Senin, 23 Maret 2015

Hari Kartini

Pagi ini wanita tua itu kembali menarik gerobak sampah. Jalannya agak terpincang-pincang, entah karena kakinya sakit atau karena keberatan menarik gerobaknya. Sandal jepit yang mengalasi kakinya, seperti baju kaos dan roknya yang lusuh, sudah tak jelas warna aslinya. Entah karena terlalu lama usianya, atau karena terlalu banyak debu yang bersarang di sana. Karena mungkin berat, jalannya juga cuma nggremet seperti truk gandeng mercy yang kepalanya nonong itu. Pengendara di belakangnya memperlambat laju motornya, memberi kesempatan kendaraan dari lawan arah. Beberapa orang yang memburu waktu, mengantar istrinya berkebaya lengkap hendak upacara di kantor wali kota, mungkin berguman: bikin macet saja!
Karena bertepatan dengan hari peringatan tentang hakekat wanita Indonesia, tadi malam Si Tini, cucunya, iseng-iseng bertanya kepada perempuan itu.
“Tanggal 21 April itu hari apa mbah?”
“Ya, hari Minggu!” jawab Mak Inah dangkal, tanpa mengena pada esensi pertanyaan cucunya. Tini pun tak melanjutkan pertanyaannya. Ia tahu benar, tak ada jawaban yang lebih benar dari pada jawaban neneknya.
Ya, ia benar. Memang tanggal 21 April tahun ini jatuh padahari Minggu. Ia tidak salah sebab ia tidak lagi ingat akan pelajaran sejarah di sekolah dulu. Atau, ia memang tidak mengenal apa itu Hari Kartini, karena ia mungkin saja tidak pernah sekolah. Yang ia ingat hanyalah tugasnya setiap hari, menarik gerobak sampah. Dari unjung jalan, berhenti di depan setiap rumah, mengangkat tong sampah dari ban bekas lalu memuntahkan sampah bau itu ke perut gerobaknya. Begitulah seterusnya, sampai di akhir jalan itu.
Mak Inah, memang pernah mendengar ketika cucunya menghafal pelajaran sejarah. Si Tini, cucunya itu, mempunyai kebiasaan menghafal sambil membaca keras-keras kalimat yang dihafalnya. Supaya tidak mudah terlupa. Oleh karena itu, masih belum tegerus dari ingatannya ketika si Tini membaca keras-keras: Buku karangan R.A. Kartini adalah Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tentu saja Mak Inah tak pernah tahu persis apa maskudnya, selain sekadar meraba-raba artinya. Menerjemahkan ala orang bodoh dan miskin. Adakah itu artinya, sehabis malam membungkus bumi lantas terbentanglah siang di hamparannya? Kalau itu artinya, bukankah itu hanyalah sebuah kebenaran umum yang cukup diterima saja? Kehendak Tuhan yang diawali ketika Ia menciptakan dunia dan mungkin akan diakhiri saat Ia mengirimkan kiamat?
Menurut Mak Inah, pendapat pribadinya, gelap diartikannya sebagai nasib rakyat kecil yang hidupnya tak seterang orang kaya. Lalu, terang dimaknainya sebagai rasa bahagia karena kemiskinan itu justru membuatnya tenang. Samar-samar pernah terlihat di televisi orang kaya seusianya yang bajunya bertuliskan ‘TAHANAN KPK’. Baginya kemiskinannya tidak pernah membuatnya menjadi pesakitan seperti orang kaya yang di TV itu. Bisa saja orang miskin hidupnya terang, dan bisa saja yang kaya hidupnya gelap.
Meski berat, gerobak Mak Inah sampai juga ke TPA. Tempat Pembuangan Akhir, pembuangan sampah. Pengalamannya selama ini yang lebih dari lima belas tahun menjadikannya hafal betul bahwa sampah pun mempunyai kasta. Kasta brahmana dan kasta sudra, kasta kaya dan kasta melarat.
Sampah dari rumah tingkat yang di bagian sampingnya ada kandang mercy, pajero, alphard atau setidanya, kijang dan macan hitma, biasanya berupa kotak-kotak bungkus pizza atau dunkin donat. Roti yang bentuknya budar seperti roda berselaput gula. Entah bagaimana rasanya ia tak pernah tahu. Lidahnya tak pernah bercerita tentang itu. Gambar-gambar itu saja yang bercerita kepadanya. Sedang sampah dari rumah-rumah kecil, biasanya hanya berupa sisa batang kangkung atau kulit terong yang dibungkus tas kresek.
Anehnya, Mak Inah tak pernah mengiri. Apalagi sampai bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa ada orang kaya dan orang miskin. Ia tak pernah protes ketika ia bingung hari ini mau makan apa, sementara makluk-makluk itu kebingungan mau makan di mana. Baginya, sampah-sampah karton dan kardus itu kadang bisa menghapus kebingunagan itu, manakala ia sudah membawanya ke Haji Sakri, pengepul barang loak itu dan menukarnya dengan sejumlah uang.
Mak Inah, menambatkan gerobaknya di samping rumah sangat sederhana yang di sewa dari Pak RT. Becak yang warnanya sudah seperti batik karena terlalu sering di cat ulang itu sudah ada di halaman, di bawah pohon. Pertanda Mat Pithi, suaminya, yang semalaman mencoba mengais dinginnya malam untuk uang dua puluh ribuan sudah pulang. Begitulah, Mat Phiti lebih sering pulang pagi. Bila malam, ia melingkarkan tubuhnya di jok becaknya dan membalut dengan sarung di dekat perempatan lampu merah. Itu setelah lelah dan rasa kantuk mengalahkannya.
“Mak, sebaiknya hari ini Emak gak usah memulung,” kata Mat Pithi menyambut istrinya.
“Memangnya kenapa pak?”
“Ya, sekali-kali istirahatlah. Sehari dalam seminggu. Seperti para pegawai itu.”
“Mereka kan gak kerja sebulan juga di bayar. Kalau kita, gak kerja sehari berarti gak makan.”
Mat Phiti hanya manggut-manggut sambil menghabiskan sarapan paginya. Nasi dan sambal ikan asin. Benar juga, pikirnya.
“Kalau begitu, Emak pergi ke balai kota saja. Pasti di sana banyak totak bekas kue dan botol atau gelas akua.”
“Loh, di sana ada apa, pak?”
“Ada upacara.”
“Upacara apa?”
“Mana aku tahu toh mak, wong tukang becak kok ditanya soal upacara segala!”
“Ya sudah, aku kesana.”
Masih tetap mengenakan pakaian kerja seperti saat ia menarik gerobak sampahnya, Mak Inah menuju ke balai kota. Meski masih tetap berurusan dengan sampah, kali ini Mak Inah tidak menarik gerobak. Karung pastik besar yang dibawanya. Nangkring di punggungnya.
Di halaman balai kota, upacara itu dilakukan. Ibu-ibu, pegawai kantor walikota itu, memakai kebaya lengkap, pakaian tradisional adat Jawa. Juga istri wali kotanya. Pak walikota pun memakai beskap, jarik dan blankon. Lalu, dinyanyikan lagu ‘Ibu Kita Kartini”. Mak Inah, tiba-iba ingat tadi malam ketika si Tini menyanyikan lagu itu. Sebelum ia menanyainya tentang tanggal 21 April itu. Pertanyaan yang aneh!
Upacara telah selesaii. Pesta di kantor wali kota pun usai. Mobil-mobil kembali mengangkut para istri itu kembali ke rumahnya. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini bapak-bapak itu seakan bersimpuh di kaki wanita. Dan, wanita seperti menjadi ratu sehari. Ibu-ibu itu sejak subuh telah pergi ke salon kecantikan. Hari ini ibu-ibu itu harus nampak cantik. Harus nampak bak seorang ratu. Konon, untuk ke salon itu mereka harus bayar mahal. Sama jumlahnya dengan gaji yang ia terima untuk tiga bulan. Gaji sebagai pengangkut sampah itu.
Tiba-tiba, Mak Inah ingat tentang Hari Kartini seperti yang dinyanyikan Tini tadi malam. Ya, hari ini 21 April adalah Hari Kartini. Lalu, ia tersenyum. Tanpa disadarinya, bibirnya bersiul: “Ibu kita Kartini, putri sejati…” Mengingat dan mengucap sepotong-sepotong lagu pendek itu. Sambil terus memunguti kotak kue, gelas dan botol plastik.
Ia akan terus berjuang seperti Kartini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar