Senin, 23 Maret 2015

Takdir Sukri

Hilir mudik, mondar-mandir, semua bergerak berusaha mengejar roda putaran waktu yang bergulir dengan sangat cepat, pepatah bahwa waktu adalah uang, waktu adalah seperti pisau yang memiliki 2 mata yang tajam dan tumpul, waktu adalah senjata yang harus pintar-pintar di gunakan dsb-dsb, rupanya benar-benar mereka hayati dengan sangat baik, memang siapapun yang tidak mampu mengimbangi cepatnya putaran sang waktu akan tertinggal, tergilas, amblas lenyap di telan masa dan zaman. Tapi apakah sebenarnya hakikat dari semua ini, mengejar sang waktu, mengimbangi sang waktu, menguasai waktu, memanfaatkan waktu, dsb-dsb, untuk apa?.
“Sekian dulu pak, interview kita hari ini, untuk hasilnya bapak akan kami hubungi lagi seminggu kemudian”, kalimat itu masih terngiang di telinga Sukri, sambil duduk di tembok pembatas taman di pinggir trotoar, dia masih termenung, termangu, terpaku dsb-dsb, dia ingat dengan pasti kalimat yang barusan keluar dari mulut sang Hrd perusahaan tadi, itu adalah yang ke 10 atau mungkin malah lebih dia mendengar kalimat itu, tapi anehnya setelah seminggu menunggu, tak ada satupun dari perusahaan yang dia lamar menghubunginya lagi, tidak jelas maksud kalimat itu, apakah dia memang tidak di butuhkan, kenapa harus memberi harapan, apakah itu model baru dari pengusiran secara halus atau kode etik dari para Hrd untuk menolak para pelamar yg tidak memenuhi syarat secara halus.
Sekilas pandangan kosong, raut muka sayu duduk termenung, dia memandang hilir mudik, mondar-mandir, lalu-lalang orang-orang & kendaran di depannya, “kenapa!?” teriaknya dalam hati, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat tenggorokannya yang sedari tadi kering tercekat, “orang-orang ini enak sekali, bisa beli mobil mobil mewah, handphone mahal, dan pake baju-baju yang bagus”, Sukri mengumpat, meracau, berserapah dalam hatinya melihat kenyataan yang bersliweran di depannya, tapi yang semakin membuat dia sakit hati sekaligus iri adalah mereka semua adalah para pekerja kantoran, sesuatu yang sangat dia dambakan selama ini. “Kenapa mereka bisa, kenapa aku tidak”. Sebenarnya Sukri tidak sendirian bersumpah serapah, mengutuk, mengumpat soal kenapa dirinya susah mendapatkan pekerjaan, di negeri ini dia punya jutaan kawan senasib dalam kesialan dan ketidak-berumtungan, padahal Sukri dan temannya yang jutaan itu juga lulusan S1, seolah pengorbanan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit itu musnah, memudar tiada arti, di telan realitas kehidupan.
Gontai dia berjalan, lemas di tumpuaan lututnya, dengan sisa tenaga mencoba berjalan pulang, dia tahu rumah kosnya 5 km jauhnya dari tempat dia berdiri sekarang, tapi Sukri cukup sadar dia tidak mungkin naik kendaraan umum, bejak, bajaj, ojek apalagi taxi, selama ini sukri hanya mengadandalkan uang saku kiriman ibunya di kampung yang hanya penjual kue serabi keliling. “Apa yang harus kulakukan sekarang”, Sukri merebahkan tubuhnya, di kamar kos nya yang kecil, kasur kapuk yang sudah jelek di atas dipan kecil yang seukuran tubuh satu orang, “semua lamaran itu, sia-sia” resah Sukri dalam hati, matanya terpejam, tapi tidak ngantuk, mencoba menenangkan perasaan tapi hati kecil nya tetap resah, pikirannya mulai melayang, menerawang, ke masa-masa ketika dia masih di duduk di bangku kuliah, Sukri ingat betul bagaimana dia bekerja keras demi membiayai kuliahnya dengan bekerja sambilan menjadi tukang parkir di salah satu komplek ruko di kawasan Surabaya timur, bagaimana dia harus berusaha keras mengatur waktu antara kuliah, belajar, tugas kuliah dan kerja sambilan, seolah waktu 24 jam sehari tidak cukup baginya, bagaimana dia sering kesulitan menghadapi omelan pemilik kos, karena sering terlambat bayar kos, “hemm, problem yang terakhir masih jadi masalah sampai saat ini, meski aku sudah pindah kos”, tanpa sadar senyum kecil tersungging di bibir, mencoba mentranformasikan penderitaan menjadi sedikit lelucon penghilang resah.
“Rina”, kenangan itu, “Rina, Rina”, sejenak hati Sukri seperti di injak seseorang, beban yang sakit tiap kenangan itu muncul kembali di benak Sukri. Yah, Rina adalah gadis yang pernah mengisi hati Sukri, dia jugalah salah satu alasan kenapa Sukri bisa bertahan menghadapi bermacam kesulitan selama di bangku kuliah, Rina adalah gadis manis, pintar, dan sangat peduli kepada dirinya. Rina, gadis yang di kenalnya secara tidak sengaja ketika dia memarkir mobilnya di ruko yang tempat parkirnya di jaga Sukri, Rina tidak canggung untuk menyapanya terlebih dahulu meskipun Sukri sempat Minder luar biasa. Rina, gadis yang akhirnya membuat hati Sukri tertambat dan dia memutuskan untuk mengutarakan perasaannya pada gadis itu, setelah selama dua bulan mereka dekat satu sama lain. “Seandainya aku kaya, kau pasti masih ada di sampingku sekarang, Rina”, setelah masa berpacaran selema dua tahun Rina secara tiba-tiba memutuskan hubungan kasih mereka, tepat setelah acara wisuda, Sukri shock dan sempat tidak percaya, tapi dia tepaksa, di paksa menerima kenyataan bahwa gadis baik, lembut dan penuh pengertian itu, tak lebih baik dari gadis-gadis terpalajar lainnya, materi, kemapanan, kenyamanan, prestasi, itulah yang mereka inginkan dari para lelaki kalau ingin menjadi suami mereka, sayang dalam takdir sukri, tidak satupun tertulis deretan kalimat tersebut, Yah Rina ternyata lebih memilih Steven, lulusan cumlaude Fak teknik, anak orang kaya yang dengan hebat mengembangkan usahanya sendiri itu ternyata juga memgincar Rina sejak lama, dan ternyata diam-diam Rina selama ini melayani perhatiannya. Sukri ikhlas, legowo, sadar bahwa dia tidak akan pernah bisa membahagiakan gadis yang sangat di cintainya itu. “Semoga kau bahagia bersama laki-laki itu”, doa sukri, meski dia merasa ada sesuatu yg tiba-tiba menekan dadanya, sakit.
Mata Sukri semakin berat, rasa lelah dan kantuk bercampur, pelan dia menutup mata, angannya kembali melayang, kali ini kembali ke masa ketika dia masih sma, Sukri ingat benar masa itu, “Budi, teman ku” dia masih ingat dengan teman sma nya itu, mereka berdua adalah teman senasib, kemanapun mereka berda selalu bersama. Budi sama seperti Sukri, berasal dari keluarga miskin, tapi beda dengan Sukri, Budi adalah pribadi yg periang dan selalu optimis, Budi juga seorang cuek, dia tidak pernah peduli pada setiap ejekan, hinaan, cibiran dari teman-teman satu sekolahnya dia sadar betul bahwa dia miskin, spp juga serlambat, tapi dia tak pernah perduli, dia selalu berkata pada Sukri, “yang penting kita bukan maling, dan kita bisa tetep sekolah”, Budi juga selalu membantu kesulitan Sukri, walaupun kadang malah menyusahkan dirinya sendiri, “aku masih ingat saat aku ketahuan di minimarket itu Bud, terima kasih”, gumam Sukri, matanya berkaca-kaca mengingat kejadian itu, saat itu Sukri benar-benar dalam hilang akal, gelap mata, irasional, kenyataan bahwa ibunya sedang sakit keras, sehingga dia terpaksa mencuri di minimarket yang ada di perumahan dekat kapungnya, naas Sukri terpergok karyawan minimarket itu, lagi pula dia tidak sadar ada cctv yang terpasang di tiap sudut minimarket. Budi lah yg menyelamatkannya dia yang berbicara sekaligus meminta maaf atas ulah sukri, saat itu kebetulan budi yg penjual gorengan lewat di depan mini market itu, dan dia kenal dengan salah satu pegawainya, Budi lah yg menyelesaikan semua kekacauan yang di timbulkan Sukri, kalau saja tidak Budi mungkin sekarang Sukri adalah seorang narapidana, tapi itulah Sukri terakhir kali Sukri melihat Budi, tiga hari kemudian Sukri mendapat kabar bahwa teman terbaiknya itu meninggal saat berjualan pisang goreng karena tertabrak mobil saat menyebrang jalan, seperti tersambar petir, Sukri benar-benar shock saat mendengar kabar itu, dia adalah satu-satunya orang terus mengalir air matanya saat prosesi pemakaman Budi berlangsung, bahkan keluarga Budi sendiri, tidak ada yg sesedih Sukri. Sepeninggal Budi, segala segalanya menjadi lebih sulit bagi Sukri, dia harus menghadapi segala kesulitan sendirian. “terima kasih Bud, semoga Allah membalas semua amal baikmu”, doa Sukri dalam hati.
Tak terasa hari semakin larut, meski perut mulai berisik tapi Sukri malas beranjak dari ranjang karena tubuh nya sangat lelah, lagi pula memang tidak ada makanan dan tidak ada uang, matanya semakin mengantuk, tapi pikirannya tetap melayang ke masa lalunya, kali ini ingatannya kembali ke masa ketika dia masih kecil, ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Masa kecil seharusnya menjadi masa-masa yang ceria bagi kebanyakan orang, tapi itu tidak berlaku bagi Sukri.
Sukri kecil harus susah payah bekerja ikut berjualan pisang goreng membantu ibunya, dia ingat ketika ayahnya meninggal karena penyakit kanker paru, sepeninggal ayahnya, terpaksa ibu Sukri yang sebelumnya hanya ibu rumah tangga biasa harus turun tangan mencari nafkah untuk menyambung hidup dengan berjualan pisang goreng. “Pak, bu aku kangen kalian” tanpa terasa air mata meleleh membasahi pipi Sukri. Sukri juga masih ingat ketika dia baru pulang dari sekolah ia ingin mampir ke kios ibunya di pinggiran sungai di sekitar panjang jiwo, tapi alangkah terkejut Sukri ketika dia melihat banyak orang-orang berseragam dengan membawa beberapa alat berat, mereka merusak kios-kios yang ada di pinggir sungai, dia melihat cak Sarno berteriak marah kepada orang-orang berseragam itu, dia juga melihat warung cak Sarno sudah ambruk, rata dengan tanah, seketika Sukri panik dia segera ingat nasib ibunya, Sukri kemudian berlari mencari cari ibunya, sambil berteriak-teriak memanggil nama ibunya, setelah beberapa saat dia menemukan sosok wanita paruh baya yang menangis histeris di depan reruntuhan kios, Sukri segera berlari kearah ibunya, wanita paruh baya itu segera memeluk Sukri dan mereka berdua pun sama-sama menangis meratapi kios warisan dari mendiang ayah Sukri.
Tanpa kios untuk berjualan terpaksa ibu sukri berjualan dengan cara keliling untuk menyambung hidup mereka berdua, Sukri pun juga juga ikut membantu ibunya berjualan, sepulang sekolah dia pun berkililing berjualan pisang goreng keliling menggantikan sang ibu, terkadang Sukri kecil merasa iri dengan teman-teman sebayanya yang sepulang sekolah leluasa untuk belajar, bermain dan berkumpul dengan keluarga mereka. “hhmm”, Sukri, menghela nafas, dia merasa samgat mengantuk tapi sulit untuk tertidur, “apa ini sudah takdirku ya Allah”, Sukri bangun dan terduduk diranjang, “apakah aku harus mengalami seluruh kesialan dan ketidak beruntungan ini ya Allah”, ratap Sukri dalam hatinya, “sampai kapan nasib ku seperti ini terus, apakah selamanya aku akan seperti ini”, Sukri sadar dan bener. benar mengerti, semasa kecil dia sering ikut pengajian di langgar kampung bersama cak Sarno, dia mengerti betul bahwa sebagai hamba yang beriman tidak sepatutnya dia mempertanyakan qada’ dan qadarNya, juga bagaimana alam semesta beserta seluruh isinya ini menjalani takdirnya masing-masing adalah hak prerogatif dari Nya, hanya Allah yang maha menentukan segalanya. Dengan sisa tenaga Sukri berusaha bangun dari ranjang, dia melangkah dengan gontai menyeret kakinya ke kamar mandi, “ya Allah, malam ini aku datang padamu dengan ikhlas dan penuh pengharapan”, batin Sukri. “Aku adalah hambamu yang lemah dan banyak khilaf, aku mengharap ampunanMu yang luas dan juga ridha Mu atas hidup dan juga qada’ dan qodar yang kujalani ini, hanya kepadaMu aku berdoa’ dan memohon pertolongan ya Robbal Alamin”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar