Kuku yang biasa kugunakan untuk memetik senar gitar kini sudah mulai
memanjang dan menampakkan setumpuk kotoran disana. Kotoran yang tampak
lebih kotor dari setumpuk sampah di jalanan Ibu kota ini. Ku taruh gitar
kecilku yang selalu menemani di setiap pagi dan siangku. Ku hitung
receh demi receh yang berhasil kukumpulkan, berharap cukup untuk membeli
sebungkus nasi dan segelas air minum untuk mengisi perutku dan adikku
yang sedari tadi pagi sudah rewel tak terisi makanan.
Setelah membeli makanan, aku memakannya dengan berbagi separuh dengan
Reza, adikku satu-satunya. Tiga tahun yang lalu, orang tua kami
memiliki sebuah perusahaan besar, tapi karena di tipu habis-habisan oleh
seorang investor nakal, maka raiblah semua harta benda kami. Tak ada
sepeserpun uang yang bisa kami genggam. Dan satu tahun yang lalu, Ayah
meninggal. Di susul dengan Ibu yang berangkat untuk mengadu nasib di
luar negeri sebagai TKW. Meninggalkan kami berdua. Tapi sampai saat
inipun tak ada kabar akan kembalinya Ibu. Sempat ada kabar angin bahwa
Ibu sudah meninggal. Tapi entahlah, kebenarannya hingga saat ini belum
aku ketahui.
Setelah menghabiskan makanan ini ditemani deru kendaraan bermotor dan
asap-asap mengepul dari kenalpot, kami bergegas tidur beralaskan sebuah
kain lusuh dan sobek di sana-sini termakan usia. Keesokan paginya, kami
terbangun karena tetes-tetes dingin air hujan yang mulai membasahi
kulit. Namun hal itu tak menyurutkan semangat kami untuk tetap mencari
walau hanya sekedar recehan untuk bertahan hidup. Dan sampailah aku
disebuah bus yang penuh sesak, aku melihat beberapa murid kelas 3 SMP
sebayaku membaca buku dengan asyiknya. Miris rasanya, melihat anak
seusiaku dapat melanjutkan mengenyam pendidikan dan berbagai ilmu
pengetahuan untuk masa depannya kelak. Tapi apa daya, untuk biaya makan
saja kami masih kesulitan, apalagi di tambah untuk biaya sekolah. Adikku
pun begitu, ia putus sekolah sejak berada di kelas 4 SD. Aku menghela
nafas pasrah pada Sang Ilahi.
Setelah turun dari bus, dua orang preman berwajah garang
menghampiriku. “Heh anak kecil…! ” bentaknya sambil menunjuk kantungan
plastik tempatku mengumpulkan recehan. “Sini!!” “Tap.. Tapi, ini uang
makan hari ini…” ucapku takut. “Heh! Mana peduli! Biar uang makan,
sekolah atau apalah! Sini…!” bentaknya dan merampas hasil jerih payahku
pagi ini lalu meninggalkanku sendirian di tengah keramaian kota Jakarta
yang penuh sesak ini. Mungkin banyak orang yang melihat kejadian tadi,
namun mereka menganggapnya seakan tak terjadi apapun. Ya, mungkin itu
sudah menjadi sifat dasar mereka yang acuh dan sombong.
Aku kembali berusaha mencari recehan demi recehan yang bisa
kukumpulkan sampai sore ini. Tapi nihil, aku hanya mendapat beberapa
ratus rupiah yang tak mungkin cukup untuk segelas air dan sebungkus
nasi. Ku tatap wajah lesu adikku yang kelelahan dan kelaparan. Ku lihat
kantung plastiknya. Sama, namun terlihat lebih parah dari hasil yang ku
dapat. Beberapa saat kemudian, dia terbangun.
“Kak Andra…” ucapnya dengan suara parau dan wajah penuh harap.
“Maaf ya, mungkin kita bisa makan besok.” Jawabku sambil tersenyum getir dan membelai rambutnya.
Aku tertidur disebelahnya sambil menahan rasa sakit di perutku karena kelaparan.
Aku berkelana di alam mimpi, entah sudah berapa lama aku tertidur.
Saat aku terbangun ku tatap wajah polos Reza, wajahnya tampak begitu
kotor dan kelelahan. Aku merasa bersalah kepadanya karena telah menyiksa
fisik dan batinnya. Dan akupun seraya memohon kepada Yang Maha Kuasa
agar kami di beri ketabahan untuk dapat tetap melanjutkan hidup.
Ku ambil gitarku dan melakukan rutinitasku sebagai pengamen,
satu-satunya pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak yang
berusia sekitar 12 dan 14 tahun. Usia yang seharusnya menikmati masa
bermain dan belajarnya. Ah sudahlah, tak ada gunanya aku mengeluh saat
ini. Pernah aku menyalahkan takdir, namun apa daya. Tak ada hasil. Yang
ada hanya penyesalan dan air mata yang aku dapatkan. Yang bisa kulakukan
saat ini hanya membuang jauh-jauh pikiran masa lalu itu yang kini hanya
menjadi angan-angan belaka dan terus mengumpulkan beberapa kepingan
uang logam untuk menyambung hidup.
Sempat terlintas dibenakku. “Sampai kapankah kehidupanku akan seperti
ini? Akankah ini berakhir? Apakah ini serupa menguras air laut yang
tiada habisnya? Yang terus berlanjut hingga akhir hayat? Apakah
kehidupanku memang ditakdirkan seperti ini? Layaknya benang kusut yang
tidak akan pernah lurus seperti sediakala?” Entahlah, kuserahkan
takdirku pada Tuhan mungkin itu lebih baik.
Hari-hari kulewati hanya bersama dengan adikku seorang, tanpa sosok
Ibu yang mengasuh kami. Sampai pada akhirnya, preman-preman yang biasa
memalaki hasil jerih payah kami di jalan raya memukuli punggungku dengan
kasarnya hingga mengeluarkan cairan merah kental karena aku menolak
memberikan uangku kepadanya lalu mereka meninggalkan kami sendiri di
tengah hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Ku sentuh perlahan,
“Aw..” keluhku lirih. Reza menatapku dengan gurat wajah cemas seolah
mengisyaratkan. ‘Kakak tidak apa-apakan?’ atau mungkin ‘Kakak baik-baik
sajakan?’
Tatapan yang hanya ku balas dengan senyuman hambar dengan wajah pucat
pasi menahan rasa sakit di punggung ini yang seakan berisyarat. ‘Aku
tidak apa-apa’ yang mungkin sebenarnya berarit. ‘Oh tentu aku tak
baik-baik saja…’
Aku mengajaknya untuk terlelap dan tidak memikirkan sakit yang kuderita.
Kutatap langit dengan pikiran berkecamuk, sebuah senyum tipis
tersungging di sudut bibir ini disertai air mata yang tiba-tiba nampak
menerobos keluar dari mata mungil ini. Skema adegan tiga tahun yang lalu
mulai nampak lagi, seakan terputar ulang secara otomatis.
Saat itu, aku dan teman sekelasku mengadakan pensi perpisahan kelas.
Yang pada saat itu pula kenangan bersama teman-teman terukir kembali,
kejadian-kejadian konyolku di masa Sekolah Dasar, penuh canda tawa tanpa
pernah terpikirkan hari itu akan terjadi. Kejadian-kejadian menjahili
teman saat ulang tahun, dimarahi dan di hukum guru, cinta monyet,
bermain game hingga larut malam hingga kejadian yang tak penting yang
bahkan aku tak tahu kenapa itu semua bisa teringat kembali. Jauh ku
berkelana di memori masa SDku dulu, sembari menghapus air mata yang
terus-terusan mengalir deras. Setidaknya itu bisa melupakan sejenak rasa
sakit di punggung ini, lama kelamaan akupun tertidur pulas. Sampai
akhirnya aku terbangun saat semburat langit senja sudah menghiasi
langit, semburat acak-acakan yang bisa menghasilkan lukisan indah yang
tiada tandingnya. Oh mungkin aku terlalu lama tertidur karena rasa sakit
yang begitu menyiksa ini.
Kulihat dari ujung jalan Reza berjalan sambil menenteng sekantung
plastik berisi nasi bungkus dan air minum. Ku tatap iba kepadanya,
membayangkan ia bersusah payah sendirian hari ini. Sempat aku menolak
memakannya karena aku tidak ikut membantunya untuk mencari makanan ini,
tapi ia tetap bersikeras memaksaku dengan mengatakan, “Kakak harus
memakannya, tak peduli siapapun yang bekerja keras, jika hari ini aku
bertahan hidup sedangkan kakak tidak, itu tak kan ada gunanya. Apapun
yang terjadi, kita harus tetap bisa bertahan hidup hingga hari itu
datang. Hari dimana kita benar-benar ditakdirkan untuk mati..” ucapnya.
Dalam hati aku bersyukur telah diberikan sosok adik yang penuh
pengertian dan bisa menerima apapun yang terjadi, apapun keadaan kami.
Besok adalah hari ulang tahunku yang ke-14, aku mengetahui tanggal
itu dari kalender yang ku pungut di tempat sampah awal tahun lalu.
Konyol memang, ada orang yang tega membuang kalender baru yang pastinya
amat berguna di tempat yang kumuh itu. Tapi itulah kebiasaan-kebiasaan
buruk warga sekitar. Seakan acuh dan tak mau menghargai benda yang
dimilikinya. Di hari esok, yang aku inginkan bukanlah sebuah kue tart
berukuran jumbo ataupun setumpuk kado dari teman-teman. Tapi, sosok Ibu
yang memelukku penuh kasih dan membawa keluar aku dan Reza dari kejamnya
kehidupan ini, menuju kehidupan lain yang lebih baik.
Well, setidaknya itulah harapanku di tahun ini. Hari ini, tepatnya
sore ini. Entah karena apa, kami tak mendapatkan sepeserpun uang, bahkan
recehan pun tidak. Sambil menahan gejolak rasa lapar yang
meronta-ronta, Reza mengajakku untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa
untuk mengganjal perut ini hingga hari ini berlalu. Reza menatap penuh
harap dihadapan segunung sampah, berharap kami menemukan sepotong roti
di tempat pembuangan sampah yang teramat kumuh ini. Tapi tak rugi juga,
selama satu jam kami mencari, bersusah payah membongkar sampah-sampah
menjijikkan dan berbau tak sedap ini, aku mendapati sepotong roti yang
nampak berjamur dikulitnya. Ku kupas bagian berjamur itu dan memakannya
dengan Reza. Biarlah. Asalkan kami bisa makan hari ini.
Setelah hari itu berakhir, kami kembali bekerja keras seorang diri.
Tanpa belaian kasih sayang. Tak jarang pula orang memandang kami dengan
jijik dan enggan memberikan bantuan kepada kami. Namun di dunia ini
beruntung masih saja ada orang yang beretika dan hati baik berkeliaran
di sekitar kami. Seperti ada yang mau dan tidak malu untuk memberikan
sekotak nasi, ataupun sebotol susu kepada kami. Tapi sejak hari itu aku
bertekad, aku takkan pernah berhenti berjuang menghadapi lika-liku
kehidupan ini, setidaknya untuk saat ini, berharap hari esok aku dan
Reza tetap bisa melanjutkan hidup. Dan kuharap suatu saat nanti, sosok
Ibu yang selama ini kurindukan kehadirannya akan datang dalam keadaan
hidup dan mampu. Mampu dalam artian yang luas, semisal mampu
menyekolahkan kami, memberi makan, pakaian, tempat tinggal dan kehidupan
yang layak. Dan juga aku percaya, tidak ada satupun di dunia ini, yang
bisa di dapat dengan mudah. Kerja keras dan doa adalah cara untuk
mempermudahnya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar