Senin, 23 Maret 2015

Kematian Tanpa Sesal

“Rara, bangun..!”
“Hoamm.. iya ibu, Rara sudah bangun”.
Kulirik jam dinding yang tergantung manja di tembok kamarku. Jarum-jarum mungilnya menunjukkan bahwa saat ini jam berjalan pukul 04.50 pagi. Saatnya bangun, dan segera menunaikan shalat shubuh. Hari ini aku ada jadwal untuk pergi ke sekolah. Maklum setelah Ujian Nasional berlangsung, jadwal untuk pergi ke sekolah menjadi berkurang dan terkesan tidak menentu.
Kini saatnya untuk pergi ke sekolah. Sejenak melepas rasa rinduku kepada teman-teman yang selama tiga tahun di masa putih abu-abu selalu menemani hari-hariku. Sebenarnya jadwal masuk sekolah hari ini kami buat sendiri. Ya sekedar melaksanakan tradisi turun temurun untuk mencorat-coret seragam kebesaran kami. Tapi tak perlu khawatir, tingkah kami masih berada di batas kewajaran dan tidak sampai menganggu aktifitas masyarakat sekitar.
“Hai Rara”.. sapa teman-temanku bebarengan.. sambil memperlihatkan senyum paling menawan yang mereka semua miliki. Begitulah mereka, selalu tampil kocak dan penuh keceriaan. Rasanya aku tak menyesal mempunyai teman-teman sekelas seperti mereka. Yang kadang menjengkelkan tapi juga ngangenin. hhehe.. Ternyata sudah banyak juga teman-teman yang telah tiba di sekolah.
“Apaan sih kalian. Pakek senyum-senyum seperti itu”. Jawabku menggoda.
“Oh, jadi rupanya kamu sudah tak ingin senyuman dari kita, oke fine” terdengar serius tapi kembali lagi, itulah cara kami untuk saling menggoda satu sama lain.
“Yee, memang aku butuh senyuman kamu, gak juga.. wekk”
“ihh Rara lucu deh” kata Lana, teman dekatku sambil mencubit gemas pipi kanan dan kiriku”.
“Auw, Laaannaaa!”
Ya begitulah setiap kami bertemu, selalu saja ada bahan untuk membuat gaduh suasana. Maklumlah, kami menempati kelas dengan 36 siswa yang seluruhnya adalah siswi perempuan. Sekolah kami memang lebih banyak dihuni oleh siswi perempuan. Karena mungkin memang jurusan dari Sekolah Menengah Kejuruan kami lebih bersifat ke bidang bisnis manajemen, sehingga lebih banyak menarik perhatian murid cewek pada umumnya.
“Udah ngumpul semua?” kata Vany, sang ketua kelas.
“Kayaknya udah deh Van, mending kita langsung ke tempat tujuan kita saja” kataku.
Yang kami sebut tempat tujuan adalah lapangan terbuka di dekat sekolah kami. Tak mungkin kami corat-coret di area sekolah karena jika kami melakukannya maka kepala sekolah tidak akan mengeluarkan Surat Keterangan Kelulusan kami semua.
Setelah sampai di lapangan, ternyata banyak siswa-siswi dari SMA/K lain yang sudah berkumpul dan bercoret-coret ria. Tak mau ketinggalan aku dan teman-temanpun melakukan hal yang sama. Saling menorehkan tanda tangan terindah di seragam teman satu sama lain. Menyemprotkan cat warni-warni pada seragam putih abu-abu kami. Benar-benar masa remaja yang sangat indah bukan. Setelah puas dengan acara corat-coret dan berfoto ria, kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dan melakukan apa yang akan menjadi pilihan berikutnya untuk masa depan kita sendiri. Tapi ada juga di antara kami yang memutuskan untuk sekedar makan bersama di tempat favorit mereka. Ya namanya juga remaja yang akan beranjak dewasa, berkumpul bersama teman-teman adalah moment indah yang tak ingin terlewatkan..

Hari ini aku akan mengikuti ujian di salah satu universitas di tempat tinggalku. Sesuai keinginan kedua orang tuaku, aku mengambil jurusan dalam bidang Administrasi sama seperti jurusan saat aku masih bersekolah di SMK. Inilah sesungguhnya pilihan tersulit dalam hidupku. Sewaktu kecil aku memang suka dengan pekerjaan kantor dan sejenisnya, tapi kini berbeda. Keinginanku tak lagi sama setelah aku mengenal bidang seni musik. Aku lebih tertarik untuk melanjutkan studiku di bidang musik. Tapi apa daya, kedua orang tuaku hanya menganggap sebelah mata bidang kesukaan ku tersebut. Mereka tidak merelakan aku untuk memilih apa yang aku suka. Akupun tak kuasa untuk menentangnya, karena aku tak ingin membuat mereka sakit hati ataupun terluka karena sikapku. Dengan keputusan yang membuat aku bimbang akhirnya aku menuruti apa yang mereka inginkan. Masih terngiang jelas ucapan orang tuaku saat aku menyampaikan keinginanku untuk memperdalam seni musik dalam diriku.
“Mau jadi apa kamu? Bidang itu tidaklah menjanjikan untuk hidup kamu”
Saat orang tuaku berkata demikian, kalian tau bahwa aku merasakan sakit yang teramat dalam. Mereka menilai suatu hal secara instan. Tak ada salahnya untukku mencoba menekuni apa yang menjadi minat dalam hidupku. Bukankah kesuksesan adalah milik orang yang kreatif? Apa salahnya jika aku memiliki bakat yang harus kukembangkan dalam bidang seni? Aku tidaklah ingin menjadi seorang yang duduk di belakang meja dengan seberkas dokumen di sampingnya, dengan komputer yang selalu di tatap setiap harinya. Aku ingin menjadi seorang yang hidup dengan musik, merangkai nada di setiap not indah yang tercipta, merangkai kata menjadi bait yang indah untuk di dengar, membuat orang lain merasa nyaman saat mereka mendengarkan sebuah musik. Song writer, musisi handal adalah cita-citaku. Dan sekarang mungkin saatnya untuk memendam apa yang aku inginkan.
Ujian berlangsung lancar. Kini aku pasrahkan hasilnya kepada Allah. Biarlah Dia yang menentukan apa yang akan menjadi jalan hidupku untuk melangkah ke depan. Waktu yang ditunggupun tiba, hasil calon mahaiswasa/si yang di terima sudah dapat di lihat secara online di situs-situs yang telah diumumkan sebelumnya. Aku mencoba melihat dengan resah, dan akhirnya nama “Rara Kusuma” tercantum dalam program pendidikan Administrasi Bisnis di universitas tersebut. Aku tak tau, bagaimana perasaanku saat ini. Apakah aku harus merasa senang atau sebaliknya, aku tak tau. Orangtuaku yang mengetahui hal ini langsung memelukku dan mengucap syukur kepada Allah S.W.T. Aku mencoba ikut merasakan senang, meskipun dalam hati, kalian pasti sudah mengetahuinya.
Hari berganti, dan tak terasa serangkaian masa-masa ospek telah terlewati. Kini aku telah menjalani jam perkuliahan sebagaimana mahasiswa/si lainnya. Dua semester terlewati dengan lancar, hingga akhirnya aku mengalami kesulitan berfikir saat berada di semester 3. Surat peringatan berulang kali aku terima. Orang tuaku merasa kecewa dengan apa yang terjadi padaku. Hingga pada akhirnya aku putuskan untuk drop out dari universitas tersebut. Dan tanpa persetujuan dari pihak keluarga, aku memutuskan mengadu nasib di ibu kota Negara, Jakarta. Di sini aku mengikuti sebuah sekolah musik. Saat ini aku benar-benar merasakan kehidupanku telah kembali lagi. Inilah aku dan inilah hidupku. Meski kadang terbesit rasa menyesal di dalam hatiku saat aku meninggalkan secara paksa kedua orangtuaku.
Kesulitan demi kesulitan selalu menghampiri di setiap langkahku. Apakah ini resiko yang harus aku hadapi saat aku melaksanakan apa yang tidak diridhoi oleh orang tuaku? Bukankah ridho Allah adalah ridho orang tua? Tuhan aku mohon bantu hamba. Hamba ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dengan musik orang juga bisa mendapatkan kesuksesan. Hamba mohon Tuhan. Setiap hari di dalam sujudku selalu kupanjatkan doa yang sama untuk meminta ridho Allah S.W.T.
Hari demi hari kujalani dan bakat musik dalam diriku semakin nampak dan semakin matang. Beberapa buah lagu telah berhasil aku ciptakan dari fikiran dan perasaanku. Hingga pada suatu saat sebuah label musik ternama memintaku untuk menjalin kerjasama dengan mereka dan tentunya honor yang aku terima jugalah tidak sedikit.
Hari berganti dengan cepat, kini semakin tampak nyata namaku di dunia musik Indonesia. Kemampuanku kembali diperhitungkan. Banyak yang menawarkan berbagai kerjasama dengan honor yang menggiurkan. Harapanku untuk memiliki sebuah agency musik serta studio musik telah aku raih. Kedua bisnis ini sangatlah membantu dalam perekonomian yang aku dapat. Tapi semua nampak terasa kurang, karena keluargaku belum bisa menerimaku sebagai seorang musisi. Uang kiriman yang ku kirimkan selalu di transfer balik oleh ayahku. Sungguh hal yang sangat membuat aku merasa sakit.
Hari ini adalah jadwalku untuk mengunjungi Negara yang sedang di gandrungi sebagian besar penduduk Indonesia, terutama para remaja penggemar K.POP. Ya, aku mengunjungi Negara Korea Selatan, tepatnya di Seoul untuk menjalin sebuah kerjasama musik internasional. Semua rencana berjalan dengan sukses, kini tiba saatnya untuk kembali pulang ke Negara tercinta, Indonesia.
Pesawat yang aku tumpangi mengalami guncangan yang cukup membuat panik seluruh penumpang. Pesawat terbang tak terkendali. Hingga akhirnya aku merasa benturan yang sangat keras disertai bunyi yang cukup memekakkan telinga. Kemudian semua terasa gelap dan aku tidak mengingat apa.apa lagi.
Terlihat jelas di depan mataku, jasadku yang beku, pucat pasi terbaring di atas dipan yang di selimuti dengan selembar kain batik yang cukup lebar. Disekelilingnya terlihat sanak saudara, kerabat dekat, dan banyak lagi orang yang selama ini cukup mengenalku menangis, menitikkan kesedihan yang amat mendalam. Teriakan histeris Ibu cukup membuatku terasa merasa sangat sakit. Beliau terus memeluk jasad ku, menangis, memanggil namaku. Namun aku hanya diam. Tak dapat berkata apapun. Aku sadar, aku kini telah mati. Setelah ini aku benar-benar akan menemui sang ilahi. Aku merasa berdosa kepada Ayah dan Ibu. Aku yang selama ini terus membangkang ucapan mereka. Tak pernah menuruti inginnya. Tak menghiraukan segala ucapannya. Tapi semua itu aku lakukan demi menjalani apa yang akan menjadi hidupku. Cita-cita yang lahir dari sebuah bakat yang terpendam. Aku mungkin tak bisa menuruti inginnya, tapi aku telah mewujudkan apa yang aku bisa. Tuhan, apakah aku salah? ini hidupku dan inilah caraku memperoleh kebahagiaan. Inilah hidupku yang ingin kujalani tanpa keterpaksaan. Mungkin aku memang telah mati, tapi dapat kupastikan seluruh lagu dan alunan musik yang selama ini aku ciptakan akan selalu tampak di hati para penggemarku. Alunan musik akan selalu mengiringi di setiap orang yang mengagumiku, meskipun aku tak lagi menciptakan karya-karyaku. Aku merasa bahagia, meskipun aku mati dan tak bernyawa. Matiku tanpa sesal, karena aku telah mampu mewujudkan apa yang terbaik yang bisa aku lakukan. Banyak yang menentangku, menentang inginku, tapi mereka harusnya bangga kepadaku. Bangga karena aku mati tanpa penyesalan. Mati dengan nama yang cukup dikenang dan dibanggakan banyak orang yang mengagumiku sebagai seorang musisi di dalam jiwaku..
- END -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar