjadi.
Sejak semalaman kegelisahan dan kebimbangan hatinya terus hinggap, meskipun kata-kata penenang terucap dari Prabu Karna. Semalam adalah malam tersingkat dalam hidupnya. Ia merasa tidak ada lagi yang mampu menopang hidupnya kali ini. Semua telah pergi.
Orang yang dicintainya telah tiada untuk selamanya. Masih terngiang jelas di benaknya. Sentuhan lembut suami tercinta. Masih terasa di tangannya genggaman cinta yang diberikan oleh Prabu Karna. Masih terdengar suara menenangkan suaminya, ketika meminta ijin untuk pamit pergi kesokan hari. Masih tergambar roman muka penuh cinta yang ditampakkan oleh Prabu Karna kepadanya. Bahkan Dewi Surtikanti masih terbayang kecupan lembut di pipinya sebagai penghantar tidur pembuka pintu mimpi semalam.
Namun dari kesemuanya itu, tatapan terakhir Prabu Karnalah yang kuat menusuk hatinya. Tatapan terakhir di pagi buta sebelum meninggalkan istana Awangga. Terpancar di matanya rasa kasih yang selama ini telah menyiram hati Dewi Surtikanti hingga cinta itu takkan pernah terganti oleh siapapun.
Hatinya masih menjerit. Berita yang di bawa oleh pengawal kerajaan beberapa jam yang lalu masih tergeletak di meja. Dia tidak perlu membaca seluruhnya karena satu kalimat akhir telah membuktikan kegelisahannya. Ia tak sadarkan diri ketika mengetahui firasatnya benar-benar terbukti.
Gumpalan awan mendung yang selama ini jarang terlihat di Awangga membuktikan semuanya. Sang surya ikut bersedih karena di tinggal manusia tercintanya. Tidak ada lagi kehangatan sinar yang selalu menjadi kesenangan Dewi Surtikanti ketika sedang bercengkerama dengan suaminya. Semua pudar terganti suasana dingin.
Dewi Surtikanti bangkit dari pembaringan. Matanya merah. Entah sudah berapa banyak air mata yang dikeluarkan hari ini. ia menangis sampai matanya terasa kering karena tak ada lagi tetes air mata yang jatuh. Semua telah tercurahkan. Ia mengedipkan mata. Mencoba menghalau pikiran kalut yang terus hinggap.
Dewi Surtikanti meraih kertas yang ada di atas meja. Dibacanya kembali, kata demi kata. Agar ia yakin kembali. Ia menghela napas panjang. Mencoba menenangkan diri tapi jiwanya tertahan. Sebuah dinding beku telah medinginkan hatinya. Kesedihan telah menggerogoti jiwanya.
ia berusaha bangkit berdiri. Dengan sempoyongan, ia berjalan menuju pintu kamar. Ia ingin keluar dari kaputren untuk menuju istana. Ia ingin segera menjemput jasad suami tercinta. Hal terakhir yang ia inginkan adalah melihat suaminya terbaring tenang dalam menghadapi kehidupan di sisi lain dunia ini.
***
‘Kanda, aku ingin menceritakan suatu hal”, kata-kata lembut keluar dari mulut Dewi Surtikanti. Ia sedang melihat suaminya duduk di tepi ranjang. Prabu Karna segera menoleh. “Apa yang dinda ingin sampaikan?”, tanya Prabu Karna dengan sedikit penasaran. “Tadi malam dinda, bermimpi aneh dan menakutkan, Kanda, dinda bermimpi seekor ular menggigit kaki dinda, dinda panik dan sangat takut sekali. Dan akhirnya dinda terbangun. Saat dinda menoleh, kanda tak ada di samping dinda. Kemanakah kanda tadi malam?. Aku takut sekali”, Dewi Surtikanti menceritakan perihal mimpinya. Tersirat nada gelisah di dalamnya. “Sebuah firasat buruk mungkin saja akan terjadi sesuatu pada diri kanda atau negara Awangga”, ia meneruskan ceritanya.
Dengan lembut, Prabu Karna meraih tangan Dewi Surtikanti. “Tenangkan dirimu dinda, tidak akan terjadi apapun pada dirimu, aku berjanji akan terus disisimu”, ucapnya mesra. “Tapi kanda. aku takut sekali, mimpi itu benar-benar nyata, aku sepertinya masih merasakan sakitnya gigitan ular itu”, ujar Dewi Surtikanti sambil meraba pergelangan kakinya. Ia merasa kalau tadi malam itu bukan mimpi. Tapi entahlah antara sadar atau tidak, ketakutan masih membayanginya.
“Dinda, aku mohon pamit kalau besok akan berangkat pagi-pagi buta, kakang Prabu Duryudana memintaku memimpin langsung perang melawan Pandawa”, ucap Prabu Karna tiba-tiba. Kata-kata itu menghenyakkan seketika kesadaran Dewi Surtikanti. “Apa, kanda akan pergi, bukankan kemarin Eyang Bisma udah turun tangan langsung, kanda sendiri yang berkata kalau tak ada satupun panglima Pandawa yang mampu mengalahkannya, terus mengapa tiba-tiba kanda harus terjun langsung”, ceceran kata-kata Dewi Surtikanti berujung pada bertambah rasa takutnya yang semakin meningkat.
“Dinda, dengarkan kanda, ini adalah tugas negara. Kewajiban yang harus dipenuhi seorang abdi negara kepada negaranya. Astina sedang mengalami perang besar dan kanda sebagai bagian dari abdi astina harus bersedia berkorban jika diperlukan. Kanda berhutang budi banyak sekali kepada kakang prabu Duryudana. Astina lah yang telah memberikan kanda derajat dan jabatan. Orang-orang yang dulu meremehkan kanda kini telah berbalik menjadi segan kepada kanda. Semua itu karena jasa kakang prabu Duryudana dan Astina”, kata-kata prabu karna terhenti sejenak. Diraihnya segelas air yang terletak di meja. Diteguknya perlahan.
Prabu Karna menghela napas panjang. Ia berusaha melanjutkan kembali perkataannya kepada sang istri tercinta. “Dinda ingat, kalau tidak karena kakang Prabu Duryudana, aku mungkin tidak akan bisa menikahimu. Ada banyak hal yang harus aku bayar sebagai penebus hutang tersebut. Dinda harus mengerti kalau kanda adalah ksatria yang bertanggung jawab dan berpendirian teguh. Kanda akan membela negara yang telah memberikan banyak hal. Kanda adalah laki-laki yang tahu membalas budi”. Perkataan prabu karna terhenti ketika Dewi Surtikanti bangkit dan duduk didekatnya.
“Aku merasakan firasat buruk esok hari, kanda”. Dewi surtikanti berbicara lirih. Prabu Karna menangkap apa yang sedang dirasakan istrinya. Sebagai laki-laki sejatinya, sudah menjadi tanggung jawabnyalah untuk memberikan ketentraman belahan jiwanya. Dengan penuh sayang di tatap mata indah sang istri.
“Kanda sangat mencintai dinda, bagi kanda firasat yang kamu rasakan sebagai wujud cinta. Aku beruntung memilikimu. Kamu sempurna dimataku. Bagi kanda, tiada orang yang dapat menggantikanmu di hatiku”. Terucap kata-kata manis dan lembut dari bibir Prabu Karna. Dengan mesra didekapnya bahu Dewi Surtikanti. Ia berbisik di telinganya. “Anugerah sang surya telah memberiku jalan terang dalam kehidupan. Aku ingin kamu tetap tegar meskipun cobaan berat menimpamu. Mungkin dinda takut takkan bertemu kanda lagi untuk selamanya. Tapi kanda meyakinkan dinda kalau akan aku berikan senyuman indah ketika kita bertemu lagi esok”.
Malam semakin pekat. Suara jangkrik mulai menghilang. Sang bulan tersembunyi malu dibalik rindangnya awan. Entah siapa yang di lihat oleh bulan, tapi sebuah cahaya putih berkelebat menuju puncak menara Awangga. Semua tampak damai, semua terlihat tentram. Namun sebuah misteri terbungkus tabir siap terbuka dan mengejutkan banyak pihak. Alam telah belajar dari pengalamannya tentang kehidupan. Ketika yang tersurat terlaksana dan tersirat telah bermakna.
***
Tak ada teriakan kesakitan dari wajahnya. Hanya seutas senyum kecil tersungging kaku. Apakah yang tersirat di senyuman itu. Sebuah teka-teki beribu makna. Senyum kesenangan atau ejekan. Tidak ada yang tahu kecuali pemilik senyuman itu sendiri.
Suasana tiba-tiba hening. Matahari bersinar sangat terik. Seolah menunjukkan bahwa siapa pemilik kekuatan kehidupan sesungguhnya. Semua itu tak berlangsung lama. Keheningan telah berganti dengan cepat. Riuh rendah, orang-orang bersorak. Mereka meneriakkan suara kemenangan. Suara kemenangan menenggelamkan kegelisahan hati seseorang yang telah menghantarkan sebuah kehidupan ke sisi lain dunia ini.
Teringat apa yang terjadi ketika dirinya berjibaku menunjukkan siapa yang terpandai dalam olah kanuragan dan ketangkasan memanah. Dan juga peristiwa ketika bertarung memperebutkan sebuah senjata sakti ciptaan dewa dan akhirnya ia hanya mampu merebut sarung senjatanya saja. Bahkan ketika membela seorang puteri yang berujung pada kesalahpahaman hingga akhirnya ia sadar kalau orang yang selama ini menjadi musuh adalah saudaranya sendiri.
Nasihat sang ibu telah mengingatkannya, “anakku Arjuna, bujuklah Karna untuk membela Pandawa, sesungguhnya ia berada pada pihak yang salah, kau harus mengerti Krjuna, Karna tidak seperti yang kau kira. Ia tidak jahat seperti para Kurawa. Ia adalah ksatria sejati. Manusia agung titisan sang dewa”. Kata-kata itu kembali menghampiri pikirannya. “Apakah benar yang dikatakan ibu”, serunya dalam hati.
Ia masih menatap sosok tubuh yang tergeletak di depannya. Darah mengalir dari lehernya. Sebuah anak panah tertancap di sana. Namun wajah dengan senyuman aneh tertuju pada Arjuna. Mengapa kau tersenyum di saat ajal menjemputmu?, tanya Arjuna pada jasad tak bernyawa di depannya.
Karna telah gugur di medan perang. Ia terbunuh oleh arjuna. Apa yang selama ini ia takutkan terjadi. Kematian telah dia takdirkan sendiri jauh sebelum perang di mulai. Karna masih ingat hari sebelumnya, dirinya dibentak kasar oleh Eyang Bisma karena terlalu sombong dan ingin menjadi panglima pasukan Astina. Karna tak peduli kalau sang kusir keretanya adalah mertuanya sendiri. ayah dari sang istri tercinta. Tidak ada prasangka buruk sebelumnya. Namun ketika sebuah kecelakaan kecil menimpa roda belakang kereta, ia sadar kalau semua ilmu yang telah dipelajari tiba-tiba lenyap. Ia seperti domba di kepung kawanan serigala. Hingga akhirnya sebuah anak panah melesat dan menancap di lehernya. Menghilangkan dengan seketika jiwa kehidupannya.
***
Dewi Surtikanti memeluk jasad suaminya yang tersenyum. Ia masih tak percaya kalau sang suami benar-benar telah pergi. Tapi dalam kepergiannya, Prabu Karna ingat akan janjinya. Ia berjanji memberikan senyuman kepadanya ketika bertemu kembali. Dan janji itu benar-benar terlaksana.
Tangisnya tertahan. Ia masih belum bisa melepaskan pelukannya. Di balai besar istana Awangga, suasana berkabung menyelimuti seluruh penghuni istana. Mereka berkabung untuk junjungan yang menjadi panutannya. Prabu Karna tidak hanya adil dan tegas dalam memerintah tetapi juga murah hati dan dermawan. Tak peduli pejabat ataupun rakyat jelata, kalau ia menjumpai orang yang kesulitan selalu dibantunya.
Ketegasannya telah berujung pada ketentraman hidup para rakyat Awangga. Prabu karna tidak pilih kasih dalam menegakkan hukum. Semua sama dimatanya, jika bersalah harus di hukum. Tidak ada yang kebal karena kekuasaan.
Ssemuanya telah pergi. Perang besar telah merenggut nyawa sang ksatria agung. Ia gugur membela negara. Prabu Karna tahu kalau apa yang ia bela salah, dan rela namanya tertulis dalam sejarah sebagai penentang kebajikan. Untuk menegakkan kebaikan, dibutuhkan pengorbanan kebaikan itu sendiri. Dirinya telah memutuskan kalau Kurawa yang ia bela hanya dapat dihentikan dengan menunjukkan pengorbanan kebaikan.
Seseorang berjalan menghampiri Dewi Surtikanti. Ia mendekat lalu duduk bersimpuh. “Terimalah pemberian dari Dewi Kunti, ibu para Pandawa kepada Dewi Surtikanti sebagai ungkapan duka cita yang mendalam. Sebuah peti kayu diletakkan disamping Dewi Surtikanti. Perhatiannya teralihkan sejenak. Ia menatap kotak itu lalu membukanya. Matanya menyipit menghindari sinar putih yang datang dari dalam kotak. Namun itu hanya sementara. Ketika diraihnya secarik kertas yang di gulung rapi. Perlahan gulungan itu di buka dan ia membaca tulisan yang tertera disana.
‘Biarkan restu dan anugerah yang lahir bersama titisan surya tetap mengalir dalam kehidupan yang diciptakannya. Dia berhak diagungkan oleh pemberi cahaya hidup yang telah menggantikan anugerah surya yang hilang sementara. Dan sebuah cahaya akan terus menimbulkan pijar dalam kegelapan tanpa mengeluh terusik oleh kegelisahan’.
Suara tangis bayi menyadarkan Dewi Surtikanti. Rona kebahagian terselip diwajahnya. Sedikit menghapus noda sedih dari hati sejenak. Ia beranjak berdiri dan meninggalkan balai besar tersebut. Ia masuk ke dalam sebuah kamar besar. Didekatinya sumber tangisan itu. Ia menatap bayi mungil yang kini tersenyum riang karena sang ibu ada didekatnya. Ia menggendong bayi itu dan mendekapnya erat-erat. “Cepatlah besar anakku, agar kau memahami apa yang terjadi saat ini dan berjanjilah pada ibu kalau kau akan menegakkan kembali tanah Awangga”.

Text Me, Please!

Pernahkah kalian para kaum hawa, mengagumi seorang pria yang kalian idolakan? Memang, itu hal yang sangat wajar sekali, tapi tidak bagiku. Aku harus berjuang mati-matian dahulu untuk mendapatkannya, bahkan.. sangat kecil kemungkinan untuk bisa.
“Ocha! Aku sudah dapat informasi tentang si..” kata Cindy, yang tiba-tiba terpotong.
“Sssssst! Jangan keras-keras Cin!” kataku.
Aku dan Cindy memang sahabat dekat. Cindy, adalah sahabat yang selalu membantuku dalam susah maupun duka.
“Iya iya. Dia ulang tahunnya tanggal 12 September, Cha.” kata Cindy sambil membisikiku.
“Jeongmal? (Kata “sungguh” dalam bahasa korea) Ulang tahunnya sama kayak aku, Cin!” jawabku girang.
“Ciye-ciye.. jangan-jangan jodoh!” kata Cindy terkekeh.
Namanya Alvaro. Dia, kakak kelasku di kelas 12. Dia memang sangat keren! Tak sedikit adik kelas yang selalu bertingkah heboh kepadanya. Mungkin, hanya aku satu-satunya perempuan yang tidak bersikap seperti itu. Aku pemalu, lugu, mudah canggung. Mana mungkin Kak Varo bisa mengetahui perasaan gadis pemalu sepertiku? Aku hanya bisa mencari banyak informasi tentangnya, bersama Cindy. Aku ingin sekali sms-an dengan Kakak itu dan menanyakan keadaannya tiap hari. Oh iya, aku nggak pernah lupa menempelkan sebuah lollipop setiap Hari Sabtu di loker barangnya. Tak lupa kutuliska inisial “O” di lollipopnya. Aku senang sekali, Kak Varo selalu memakannya, tidak pernah tidak.
Kini, aku sedang berada dalam masa pencarian nomor hape Kak Varo. Haha, tapi aku selalu gagal. Kakak kelas sekelasnya tak pernah memberitahuku, saat aku bertanya. Huh! Pelit sekali, masa’ nomor Kak Varo di simpen sendiri? Aku pun mencari di situs sekolah, tapi hasilnya nihil.
“Sudahlah, Cha! Jangan terlalu sedih, aku pasti bantu kamu kok cari nomor sekolah, tentang data Kak Varo, tapi tak ketemu. Kak Varo! ;)” kata Cindy menghiburku.
“Thanks, Cin!” kataku sambil memeluknya. “Tapi, kenapa aku berharap setinggi itu? Kak Varo aja nggak kenal aku, Cin :’(” lanjutku.
“Tenang, aja!Habis gini pasti kenal!” kata Cindy.
Aku terus berusaha mencari nomor hape Kak Varo, dan akhirnya.. aku berhasil! Aku menemukan nomor Kak Varo di data kelas. Yay! Tapi.. percuma saja. Aku malu dan tak berani untuk sms Kak Varo. Dadaku terasa sesak karena perasaanku ini, yang selalu kupendam sejak kelas 10.
Suatu hari, Cindy menelponku. “Cha! Katanya, Kak Varo mau les di tempat les kamu!” katanya.
“Iya? Aduh, gimana ini Cin?” tanyaku panik, seneng banget sih aslinya, hehe.
“Aduh gimananya, Cha? Kamu kan seharusnya seneng!” kata Cindy.
“Ah.. gimana, ya? Pokoknya gitu deh. Makasih ya, Cin! I Love You..” kataku sambil menutup telpon dan segera mengambil hape di kasur.
‘Halo, Kak, Aku Ocha, Kelas 11-A. Gimana kabar Kakak?’ SMS itu berhasil terkirim, tapi entah kenapa tak ada jawaban dari Kak Varo.
Esoknya, akupun berangkat les. Ternyata, Kak Varo memang benar les di tempatku! Tapi, Kak Varo terlihat acuh dan sama sekali tak memandangku. Aku, jadi sedih dan kehilangan semangat untuk les. Sepulang dari les, aku segera menelpon Cindy dan curhat kepadanya.
“Cin.. Aku nyerah.” kataku sedih.
“Loh, nyerah kenapa, Cha?” kata Cindy bingung.
“Kak Varo.. Aku udah nggak kuat lagi, Cin. Bahkan, dia sama sekali tak menoleh kepadaku tadi.” kataku.
“Jangan putus asa gitu, dong Cha! Kamu udah 2 tahun suka sama Kak Varo, jadinya kayak gini?” kata Cindy.
Aku hanya bisa terdiam, dan tersenyum kembali.
“Oke.. Cin! Aku nggak bakal putus asa lagi! Promise you.. ^^” kataku sambil menutup telponnya.
Esoknya di sekolah, suasana kelas pun gaduh. “Ada apa sih?” kataku heran.
“Kak Varo udah punya pacar ternyata.” jawab Mia, temanku.
“Apa?” kataku. Dadaku sesak, mataku panas, nafasku seakan akan berhenti seketika saat mendengar perkataannya.
Tanpa sadar, akupun mulai menangis untuk sejenak. Cindy pun menghampiriku, dan memelukku.
Waktupun berjalan terus hingga senja datang. Akhir-akhir ini, aku tidak memperdulikan telpon dari Cindy, ataupun yang lain. Tiba-tiba, ponselku kembali berdering untuk ke sekian kalinya.
“Cindy Memanggil..” Aku masih merasa stress karena hal kemarin. Aku tidak mengangkat telpon dari Cindy hingga 5 kali.
“Cha! Jangan hiraukan Mia. Aku tau, Kak Varo hanya menyukaimu, nggak ada yang lain.” kata Cindy.
“Apa?” tanyaku sedih.
“Kak Varo, sering sekali menanyakan tentangmu kepadaku sejak kemarin. Aku yakin, itu pasti karena perasaannya sama kamu, Cha! Aku ingin bilang ke kamu, tapi kamu nggak pernah ngangkat telponku.” kata Cindy.
“Nggak mungkin. SMS ku saja nggak pernah dibalas.” kataku.
“Kak Varo masih nggak berani balas, Cha. Dia malu, dan merasa bersalah sama kamu.” kata Cindy.
Akupun segera mengirim sms ke Kak Varo. “Apa benar, Kakak sudah punya pacar?”
1 SMS dari Kak Varo pun masuk. “Belum, aku hanya ingin jadian dengan adik kelas yang selalu menempelkan lollipop di lokerku. Aku sangat mencintainya.”
Aku gembira sekali! Sejak malam itu, aku dan Kak Varo berpacaran. Kami selalu merayakan ulang tahun kami dengan penuh cinta. Life Happily Ever After!
SELESAI

Obat Alami Layila

Di pinggir jalan, seorang anak yang kira-kira berusia 12 tahun duduk sambil berjualan obat-obatan alami. Namanya Layila. Barang dagangannya masih lengkap, belum ada yang terjual. Daun sirih, lidah buaya, dan barang-barang lainnya yang ia jual belum ada yang dibeli satupun. Setiap ada orang yang lewat, ia sudah berusaha menawarkan dagangannya, tapi pasti tidak ada yang mau. Bahkan ada yang pura-pura tidak melihatnya. Karena adzan maghrib sudah berkumandang, Layila pun langsung membereskan obat-obatan yang ia jual dan membawanya pulang.
“Bagaimana jualannya hari ini?” Tanya Ummi.
“Sama kayak kemarin, Mi.” jawab Layila sedih. Ummi menghela napas.
“Besok, kan, hari Minggu. Kamu nggak sekolah, kan? Besok kamu jualanya dari pagi saja, ya. Siapa tahu kalau pagi-pagi banyak yang mau beli,” kata Ummi. Layila mengangguk, lalu segera menuju kamarnya.
Walaupun sangat lelah sehabis pulang sekolah, Layila tidak akan menolak perintah Ummi. Apapun yang Ummi suruh, mau mudah atau sulit, pasti ia lakukan. Seperti menjual obat-obatan alami sepulang sekolah.
Esok paginya, tidak seperti Minggu pagi biasanya, Layila bangun pukul 04.00. padahal kalau hari Minggu, Layila bangun pukul 05.30. Pukul 06.00 pagi, Layila pergi berjualan ke tempat biasa. Udara pagi yang segar menemani Layila saat berjualan. Ia sangat berharap hari ini dagangannya akan laku. Ia berdoa pada Allah, “Ya Allah, mudahkanlah aku dalam berjualan. Buatlah hari ini lebih baik daripada kemarin. Aaaamiin..”.
Siang. Sore. Belum juga ada yang mau membeli obat-obatan jualannya. Akhirnya saat maghrib, Layila memutuskan untuk pulang, tanpa uang sedikitpun. Baru saja ia mau mengemasi barang jualannya, tiba-tiba seorang bapak-bapak berlari kearahnya.
“Kamu penjual obat alami, kan?” tanyanya. Layila mengangguk.
“Punya obat sakit perut, tidak?” tanyanya lagi. “Ada jahe,” jawab Layila sambil mengeluarkan sebuah kantong yang isinya 7 kotak jahe.
“Saya beli semuanya, ya!” kata bapak itu. Ia segera mengambil 7 kotak jahe tersebut dan mengeluarkan uang senilai Rp. 1.500.000.
“Wah, Pak, Ini harganya Cuma Rp.19.000, kok. Lagi pula saya tidak punya kembaliannya, Pak..” kata Layila.
“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih ya, dik…” kata bapak itu.
“TERIMA KASIH BANYAK, YA PAAAK!” kata Layila bahagia. Saking bahagianya, ia pun menangis.
“Ummi… tadi ada bapak yang beli daganganku, yang harganya Cuma Rp.19.000, dia bayar segini, Ummi!” kata Layila sambil memberikan segepok uang kepada Ummi.
“Alhamdulillah… terima kasih, ya Allah…” kata Ummi.
THE END.

Hari Kartini

Pagi ini wanita tua itu kembali menarik gerobak sampah. Jalannya agak terpincang-pincang, entah karena kakinya sakit atau karena keberatan menarik gerobaknya. Sandal jepit yang mengalasi kakinya, seperti baju kaos dan roknya yang lusuh, sudah tak jelas warna aslinya. Entah karena terlalu lama usianya, atau karena terlalu banyak debu yang bersarang di sana. Karena mungkin berat, jalannya juga cuma nggremet seperti truk gandeng mercy yang kepalanya nonong itu. Pengendara di belakangnya memperlambat laju motornya, memberi kesempatan kendaraan dari lawan arah. Beberapa orang yang memburu waktu, mengantar istrinya berkebaya lengkap hendak upacara di kantor wali kota, mungkin berguman: bikin macet saja!
Karena bertepatan dengan hari peringatan tentang hakekat wanita Indonesia, tadi malam Si Tini, cucunya, iseng-iseng bertanya kepada perempuan itu.
“Tanggal 21 April itu hari apa mbah?”
“Ya, hari Minggu!” jawab Mak Inah dangkal, tanpa mengena pada esensi pertanyaan cucunya. Tini pun tak melanjutkan pertanyaannya. Ia tahu benar, tak ada jawaban yang lebih benar dari pada jawaban neneknya.
Ya, ia benar. Memang tanggal 21 April tahun ini jatuh padahari Minggu. Ia tidak salah sebab ia tidak lagi ingat akan pelajaran sejarah di sekolah dulu. Atau, ia memang tidak mengenal apa itu Hari Kartini, karena ia mungkin saja tidak pernah sekolah. Yang ia ingat hanyalah tugasnya setiap hari, menarik gerobak sampah. Dari unjung jalan, berhenti di depan setiap rumah, mengangkat tong sampah dari ban bekas lalu memuntahkan sampah bau itu ke perut gerobaknya. Begitulah seterusnya, sampai di akhir jalan itu.
Mak Inah, memang pernah mendengar ketika cucunya menghafal pelajaran sejarah. Si Tini, cucunya itu, mempunyai kebiasaan menghafal sambil membaca keras-keras kalimat yang dihafalnya. Supaya tidak mudah terlupa. Oleh karena itu, masih belum tegerus dari ingatannya ketika si Tini membaca keras-keras: Buku karangan R.A. Kartini adalah Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tentu saja Mak Inah tak pernah tahu persis apa maskudnya, selain sekadar meraba-raba artinya. Menerjemahkan ala orang bodoh dan miskin. Adakah itu artinya, sehabis malam membungkus bumi lantas terbentanglah siang di hamparannya? Kalau itu artinya, bukankah itu hanyalah sebuah kebenaran umum yang cukup diterima saja? Kehendak Tuhan yang diawali ketika Ia menciptakan dunia dan mungkin akan diakhiri saat Ia mengirimkan kiamat?
Menurut Mak Inah, pendapat pribadinya, gelap diartikannya sebagai nasib rakyat kecil yang hidupnya tak seterang orang kaya. Lalu, terang dimaknainya sebagai rasa bahagia karena kemiskinan itu justru membuatnya tenang. Samar-samar pernah terlihat di televisi orang kaya seusianya yang bajunya bertuliskan ‘TAHANAN KPK’. Baginya kemiskinannya tidak pernah membuatnya menjadi pesakitan seperti orang kaya yang di TV itu. Bisa saja orang miskin hidupnya terang, dan bisa saja yang kaya hidupnya gelap.
Meski berat, gerobak Mak Inah sampai juga ke TPA. Tempat Pembuangan Akhir, pembuangan sampah. Pengalamannya selama ini yang lebih dari lima belas tahun menjadikannya hafal betul bahwa sampah pun mempunyai kasta. Kasta brahmana dan kasta sudra, kasta kaya dan kasta melarat.
Sampah dari rumah tingkat yang di bagian sampingnya ada kandang mercy, pajero, alphard atau setidanya, kijang dan macan hitma, biasanya berupa kotak-kotak bungkus pizza atau dunkin donat. Roti yang bentuknya budar seperti roda berselaput gula. Entah bagaimana rasanya ia tak pernah tahu. Lidahnya tak pernah bercerita tentang itu. Gambar-gambar itu saja yang bercerita kepadanya. Sedang sampah dari rumah-rumah kecil, biasanya hanya berupa sisa batang kangkung atau kulit terong yang dibungkus tas kresek.
Anehnya, Mak Inah tak pernah mengiri. Apalagi sampai bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa ada orang kaya dan orang miskin. Ia tak pernah protes ketika ia bingung hari ini mau makan apa, sementara makluk-makluk itu kebingungan mau makan di mana. Baginya, sampah-sampah karton dan kardus itu kadang bisa menghapus kebingunagan itu, manakala ia sudah membawanya ke Haji Sakri, pengepul barang loak itu dan menukarnya dengan sejumlah uang.
Mak Inah, menambatkan gerobaknya di samping rumah sangat sederhana yang di sewa dari Pak RT. Becak yang warnanya sudah seperti batik karena terlalu sering di cat ulang itu sudah ada di halaman, di bawah pohon. Pertanda Mat Pithi, suaminya, yang semalaman mencoba mengais dinginnya malam untuk uang dua puluh ribuan sudah pulang. Begitulah, Mat Phiti lebih sering pulang pagi. Bila malam, ia melingkarkan tubuhnya di jok becaknya dan membalut dengan sarung di dekat perempatan lampu merah. Itu setelah lelah dan rasa kantuk mengalahkannya.
“Mak, sebaiknya hari ini Emak gak usah memulung,” kata Mat Pithi menyambut istrinya.
“Memangnya kenapa pak?”
“Ya, sekali-kali istirahatlah. Sehari dalam seminggu. Seperti para pegawai itu.”
“Mereka kan gak kerja sebulan juga di bayar. Kalau kita, gak kerja sehari berarti gak makan.”
Mat Phiti hanya manggut-manggut sambil menghabiskan sarapan paginya. Nasi dan sambal ikan asin. Benar juga, pikirnya.
“Kalau begitu, Emak pergi ke balai kota saja. Pasti di sana banyak totak bekas kue dan botol atau gelas akua.”
“Loh, di sana ada apa, pak?”
“Ada upacara.”
“Upacara apa?”
“Mana aku tahu toh mak, wong tukang becak kok ditanya soal upacara segala!”
“Ya sudah, aku kesana.”
Masih tetap mengenakan pakaian kerja seperti saat ia menarik gerobak sampahnya, Mak Inah menuju ke balai kota. Meski masih tetap berurusan dengan sampah, kali ini Mak Inah tidak menarik gerobak. Karung pastik besar yang dibawanya. Nangkring di punggungnya.
Di halaman balai kota, upacara itu dilakukan. Ibu-ibu, pegawai kantor walikota itu, memakai kebaya lengkap, pakaian tradisional adat Jawa. Juga istri wali kotanya. Pak walikota pun memakai beskap, jarik dan blankon. Lalu, dinyanyikan lagu ‘Ibu Kita Kartini”. Mak Inah, tiba-iba ingat tadi malam ketika si Tini menyanyikan lagu itu. Sebelum ia menanyainya tentang tanggal 21 April itu. Pertanyaan yang aneh!
Upacara telah selesaii. Pesta di kantor wali kota pun usai. Mobil-mobil kembali mengangkut para istri itu kembali ke rumahnya. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini bapak-bapak itu seakan bersimpuh di kaki wanita. Dan, wanita seperti menjadi ratu sehari. Ibu-ibu itu sejak subuh telah pergi ke salon kecantikan. Hari ini ibu-ibu itu harus nampak cantik. Harus nampak bak seorang ratu. Konon, untuk ke salon itu mereka harus bayar mahal. Sama jumlahnya dengan gaji yang ia terima untuk tiga bulan. Gaji sebagai pengangkut sampah itu.
Tiba-tiba, Mak Inah ingat tentang Hari Kartini seperti yang dinyanyikan Tini tadi malam. Ya, hari ini 21 April adalah Hari Kartini. Lalu, ia tersenyum. Tanpa disadarinya, bibirnya bersiul: “Ibu kita Kartini, putri sejati…” Mengingat dan mengucap sepotong-sepotong lagu pendek itu. Sambil terus memunguti kotak kue, gelas dan botol plastik.
Ia akan terus berjuang seperti Kartini!

Gang Setan

Semua terdengar memiliki irama ditelingaku. Setiap lantunan detik dari waktu yang terus berjalan ada bisikan dari pasir dijalanan yang tak disadari adanya. Arakan awan membawa lukisan sederhana dari biru dan putih terlewatkan oleh insan yang tengah beradu dengan sengat matahari.
Seperti hari biasanya dia sudah berdiri di pinggir trotoar menunggu si merah datang. Wajahnya kian kusam akibat terpaan panas jalanan dan asap kendaaraan yang sudah akrab dengan hidupnya. Topi coklat usang yang di dapat dari seorang pengendara sepeda motor dua tahun lalu di kemacetan lampu merah masih setia melindungi kepalanya.
“Kapan kau akan sadar?” seorang lelaki dengan tinggi seperti seorang polisi dan tusuk gigi yang tengah menari dimulutnya menghapuskan lamunannya ditepi jalan. Seorang yang memberinya segelas air segar sekaligus orang yang membuatnya tak ingin minum lagi. Setiap sore ia akan datang mencarinya dan memberinya sebungkus nasi berisi lauk tempe sambal atau bahkan ayam goreng. Mereka boleh saja sama-sama mengamen dilampu merah bermodalkan gitar dan suara yang biasa saja. Tetapi lelaki itu bisa mendapatkan sepuluh kali lipat dari hasil ia mengamen selama enam sehari.
“Aku sudah sadar sejak awal, kau yang kapan akan sadar dan.. sudahlah” ia pergi mendapatkan mobil mewah putih yang berada dibarisan depan lampu merah.
“Jangan keras kepala..” sambil berteriak ia pergi meninggalkannya, namun bukan untuk mengamen seperti anak jalanan lainnya.
Setiap hari harus bertempur melawan asap kendaraan, panas, lelah dan sakit tapi tidak juga menyurutkan janji yang telah ia ucapkan pada diri sendiri dalam luka batin yang menerpa hidupnya. Meski aku tak mampu membeli pakaian bagus, makanan mahal dan bahkan harus mati kelaparan.
Aku tak akan pernah menjual hidupku pada duniawi.
Sekarang usianya telah 20 tahun, tak terasa sudah 3 tahun ia hidup sebagai anak jalanan yang tak tentu tempat tinggal dan makannya. Meski sebelumnya ia bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, tapi setidaknya ia masih bisa merasakan betapa nikmatnya bisa makan tiga kali sehari, sekolah, memanggil seorang ibu atau ayah bahkan dimarahi oleh orang tua kini sudah menjadi kerinduan baginya.
Diakhir SMA ia harus rela berhenti sekolah karena harus mengisi perutnya walau hanya dengan sebuskus nasi saja. Lilitan utang membuat rumahnya menjadi langganan kedatangan rentenir tiap minggu bahkan setiap hari. Bunga yang kian membengkak membuat rumah dengan isinya harus jatuh ketangan rentenir. Terpancar senyum puas dan menjijikan saat ia bertatapan dengan rentenir tua dan buncit itu dihari terakhir ia bisa menikmati hangatnya kamar tidurnya. Hidup tak jelas dijalanan membuat orang tuanya harus segera meninggalkannya di dunia ini sendirian.
“Jangan pernah menjual hidupmu dengan kenikmatan duniawi, nak. itu tak lebih baik dari hidup sederhana.” Adalah ucapan ibunya yang setiap hari menjadi api dalam hidupnya untuk tetap mengamen dari pada ikut jalan temannya. Meski begitu bunga tetap saja manusia, seorang gadis belia yang belum mengenal baik dunia, ia sempat bimbang, “yang mana yang ibu sebutkan dengan hidup sederhana, ibu. Ini lebih tepat hidup menderita, ibu. Apakah nerakah telah berpindah kesini, bu..?”
Air mata kerap menemani hari-harinya sama seperti sore ini. Ditengah lagunya ia langsung pergi meninggalkan mobil putih itu tanpa meminta upah suara yang telah ia keluarkan. Sisupir sedikit bingung, namun tak lama karena merah telah berganti.
Ditemani air mata yang masih mengalir ia melangkah pergi menjauh dari mobil-mobil itu dan asapnya. Disudut gang yang diberi nama setan itu ia menghilang. Sambil terus menangis ia melayangkan tinju dan tendangan ke dinding-dinding gang itu, namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
Tangisnya belum juga berhenti tiba-tiba datang batuk mendera tenggorokan dan dadanya. Darah lagi yang hadir dari mulutnya. Sejenak ia merasa senyap memandangi darah ditangan dan dinding itu. Kemudian ia malah tertawa. Serangan batuk dan darah merupakan komedi dalam hidupnya.
Tawa membahana di gang yang lebarnya tak lebih dari tiga langkah kaki manusia itu. Ia semakin tertawa dan memandikan darah itu disekitar mulutnya. Meski ia tertawa, namun air mata belum berhenti menyiram wajahnya bahkan hujan kepiluan itu malah semakin deras. Tubuhnya yang kurus semakin tak mampu menahan serangan TBC yang juga telah merenggut ibunya dari sisinya.
Ia juga manusia. Ia seorang wanita yang juga ingin hidup lama dan merasakan proses dan tahap dalam kehidupan. Menikmati hangatnya keluarga di rumah, makan setiap hari, bahkan ia juga memiliki niat untuk dapat menikah.
“Liat Nara gak?” Tanya lelaki yang ternyata diam-diam sudah simpati padanya sejak tiga tahun ia kenal dijalanan. Sebenarnya Ia tak tahu nama dari gadis itu, tetapi karena gadis itu tidak pernah berkenan memberitahukan namanya pada siapapun. Maka ia menamainya dengan Nara, sama seperti nama dalam judul sinetron yang tengah menjadi pembicaraan banyak ibu-ibu dimanapun ia tengah berada. Maka jadilah ia dipanggil Nara hingga sekarang oleh semua orang yang mengenalnya. Bukan tanpa alasan Gadis itu tidak mau memberikan namanya. Tetapi karena malu atas hidup yang harus ia jalani sekarang ia tak pernah memberitahukan namanya pada siapapun. Jikapun ada yang bersikeras ingin tahu ia hanya mengatakan, “Kau boleh panggil aku apa saja” lalu pergi.
“Tadi lagi ngamen tiba-tiba pergi gitu aja bang.” Jawab bocah kecil yang biasa ngamen di tempat yang sama dengan Nara.
“Pergi kemana?”
“Tadi kayaknya kearah sana tu bang”
“Ya sudah, makasih. Ngamen yang semangat biar dapat bayak uangnya”
“Oke bang” sambil pergi berlari menuju deretan mobil di lampu merah.
Nara tak pernah memanggil lelaki ini dengan namanya. Ia bahkan tidak pernah mencari lelaki ini. Ia sudah mulai terbiasa dengan tidak ada lagi orang yang berarti dalam hidupnya untuk ia jaga dan sayangi. Roy, begitulah ia di sapa oleh semua anak jalanan yang mengenalnya. Ia memiliki wajah yang tampan untuk ukuran orang yang hidup dijalanan. Tubuhnya tegap dan tinggi, kulitnya juga putih. Tak heran karena ia memiliki darah arab dalam tubuhnya. Ibunya adalah TKW yang harus dipulangkan ke Tanah Air karena mengandung anak dari majikannya dan siksa karena di tuduh merayu suami majikannya.
Banyak orang yang menjuhinya dan memberinya label sebagai anak haram hingga di akhir hidup ibunya pun ia belum tahu siapa ayahnya. Hampir tak ada yang mau mendekat padanya karena penampilannya yang masih kental wajah keturunan Arab. Satu-satunya orang yang tidak memandang aneh dirinya adalah Bang Ben yang terkenal dengan tato Naga di separuh badan sebelah kanan. Ia pun tinggal bersama Bang Ben hingga Nara muncul dalam hidupnya yang sama sekali tak pernah membedakan sikulit gelap dengan putih, sisuku a dengan suku b. Ia bersikap sama terhadapnya dengan orang lain. Itulah Nara dari pendidikannya.
Memasuki gang setan perlahan Roy melangkah dan memanggil nama Nara, namun tak mendapat balasan. Semakin keras ia memanggil ia semakin khawatir. Ia percepat langkahnya dengan mata layaknya radar mendeteksi pergerakan hingga ia tersandung benda yang cukup besar yang ternyata adalah kaki Nara. “Nara.. kau kenapa? Nara, kau bisa dengar aku?”
***
Kepalanya masih pusing dan tubunya terasa seperti baru mengangkat gunung. Perlahan matanya membuka, ia pegang kepalanya dan perlahan mulai duduk. Dengan lembut kedua tangan Roy membantunya mengangkat tubuh Nara mendekat pada bantal untuk peyangga tubuh Nara.
“Lebih baik berbaring aja dulu. Jangan terlalu dipaksa Nar.” Nara terkejut mendapati suara yang sangat dikenalnya, Roy dengan tanganya sedang membantu Nara duduk.
“Kau kenapa ada sini? Trus kenapa aku ada disini dan apa ini?” Nara melihat peralatan infuse yang terpasang ditubuhnya.
“Kau pingsan, untung aku melihatmu. Jadi aku membawamu ke sini. Kau harus di rawat Nar, jangan membantah lagi. Biar aku yang urus soal biayanya. Kau cukup bertahan dan di rawat penyakitmu lalu sehatlah. Aku..” dengan cepat tangan Nara menghempaskan tangan Roy dan mencabut selang infuse dari pergelangan tangan Nara dan bersiap melompat dari tempat tidur. Namun tampaknya tubuhnya belum kuat dan menolak bergerak.
“Nara…” dengan sigap Roy mengangkat Nara kembali ke tempat tidur dan membaringkannya. “aku mohon jangan menolak”
“Aku gak bisa, sungguh aku gak bisa. Kalau pun aku harus di rawat aku tak mau uang itu darimu.” Air mata Nara kembali meluncur diwajah kurus dan pucat itu.
“Kenapa Nar.. aku bersumpah itu uang halal”
“Jangan coba menipuku lagi. Aku tak bisa menerimanya.”
“Nara aku berani sumpah ini halal” Roy mencoba meyakinkan Nara.
“Apanya yang halal..? kau pikir aku tak tau kau mendapatkan uang itu dari tante-tante girang yang yang kesepian. Kau sama saja menjual diri.”
“Nara cukup..!” kini suara Roy mulai meninggi.
“dan aku tak mau menjadi alasanmu menjual dirimu” sesaat hining muncul di antara mereka. Keduanya tak sanggup menatap wajah meraka.
“kau tenang saja, aku akan tetap hidup. Jangan perdulikan aku.” Lalu Nara pergi dengan langkah yang gontai menyusuri lorong rumah sakit.
Entah mana yang akan menang nantinya. Apakah semangat hidupnya atau penyakit yang merajai tubunya. Ia belum tahu. Tetapi satu yang ia tahu bahwa semangat hidupnya masih ada dan belum ditulari TBC begitu pula dengan hatinya yang masih setia untuk tidak menerima dan memberi cinta pada siapapun.
Medan, 2012