Ku tatap matahari yang sudah meninggi, cuaca tidak terlalu terik
siang ini. Aku melangkah menyusuri trotoar di depan toko-toko yang
berjejer di sepanjang jalan mahakam ini. Pesangon yang ku terima sebulan
yang lewat, membuatku harus menyusuri jalan-jalan kota demi mendapatkan
pekerjaan. Sebagai seorang pria rasanya ini adalah saat yang kelam.
Tanpa pekerjaan dan sudah sebulan ini berkeliaran di jalan-jalan kota
demi mencari pekerjaan. Bertemankan terik matahari, debu, keringat,
hujan dan lumpur. Rasanya ingin berhenti menyudahi perjuangan mencari
pekerjaan ini. Tapi… aku harus tetap berjuang demi memenuhi kebutuhan
hidup, yang membuatku sedikit tenang adalah aku belum memiliki tanggung
jawab menafkahi anak istri. Seandainya aku sudah berkeluarga mungkin aku
bisa stres tanpa pekerjaan seperti ini. Yah… meskipun sebenarnya
sekarang ini juga sudah sedikit stres karena belum mendapatkan
pekerjaan.
Dengan bermodalkan uang pesangon aku berkeliling kota mencari
pekerjaan. Hari sudah siang saatnya aku mengisi perut, aku melangkah ke
warung makan di pinggir jalan. Duduk di bangkunya yang sudah kusam dan
meja yang berlapiskan karpet plastik. Seorang ibu menyambutku dan
menanyakan mau makan apa, setelah aku mengatakan pilihan menu makan
siangku si ibu langsung mempersiapkannya. Aku mendesah pelan rasanya
lelah, lelah fisik dan pikiran karena sampai saat ini aku belum
mendapatkan pekerjaan.
Sambil menunggu makan siangku datang aku melihat sekelilingku, warung
ini cukup ramai. Warung ini cukup nyaman meski telah usang tapi
keramahan pemiliknya membuat orang tertarik untuk mampir ke warung ini.
Seorang pria tua lewat di depan warung dengan gerobak dorongnya yang
berisi barang-barang bekas. Lalu dia berhenti tak jauh dari warung
tempatku duduk. Dia berteduh di bawah pohon di sisi warung tempatku
duduk sambil mengipas wajahnya dengan topinya, terlihat lelah sekali.
Sudah setua itu, kakek ini masih bekerja keras. Ku lihat si kakek
mengambil sesuatu dari dalam gerobaknya. Sekantong plastik, sepertinya
minuman dan sebungkus makanan. Ku perhatikan kakek itu, dia membuka
bungkusan daun itu. Terlihat nasi putih di dalam daun itu tapi
kelihatannya hanya nasi putih tanpa lauk?
“Ni makanannya dek..” si ibu pemilik warung mengagetkanku. Si ibu meletakkan sepiring nasi dan segelas air minum di depanku.
“Eh iya bu.” jawabku sambil melihat ke ibu itu lalu kemudian kembali
melihat ke arah kakek itu. Si kakek makan hanya dengan nasi putih tanpa
lauk? Pikirku heran.
“Kenapa dek, kok lihatin kakek itu terus?” tanya si ibu yang ternyata masih ada di dekatku.
“Eh.. iya bu, tu kakek makan hanya dengan nasi putih.” Ucapku heran lalu melihat si ibu.
“Iya, sudah biasa. Kalau lagi ngak ada barang yang dia dapat biasanya
besoknya dia hanya makan nasi putih saja sebagai makan siangnya.
Terkadang malah cuma singkok.” ucap si ibu yang terlihat prihatin. Aku
menatap si kakek iba, teringat selama ini aku selalu makan dengan enak.
“Tapi kakek ngak mau di kasihani, pernah tuh ibu mau kasi lauk untuknya
eh.. malah si kakek tersinggung. Kakek itu orangnya penuh semangat,
selalu berusaha setiap hari mencari barang-barang bekas untuk dijual
supaya ada biaya untuk hidup. Yah.. dari pada seperti mereka-mereka
itu.” ucap si ibu. Sambil melihat ke arah beberapa pengemis di pinggir
jalan, yang terlihat sehat dan masih muda.
“Kok si kakek ngak mau di kasi bantuan ya bu?” ucapku, yang kembali
bicara tentang si kakek dan tidak terlalu memperhatikan para pengemis
itu.
“Dia bilang ngak mau membuat orang lain rugi atau membebani orang lain.
Dan lagi dia bilang nanti jadi kebiasaan, kebiasaan menerima dari orang
lain membuat dia tidak lagi bekerja keras untuk diri sendiri dan
keluarganya” ucap si ibu, sungguh pria tua yang penuh semangat dan
perjuangan.
“Kakek itu punya keluarga?” tanyaku lagi.
“Dia punya istri tapi tidak punya anak, ibu dengar dulu dia punya anak
tapi meninggal karena sakit sebab tidak punya uang untuk berobat.” ucap
si ibu hatiku miris mendengarnya.
“Sudah dek, makanannya di makan.” ucap si ibu lalu kembali ke kerjaannya.
Aku masih menatap si kakek. Lalu melihat ke piringku, selera makanku
hilang. Tapi karena sudah ku pesan aku harus memakannya dan harus habis
tak tersisa karena banyak orang yang sulit untuk makan. Aku teringat
selama ini begitu tidak peduli jika makanan bersisa atau mengeluh kalau
makanannya tidak sesuai dengan seleraku. Sesekali aku melirik si kakek
yang makan dengan lahap dan akhirnya menyelesaikan makan siangnya.
Selesai makan siang aku masih duduk di warung itu, si kakek sudah
pergi dengan gerobaknya. Mungkin bukan hanya si kakek yang seperti ini
masih banyak orang lain yang mengalami hal seperti ini. Kesulitan
mencari biaya hidup membuat mereka harus bisa makan supaya kenyang saja
tanpa berpikir akan gizi makanannya. Bahkan tak mampu berobat jika
sakit, si kakek kehilangan anaknya karena tidak mampu membawa anaknya
berobat. Aku menatap sekelilingku lalu menatap langit. Kata orang
negaraku begitu kaya, kaya akan sumber daya alamnya tapi kenapa
rakyatnya untuk makan pun sulit? Pertanyaan yang sulit untuk ku jawab
meski pun akan banyak alasan dan jawaban untuk pertanyaan itu.
Di usianya yang lanjut si kakek ngak berputus harap untuk mencari
nafkah dan meski lelah tadi aku engak melihat dia lesu. Dia tetap
semangat mendorong gerobaknya. Yah… ini pun pelajaran bagiku untuk tetap
semangat dalam mencari pekerjaan. Bukankah aku masih muda sudah
seharusnya aku lebih semangat dari kakek tadi meski sulit untuk
mendapatkan pekerjaan. Ini adalah sebuah perjuangan dalam hidupku… Dan
sudah seharusnya aku bersyukur karena sampai hari ini aku masih bisa
hidup dengan berkecukupan dan harus menghargai apa yang ada padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar