Senin, 23 Maret 2015

Ikatan Terkuatku

“Kamu kenapa, Lun?” tanyaku penuh penasaran.
Luna tak menjawabku. Ia hanya lemparkan senyum padaku. Argh! Sial! Ada apa dengannya?
Kemarin ia masih begitu semangat dan energik. Bahkan selalu menceramahiku bila aku tak mengerjakan pr atau terlalu mengganggunya. Memang baru dua bulan saja aku mengenal Luna. Aku memang tidak tahu bagaimana sosok Luna secara penuh, Namun aku mengetahui sosoknya selama ia berada di kelas ini. Ia baik, perhatian, semangat, dan suka makan.
Melihatnya dalam kondisi seperti ini membuatku frustasi. Ya, 100% Frustasi. Aku coba tuk menggoda dan memancingnya, namun ia hanya tersenyum lagi. Bah!. Hatiku tak bisa tenang. Kalau begini terus aku harus gimana!?
“Toet Teot…”
Bunyi bel pertanda masuk pelajaranpun berdering. Dengan tangan hampa, aku duduk di kursiku dan menenangkan fikiranku. Guru les pertama masuk dan kegiatan belajarpun di mulai.
“Oi, Luna!” Seruku dengan keras di depan meja ia duduk. Lagi, ia membalas hanya dengan senyum hampa.
“Ada masalah kah, Luna? Kalau ada ceritakanlah padaku. Aku kan temanmu. Teman itu saling menolong. Dan kapanpun itu, bila kau sedih maka aku sebagai temanmu akan datang tuk menyamankanmu. Teman akan terus ada di kala senang maupun duka”
Kali ini ia merespon dengan menatapku dengan wajah terkejut. Lalu ia menunduk dan tangannya meremas roknya. Ia berdiri secara tiba tiba dan mengatakan bahwa dirinya tidak apa apa dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan langkahnya begitu cepat. Ia pergi begitu saja meninggalkanku dan ruang kelas kami. Pikiranku penuh dengan pertanyaan dan hatiku begitu gusar.
Aku tak pernah merasa sakit seperti ini. Walau ragaku sehat tanpa luka, namun hatiku sudah tergores oleh sikapmu, Luna. Sikapmu yang tidak mau terbuka padaku. Pada teman temanmu. Argh! Tanpa sengaja aku menggerakkan tanganku dan membuat mejanya tergeser dan jatuh.
“Tug…”
Aku mendengar suara benda jatuh. Aku mencari ke asal suara. Apa yang kudapat! Inikan ponselnya Luna? Kenapa ia meninggalkannya di sini? Aku melihat body ponsel itu untuk memastikan ada tidaknya lecet akibat perbuatanku yang tersulut emosi.
“Syukurlah tidak ada yang lecet.” Aku menghela nafas lega.
Karena menurutku bila ada lecet mungkin aku hanya menambah masalah bagi Luna. Tanpa sengaja aku melihat layar ponselnya yang sedang aktif.
MURKA! Ponselnya kugenggam erat. Benar benar erat sehingga terdengar bunyi “crack” sepertinya ada yang patah. Kini ku tak sanggup lagi menahannya sendirian. Langsung aku beranjak dari tempatku bersandar menuju meja guru di depan kelas. Lalu aku menyuruh salah satu temanku untuk menutup pintu kelas.
“Maaf teman teman. Bila aku mengganggu waktu kalian, tapi ada hal yang benar benar penting yang harus kalian dengar” Seru ku keras. Suara ku menggema di ruangan itu.
“Emangnya ada apa sih..?” Tanya seorang temanku yang tengah penasaran
Lalu dengan panjang lebar ku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan Luna. Dan aku mendapat respon positif dari para gadis di kelasku. Mereka beralasan bahwa Luna itu baik dan benar benar sangat menyayangi mereka. Namun, respon para pemuda di kelasku, NIHIL. Percuma bila hanya wanita ada dan pemudanya tidak ada. Bisa tamat riwayaku. Kekesalanku memuncak. Aku menyerahkan ponsel Luna ke teman perempuannya. Lalu aku cabut dari sekolah.
“Sekarang bagaimana aku harus bertindak?”
Pertanyaan itu melayang di pikiranku. Ntah apa yang harus ku perbuat. Ntah apa yang harus kulakukan. Hampa. Kepalaku terasa berat, badanku begitu lelah. Beban pikiran ini memang lebih melelahkan dibandingkan dengan berolahraga dalam jangka waktu yang lama. Mataku sayu, tubuhku hendak melemaskan otot ototnya di ranjang empukku.
Argh! Aku memaksakan tubuhku agar tidak tertidur. Beranjak dari tempat tidurku menuju kursi dan meminum kopi. Jam menunjukkan pukul 19.00. 15 menit lagi, aku akan kesana dan menunjukkan pada mereka dan pada luna juga “Apa itu teman!” Sambil menggangti pakaian, aku telah menyiapkan mental dan fisikku. Dan yang terpenting adalah tekadku.
Pukul 19.15, Gardens Park.
Angin dingin berhembus sepoi. Malam ini tampak lebih gelap dari biasanya. Luna mengambil langkah awalnya memasuki taman. Setelah beberapa langkah, ia berhadapan dengan mereka.
“Mana uangnya, nona!” Gertak salah sorang dari mereka yang berbadan tegap dengan suara yang agak serak.
“I—Ini”
Luna menyerahkan amplop yang cukup tebal kepada yang seorang lagi. Pria itu berbadan gemuk dan berjenggot tebal.
Pria tersebut memeriksa amplopnya. Sementara yang satu lagi hanya diam dan menunggu sinyal dari temannya.
“Aku rasa ini kurang nona!”
Spontan Luna terkejut mendengar keluhan pria gemuk itu. Dengan rasa takut yang mengalir di tubuhnya ia langsung membalas perkataannya
“Tapi itu jumlahnya sesuai dengan yang kalian minta jadi apa lagi?”
“Aduh Nona. Kalau uangnya kemarin kamu kasih, maka harga segitu. Tapi karena hari ini, maka harganya naik dua kali lipat” Amat lancar ia mengatakannya dengan begitu mudah kepada seorang gadis SMU.
“Tapi, bagaimana aku harus membayarnya? Aku hanya anak SMU, uang sakuku takkan mencukupi permintaan kalian. Jadi” tak sempat Luna menyambung perkataannya, Pria gemuk itu menyambar ucapannya.
“Jadi” Pria gemuk itu berjalan mondar mandir di depan Luna. Kemudian ia bersiul. Dengan cepat Pria tegap yang diam tadi langsung menyergap Luna. Tangannya di kekang. Luna tak bisa bergerak. Ia tak berdaya melawan pria tegap itu.
“Jadi kau harus membayarnya dengan tubuhmu yang molek itu. Ha Ha ke ke k eke..” Spontan pria itu teriak ketika temannya berhasil menyergap Luna.
Luna meronta namun mulutnya di sekap oleh tangan pria gemuk itu. Luna merasa percuma untuk melawan mereka. Ia tak punya kekuatan. Yang ia punya hanyalah “TEMAN”. Kata itu keluar begitu saja dari bibir Luna. Dan mengingatkan dia tentang hal yang kukatakan.
“Teman itu saling tolong menolong. Baik di kala senang maupun duka”
“Te… man” Luna berkata terbata bata.
Di saat yang bersamaan, aku datang dan melempar boal baseball dengan sangat keraas.
“BUKK!” Dan mengenai wajah pria tegap yang menyekap Luna.
Seketika itu, Luna terlepas dari pria tegap itu, dan terduduk di tanah. Sambil bergumam kecil, air matanya menetes. Ia mengatakan sesuatu walau aku tak bisa mendengarnya tapi aku tahu apa yang ia katakan “TEMAN”
Spontan, emosiku meluap luap tak tertahankan.
“HAHH..!” aku berlari sekencang mungkin, lalu mendaratkan pukulan keras kepada pria gemuk itu. Wajahnya berdarah dan keadaannya setengah sadar.
“Luna, sekarang kesempatanmu larilah!” Perintahku keras pada Luna.
Ia menolak. Ia mengatakan akan tetap di sini dan ikut bertarung. Lalu aku membujuknya dan mengatakan bahwa aku pasti bisa mngalahkan pria tegap itu. Mendengar hal itu, ia segan tuk menolakku lagi. Lalu ia segera pergi. Hatiku begitu lega. Karena hari ini aku telah berhasil. Berhasil menolong temanku.
“BUKK!”
Hantaman keras bagai logam mengenai wajahku. Aku tersungkur di tanah. Wajahku berdarah. Ternyata pria gemuk itu memukulku dengan tongkat besi yang ia sembunyikan. Aku langsung berdiri dan berlari kearahnya. Ketika ia hendak meukulku lagi, aku menangkap tongkat itu dan memukulkannya ke kepala pria gemuk itu.
“TONG!!” Gema bunyi dua benda keras berdengung di telingaku.
Setelah itu, kulihat pria gemuk itu terkapar tak sadarkan diri.
Tiba tiba, dengan cepatnya aku di cekik oleh pria tegap itu. Amat kuat dan keras. Kucoba melepaskannya namun gagal. Sial!!! Nafasku Sesak. Pria besar itu langsung melemparku bak atlet tolak peluru. Benturan antara tanah dan tubuhku tak terhindarkan.
“Akh.. Argh!!” Aku merintih sakit. namun ntah kenapa aku.. aku…
“Kau masih bisa tersenyum rupanya?. Baiklah kalau itu permintaanmu. Aku akan mengirimmu ke neraka!!”
Kemudian pukulan demi pukulan mendarat tak tentu arah di wajah dan badanku. Sakit. Amat sakit. Tapi ntah mengapa aku masih bisa bangkit dan memasang wajah tersenyum. Padahal wajahku sudah babak belur.
“Kau benar benar tangguh rupanya? Hehe… Menyenangkan” Pria itu mengambil ancang ancang dan mendaratkan sebuah pukulan yang amat keras ke wajahku.
“BAM!!” Aku melayang di udara sejenak. Dan terbentur ke tanah. Aku hampir kehilangan kesadaran. Aku menoleh ke arah kiri dan melihat jam yang ada di taman. Pukul 19.28. Sudah lima belas menit rupanya aku mengulur waktu. Sekarang aku benar benar sudah bisa tenang.
Ketika itu, saat aku nyaris pingsan, aku mendengar suara Luna. Seperti memanggilku, bukan Cuma Luna tapi yang lainnya juga. Perlahan aku tak bisa mendengar apa apa. Gelap. Aku jatuh pingsan.
Aku membuka mata perlahan. Asbes putih, gorden putih, selimut putih, dan… Luna!
Aku menoleh ke arah bawah. Aku melihat Luna tertidur dengan posisi duduk. Ya. Benar benar Luna. Luna langsung siuman ketika ia merasakan adanya pergerakan yang ku lakukan. Sentak saja matanya menggenangkan air mata. Dan tangisnya meledak. Ia mendekapku dengan erat. Air matanya mengalir deras dibarengi isakan tangisnya. Seketika itu, pintu ruanganku terbuka dengan keras di barengi dengan Kemunculan mereka, teman-teman sekelasku. Seluruhnya. Aku tak menyangka hal ini. Benar benar di luar dugaanku.
Salah satu temanku yang laki laki maju, sepertinya ia mewakili semuanya. Ia meminta maaf kepadaku dan Luna.
“Kami minta maaf pada kalian berdua. Pasalnya kami tidak membantumu sejak awal. Dan” Tak sempat ia menyempurnakan kalimatnya, aku sudah memotong.
“Tak perlu di khawatirkan. Kalian sudah membantuku dengan membawa ku kemari. Alhasil, aku selamat, iya kan?” Sahutku dengan penuh bahagia di hati.
Ini yang pertama kalinya kau begitu bahagia. Aku merasa akulah orang yang paling bahagia di dunia ini. Walau tak punya keluarga, tapi aku punya mereka, Teman temanku yang amat berharga, Apalagi Luna.
“Adu.. duh” teriakku kecil mengungkapkan sakit yang kurasakan.
“Luna, Jangan keras-keras. Ntar patah tulangnya” Usil temanku.
“Biar! Biar aja orang ceroboh ini mati di dekapanku” balas Luna kesal.
“Waaaa…” Teriakku ketakutan.
“Cuma bercanda, kok” Luna melemparkan senyumannya padaku. Kali ini senymannya begitu ikhlas dan terasa penuh akan kebahagiaan.
Teman temanku tertawa melihat reaksiku. Alhasil kami semuapun tertawa bahagia. Mereka juga menjelaskan tentang kejadian setelah aku pingsan kemarin malam. Mereka mengatakan bahwa Luna mengajak mereka untuk menolongku dan mereka berhasil mengeroyok Pria tegap itu dan menyerahkannya ke kantor polisi. Aku amat bangga padaku mereka semua. Dengan adanya kejadian ini, aku benar berharap bahwa persahabatan kami akan tetap erat dan kuat. Peristiwa ini merupakan hari paling bersejarah dalam hidupku.
Dengan senyuman yang tipis dan lebar yang dipenuhi rasa bahagia, aku mengatakan kepada mereka semua
“TERIMAKASIH TELAH MENJADI TEMANKU”
Dan mereka membalasku dengan senyuman dan tawa yang manja dan hangat di hati.
Dan kehidupan sekolah akan menghampiri setelah ini. Tapi, dengan ikatan yang ku buat dengan mereka semua, aku yakin aku akan bisa bertahan melawan dunia. Hanya satu hal yang kubutuhkan untuk itu. The Strongest Bonds.
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar