“Kamu kenapa, Lun?” tanyaku penuh penasaran.
Luna tak menjawabku. Ia hanya lemparkan senyum padaku. Argh! Sial! Ada apa dengannya?
Kemarin ia masih begitu semangat dan energik. Bahkan selalu
menceramahiku bila aku tak mengerjakan pr atau terlalu mengganggunya.
Memang baru dua bulan saja aku mengenal Luna. Aku memang tidak tahu
bagaimana sosok Luna secara penuh, Namun aku mengetahui sosoknya selama
ia berada di kelas ini. Ia baik, perhatian, semangat, dan suka makan.
Melihatnya dalam kondisi seperti ini membuatku frustasi. Ya, 100%
Frustasi. Aku coba tuk menggoda dan memancingnya, namun ia hanya
tersenyum lagi. Bah!. Hatiku tak bisa tenang. Kalau begini terus aku
harus gimana!?
“Toet Teot…”
Bunyi bel pertanda masuk pelajaranpun berdering. Dengan tangan hampa,
aku duduk di kursiku dan menenangkan fikiranku. Guru les pertama masuk
dan kegiatan belajarpun di mulai.
“Oi, Luna!” Seruku dengan keras di depan meja ia duduk. Lagi, ia membalas hanya dengan senyum hampa.
“Ada masalah kah, Luna? Kalau ada ceritakanlah padaku. Aku kan temanmu.
Teman itu saling menolong. Dan kapanpun itu, bila kau sedih maka aku
sebagai temanmu akan datang tuk menyamankanmu. Teman akan terus ada di
kala senang maupun duka”
Kali ini ia merespon dengan menatapku dengan wajah terkejut. Lalu ia
menunduk dan tangannya meremas roknya. Ia berdiri secara tiba tiba dan
mengatakan bahwa dirinya tidak apa apa dan tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Dan langkahnya begitu cepat. Ia pergi begitu saja
meninggalkanku dan ruang kelas kami. Pikiranku penuh dengan pertanyaan
dan hatiku begitu gusar.
Aku tak pernah merasa sakit seperti ini. Walau ragaku sehat tanpa
luka, namun hatiku sudah tergores oleh sikapmu, Luna. Sikapmu yang tidak
mau terbuka padaku. Pada teman temanmu. Argh! Tanpa sengaja aku
menggerakkan tanganku dan membuat mejanya tergeser dan jatuh.
“Tug…”
Aku mendengar suara benda jatuh. Aku mencari ke asal suara. Apa yang
kudapat! Inikan ponselnya Luna? Kenapa ia meninggalkannya di sini? Aku
melihat body ponsel itu untuk memastikan ada tidaknya lecet akibat
perbuatanku yang tersulut emosi.
“Syukurlah tidak ada yang lecet.” Aku menghela nafas lega.
Karena menurutku bila ada lecet mungkin aku hanya menambah masalah bagi
Luna. Tanpa sengaja aku melihat layar ponselnya yang sedang aktif.
MURKA! Ponselnya kugenggam erat. Benar benar erat sehingga terdengar
bunyi “crack” sepertinya ada yang patah. Kini ku tak sanggup lagi
menahannya sendirian. Langsung aku beranjak dari tempatku bersandar
menuju meja guru di depan kelas. Lalu aku menyuruh salah satu temanku
untuk menutup pintu kelas.
“Maaf teman teman. Bila aku mengganggu waktu kalian, tapi ada hal
yang benar benar penting yang harus kalian dengar” Seru ku keras. Suara
ku menggema di ruangan itu.
“Emangnya ada apa sih..?” Tanya seorang temanku yang tengah penasaran
Lalu dengan panjang lebar ku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi
dengan Luna. Dan aku mendapat respon positif dari para gadis di kelasku.
Mereka beralasan bahwa Luna itu baik dan benar benar sangat menyayangi
mereka. Namun, respon para pemuda di kelasku, NIHIL. Percuma bila hanya
wanita ada dan pemudanya tidak ada. Bisa tamat riwayaku. Kekesalanku
memuncak. Aku menyerahkan ponsel Luna ke teman perempuannya. Lalu aku
cabut dari sekolah.
“Sekarang bagaimana aku harus bertindak?”
Pertanyaan itu melayang di pikiranku. Ntah apa yang harus ku perbuat.
Ntah apa yang harus kulakukan. Hampa. Kepalaku terasa berat, badanku
begitu lelah. Beban pikiran ini memang lebih melelahkan dibandingkan
dengan berolahraga dalam jangka waktu yang lama. Mataku sayu, tubuhku
hendak melemaskan otot ototnya di ranjang empukku.
Argh! Aku memaksakan tubuhku agar tidak tertidur. Beranjak dari tempat
tidurku menuju kursi dan meminum kopi. Jam menunjukkan pukul 19.00. 15
menit lagi, aku akan kesana dan menunjukkan pada mereka dan pada luna
juga “Apa itu teman!” Sambil menggangti pakaian, aku telah menyiapkan
mental dan fisikku. Dan yang terpenting adalah tekadku.
Pukul 19.15, Gardens Park.
Angin dingin berhembus sepoi. Malam ini tampak lebih gelap dari
biasanya. Luna mengambil langkah awalnya memasuki taman. Setelah
beberapa langkah, ia berhadapan dengan mereka.
“Mana uangnya, nona!” Gertak salah sorang dari mereka yang berbadan tegap dengan suara yang agak serak.
“I—Ini”
Luna menyerahkan amplop yang cukup tebal kepada yang seorang lagi. Pria itu berbadan gemuk dan berjenggot tebal.
Pria tersebut memeriksa amplopnya. Sementara yang satu lagi hanya diam dan menunggu sinyal dari temannya.
“Aku rasa ini kurang nona!”
Spontan Luna terkejut mendengar keluhan pria gemuk itu. Dengan rasa
takut yang mengalir di tubuhnya ia langsung membalas perkataannya
“Tapi itu jumlahnya sesuai dengan yang kalian minta jadi apa lagi?”
“Aduh Nona. Kalau uangnya kemarin kamu kasih, maka harga segitu. Tapi
karena hari ini, maka harganya naik dua kali lipat” Amat lancar ia
mengatakannya dengan begitu mudah kepada seorang gadis SMU.
“Tapi, bagaimana aku harus membayarnya? Aku hanya anak SMU, uang sakuku
takkan mencukupi permintaan kalian. Jadi” tak sempat Luna menyambung
perkataannya, Pria gemuk itu menyambar ucapannya.
“Jadi” Pria gemuk itu berjalan mondar mandir di depan Luna. Kemudian ia
bersiul. Dengan cepat Pria tegap yang diam tadi langsung menyergap Luna.
Tangannya di kekang. Luna tak bisa bergerak. Ia tak berdaya melawan
pria tegap itu.
“Jadi kau harus membayarnya dengan tubuhmu yang molek itu. Ha Ha ke ke k
eke..” Spontan pria itu teriak ketika temannya berhasil menyergap Luna.
Luna meronta namun mulutnya di sekap oleh tangan pria gemuk itu. Luna
merasa percuma untuk melawan mereka. Ia tak punya kekuatan. Yang ia
punya hanyalah “TEMAN”. Kata itu keluar begitu saja dari bibir Luna. Dan
mengingatkan dia tentang hal yang kukatakan.
“Teman itu saling tolong menolong. Baik di kala senang maupun duka”
“Te… man” Luna berkata terbata bata.
Di saat yang bersamaan, aku datang dan melempar boal baseball dengan sangat keraas.
“BUKK!” Dan mengenai wajah pria tegap yang menyekap Luna.
Seketika itu, Luna terlepas dari pria tegap itu, dan terduduk di tanah.
Sambil bergumam kecil, air matanya menetes. Ia mengatakan sesuatu walau
aku tak bisa mendengarnya tapi aku tahu apa yang ia katakan “TEMAN”
Spontan, emosiku meluap luap tak tertahankan.
“HAHH..!” aku berlari sekencang mungkin, lalu mendaratkan pukulan keras
kepada pria gemuk itu. Wajahnya berdarah dan keadaannya setengah sadar.
“Luna, sekarang kesempatanmu larilah!” Perintahku keras pada Luna.
Ia menolak. Ia mengatakan akan tetap di sini dan ikut bertarung. Lalu
aku membujuknya dan mengatakan bahwa aku pasti bisa mngalahkan pria
tegap itu. Mendengar hal itu, ia segan tuk menolakku lagi. Lalu ia
segera pergi. Hatiku begitu lega. Karena hari ini aku telah berhasil.
Berhasil menolong temanku.
“BUKK!”
Hantaman keras bagai logam mengenai wajahku. Aku tersungkur di tanah.
Wajahku berdarah. Ternyata pria gemuk itu memukulku dengan tongkat besi
yang ia sembunyikan. Aku langsung berdiri dan berlari kearahnya. Ketika
ia hendak meukulku lagi, aku menangkap tongkat itu dan memukulkannya ke
kepala pria gemuk itu.
“TONG!!” Gema bunyi dua benda keras berdengung di telingaku.
Setelah itu, kulihat pria gemuk itu terkapar tak sadarkan diri.
Tiba tiba, dengan cepatnya aku di cekik oleh pria tegap itu. Amat kuat
dan keras. Kucoba melepaskannya namun gagal. Sial!!! Nafasku Sesak. Pria
besar itu langsung melemparku bak atlet tolak peluru. Benturan antara
tanah dan tubuhku tak terhindarkan.
“Akh.. Argh!!” Aku merintih sakit. namun ntah kenapa aku.. aku…
“Kau masih bisa tersenyum rupanya?. Baiklah kalau itu permintaanmu. Aku akan mengirimmu ke neraka!!”
Kemudian pukulan demi pukulan mendarat tak tentu arah di wajah dan
badanku. Sakit. Amat sakit. Tapi ntah mengapa aku masih bisa bangkit dan
memasang wajah tersenyum. Padahal wajahku sudah babak belur.
“Kau benar benar tangguh rupanya? Hehe… Menyenangkan” Pria itu mengambil
ancang ancang dan mendaratkan sebuah pukulan yang amat keras ke
wajahku.
“BAM!!” Aku melayang di udara sejenak. Dan terbentur ke tanah. Aku
hampir kehilangan kesadaran. Aku menoleh ke arah kiri dan melihat jam
yang ada di taman. Pukul 19.28. Sudah lima belas menit rupanya aku
mengulur waktu. Sekarang aku benar benar sudah bisa tenang.
Ketika itu, saat aku nyaris pingsan, aku mendengar suara Luna. Seperti
memanggilku, bukan Cuma Luna tapi yang lainnya juga. Perlahan aku tak
bisa mendengar apa apa. Gelap. Aku jatuh pingsan.
Aku membuka mata perlahan. Asbes putih, gorden putih, selimut putih, dan… Luna!
Aku menoleh ke arah bawah. Aku melihat Luna tertidur dengan posisi
duduk. Ya. Benar benar Luna. Luna langsung siuman ketika ia merasakan
adanya pergerakan yang ku lakukan. Sentak saja matanya menggenangkan air
mata. Dan tangisnya meledak. Ia mendekapku dengan erat. Air matanya
mengalir deras dibarengi isakan tangisnya. Seketika itu, pintu ruanganku
terbuka dengan keras di barengi dengan Kemunculan mereka, teman-teman
sekelasku. Seluruhnya. Aku tak menyangka hal ini. Benar benar di luar
dugaanku.
Salah satu temanku yang laki laki maju, sepertinya ia mewakili semuanya. Ia meminta maaf kepadaku dan Luna.
“Kami minta maaf pada kalian berdua. Pasalnya kami tidak membantumu
sejak awal. Dan” Tak sempat ia menyempurnakan kalimatnya, aku sudah
memotong.
“Tak perlu di khawatirkan. Kalian sudah membantuku dengan membawa ku
kemari. Alhasil, aku selamat, iya kan?” Sahutku dengan penuh bahagia di
hati.
Ini yang pertama kalinya kau begitu bahagia. Aku merasa akulah orang
yang paling bahagia di dunia ini. Walau tak punya keluarga, tapi aku
punya mereka, Teman temanku yang amat berharga, Apalagi Luna.
“Adu.. duh” teriakku kecil mengungkapkan sakit yang kurasakan.
“Luna, Jangan keras-keras. Ntar patah tulangnya” Usil temanku.
“Biar! Biar aja orang ceroboh ini mati di dekapanku” balas Luna kesal.
“Waaaa…” Teriakku ketakutan.
“Cuma bercanda, kok” Luna melemparkan senyumannya padaku. Kali ini senymannya begitu ikhlas dan terasa penuh akan kebahagiaan.
Teman temanku tertawa melihat reaksiku. Alhasil kami semuapun tertawa
bahagia. Mereka juga menjelaskan tentang kejadian setelah aku pingsan
kemarin malam. Mereka mengatakan bahwa Luna mengajak mereka untuk
menolongku dan mereka berhasil mengeroyok Pria tegap itu dan
menyerahkannya ke kantor polisi. Aku amat bangga padaku mereka semua.
Dengan adanya kejadian ini, aku benar berharap bahwa persahabatan kami
akan tetap erat dan kuat. Peristiwa ini merupakan hari paling bersejarah
dalam hidupku.
Dengan senyuman yang tipis dan lebar yang dipenuhi rasa bahagia, aku mengatakan kepada mereka semua
“TERIMAKASIH TELAH MENJADI TEMANKU”
Dan mereka membalasku dengan senyuman dan tawa yang manja dan hangat di hati.
Dan kehidupan sekolah akan menghampiri setelah ini. Tapi, dengan ikatan
yang ku buat dengan mereka semua, aku yakin aku akan bisa bertahan
melawan dunia. Hanya satu hal yang kubutuhkan untuk itu. The Strongest
Bonds.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar