Awan mendung menggelayut langit Awangga. Angin dingin berhembus
menerkam kebahagian. Semua berganti muram. Awangga telah lelah
dipermainkan oleh alam. Dan saat ini negara itu telah jatuh dalam
kemurungan. Kesedihan melanda seluruh istana.
Tangisan lirih menggema dari sudut ruangan besar di kaputren. Sebuah
ranjang tergeletak dengan sesosok tubuh diatasnya. Terdengar suara isak
tangis tertahan. Hari ini apa yang telah dikuatirkan oleh Dewi
Surtikanti benar-benar terjadi.
Sejak semalaman kegelisahan dan kebimbangan hatinya terus hinggap,
meskipun kata-kata penenang terucap dari Prabu Karna. Semalam adalah
malam tersingkat dalam hidupnya. Ia merasa tidak ada lagi yang mampu
menopang hidupnya kali ini. Semua telah pergi.
Orang yang dicintainya telah tiada untuk selamanya. Masih terngiang
jelas di benaknya. Sentuhan lembut suami tercinta. Masih terasa di
tangannya genggaman cinta yang diberikan oleh Prabu Karna. Masih
terdengar suara menenangkan suaminya, ketika meminta ijin untuk pamit
pergi kesokan hari. Masih tergambar roman muka penuh cinta yang
ditampakkan oleh Prabu Karna kepadanya. Bahkan Dewi Surtikanti masih
terbayang kecupan lembut di pipinya sebagai penghantar tidur pembuka
pintu mimpi semalam.
Namun dari kesemuanya itu, tatapan terakhir Prabu Karnalah yang kuat
menusuk hatinya. Tatapan terakhir di pagi buta sebelum meninggalkan
istana Awangga. Terpancar di matanya rasa kasih yang selama ini telah
menyiram hati Dewi Surtikanti hingga cinta itu takkan pernah terganti
oleh siapapun.
Hatinya masih menjerit. Berita yang di bawa oleh pengawal kerajaan
beberapa jam yang lalu masih tergeletak di meja. Dia tidak perlu membaca
seluruhnya karena satu kalimat akhir telah membuktikan kegelisahannya.
Ia tak sadarkan diri ketika mengetahui firasatnya benar-benar terbukti.
Gumpalan awan mendung yang selama ini jarang terlihat di Awangga
membuktikan semuanya. Sang surya ikut bersedih karena di tinggal manusia
tercintanya. Tidak ada lagi kehangatan sinar yang selalu menjadi
kesenangan Dewi Surtikanti ketika sedang bercengkerama dengan suaminya.
Semua pudar terganti suasana dingin.
Dewi Surtikanti bangkit dari pembaringan. Matanya merah. Entah sudah
berapa banyak air mata yang dikeluarkan hari ini. ia menangis sampai
matanya terasa kering karena tak ada lagi tetes air mata yang jatuh.
Semua telah tercurahkan. Ia mengedipkan mata. Mencoba menghalau pikiran
kalut yang terus hinggap.
Dewi Surtikanti meraih kertas yang ada di atas meja. Dibacanya
kembali, kata demi kata. Agar ia yakin kembali. Ia menghela napas
panjang. Mencoba menenangkan diri tapi jiwanya tertahan. Sebuah dinding
beku telah medinginkan hatinya. Kesedihan telah menggerogoti jiwanya.
ia berusaha bangkit berdiri. Dengan sempoyongan, ia berjalan menuju
pintu kamar. Ia ingin keluar dari kaputren untuk menuju istana. Ia ingin
segera menjemput jasad suami tercinta. Hal terakhir yang ia inginkan
adalah melihat suaminya terbaring tenang dalam menghadapi kehidupan di
sisi lain dunia ini.
***
‘Kanda, aku ingin menceritakan suatu hal”, kata-kata lembut keluar
dari mulut Dewi Surtikanti. Ia sedang melihat suaminya duduk di tepi
ranjang. Prabu Karna segera menoleh. “Apa yang dinda ingin sampaikan?”,
tanya Prabu Karna dengan sedikit penasaran. “Tadi malam dinda, bermimpi
aneh dan menakutkan, Kanda, dinda bermimpi seekor ular menggigit kaki
dinda, dinda panik dan sangat takut sekali. Dan akhirnya dinda
terbangun. Saat dinda menoleh, kanda tak ada di samping dinda. Kemanakah
kanda tadi malam?. Aku takut sekali”, Dewi Surtikanti menceritakan
perihal mimpinya. Tersirat nada gelisah di dalamnya. “Sebuah firasat
buruk mungkin saja akan terjadi sesuatu pada diri kanda atau negara
Awangga”, ia meneruskan ceritanya.
Dengan lembut, Prabu Karna meraih tangan Dewi Surtikanti. “Tenangkan
dirimu dinda, tidak akan terjadi apapun pada dirimu, aku berjanji akan
terus disisimu”, ucapnya mesra. “Tapi kanda. aku takut sekali, mimpi itu
benar-benar nyata, aku sepertinya masih merasakan sakitnya gigitan ular
itu”, ujar Dewi Surtikanti sambil meraba pergelangan kakinya. Ia merasa
kalau tadi malam itu bukan mimpi. Tapi entahlah antara sadar atau
tidak, ketakutan masih membayanginya.
“Dinda, aku mohon pamit kalau besok akan berangkat pagi-pagi buta,
kakang Prabu Duryudana memintaku memimpin langsung perang melawan
Pandawa”, ucap Prabu Karna tiba-tiba. Kata-kata itu menghenyakkan
seketika kesadaran Dewi Surtikanti. “Apa, kanda akan pergi, bukankan
kemarin Eyang Bisma udah turun tangan langsung, kanda sendiri yang
berkata kalau tak ada satupun panglima Pandawa yang mampu
mengalahkannya, terus mengapa tiba-tiba kanda harus terjun langsung”,
ceceran kata-kata Dewi Surtikanti berujung pada bertambah rasa takutnya
yang semakin meningkat.
“Dinda, dengarkan kanda, ini adalah tugas negara. Kewajiban yang
harus dipenuhi seorang abdi negara kepada negaranya. Astina sedang
mengalami perang besar dan kanda sebagai bagian dari abdi astina harus
bersedia berkorban jika diperlukan. Kanda berhutang budi banyak sekali
kepada kakang prabu Duryudana. Astina lah yang telah memberikan kanda
derajat dan jabatan. Orang-orang yang dulu meremehkan kanda kini telah
berbalik menjadi segan kepada kanda. Semua itu karena jasa kakang prabu
Duryudana dan Astina”, kata-kata prabu karna terhenti sejenak. Diraihnya
segelas air yang terletak di meja. Diteguknya perlahan.
Prabu Karna menghela napas panjang. Ia berusaha melanjutkan kembali
perkataannya kepada sang istri tercinta. “Dinda ingat, kalau tidak
karena kakang Prabu Duryudana, aku mungkin tidak akan bisa menikahimu.
Ada banyak hal yang harus aku bayar sebagai penebus hutang tersebut.
Dinda harus mengerti kalau kanda adalah ksatria yang bertanggung jawab
dan berpendirian teguh. Kanda akan membela negara yang telah memberikan
banyak hal. Kanda adalah laki-laki yang tahu membalas budi”. Perkataan
prabu karna terhenti ketika Dewi Surtikanti bangkit dan duduk
didekatnya.
“Aku merasakan firasat buruk esok hari, kanda”. Dewi surtikanti
berbicara lirih. Prabu Karna menangkap apa yang sedang dirasakan
istrinya. Sebagai laki-laki sejatinya, sudah menjadi tanggung
jawabnyalah untuk memberikan ketentraman belahan jiwanya. Dengan penuh
sayang di tatap mata indah sang istri.
“Kanda sangat mencintai dinda, bagi kanda firasat yang kamu rasakan
sebagai wujud cinta. Aku beruntung memilikimu. Kamu sempurna dimataku.
Bagi kanda, tiada orang yang dapat menggantikanmu di hatiku”. Terucap
kata-kata manis dan lembut dari bibir Prabu Karna. Dengan mesra
didekapnya bahu Dewi Surtikanti. Ia berbisik di telinganya. “Anugerah
sang surya telah memberiku jalan terang dalam kehidupan. Aku ingin kamu
tetap tegar meskipun cobaan berat menimpamu. Mungkin dinda takut takkan
bertemu kanda lagi untuk selamanya. Tapi kanda meyakinkan dinda kalau
akan aku berikan senyuman indah ketika kita bertemu lagi esok”.
Malam semakin pekat. Suara jangkrik mulai menghilang. Sang bulan
tersembunyi malu dibalik rindangnya awan. Entah siapa yang di lihat oleh
bulan, tapi sebuah cahaya putih berkelebat menuju puncak menara
Awangga. Semua tampak damai, semua terlihat tentram. Namun sebuah
misteri terbungkus tabir siap terbuka dan mengejutkan banyak pihak. Alam
telah belajar dari pengalamannya tentang kehidupan. Ketika yang
tersurat terlaksana dan tersirat telah bermakna.
***
Tak ada teriakan kesakitan dari wajahnya. Hanya seutas senyum kecil
tersungging kaku. Apakah yang tersirat di senyuman itu. Sebuah teka-teki
beribu makna. Senyum kesenangan atau ejekan. Tidak ada yang tahu
kecuali pemilik senyuman itu sendiri.
Suasana tiba-tiba hening. Matahari bersinar sangat terik. Seolah
menunjukkan bahwa siapa pemilik kekuatan kehidupan sesungguhnya. Semua
itu tak berlangsung lama. Keheningan telah berganti dengan cepat. Riuh
rendah, orang-orang bersorak. Mereka meneriakkan suara kemenangan. Suara
kemenangan menenggelamkan kegelisahan hati seseorang yang telah
menghantarkan sebuah kehidupan ke sisi lain dunia ini.
Teringat apa yang terjadi ketika dirinya berjibaku menunjukkan siapa
yang terpandai dalam olah kanuragan dan ketangkasan memanah. Dan juga
peristiwa ketika bertarung memperebutkan sebuah senjata sakti ciptaan
dewa dan akhirnya ia hanya mampu merebut sarung senjatanya saja. Bahkan
ketika membela seorang puteri yang berujung pada kesalahpahaman hingga
akhirnya ia sadar kalau orang yang selama ini menjadi musuh adalah
saudaranya sendiri.
Nasihat sang ibu telah mengingatkannya, “anakku Arjuna, bujuklah
Karna untuk membela Pandawa, sesungguhnya ia berada pada pihak yang
salah, kau harus mengerti Krjuna, Karna tidak seperti yang kau kira. Ia
tidak jahat seperti para Kurawa. Ia adalah ksatria sejati. Manusia agung
titisan sang dewa”. Kata-kata itu kembali menghampiri pikirannya.
“Apakah benar yang dikatakan ibu”, serunya dalam hati.
Ia masih menatap sosok tubuh yang tergeletak di depannya. Darah
mengalir dari lehernya. Sebuah anak panah tertancap di sana. Namun wajah
dengan senyuman aneh tertuju pada Arjuna. Mengapa kau tersenyum di saat
ajal menjemputmu?, tanya Arjuna pada jasad tak bernyawa di depannya.
Karna telah gugur di medan perang. Ia terbunuh oleh arjuna. Apa yang
selama ini ia takutkan terjadi. Kematian telah dia takdirkan sendiri
jauh sebelum perang di mulai. Karna masih ingat hari sebelumnya, dirinya
dibentak kasar oleh Eyang Bisma karena terlalu sombong dan ingin
menjadi panglima pasukan Astina. Karna tak peduli kalau sang kusir
keretanya adalah mertuanya sendiri. ayah dari sang istri tercinta. Tidak
ada prasangka buruk sebelumnya. Namun ketika sebuah kecelakaan kecil
menimpa roda belakang kereta, ia sadar kalau semua ilmu yang telah
dipelajari tiba-tiba lenyap. Ia seperti domba di kepung kawanan
serigala. Hingga akhirnya sebuah anak panah melesat dan menancap di
lehernya. Menghilangkan dengan seketika jiwa kehidupannya.
***
Dewi Surtikanti memeluk jasad suaminya yang tersenyum. Ia masih tak
percaya kalau sang suami benar-benar telah pergi. Tapi dalam
kepergiannya, Prabu Karna ingat akan janjinya. Ia berjanji memberikan
senyuman kepadanya ketika bertemu kembali. Dan janji itu benar-benar
terlaksana.
Tangisnya tertahan. Ia masih belum bisa melepaskan pelukannya. Di
balai besar istana Awangga, suasana berkabung menyelimuti seluruh
penghuni istana. Mereka berkabung untuk junjungan yang menjadi
panutannya. Prabu Karna tidak hanya adil dan tegas dalam memerintah
tetapi juga murah hati dan dermawan. Tak peduli pejabat ataupun rakyat
jelata, kalau ia menjumpai orang yang kesulitan selalu dibantunya.
Ketegasannya telah berujung pada ketentraman hidup para rakyat
Awangga. Prabu karna tidak pilih kasih dalam menegakkan hukum. Semua
sama dimatanya, jika bersalah harus di hukum. Tidak ada yang kebal
karena kekuasaan.
Ssemuanya telah pergi. Perang besar telah merenggut nyawa sang
ksatria agung. Ia gugur membela negara. Prabu Karna tahu kalau apa yang
ia bela salah, dan rela namanya tertulis dalam sejarah sebagai penentang
kebajikan. Untuk menegakkan kebaikan, dibutuhkan pengorbanan kebaikan
itu sendiri. Dirinya telah memutuskan kalau Kurawa yang ia bela hanya
dapat dihentikan dengan menunjukkan pengorbanan kebaikan.
Seseorang berjalan menghampiri Dewi Surtikanti. Ia mendekat lalu
duduk bersimpuh. “Terimalah pemberian dari Dewi Kunti, ibu para Pandawa
kepada Dewi Surtikanti sebagai ungkapan duka cita yang mendalam. Sebuah
peti kayu diletakkan disamping Dewi Surtikanti. Perhatiannya teralihkan
sejenak. Ia menatap kotak itu lalu membukanya. Matanya menyipit
menghindari sinar putih yang datang dari dalam kotak. Namun itu hanya
sementara. Ketika diraihnya secarik kertas yang di gulung rapi. Perlahan
gulungan itu di buka dan ia membaca tulisan yang tertera disana.
‘Biarkan restu dan anugerah yang lahir bersama titisan surya tetap
mengalir dalam kehidupan yang diciptakannya. Dia berhak diagungkan oleh
pemberi cahaya hidup yang telah menggantikan anugerah surya yang hilang
sementara. Dan sebuah cahaya akan terus menimbulkan pijar dalam
kegelapan tanpa mengeluh terusik oleh kegelisahan’.
Suara tangis bayi menyadarkan Dewi Surtikanti. Rona kebahagian
terselip diwajahnya. Sedikit menghapus noda sedih dari hati sejenak. Ia
beranjak berdiri dan meninggalkan balai besar tersebut. Ia masuk ke
dalam sebuah kamar besar. Didekatinya sumber tangisan itu. Ia menatap
bayi mungil yang kini tersenyum riang karena sang ibu ada didekatnya. Ia
menggendong bayi itu dan mendekapnya erat-erat. “Cepatlah besar anakku,
agar kau memahami apa yang terjadi saat ini dan berjanjilah pada ibu
kalau kau akan menegakkan kembali tanah Awangga”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar