Hilir mudik, mondar-mandir, semua bergerak berusaha mengejar roda
putaran waktu yang bergulir dengan sangat cepat, pepatah bahwa waktu
adalah uang, waktu adalah seperti pisau yang memiliki 2 mata yang tajam
dan tumpul, waktu adalah senjata yang harus pintar-pintar di gunakan
dsb-dsb, rupanya benar-benar mereka hayati dengan sangat baik, memang
siapapun yang tidak mampu mengimbangi cepatnya putaran sang waktu akan
tertinggal, tergilas, amblas lenyap di telan masa dan zaman. Tapi apakah
sebenarnya hakikat dari semua ini, mengejar sang waktu, mengimbangi
sang waktu, menguasai waktu, memanfaatkan waktu, dsb-dsb, untuk apa?.
“Sekian dulu pak, interview kita hari ini, untuk hasilnya bapak akan
kami hubungi lagi seminggu kemudian”, kalimat itu masih terngiang di
telinga Sukri, sambil duduk di tembok pembatas taman di pinggir trotoar,
dia masih termenung, termangu, terpaku dsb-dsb, dia ingat dengan pasti
kalimat yang barusan keluar dari mulut sang Hrd perusahaan tadi, itu
adalah yang ke 10 atau mungkin malah lebih dia mendengar kalimat itu,
tapi anehnya setelah seminggu menunggu, tak ada satupun dari perusahaan
yang dia lamar menghubunginya lagi, tidak jelas maksud kalimat itu,
apakah dia memang tidak di butuhkan, kenapa harus memberi harapan,
apakah itu model baru dari pengusiran secara halus atau kode etik dari
para Hrd untuk menolak para pelamar yg tidak memenuhi syarat secara
halus.
Sekilas pandangan kosong, raut muka sayu duduk termenung, dia
memandang hilir mudik, mondar-mandir, lalu-lalang orang-orang &
kendaran di depannya, “kenapa!?” teriaknya dalam hati, tapi itu sudah
lebih dari cukup untuk membuat tenggorokannya yang sedari tadi kering
tercekat, “orang-orang ini enak sekali, bisa beli mobil mobil mewah,
handphone mahal, dan pake baju-baju yang bagus”, Sukri mengumpat,
meracau, berserapah dalam hatinya melihat kenyataan yang bersliweran di
depannya, tapi yang semakin membuat dia sakit hati sekaligus iri adalah
mereka semua adalah para pekerja kantoran, sesuatu yang sangat dia
dambakan selama ini. “Kenapa mereka bisa, kenapa aku tidak”. Sebenarnya
Sukri tidak sendirian bersumpah serapah, mengutuk, mengumpat soal kenapa
dirinya susah mendapatkan pekerjaan, di negeri ini dia punya jutaan
kawan senasib dalam kesialan dan ketidak-berumtungan, padahal Sukri dan
temannya yang jutaan itu juga lulusan S1, seolah pengorbanan waktu,
tenaga dan biaya yang tidak sedikit itu musnah, memudar tiada arti, di
telan realitas kehidupan.
Gontai dia berjalan, lemas di tumpuaan lututnya, dengan sisa tenaga
mencoba berjalan pulang, dia tahu rumah kosnya 5 km jauhnya dari tempat
dia berdiri sekarang, tapi Sukri cukup sadar dia tidak mungkin naik
kendaraan umum, bejak, bajaj, ojek apalagi taxi, selama ini sukri hanya
mengadandalkan uang saku kiriman ibunya di kampung yang hanya penjual
kue serabi keliling. “Apa yang harus kulakukan sekarang”, Sukri
merebahkan tubuhnya, di kamar kos nya yang kecil, kasur kapuk yang sudah
jelek di atas dipan kecil yang seukuran tubuh satu orang, “semua
lamaran itu, sia-sia” resah Sukri dalam hati, matanya terpejam, tapi
tidak ngantuk, mencoba menenangkan perasaan tapi hati kecil nya tetap
resah, pikirannya mulai melayang, menerawang, ke masa-masa ketika dia
masih di duduk di bangku kuliah, Sukri ingat betul bagaimana dia bekerja
keras demi membiayai kuliahnya dengan bekerja sambilan menjadi tukang
parkir di salah satu komplek ruko di kawasan Surabaya timur, bagaimana
dia harus berusaha keras mengatur waktu antara kuliah, belajar, tugas
kuliah dan kerja sambilan, seolah waktu 24 jam sehari tidak cukup
baginya, bagaimana dia sering kesulitan menghadapi omelan pemilik kos,
karena sering terlambat bayar kos, “hemm, problem yang terakhir masih
jadi masalah sampai saat ini, meski aku sudah pindah kos”, tanpa sadar
senyum kecil tersungging di bibir, mencoba mentranformasikan penderitaan
menjadi sedikit lelucon penghilang resah.
“Rina”, kenangan itu, “Rina, Rina”, sejenak hati Sukri seperti di
injak seseorang, beban yang sakit tiap kenangan itu muncul kembali di
benak Sukri. Yah, Rina adalah gadis yang pernah mengisi hati Sukri, dia
jugalah salah satu alasan kenapa Sukri bisa bertahan menghadapi bermacam
kesulitan selama di bangku kuliah, Rina adalah gadis manis, pintar, dan
sangat peduli kepada dirinya. Rina, gadis yang di kenalnya secara tidak
sengaja ketika dia memarkir mobilnya di ruko yang tempat parkirnya di
jaga Sukri, Rina tidak canggung untuk menyapanya terlebih dahulu
meskipun Sukri sempat Minder luar biasa. Rina, gadis yang akhirnya
membuat hati Sukri tertambat dan dia memutuskan untuk mengutarakan
perasaannya pada gadis itu, setelah selama dua bulan mereka dekat satu
sama lain. “Seandainya aku kaya, kau pasti masih ada di sampingku
sekarang, Rina”, setelah masa berpacaran selema dua tahun Rina secara
tiba-tiba memutuskan hubungan kasih mereka, tepat setelah acara wisuda,
Sukri shock dan sempat tidak percaya, tapi dia tepaksa, di paksa
menerima kenyataan bahwa gadis baik, lembut dan penuh pengertian itu,
tak lebih baik dari gadis-gadis terpalajar lainnya, materi, kemapanan,
kenyamanan, prestasi, itulah yang mereka inginkan dari para lelaki kalau
ingin menjadi suami mereka, sayang dalam takdir sukri, tidak satupun
tertulis deretan kalimat tersebut, Yah Rina ternyata lebih memilih
Steven, lulusan cumlaude Fak teknik, anak orang kaya yang dengan hebat
mengembangkan usahanya sendiri itu ternyata juga memgincar Rina sejak
lama, dan ternyata diam-diam Rina selama ini melayani perhatiannya.
Sukri ikhlas, legowo, sadar bahwa dia tidak akan pernah bisa
membahagiakan gadis yang sangat di cintainya itu. “Semoga kau bahagia
bersama laki-laki itu”, doa sukri, meski dia merasa ada sesuatu yg
tiba-tiba menekan dadanya, sakit.
Mata Sukri semakin berat, rasa lelah dan kantuk bercampur, pelan dia
menutup mata, angannya kembali melayang, kali ini kembali ke masa ketika
dia masih sma, Sukri ingat benar masa itu, “Budi, teman ku” dia masih
ingat dengan teman sma nya itu, mereka berdua adalah teman senasib,
kemanapun mereka berda selalu bersama. Budi sama seperti Sukri, berasal
dari keluarga miskin, tapi beda dengan Sukri, Budi adalah pribadi yg
periang dan selalu optimis, Budi juga seorang cuek, dia tidak pernah
peduli pada setiap ejekan, hinaan, cibiran dari teman-teman satu
sekolahnya dia sadar betul bahwa dia miskin, spp juga serlambat, tapi
dia tak pernah perduli, dia selalu berkata pada Sukri, “yang penting
kita bukan maling, dan kita bisa tetep sekolah”, Budi juga selalu
membantu kesulitan Sukri, walaupun kadang malah menyusahkan dirinya
sendiri, “aku masih ingat saat aku ketahuan di minimarket itu Bud,
terima kasih”, gumam Sukri, matanya berkaca-kaca mengingat kejadian itu,
saat itu Sukri benar-benar dalam hilang akal, gelap mata, irasional,
kenyataan bahwa ibunya sedang sakit keras, sehingga dia terpaksa mencuri
di minimarket yang ada di perumahan dekat kapungnya, naas Sukri
terpergok karyawan minimarket itu, lagi pula dia tidak sadar ada cctv
yang terpasang di tiap sudut minimarket. Budi lah yg menyelamatkannya
dia yang berbicara sekaligus meminta maaf atas ulah sukri, saat itu
kebetulan budi yg penjual gorengan lewat di depan mini market itu, dan
dia kenal dengan salah satu pegawainya, Budi lah yg menyelesaikan semua
kekacauan yang di timbulkan Sukri, kalau saja tidak Budi mungkin
sekarang Sukri adalah seorang narapidana, tapi itulah Sukri terakhir
kali Sukri melihat Budi, tiga hari kemudian Sukri mendapat kabar bahwa
teman terbaiknya itu meninggal saat berjualan pisang goreng karena
tertabrak mobil saat menyebrang jalan, seperti tersambar petir, Sukri
benar-benar shock saat mendengar kabar itu, dia adalah satu-satunya
orang terus mengalir air matanya saat prosesi pemakaman Budi
berlangsung, bahkan keluarga Budi sendiri, tidak ada yg sesedih Sukri.
Sepeninggal Budi, segala segalanya menjadi lebih sulit bagi Sukri, dia
harus menghadapi segala kesulitan sendirian. “terima kasih Bud, semoga
Allah membalas semua amal baikmu”, doa Sukri dalam hati.
Tak terasa hari semakin larut, meski perut mulai berisik tapi Sukri
malas beranjak dari ranjang karena tubuh nya sangat lelah, lagi pula
memang tidak ada makanan dan tidak ada uang, matanya semakin mengantuk,
tapi pikirannya tetap melayang ke masa lalunya, kali ini ingatannya
kembali ke masa ketika dia masih kecil, ketika dia masih duduk di bangku
sekolah dasar. Masa kecil seharusnya menjadi masa-masa yang ceria bagi
kebanyakan orang, tapi itu tidak berlaku bagi Sukri.
Sukri kecil harus susah payah bekerja ikut berjualan pisang goreng
membantu ibunya, dia ingat ketika ayahnya meninggal karena penyakit
kanker paru, sepeninggal ayahnya, terpaksa ibu Sukri yang sebelumnya
hanya ibu rumah tangga biasa harus turun tangan mencari nafkah untuk
menyambung hidup dengan berjualan pisang goreng. “Pak, bu aku kangen
kalian” tanpa terasa air mata meleleh membasahi pipi Sukri. Sukri juga
masih ingat ketika dia baru pulang dari sekolah ia ingin mampir ke kios
ibunya di pinggiran sungai di sekitar panjang jiwo, tapi alangkah
terkejut Sukri ketika dia melihat banyak orang-orang berseragam dengan
membawa beberapa alat berat, mereka merusak kios-kios yang ada di
pinggir sungai, dia melihat cak Sarno berteriak marah kepada orang-orang
berseragam itu, dia juga melihat warung cak Sarno sudah ambruk, rata
dengan tanah, seketika Sukri panik dia segera ingat nasib ibunya, Sukri
kemudian berlari mencari cari ibunya, sambil berteriak-teriak memanggil
nama ibunya, setelah beberapa saat dia menemukan sosok wanita paruh baya
yang menangis histeris di depan reruntuhan kios, Sukri segera berlari
kearah ibunya, wanita paruh baya itu segera memeluk Sukri dan mereka
berdua pun sama-sama menangis meratapi kios warisan dari mendiang ayah
Sukri.
Tanpa kios untuk berjualan terpaksa ibu sukri berjualan dengan cara
keliling untuk menyambung hidup mereka berdua, Sukri pun juga juga ikut
membantu ibunya berjualan, sepulang sekolah dia pun berkililing
berjualan pisang goreng keliling menggantikan sang ibu, terkadang Sukri
kecil merasa iri dengan teman-teman sebayanya yang sepulang sekolah
leluasa untuk belajar, bermain dan berkumpul dengan keluarga mereka.
“hhmm”, Sukri, menghela nafas, dia merasa samgat mengantuk tapi sulit
untuk tertidur, “apa ini sudah takdirku ya Allah”, Sukri bangun dan
terduduk diranjang, “apakah aku harus mengalami seluruh kesialan dan
ketidak beruntungan ini ya Allah”, ratap Sukri dalam hatinya, “sampai
kapan nasib ku seperti ini terus, apakah selamanya aku akan seperti
ini”, Sukri sadar dan bener. benar mengerti, semasa kecil dia sering
ikut pengajian di langgar kampung bersama cak Sarno, dia mengerti betul
bahwa sebagai hamba yang beriman tidak sepatutnya dia mempertanyakan
qada’ dan qadarNya, juga bagaimana alam semesta beserta seluruh isinya
ini menjalani takdirnya masing-masing adalah hak prerogatif dari Nya,
hanya Allah yang maha menentukan segalanya. Dengan sisa tenaga Sukri
berusaha bangun dari ranjang, dia melangkah dengan gontai menyeret
kakinya ke kamar mandi, “ya Allah, malam ini aku datang padamu dengan
ikhlas dan penuh pengharapan”, batin Sukri. “Aku adalah hambamu yang
lemah dan banyak khilaf, aku mengharap ampunanMu yang luas dan juga
ridha Mu atas hidup dan juga qada’ dan qodar yang kujalani ini, hanya
kepadaMu aku berdoa’ dan memohon pertolongan ya Robbal Alamin”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar