Cerita ini hanya fiksi. Terinspirasi dari film “LASKAR PELANGI” sapa
tau bisa diangkat jadi film LASKAR PELANGI 2 ya, hahhahaha ( nghayal
terus ).
Cerita tentang sekelompok anak yang ingin mengenyam pendidikan. Mirip
layaknya cerita laskar pelangi. cerita ini diawali dari susahnya
menikmati pendidikan yang layak bagi orang 2 yang tinggal di pedalaman.
Terletak di tepian sebuah perbukitan dan gunung dimana letaknya
sangat jauh dari keramaian, dan di kawasan itu ada sekelompok masyarakat
yang tinggal disana. Dengan kondisi yang seadanya, jalan yang ada pun
hanya jalan setapak yang menghubungkan antar rumah ke rumah dan ke
kampung yang agak ramai yang letaknya sekitar 20 km
Banyak generasi muda yang tidak mengenyam pendidikan, bahkan anak2
kecilpun enggan sekolah, bukan salah pemerintah yang tidak mendirikan
sekolah disana, tapi memang tempatnya sulit di jangkau, dan tak banyak
guru yang mau menjadi pengajar di desa kecil itu karena medan yang
ditempuh cukup sulit dan akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit
mereka bilang, gak cocok sama bayarannya. Mobil saja gak bisa masuk
kesana, motor pun harus dengan susah payah mengendarainya. Apakah kita
sebagai masyarakat sekitar desa itu, yang memiliki sedikit kelebihan
baik itu pendidikan, pengetahuan, ataupun harta kita, hanya mau berdiam
jika melihat kondisi seperti itu. hahhahaha. Tak banyak orang yang mau
membantu soal pendidikan, katanya itu tugasnya Pemerintah, hahahhahaha.
Lagi–lagi pemerintah yang disalahkan. hahhahahaha, padahal kita bisa
melakukkannya tanpa bantuan pemerintah. Jangan salahkan pemerintah terus
mari berkaca kepada diri sendiri, apakah kita sudah melakukan hal yang
berguna bagi anak-anak yang putus sekolah, atau kita hanya cuek saja dan
selalu menyalahkan pemerintah, atau ada juga guru yang selalu memandang
imbalan atau gaji untuk melakukan pengajaran bagi anak didiknya,
ataukah bantuan dari Pemerintah itu sudah datang tapi tidak sampai
kepada mereka yang membutuhkan, ataukah kita sebagai masyarakat sekitar
tak tahu kondisi sekitar kita, sehingga tidak tahu apa yang terjadi.
Hahhahahahha, sudah biasa itu terjadi. Jangan cari siapa yang salah,
tapi mari segera perbaiki kesalahan itu.
Dan apa boleh buat demi terciptanya pendidikan dan demi semangat
mereka yang ada disana harus ada solusinya. Sementara ini mereka hanya
belajar dari guru ngaji mereka serta otodidak baik dari koran maupun
buku2 lainnya, sampai mereka bisa membaca karena diajari oleh orang tua
masing2 bukan oleh guru sekolah.
Cerita ini diawali dari perbincangan beberapa orang anak di tempat
Ditengah tengah kegiatan sehari2 mereka yang tak tentu. mereka punya
keyakinan bahwa belajar dari ALAM dan agama itu sudah cukup bagi mereka.
Mereka sama 2 membantu orang tua mereka, di tepian sungai di lereng
gunung, ada yang memandikan sapi, ada yang mencuci baju, ada yang
mencari kangkung, dan ada juga yang memancing,
Salah seorang anak sebut saja Edi berkata, “masa kita mau begini terus sampe tua?”.
Seorang lagi menjawab sebut saja Tini “Ya beginilah enaknya, daripada
kita di kota yang ramai, dan memperburuk kehidupan kita, lebih baik kita
disini nikmati alam kita, belajar dari alam”.
Berkata seorang lagi sebut saja Dono kepada temannya “Hahhahaha gak
cukup itu semua, kita harus belajar semuanya, alam, agama, pendidikan,
pengalaman, dll, supaya kita pandai”
Seorang anak lagi menjawab sebut saja Totok “Jangan menghayal, kalian, kerjakan saja apa yang kalian bisa kerjakan”
Seorang lagi bertanya sebut saja Dul “ah pendidikan?, makanan apa itu?”
Dono menjawab dengan hati yang penuh harap akan pendidikan dan hati yang
tulus dan dia meminta Dul untuk meniupkan serulingnya selama dia
berbicara dan dia berkata “pendidikan, sedih hatiku mendengar kata itu,
karena kata itu hanya bisa kita dengar, tanpa kita rasa. Tapi kami tidak
takut meski kami tidak mengenyam pendidikan, kami punya semangat dan
hati yang besar yang akan membawa kami menuju impian dan cita-cita
kami”.
Seorang anak lain lagi berkata sebut saja Teten “hahhaha, pendidikan itu
artinya sekolah dul” dan Dono menjawab “bukan hanya sekolah, tapi kita
belajar dari orang tua dan guru ngaji kita serta mentaati didikan mereka
itu juga merupakan pendidikan, tau”
Seorang anak yang lain berkata sebut saja Tono “hahhaha betul betul, tapi gimana rasanya kalo sekolah ya?”
Dono menjawab “daripada penasaran setelah pekerjaan kita beres semua
bagaimana kalo kita turun kebawah ke desa sebrang melihat anak2 sekolah
sapa tau kita bisa pinjam buku mereka untuk belajar”
Tini menjawab “itu jauh, mungkin agak siang hari baru kita bisa sampai”
Dono menjawab “kalo kau punya semangat mengapa tidak, bagaimana, siapa
yang mau ikut?”
Mereka semua menjawab “ikuuuuuuuuuuuuuuuuuuttt”
Dono berkata “ok, setelah kalian selesai semua aku tunggu di jembatan
merah dan kita turun ke desa sebrang, jangan lupa bawa bekal ya,
hahhahahaha”
Setelah percakapan itu terjadi maka ke 7 anak itupun nekad turun ke
desa sebrang hanya untuk melihat anak-anak sekolah, dengan jarak yang
mereka tempuh sekitar 10 km, merekapun turun lewati jalan setapak, turun
dan naik bukit, lewati persawahan yang hijau dan mereka tetap
bersemangat.
Setelah lama berjalan kemudian sampailah mereka ke tembok pinggiran
sekolah. Mereka terlihat capek dan lelah, bahkan ada seorang anak yang
berkata, “gimana pulangnya nih, hahahha”, tapi lagi2 semangat mereka
kalahkan kelelahan itu. Mereka mengendap ngendap mengintip dari jendela
sebagian kelas dan memanjat tembok untuk lihat anak2 sekolah belajar.
Seorang dari mereka ada yang mengangis, terharu, berpikir bahwa dunia
tidak adil, sampai2 kami tidak bisa seperti mereka.
Mereka memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh salah seorang guru,
bahkan seorang guru sempat melihat aksi itu tapi untungnya hanya
dibiarkan saja, karena guru itu tau bahwa itu anak-anak itu dari lereng
gunung yang ingin bersekolah. Untunglah guru itu adalah orang yang
penyabar dan pengertian
Di sela-sela itu mereka main ke pintu halaman sekolah dan bekenalan
dengan penjaga sekolah dan bertanya gimana caranya untuk bisa
bersekolah? Sang penjagapun menjawab, harus daftar dulu bayar uang
gedung, beli seragam, bayar spp, punya sepatu, dll. Sedih hati mereka
mendengar itu. Rasanya hanya orang-orang yang memiliki uang yang bisa
menikmati pendidikan. Lalu bagaimana dengan kami yang hanya punya
semangat dan sebongkah hati dan sebongkah harapan yang ingin mengenyam
pendidikan seperti mereka yang adadi sekolah itu.
Mereka sering menjadi olok-olokan anak-anak sekolah karena pakaian
mereka yang compang camping, kotor tanpa alas kaki. Bahkan pada suatu
hari ketika mereka pergi ke sekolah itu, sempat ada yang mengejeknya dan
mengatakan kepada mereka.
Sebut saja Adi, “ngapain kalian kesini, pulang sana, mandiin sapi, ato nyangkul, hahahhaa” ,
Dono pun si anak desa gunung itu menjawab “memang beginilah kami, kami
tidak bersekolah, tapi asal kau tau, suatu saat semangat dan hati kami
akan kalahkan kalian semua yang ada disini, terima kasih,”
Dengan hati yang panas merekapun pulang dan terus semangat dari hari ke
hari terus belajar lewat apapun juga, termasuk mengintip di sekolah,
di saat yang lain juga mereka sempat diusir oleh penjaga sekolah karena
mengintip pelajaran di kelas-kelas lewat jendela, ada sebagian guru yang
tidak senang dan merasa terganggu ketika mereka melakukan aktivitas
itu. tak banyak guru yang membiarkan mereka mengintip lewat jendela itu,
mereka sering diolok olok oleh anak2 yang ada didalam ruangan kelas,
itu. Sempat juga mereka di teriakin maling, dan sempat juga dilempar
penghapus papan tulis, dll, tapi mereka cuek aj, yang ada dalam diri
mereka hanya semangat untuk belajar tak hiraukan yang lain.
Berbeda dengan guru yang penyabar itu sebut saja namanya Bono, ketika
mereka melakukan aktivitas mengintip itu, dia membiarkan saja, karena
dia tahu betapa mahalnya untuk sekolah, bahkan sempat ada murid di kelas
yang protes dan berkata “pak usir saja anak desa itu, itu mengganggu
kami”
Sang guru Bono menjawab “dengan apa mereka mengganggu?, apa mereka
berisik, apa mereka melemparimu dengan batu, atau mereka mengolok2 kamu,
tapi justru sebaliknya, yang kalian lakukan di kelas ini, kalian sering
ribut, tidak mendengarkan pelajaran dari guru, bahkan sering
lempar-lemparan satu sama lainnya, hai kamu yang protes, saya bertanya
kepada kamu, apakah kamu yang memberi makan mereka, atau kamu yang sudah
melahirkan dan merawat mereka sehingga kamu punyak hak untuk usir
mereka dari jendela, ingatlah, kita harus bersyukur, kalian bisa
sekolah, tidak harus mengintip seperti mereka yang diluar”
setelah sang guru itu menasehati murid dikelasnya, tak ada satupun murid
yang berani berkomentar, mereka mulai berpikir dan berkaca kepada diri
sendiri.
Sempat juga pada suatu ketika ke 7 anak itu berkenalan dengan salah
seorang murid yang kasian meliat keseharin mereka, sebut saja Nina dan
dia sering memberikan buku pelajaran sekolahnya kepada ke 7 anak itu.
Salah seorang anak desa itu berkata “mengapa hanya kamu yang baik dan
perhatian kepada kami, sementara yang lain lihatlah, asik dengan
sendirinya tanpa ada rasa apapun terhadap kami, yang ada mereka hanya
mengejek kami”
Nina menjawab “ya mungkin mereka belum pernah merasakan menjadi keluarga
miskin tidak punya uang untuk sekolah, sehingga mereka tak mengerti
hal-hal yang begini”
Dono si anak desa itu berkata “emangnya kamu pernah miskin “
Nina pun menjawab “dulu orang tuaku hanya biasa2 saja, aku sempat putus
sekolah, karena kurang biaya, akhirnya TUHAN memberikan rejeki kepada
keluarga kami, makanya aku tahu gimana rasa dan hati kalian sama seperti
aku waktu dulu”
Nina juga sering menfotokopi buku2 sekolah dengan menyisihkan sedikit
uang sakunya dan di dia berikan kepada ke 7 nak itu. Sungguh mulia hati
Nina sang murid ini, dengan memangkas uang sakunya dia rela berkorban
bagi anak2 itu. Lalu bagaimana dengan kita dan masyarakat sekeliling
kita, banyak rumah 2 mewah bertebaran, gaji yang besar setiap bulannya,
tapi tak jarang yang menyisihkan sebagian berkatnya untuk membantu anak2
putus sekolah. Tak malukah kita kepada Nina sang murid ini, hanya
dengan memangkas uang sakunya dia mau untuk membantu ke 7 anak itu.
Karena keseringan aktivitas mengintip itu, akhirnya terdengar juga
kegiatan mereka ke telinga kepala sekolah. Banyak guru dan murid yang
protes karena aksi mereka, dan tak banyak guru yang membela mereka. Sang
kepala sekola pun menjawabnya sama dengan sang guru yang baik itu
dengan perkataan yang hampir sama di berkata kepada semua guru dan murid
ketika upacara sekolah,
dia berkata “saya mendengar kabar kalo ada yang sering mengintip
pelajaran di sekolah ini lewat jendela. Tolong beritahukan kepada saya
dimana letak kesalahan anak-anak yang sering mengintip itu. Apa dia
mengganggu? dengan apa mereka mengganggu, apa mereka berisik, apa mereka
melemparimu dengan batu, atau mereka mengolok-ngolok kamu, tapi justru
sebaliknya, yang kalian lakukan di kelas ini, kalian sering ribut, tidak
mendengarkan pelasaran dari guru, bahkan sering lempar lemparan satu
sama lainnya, kita semua harus bersyukur, kalian bisa sekolah, tidak
harus mengintip seperti mereka yang diluar, harusnya kita semua bisa
membantu mereka, bukan mempersulit keadaan mereka, saya akan biarkan ini
dan mencari solusinya, selama mereka tidak menagganggu ketertiban di
sekolah ini”
Tanpa mereka sadari kegitan itu sudah hampir sebulan mereka lakukan
dan merekapun mendapat pelajaran yang sama dengan yang anak yang di
dalam sekolah. Setiap melakukan kegiatan itu mereka membawa buku dan
alat tulis untuk mencatat dan mempelajari semuanya.
Pada suatu saat, ketika mereka sedang mengintip, Seorang guru yang
penyabar itu ( pak Bono ) yang sempat mengetahui kelakuan ke 7 anak itu,
keluar dari halaman sekolah dan mengendap ngendap menghampiri ke 7 anak
itu. Mereka sungguh kaget, ada yang lari ke tengah sawah, ada yang
jatuh dari jendela,
tapi sang guru itu berkata “jangan lari kalian semua, aku bukan harimau, aku tidak mengusir kalian”
seorang anak berkata (Tinem) dengan muka yang penuh sedih dan pasrah
dengan penuh semangat “pak bolehkan kami mengintip dan menikmati
pelajaran itu karena kami tak mampu bersekolah?“
Sang guru Bono pun menangis mencucurkan iar matanya tak mampu berkata
apa-apa, tertegun sejenak sambil mengambil kertas yang digemgam anak
itu,
dan berkata, “boleh bapak lihat apa isi kertas itu, sang guru pun
bertambah sedih dan semakin deras air matanya keluar, dan berkata
“sungguh hebat kalian, anak-anak yang di dalam sana belum tentu bisa
menangkap pelajaran saya, tapi kamu dengan keadaan yang seperti ini
memanfaatkan semuanya, dan membuat itu menjadi berguna”
sang guru pun bertanya “dimana kalian belajar menulis dan membaca?” Dono
si anak desa itu menjawab “dimana saja pak, di guru ngaji kami, di
orang tua kami, pokoknya semua, pak, yang bisa membaca dan menulis kami
akan minta mereka untuk mengajari kami, meskipun tak seperti belajar di
sekolah, tapi kami sudah bersyukur kami bisa mendapatkan itu dari
sebagaian masyarakat desa kami.”
seorang anak lain menjawab (Totok) “itu semua kami lakukan karena
semangat kami pak. Kami memang begini keadaannya, tak punya apa2, kami
hanya punya semangat dan hati yang besar pak”
sang guru pun mengusap air matanya dan menjawab, “dengan apa yang aku
punya baik itu kemampuan tenaga, atau apapun itu, aku bersumpah akan
merubah kalian semua” dan merekapun saling berpelukan satu sama lain
termasuk guru itu.
Setelah itu sang guru Bono pun berkata “baiklah, silahkan kalian
lanjutkan mengintipnya, tapi ingat jangan berisik ya! besok hari minggu
tunggu aku di desa kalian aku akan datang dan kita buat rencana”.
Ke 7 anak itu pun berpamitan pulang dan dengan senang dan girang,
karena mendapatkan perhatian dari salah seorang guru itu. Mereka saling
bersenda gurau dan berkata “itulah yang kita punya, hanya semangat yang
bisa kalahkan dan merubah semuanya, terimah kasih ya ALLAH, engkau sudah
mendengarkan isi hati kami, dan merekapun sama2 bersujud menunjukkan
rasa terima kasih itu kepada sang PENCIPTA.
Hari yang mereka tunggu-tungggu adalah MINGGU masih 2 hari lagi, hati
merekapun tak sabar, mereka tetap melakukan kegiatan mengintip
pelajaran itu dengan penuh semangat.
Tiba di hari minggu pagi yang cerah, sang guru Bono tadi berangkat pagi
hari menuju desa terpencil itu, ditengah jalan guru itu sempat menangis,
dan berkata “oh TUHAN, sungguh jalan yang berat untuk sampai ke desa
itu, tapi aku tak habis pikir, mereka bisa sampai ke sekolah dengan
jalan kaki, mereka punya semangat yang tinggi, kalo mereka bisa, mengapa
kau tidak?” Dengan berbekal mengingat ucapan dari ke 7 anak itu bahwa,
“semangat akan kalahkan semuanya” diapun terus memacu motor bututnya
untuk sampai ke desa itu.
Sementara sang guru sedang dalam perjalanan, ke 7 anak itu sudah bersiap menunggu di depan jembatan masuk ke desa mereka.
Seorang anak berkata ( Dul ) “pak guru itu gak mungkin datang, lebih baik kita pulang saja lanjutkan pekerjaan kita”.
Dono menjawab “Dimana Semangat kalian, apa sudah hilang?”
dan Tini pun berkata “lebih baik kita berdoa saja semoga pak guru itu datang “
Satu jam berlalu, akhirnya pak guru itu sampai ke desa mereka, ke 7 anak
itu pun senang riang bahwasannya sang guru itu menepati janjinya.
Akhirnya sang guru pun diajak ke suatu tempat,
Dono berkata “pak motornya tinggal disini aj, gak bakalan ilang kita jalan kaki saja”
dengan rasa was was sang guru Bono pun mengikuti anak2 aitu menuju suatu
tempat, dan dalam hati pak guru itu bertanya “mau dibawa kemana saya
“ini. Setelah 10 menit berjalan lewat jalan setapat masuk ke rerimbunan
hutan, akhirnya sampailah di suatu tepian sungai dimana anak-anak itu
sering bermain disana. Dan ternyata apa yang terjadi?
Disitu sudah ada sebuah gubuk yang mereka bangun sendiri dengan
tangan dan keringat mereka sendiri dan dengan semangat mereka, dan
mereka bilang kepada sang guru “disinilah tempat kami belajar pak,
inilah sekolah kami, yang kami bangun dengan keringat keringat dan
semangat kami”.
Sang guru Bono pun tertegun melihat semangat mereka yang begitu tinggi
untuk sekolah sampai-sampai dia bisa membangun gubuk kecil ini untuk
kegiatan belajar.
Setelah beberapa saat berbincang dan bersenda gurau, dan berkanalan
satu dengan yang lainnya, mereka pun membuat suatu rencana untuk
membangun tempat yang sedikit layak di perkampungan mereka untuk
dijadikan tempat belajar / sekolah kecil.
Akhirnya merekapun tanpa panjang lebar, langsung menemui kepala desa
(sesepuh desa) untuk membicarakannya. Mereka pun sempat mengenalkan guru
guru ngaji itu menyambut baik kedatangan sang guru itu. Tak lama
kemudian sampailah kepada rumah sesepuh desa dan mereka memperkenalkan
guru itu kepadanya. Setelah berkenalan, sang guru pun menyampaikan
maksud kedatangannya serta rencana untuk membangun tempat yang layak
untuk belajar.
Sesepuh desapun berkata “kalo cuman tempat seperti rumah, kami bisa dan
sanggup membangunnya, tapi yang jadi pertanyaan , siapakah yang akan
mengajar anak-anak disini?”
sang guru Bono pun menjawab “saya pak, saya siap mengajar mereka apapun
yang resikonya saya juga akan mengajak teman2 saya yang mungkin mau
secara sukarela untuk mengajar anak2 disini”
sesepuh desa berkata “baiklah kalo pengajarnya sudah ada, tapi dengan apa kami harus membayar pengajar-pengajar itu?”
sang guru Bono pun menjawab “dengan senyuman anak2 ini saya rasa sudah
cukup pak, di senyuman mereka mengalir sebuah semangat yang tinggi yang
membuat saya tak hiaraukan gaji atau pengorbanan apapun”
sesepuh pun menjawab” baiklah kalo begitu, mereka memang punya semangat
yang tinggi saya tau itu, mereka sudah bikin gubuk kecil yang mereka
sebut itu sekolah merekal di tepi sungai, kalo mereka saja bisa bikin
seperti itu mengapa kita tidak bisa membuat yang lebih baik, baiklah
saya berjanji 10 hari dari sekarang saya dan orang2 kampung akan siapkan
tempat untuk belajar yang bisa menampung 20 – 30 orang, pegang janji
saya” sang guru Bono pun senang mendengar itu dan anak2 pun senang dan
menangis karena tak sia-sia perjuangan dan semangat mereka.
Tak lama kemudian sang guru Bono itu pun berpamitan pulang setelah
puas kelililing dan bermain bersama ke 7 anak desa itu. Tiba di
jembatan, sang gurupun berkata “besok 2 hari lagi setelah ngajar di
sekolah saya langsung kesini saya akan bawakan kalian film tentang
semangat sekelompok anak yang juga ingin merasakan pendidikan dan kita
sama2 menontonnya”
Dono “mau nonton dimana pak disini yang punya tv cumin pak sesepun itu
pun cuman malam dihidupinnya, apa boleh kita meminjamnya?”
sang guru pun menjawab “tenang saya bawa laptop besok dan kita nonton
disana, ato kalo mungkin saya akan membawa proyektor biar kalian puas
nontonnya hahahha”
Dul bertanya “lapot apaan pak, masak nonton pilm pake kompresor juga gimana caranya tuh “
seorang anak lain berkata ( Totok ) “hahahhahaha, laptop tuh computer, dul, kalo protor saya belom pernah denger pak, hahahha”
sang guru Bono pun berkata “sudah kalian jangan ribut, besok liat saja apa yang saya bawa, ok “
Akhirnya sang guru itu pun pulang, dan anak2 itu dengan hati yang
riang kembali ke kampungnya untuk membantu rencana pembutan tempat
belajar itu.
Tak berhenti sampai disitu, sang guru itu bekerja sama dengan pihak
sekolah untuk mencari siapa yang mau mengjar sukarela di desa itu. Tapi
lagi-lagi uang yang menjadi masalah, guru-guru enggan mengajar jika
tidak ada imbalan atau imbalannya tak sesuai dengan apa yang mereka
lakukan. Hanya seorang guru wanita yang mau melakukan itu sebut saja
namanya Dina, meskipun dia bukan orang yang mampu / kaya, tapi dia juga
punya hati yang tulus untuk melakukan itu semua.
Sang guru Bono itu berkata kepada Dina temannya “mengapa kamu mau melakukan ini?”
si guru wanita Dina itu menjawab “hatiku terpanggil mas, ketika melihat
mereka mengintip di jendela, mereka mengintip bukan untuk hanya melihat,
tapi mereka ikut belajar juga “
Dina juga berkata “bahkan pada suatu ketika aku adakan kuis matematika
di kelas, tak seorangpun yang bisa, tapi ada suara dari luar, mungkin
mereka tidak sengaja, atau mereka ingin menjawab dan menunjukkan kepada
kita bahwa mereka bisa, ada seorang anak dari jendela yang meneriakkan
jawaban yang benar akan kuis itu, aku terteegun sejenak dan segera
berlari hampiri mereka, tapi mereka sudah pergi ketakutan karena takut
dianggap berisik”
Sang guru Bono pun berkata “baiklah, meskipun kita cuman dua orang
kita pasti bisa, kita secara bergantian setiap hari pergi ke desa itu
untuk ajari mereka, saya yakin dengan semangat dan hati mereka, mereka
bisa menjadi lebih pandai dari pada anak di sekolah ini”.
Lagi-lagi kata semangat yang dielu elukan, mungkin kata itu memang
harus kita miliki atau hanya kita ucapkan tanpa kita resapi arti kata
semangat itu.
Suatu hari ada seorang pemburu yang sering datang ke tempat itu, dia
juga sering mengajari anak-anak di desa itu walalu hanya sebentar sambil
bersenda gurau. Rupanya sang pemburu adalah teman dari sang guru Bono
yang baik hati itu, dia tinggal juga di desa sebrang dan satu desa
dengan guru itu.
Pada suatu saat mereka saling bertemu, sang guru Bono mengutarakan
keinginan hatinya untuk mengajar sukarela di desa itu, sang pemburu pun
menjawab” sebelum kamu datang kesana, aku sudah sering kesana dan
mengajari sebagian anak itu meski hanya sebentar dan memberi pelajaran
ala kadarnya, ataupun menjawab semua pertanyaan-pertanyaan mereka. Dan
kalau itu sudah menjadi niatmu aku siap membantu apa saja yang aku bisa
selama aku punya waktu luang”
Setelah 2 hari berlalu sang guru Bono pun menepati janjinya untuk
membawa kan film dan memutarnya di desa itu, bersama dengan sang
pemburu, dan teman guru wanitanya, sore hari pun mereka berangkat.
Tiba disana sudah di tunggu oleh ke 7 anak itu. Dan mereka diajak sama
nonton film LASKAR PELANGI. Mereka menghayati dan bercermin kepada
mereka sendiri, ternyata kondisi mereka hampir sama dengan kondisi di
film itu. Setelah 1 jam asik nonton
Dono berkata “kalo mereka saja bisa, kenapa kita tidak”
sang guru Bono pun menjawab “betul itu, jika mereka bisa seperti mengapa
kita tidak, kita sama2 makan nasi, kita sama-sama punya semangat,
apalagi semangat kalian adalah semangat yang luar biasa”
dari film itu mereka mengambil pelajaran, bahwa yang miskin, yang
terbelakang, dan yang terpencil sekalipun, pasti bisa menggapai
impiannya asal punya semangat dan hati yang besar.
Lambat laun waktupun berlalu sampai tempat untuk kegiatan belajar
mereka sudah berdiri dan siap digunakan, ke 3 orang pengajar itu saling
bergantian mengajar mereka tanpa imbalan uang sepeserpun. Tapi terkadang
juga ada masyarakat yang berberikan sedikit hasil alamnya baik itu
berupa jagung, ayam atau sayuran kepada ke tiga pengajar itu. Selalin
sedikit hasil alam, disaat sedang mengajar mereka hanya disuguhin
sedikit makanan serta secangkir kopi untu menemani mereka mengajar. Tapi
bukan itu yang dilihat oleh ketiga pengajar itu, melainkan adalah
semangat anak-anak di desa itu yang mau untuk belajar.
Sering juga kawan-kawan guru dan kepala sekolah menanyakan kegiatan
mengajar mereka di desa itu, bahkan mereka menanyakan, dibayar berapa
sih ngajar disana, kok sampe mau-maunya,
sang guru Bono pun sering menjawab “kami mengajar bukan karena imbalan,
meski kami mengajar hanya dibayar dengan secangkir kopi panas, tapi kopi
panas itu sudah membangkitkan semangat saya dan teman-teman saya untuk
membantu mewujudkan impian anak-anak yang ada disana, jadi uang tidak
penting bagi kami, yang penting LIHATLAH SEMANGAT MEREKA yang ada
disana”
guru-guru yang lain pun terdiam tak berani berkata apa-apa.
Di jaman sekarang ini susah mendapati guru yang rela mengajar tanpa
ada imbalannya, anak – anak di desa itu sering berkata “dimana letak
pepatah dahulu kala yang katanya GURU adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Yang ada sekarang guru-guru yang sering korupsi uang sekolah, Cuma
memandang besarnya gaji “. hahhahahhaha ( itu kata mereka, loh ,bukan
kata saya, hahahhahha )
Lama berselang tiba saat di sekolah itu diadakan kegiatan-kegiatan
tahunan, ada drumben, pentas seni, melukis, gerak jalan, pawai, cerdas
cermat, serta kegiatan olahraga lainnya.
Ke 7 anak itu pun mendengar kabar itu, dan saling beratanya tanya
satu dengan lainnya , apakah mereka bisa ikut dalam kegiatan itu.
Rasanya mustahil bagi sebuah kelompok belajar desa terpencil yang tanpa
memiliki ijin, dll untuk ikut dalam kegiatan apapun, padahal mereka
punya sebongkah kemampuan dan semangat untuk bisa ikut dan memenangkan
kegiatan itu. Ke 7 anak itu sudah berharap seperti yang ada di film
LASKAR PELANGI mereka berharap untuk ikut di kegiatan dan berusaha
memenangkan setiap kegiatan yang diikutinya itu.
Seoarang anak berkata kepada sang guru “pak bisakah kita ikut kegiatan itu?’
sang guru Bono pun terdiam lama dan menjawab “APA YANG KALIAN PUNYA dari sejak kita bertemu?”
seorang murid pun menjawab “SEMANGAT DAN HATI KAMI pak”
sang guru pun menjawab “kalo itu yang kalian terus miliki, kita pasti
bisa, aku akan mengurusnya dengan segala kamampuannku, kalian berdoa
saja untuk hal yang mustahil ini “
Sang guru pun ingin mengikutkan anak-anak di desa terpencil itu untuk
ikut dalam kegiatan itu. Dengan semangat dia mendatangi panitia, kepala
sekolah, untuk mengutarakan niatnya itu. Lagi2 kesulitan dialaminya,
dia ditanya, apa nama sekolahnya, sudah punya ijin belum, sudah
terdaftar belum, akhirnya dia pulang dengan cucuran air mata kecewa dan
terus semangat untuk melakukan niatnya itu. Sambil berpikir bagaimana
caranya.
Akhirnya setelah berembuk bertiga dengan teman pengajarnya, sang guru
Bono pun mendapatkan ide, dia kembali ke panitia keesokan harinya, dan
berkata kepada semua panitio dan pimpinan yang ada disana dan
didengarkan oleh ketua panitia.
Dengan suara yang lantang Dia berkata “pak tempat belajar kami, bukan
sekolah dasar, karena kami tidak punya ijin , dll, kami hanya kelompok
belajar di desa terpencil yang dengan SEMANGAT KAMI, kami bisa melakukan
semuanya itu. kami hanya ingin ikut kegiatan itu pak, meski kami harus
mendaftar biaya yang besar, kami akan membayarnya, jangan lihat dan
jangan perhitungkan kami, jangan anggap kami ada sebagai peserta di
kegiatan itu, anggap saja kami adalah sekelompok anak-anak gila yang
ikut di kegiatan itu, kalo kami menang kami tak butuh piala, kami tak
butuh uang, dan kami tak butuh penghargaan, kami hanya mau tunjukkan
bahwa dengan SEMANGAT dan HATI kami, kami bisa menanakllukkan kalian
semua”
ketua panitia pun mendengar keributan itu, dan mempersilahkan sang guru itu masuk kedalam ruangan dan berbicara 4 mata.
Ketua penitia berkata “sebernarnya saya mau membantu kamu, tapi ini
adalah prosedur, tapi saya adalah manusia yang juga punya HATI seperti
kamu, ok, apapun resikonya kamu silahkan tampil di kegiatan itu meskipun
kamu tidak akan mendapatkan apa-apa walaupun memenangkannya”
sang guru Bono itu menjawab dengan tersungkur “terima kasih pak terimah kasih ya ALLAH engkau sudah dengar doa MEREKA”.
Lalu dia bergegas pulang mengambil TV dan Radio kesayangannya untuk
dijual dan dia pergunakan untuk biaya pendaftaran di kegiatan itu. Oh
sungguh mulia hati sang guru Bono ini, dia rela berkorban demi Semangat
dan Hati anak –anak di desa terpencil itu. Bagaimana dengan kita, apakah
kita mau melakukan hal seperti guru Bono ketika melihat kondisi seperti
itu di sekeliling kita, yang ada kita hany salaing penyalahkan antara
satu dngan yang lai, tanpa melakukan apa-apa.
Sang guru Bono pun membawa kabar gembira itu kepada anak didiknya.
Berhari-hari setelah kabar genbira itu mereka dapatkan mereka mulai
berpikir sama-sama apa saja kegiatan yang bisa mereka ikuti dengan
kondisi yang seadanya, sang guru Bono pun memilihkan kegiatan untuk
anak-anak itu. Satu persatu mereka ikutin dan persiapkan, dan inilah
hasil nya:
• Cerdas cermat JUARA 3
mereka menjadi pintar karena mereka belajar dari apa saja yang mereka
dapatkan,termasuk mengintip. Coba saja waktunya masih panjang dan mereka
mendapatkan bimbingan yang sama dengan anak-anak sekolah lain, mereka
pasti bisa jadi JUARA 1
• Melukis JUARA 3
mereka hanya melukis menggunakan pensil tanpa warna, tapi hasilnya
adalah istimewa, suatu saat jika mereka sudah bisa menggunakan alat
pewarna, mereka pasti bisa JUARA 1
• Lari JUARA 1
jangan ditanya deh soal yang beginian, anak-anak desa punya kemampuan yang lebih di bidang ini
• PUISI JUARA 1
ada seorang anak yang sering malantunkan puisi di tepi sungai setiap
hari untuk menghibur dan memberi semangat kepada semua temannya, jadi
ini adalah pekerjaan yang mudah bagi dirinya, hahahaha
• MUSIK JUARA 3
walau hanya menggunakan rebana dan galon aqua kosong dan belajar dari
guru ngajinya, mereka bisa melantunkan lagu islami dengan baik dan
membuat penonton senang. Ini bukan menjadi hal yang sulit, setiap minggu
mereka pasti latihan musik-musik islami dengan menggunakan rebana dan
kentongan melantunkan lagu islami dengan biak dan enak didengar.
• DRUM BAND JUARA 2
persaingan sangat berat, mereka tidak punya alat musik, mereka hanya
punya seruling, terompet tahun baru, dan galon aqua yang kosong, dll,
tapi hasilnya istimewa, dan yang paling diacungi jempol, mereka meniru
persis seragam yang ada di film LASKAR PELANGI dengan hanya menggunakan
dedaunan
Sempat terjadi kebingungan bagi mereka dengan apa mau main drum band.
Gak punya apa 2, mereka saling berpikir dan sang guru memberi saran
dengan hati yang sedih berkata “pakailah apa yang kalian punya”.
Akhirnya mereka pulang kerumah masing-masing mencari apa yang mereka
punya yang bisa mengeluarkan suara, ada yang membawa panci bekas, kaleng
kosong, dll, bahkan ada yang membawa kentongan, galon aqua bekas yang
sudah pecah, serta terompet tahun baru sisa tahun kemarin yang masih
mereka simpan. Mereka kumpulkan semua, dan mereka berlatih dengan
SEMANGAT MEREKA dan akhirnya membuahkan hasil yang menyenangkan.
Sungguh miris hati ini melihat itu, hanya dengan alat seadanya itu,
mereka bisa kalahkan semua pesainggnya. Lalu bagaimana dengan yang sudah
punya alat musik Drum band yang harganya mahal-mahal. Hahhahahhaa,
mereka hanya punya alat itu, tapi mereka tak punya SEMANGAT dan HATI
untuk mememainkan dan melakukan sesuatu.
• PAWAI JUARA 1
Penonton kerkesima melihat seoang anak yang berdiri di atas kerbau dan
sapinya sambil memainkan serulingnya dan berjoget diatas nya sepanjang
pawai dan menghiasi sapi-sapi dan kerbau-kerbau mereka dengan indah dan
iiringi musik tradisional yang bagus, bereka anggap ini aksi akrobatik,
padahal bagi ke 7 anak ini, ini adalah hal biasa yang dilakukan saat
memandikan sapi dan kerbaunya di sungai, hahhahaha
Tapi setelah kegiatan itu, walau mereka memenangkan sebagaian
kegiatan, mereka melanggkah pulang tanpa membawa piala, penghargaan,
dll.
Seorang anak berkata “pak kita kan sudah menang, apa kita gak dapat piala tau yang lain”
sang guru Bono menjawab “apa pentingnya sebuah pila, yang penting kamu
sudah bisa tunjukkan kepada semua orang bahwa kalian bisa melakukan
semuanya itu dengan SEMANGAT dan HATI yang kalian miliki, tak jadi
masalah tanpa piala, kita cukup membawa kegembiraan kemenangan ini
sehingga bisa menambah SEMANGAT kita untuk terus belajar”
sembari berkata sang guru Bono pun mengangis deras dan merekapun saling berpelukan.
Akhirnya yang pada awalnya perjanjian jika mereka menang tak bisa
mendapatkan apa-apa, sang ketua panitia pun berembuk bersama dan
mengakui kehebatan mereka, dan sesaaat pada waktu ke 7 anak dan sang
guru Bono dalam perjalanan pulang ada seorang yang berteriak memanggil
mereka untuk kembali ke acara dan mendapatkan hak mereka. Dan ada
seorang dari pusat kota yang menyaksikan itu, dan menyerahkan piala dan
penghargaan lain bertanya kepada anak – anak desa itu. “dari SD mana?”,
seorang anak menjawab dengan cucuran air mata kebanggan “dari SD
SEMANGAT pak , kami gak punya ijin, dll pak, kami SD yang ala kadarnya
yang selalu mengintip anak2 sekolah belajar “
mendengar kata2 itu. Timbul pertanyaan bagi orang pemerintah pusat itu dan dia berkata “siapa yang mengajar”
lalu sang guru Bono dan ke 2 temannya maju mendekat dan berkata “saya dan ke 2 teman saya pak “,
lalu orang itu berkata “besok kamu ke kota “kamu harus bangun tempat itu
dan cari siapa yang mau mengajar disana akan mendapatkan gaji yang
sesuai, untuk ijin dlll saya akan bantu uruskan “
mendengar itu pun sang guru Bono dan ke 7 anak itu bersorak penuh
gembira. Mereka telah berhasil tunjukkan bahwa SEMANGAT DAN HATI mereka
sudah membawa mereka menuju impian mereka untuk menikmati pendidikan.
Berjalannnya waktu membuat anak di desa itu semakin pandai dan bisa
menikmati pendidikan dengan bantuan pemerintah tanpa membayar
sepeserpun, mereka yang pintar disekolahkan keluar dan mendapatkan
beasiswa dari pemerintah. Sang guru Bono pun senang dan terus mengajar
di desa itu tanpa henti-henti nya sampai diangkat menjadi kepala sekolah
di sekolah yang baru itu dan menikahi si guru wanita Dina. Sementara
sang pemburu karena yang sebenarnya bukan seorang guru juga terus
memberi pengajaran diluar sekolah selama masih ada waktu.
Itulah akhir cerita itu. LIHATLAH SEMANGAT KAMI, kata ke 7 anak itu,
mereka bisa wujudkan impian mereka bukan dengan uang, bukan dengan
keuasaan, tapi dengan keterbelakangan, kemiskinan, SEMANGAT dan HATI
MEREKA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar