Rabu, 18 Maret 2015

Si Kakek dan Aku

Ku tatap matahari yang sudah meninggi, cuaca tidak terlalu terik siang ini. Aku melangkah menyusuri trotoar di depan toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan mahakam ini. Pesangon yang ku terima sebulan yang lewat, membuatku harus menyusuri jalan-jalan kota demi mendapatkan pekerjaan. Sebagai seorang pria rasanya ini adalah saat yang kelam. Tanpa pekerjaan dan sudah sebulan ini berkeliaran di jalan-jalan kota demi mencari pekerjaan. Bertemankan terik matahari, debu, keringat, hujan dan lumpur. Rasanya ingin berhenti menyudahi perjuangan mencari pekerjaan ini. Tapi… aku harus tetap berjuang demi memenuhi kebutuhan hidup, yang membuatku sedikit tenang adalah aku belum memiliki tanggung jawab menafkahi anak istri. Seandainya aku sudah berkeluarga mungkin aku bisa stres tanpa pekerjaan seperti ini. Yah… meskipun sebenarnya sekarang ini juga sudah sedikit stres karena belum mendapatkan pekerjaan.
Dengan bermodalkan uang pesangon aku berkeliling kota mencari pekerjaan. Hari sudah siang saatnya aku mengisi perut, aku melangkah ke warung makan di pinggir jalan. Duduk di bangkunya yang sudah kusam dan meja yang berlapiskan karpet plastik. Seorang ibu menyambutku dan menanyakan mau makan apa, setelah aku mengatakan pilihan menu makan siangku si ibu langsung mempersiapkannya. Aku mendesah pelan rasanya lelah, lelah fisik dan pikiran karena sampai saat ini aku belum mendapatkan pekerjaan.
Sambil menunggu makan siangku datang aku melihat sekelilingku, warung ini cukup ramai. Warung ini cukup nyaman meski telah usang tapi keramahan pemiliknya membuat orang tertarik untuk mampir ke warung ini. Seorang pria tua lewat di depan warung dengan gerobak dorongnya yang berisi barang-barang bekas. Lalu dia berhenti tak jauh dari warung tempatku duduk. Dia berteduh di bawah pohon di sisi warung tempatku duduk sambil mengipas wajahnya dengan topinya, terlihat lelah sekali. Sudah setua itu, kakek ini masih bekerja keras. Ku lihat si kakek mengambil sesuatu dari dalam gerobaknya. Sekantong plastik, sepertinya minuman dan sebungkus makanan. Ku perhatikan kakek itu, dia membuka bungkusan daun itu. Terlihat nasi putih di dalam daun itu tapi kelihatannya hanya nasi putih tanpa lauk?
“Ni makanannya dek..” si ibu pemilik warung mengagetkanku. Si ibu meletakkan sepiring nasi dan segelas air minum di depanku.
“Eh iya bu.” jawabku sambil melihat ke ibu itu lalu kemudian kembali melihat ke arah kakek itu. Si kakek makan hanya dengan nasi putih tanpa lauk? Pikirku heran.
“Kenapa dek, kok lihatin kakek itu terus?” tanya si ibu yang ternyata masih ada di dekatku.
“Eh.. iya bu, tu kakek makan hanya dengan nasi putih.” Ucapku heran lalu melihat si ibu.
“Iya, sudah biasa. Kalau lagi ngak ada barang yang dia dapat biasanya besoknya dia hanya makan nasi putih saja sebagai makan siangnya. Terkadang malah cuma singkok.” ucap si ibu yang terlihat prihatin. Aku menatap si kakek iba, teringat selama ini aku selalu makan dengan enak.
“Tapi kakek ngak mau di kasihani, pernah tuh ibu mau kasi lauk untuknya eh.. malah si kakek tersinggung. Kakek itu orangnya penuh semangat, selalu berusaha setiap hari mencari barang-barang bekas untuk dijual supaya ada biaya untuk hidup. Yah.. dari pada seperti mereka-mereka itu.” ucap si ibu. Sambil melihat ke arah beberapa pengemis di pinggir jalan, yang terlihat sehat dan masih muda.
“Kok si kakek ngak mau di kasi bantuan ya bu?” ucapku, yang kembali bicara tentang si kakek dan tidak terlalu memperhatikan para pengemis itu.
“Dia bilang ngak mau membuat orang lain rugi atau membebani orang lain. Dan lagi dia bilang nanti jadi kebiasaan, kebiasaan menerima dari orang lain membuat dia tidak lagi bekerja keras untuk diri sendiri dan keluarganya” ucap si ibu, sungguh pria tua yang penuh semangat dan perjuangan.
“Kakek itu punya keluarga?” tanyaku lagi.
“Dia punya istri tapi tidak punya anak, ibu dengar dulu dia punya anak tapi meninggal karena sakit sebab tidak punya uang untuk berobat.” ucap si ibu hatiku miris mendengarnya.
“Sudah dek, makanannya di makan.” ucap si ibu lalu kembali ke kerjaannya.
Aku masih menatap si kakek. Lalu melihat ke piringku, selera makanku hilang. Tapi karena sudah ku pesan aku harus memakannya dan harus habis tak tersisa karena banyak orang yang sulit untuk makan. Aku teringat selama ini begitu tidak peduli jika makanan bersisa atau mengeluh kalau makanannya tidak sesuai dengan seleraku. Sesekali aku melirik si kakek yang makan dengan lahap dan akhirnya menyelesaikan makan siangnya.
Selesai makan siang aku masih duduk di warung itu, si kakek sudah pergi dengan gerobaknya. Mungkin bukan hanya si kakek yang seperti ini masih banyak orang lain yang mengalami hal seperti ini. Kesulitan mencari biaya hidup membuat mereka harus bisa makan supaya kenyang saja tanpa berpikir akan gizi makanannya. Bahkan tak mampu berobat jika sakit, si kakek kehilangan anaknya karena tidak mampu membawa anaknya berobat. Aku menatap sekelilingku lalu menatap langit. Kata orang negaraku begitu kaya, kaya akan sumber daya alamnya tapi kenapa rakyatnya untuk makan pun sulit? Pertanyaan yang sulit untuk ku jawab meski pun akan banyak alasan dan jawaban untuk pertanyaan itu.
Di usianya yang lanjut si kakek ngak berputus harap untuk mencari nafkah dan meski lelah tadi aku engak melihat dia lesu. Dia tetap semangat mendorong gerobaknya. Yah… ini pun pelajaran bagiku untuk tetap semangat dalam mencari pekerjaan. Bukankah aku masih muda sudah seharusnya aku lebih semangat dari kakek tadi meski sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Ini adalah sebuah perjuangan dalam hidupku… Dan sudah seharusnya aku bersyukur karena sampai hari ini aku masih bisa hidup dengan berkecukupan dan harus menghargai apa yang ada padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar