Kenyataan mungkin terbalik dengan keinginan. Jalan kehidupan yang tak
selalu indah membuat kenyataan itu jauh dari yang diinginkan. Kehidupan
memang berliku-liku, kadang pasang kadang surut. Kadang menyenangkan
kadang menyedihkan. Kadang bahagia kadang duka. Namun itulah kenyataan
kehidupan yang akan berjalan dengan sendirinya. Tanpa tau arah, waktu
dan ruang. Dia akan berjalan sendiri sampai menemukan tempat dimana dia
harus berada. Tak ada yang selalu di atas, tak ada yang selalu di bawah.
Tak ada yang selalu bahagia, tak ada yang selalu menderita. Semua itu
kan berakhir dengan sendirinya dan tak akan berujung oleh apapun.
Aku biasa di sapa Siska, aku tak seberuntung mereka. Kehidupan yang
kuinginkan sulit untuk jadi kenyataan. Serasa kehidupan bahagia itu
masih jauh di pelupuk mata. Kedua orangtuaku pergi dahulu meninggalkan
aku dan Rafa adikku. Kecelakaan itu telah, merenggut nyawa kedua
orangtuaku.
“Ma, Pa, kita mau kemana?”, tanyaku dingin
“cuma keluar makan aja kok sayang,”,
“Pa, awas!!!”, teriakku spontan
Seketika mobil yang kutumpangi menabrak pohon di seberang jalan, untuk
menghindari truk yang tiba-tiba saja melaju cepat dari arah berlawanan.
Aku langsung memeluk adikku yang tak berdaya keluar untuk menyelamatkan
diri. Tanpa memikirkan kedua orangtuaku yang ada berada di depan.
“sssstttt, deeeeaaaarrrrr”
Suara itu yang tak pernah ku lupakan. Suara ledakan yang menenggelamkan
kedua orang tuaku. Yang merenggut nyawa kedua orangtuaku, hingga ku
menjadi seperti ini.
Memang aku dan Rafa selamat dari kecelakaan maut itu. Namun jika aku
bisa memilih aku pilih mati bersama kedua orangtuaku daripada menderita
dalam ketidakpastian. Aku memang masih bisa hidup layak bersama Rafa, di
rumah yang kutempati dulu dengan Ayah dan Ibu. Namun gimana nanti,
giamana setelah harta itu habis sedikit demi sedikit. Aku… akulah yang
harus menerimanya. Aku harus menghidupi Rafa adikku. Walaupun kehidupan
itu jauh dari kata layak.
Aku yang kini menempuh kuliah tulis sastra terpaksa DO untuk bisa
fokus kerja menghidupi adikku, ya setidaknya uang yang kudapatkan cukup
untuk biaya sekolah Rafa dan makan sehari-hari. Untuk kebutuhan lainnya
aku masih menggunakan uang dari harta sepeninggalan orangtuaku, dan uang
yang kusisihkan untuk persediaan nanti. Akupun terpaksa meninggalkan
kekasihku Firly, karena aku takut jikalau nanti aku tak bisa
membahagiakannya dengan kehidupanku yang sekarang.
“Firly, ayo ikut aku kebelakang”, sapaku dengan menariknya
“ada apa sayang?”, tanya Firly penuh tanya
“aku ingn kita berhenti sampai disini, kau tak usah bertanya mengapa.
Maafkan aku, aku tak bisa kasih alasan pasti. Tapi yang pasti semua
untuk kebaikan kita. Percayalah”, seruku meyakinkannya. Meski perasan
sakit, untuk saat ini dibenakku hanya ada Rafa yang harus ku jaga
sebagai teman hidupku yang memotivasiku untuk selalu berusaha.
Pekerjaan yang kujalani kini cukup memuaskan. Dengan dukungan adikku
dan Firly yang selalu ada membantuku, aku masih bisa bertahan dan terus
melanjutkan hidup ini. Meski Firly bukanlah kekasihku lagi, tapi aku
cukup nyaman dengannya dengan status friend. Aku menjadi penulis di
tabloid, dengan modal kuliahku tulis sastra yang juga memudahkan
pekerjaanku saat ini, Sehingga bayangan ketidakpastian itu sedikit
menghilang dari fikiranku.
Tiga tahun sudah kepergian orangtuaku. Tak terasa hidupku kini
semakin hari semakin membaik. Akupun kembali lagi berhubungan dengan
Firky. Sebab masih banyak cinta yang kusimpan untuknya. Dan Rafa adikku
tak perlu lagi ikut memikirkan beban yang pernah kurasakan dulu.
“Sis”, panggil Firly menyambangiku
“ia, apa?”,
“hari ini kan kamu nggak kerja, gimana kalau kamu dan Rafa ku ajak main keluar?”
“emmmmbbbb, boleh. Lagian semenjak kejadian itu, aku dan Rafa tak pernah lagi mau jalan-jalan keluar”
Siang itu aku pergi bersama Firly dan Rafa, untuk sedikit merefreskan
fikiran. Namun aku tak tau, bahwa hari ini adalah hari dimana maut akan
merenggutku. Waktu itu aku yang duduk sendiri di bangku taman akan
menghampiri Firly dan Rafa yang sedang asyik bermain di seberang jalan.
“Siska, ayo kesini!”, seru Firly memanggil
Aku pun berlari dengan cepatnya tanpa kusadari di ujung jalan terdapat
truk yang akan menghempaskan tubuhku. Mendekat dan tubuhku tergeletak di
jalan.
“Siska!”, Firly menjerit memanggilku
Berlari menyambangiku, Firly langsung mengangkat tubuhku dan membawaku
ke rumah sakit. Dengan tak henti-hentinya Firly memanggil-manggil namaku
untuk terus bertahan.
Tepat di pintu masuk ruang ICU. Diletakkannya tubuhku di atas ranjang
dorong. Dan dilarangnya Firly untuk mengikutiku masuk keruang ICU.
Detik, menit, jam telah berlalu. Penantian Firly belum juga terjawab.
Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia menjerit
kesakitan? Aku yang seharusnya di dalam sana bukan dia!, hati Firly
merintih bersalah. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruang ICU
dengan berkata “kami telah melakukan yang terbaik, maaf nyawanya tidak
tertolong lagi”. Firly hanya bisa diam, terkapar lemas diambang pintu.
Hati bagai tak terasa, kesakitan yang terlampaui besar karena rasa
bersalah.
Maafkan aku Siska, maaf, andai aku tak menyuruhmu tadi, andai ku tak
memanggilmu tadi pasti semua ini tak kan pernah terjadi. Omong kosong
yang hanya terlontar dari mulut Firly dihadapan Siska yang terbaring
dengan wajah pucat tanpa gairah. Lalu dipeluknya, Firly hanya bisa
menangis dan berharap dia kan kembali.
Sore itu pula jasad Siska disemayamkan. Air mata berderai tak
terbendung lagi oleh Firly. Rafa yang melihatnyapun tak kuasa menahan
tangis. Bertahun-tahun Rafa menjalani hidup hanya dengan kakaknya Siska,
kini hari-harinya kan kelam oleh kenanagan atas kehadirannya.
Siska semoga kau tenang di alam sana. Aku berharap kau selalu
tersenyum. Yakinlah ku kan selalu merindukanmu. Rafa akan ku jaga, dia
akan tinggal bersamaku dan aku kan menyayanginya seperti kau
menyayanginya. Seru Firly diiringi isak tangis dihadapan nisan
persemayaman Siska.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar