Senin, 23 Maret 2015

Lihat Semangat Kami

Cerita ini hanya fiksi. Terinspirasi dari film “LASKAR PELANGI” sapa tau bisa diangkat jadi film LASKAR PELANGI 2 ya, hahhahaha ( nghayal terus ).
Cerita tentang sekelompok anak yang ingin mengenyam pendidikan. Mirip layaknya cerita laskar pelangi. cerita ini diawali dari susahnya menikmati pendidikan yang layak bagi orang 2 yang tinggal di pedalaman.
Terletak di tepian sebuah perbukitan dan gunung dimana letaknya sangat jauh dari keramaian, dan di kawasan itu ada sekelompok masyarakat yang tinggal disana. Dengan kondisi yang seadanya, jalan yang ada pun hanya jalan setapak yang menghubungkan antar rumah ke rumah dan ke kampung yang agak ramai yang letaknya sekitar 20 km
Banyak generasi muda yang tidak mengenyam pendidikan, bahkan anak2 kecilpun enggan sekolah, bukan salah pemerintah yang tidak mendirikan sekolah disana, tapi memang tempatnya sulit di jangkau, dan tak banyak guru yang mau menjadi pengajar di desa kecil itu karena medan yang ditempuh cukup sulit dan akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit mereka bilang, gak cocok sama bayarannya. Mobil saja gak bisa masuk kesana, motor pun harus dengan susah payah mengendarainya. Apakah kita sebagai masyarakat sekitar desa itu, yang memiliki sedikit kelebihan baik itu pendidikan, pengetahuan, ataupun harta kita, hanya mau berdiam jika melihat kondisi seperti itu. hahhahaha. Tak banyak orang yang mau membantu soal pendidikan, katanya itu tugasnya Pemerintah, hahahhahaha. Lagi–lagi pemerintah yang disalahkan. hahhahahaha, padahal kita bisa melakukkannya tanpa bantuan pemerintah. Jangan salahkan pemerintah terus mari berkaca kepada diri sendiri, apakah kita sudah melakukan hal yang berguna bagi anak-anak yang putus sekolah, atau kita hanya cuek saja dan selalu menyalahkan pemerintah, atau ada juga guru yang selalu memandang imbalan atau gaji untuk melakukan pengajaran bagi anak didiknya, ataukah bantuan dari Pemerintah itu sudah datang tapi tidak sampai kepada mereka yang membutuhkan, ataukah kita sebagai masyarakat sekitar tak tahu kondisi sekitar kita, sehingga tidak tahu apa yang terjadi. Hahhahahahha, sudah biasa itu terjadi. Jangan cari siapa yang salah, tapi mari segera perbaiki kesalahan itu.
Dan apa boleh buat demi terciptanya pendidikan dan demi semangat mereka yang ada disana harus ada solusinya. Sementara ini mereka hanya belajar dari guru ngaji mereka serta otodidak baik dari koran maupun buku2 lainnya, sampai mereka bisa membaca karena diajari oleh orang tua masing2 bukan oleh guru sekolah.
Cerita ini diawali dari perbincangan beberapa orang anak di tempat Ditengah tengah kegiatan sehari2 mereka yang tak tentu. mereka punya keyakinan bahwa belajar dari ALAM dan agama itu sudah cukup bagi mereka. Mereka sama 2 membantu orang tua mereka, di tepian sungai di lereng gunung, ada yang memandikan sapi, ada yang mencuci baju, ada yang mencari kangkung, dan ada juga yang memancing,
Salah seorang anak sebut saja Edi berkata, “masa kita mau begini terus sampe tua?”.
Seorang lagi menjawab sebut saja Tini “Ya beginilah enaknya, daripada kita di kota yang ramai, dan memperburuk kehidupan kita, lebih baik kita disini nikmati alam kita, belajar dari alam”.
Berkata seorang lagi sebut saja Dono kepada temannya “Hahhahaha gak cukup itu semua, kita harus belajar semuanya, alam, agama, pendidikan, pengalaman, dll, supaya kita pandai”
Seorang anak lagi menjawab sebut saja Totok “Jangan menghayal, kalian, kerjakan saja apa yang kalian bisa kerjakan”
Seorang lagi bertanya sebut saja Dul “ah pendidikan?, makanan apa itu?”
Dono menjawab dengan hati yang penuh harap akan pendidikan dan hati yang tulus dan dia meminta Dul untuk meniupkan serulingnya selama dia berbicara dan dia berkata “pendidikan, sedih hatiku mendengar kata itu, karena kata itu hanya bisa kita dengar, tanpa kita rasa. Tapi kami tidak takut meski kami tidak mengenyam pendidikan, kami punya semangat dan hati yang besar yang akan membawa kami menuju impian dan cita-cita kami”.
Seorang anak lain lagi berkata sebut saja Teten “hahhaha, pendidikan itu artinya sekolah dul” dan Dono menjawab “bukan hanya sekolah, tapi kita belajar dari orang tua dan guru ngaji kita serta mentaati didikan mereka itu juga merupakan pendidikan, tau”
Seorang anak yang lain berkata sebut saja Tono “hahhaha betul betul, tapi gimana rasanya kalo sekolah ya?”
Dono menjawab “daripada penasaran setelah pekerjaan kita beres semua bagaimana kalo kita turun kebawah ke desa sebrang melihat anak2 sekolah sapa tau kita bisa pinjam buku mereka untuk belajar”
Tini menjawab “itu jauh, mungkin agak siang hari baru kita bisa sampai” Dono menjawab “kalo kau punya semangat mengapa tidak, bagaimana, siapa yang mau ikut?”
Mereka semua menjawab “ikuuuuuuuuuuuuuuuuuuttt”
Dono berkata “ok, setelah kalian selesai semua aku tunggu di jembatan merah dan kita turun ke desa sebrang, jangan lupa bawa bekal ya, hahhahahaha”
Setelah percakapan itu terjadi maka ke 7 anak itupun nekad turun ke desa sebrang hanya untuk melihat anak-anak sekolah, dengan jarak yang mereka tempuh sekitar 10 km, merekapun turun lewati jalan setapak, turun dan naik bukit, lewati persawahan yang hijau dan mereka tetap bersemangat.
Setelah lama berjalan kemudian sampailah mereka ke tembok pinggiran sekolah. Mereka terlihat capek dan lelah, bahkan ada seorang anak yang berkata, “gimana pulangnya nih, hahahha”, tapi lagi2 semangat mereka kalahkan kelelahan itu. Mereka mengendap ngendap mengintip dari jendela sebagian kelas dan memanjat tembok untuk lihat anak2 sekolah belajar. Seorang dari mereka ada yang mengangis, terharu, berpikir bahwa dunia tidak adil, sampai2 kami tidak bisa seperti mereka.
Mereka memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh salah seorang guru, bahkan seorang guru sempat melihat aksi itu tapi untungnya hanya dibiarkan saja, karena guru itu tau bahwa itu anak-anak itu dari lereng gunung yang ingin bersekolah. Untunglah guru itu adalah orang yang penyabar dan pengertian
Di sela-sela itu mereka main ke pintu halaman sekolah dan bekenalan dengan penjaga sekolah dan bertanya gimana caranya untuk bisa bersekolah? Sang penjagapun menjawab, harus daftar dulu bayar uang gedung, beli seragam, bayar spp, punya sepatu, dll. Sedih hati mereka mendengar itu. Rasanya hanya orang-orang yang memiliki uang yang bisa menikmati pendidikan. Lalu bagaimana dengan kami yang hanya punya semangat dan sebongkah hati dan sebongkah harapan yang ingin mengenyam pendidikan seperti mereka yang adadi sekolah itu.
Mereka sering menjadi olok-olokan anak-anak sekolah karena pakaian mereka yang compang camping, kotor tanpa alas kaki. Bahkan pada suatu hari ketika mereka pergi ke sekolah itu, sempat ada yang mengejeknya dan mengatakan kepada mereka.
Sebut saja Adi, “ngapain kalian kesini, pulang sana, mandiin sapi, ato nyangkul, hahahhaa” ,
Dono pun si anak desa gunung itu menjawab “memang beginilah kami, kami tidak bersekolah, tapi asal kau tau, suatu saat semangat dan hati kami akan kalahkan kalian semua yang ada disini, terima kasih,”
Dengan hati yang panas merekapun pulang dan terus semangat dari hari ke hari terus belajar lewat apapun juga, termasuk mengintip di sekolah,
di saat yang lain juga mereka sempat diusir oleh penjaga sekolah karena mengintip pelajaran di kelas-kelas lewat jendela, ada sebagian guru yang tidak senang dan merasa terganggu ketika mereka melakukan aktivitas itu. tak banyak guru yang membiarkan mereka mengintip lewat jendela itu, mereka sering diolok olok oleh anak2 yang ada didalam ruangan kelas, itu. Sempat juga mereka di teriakin maling, dan sempat juga dilempar penghapus papan tulis, dll, tapi mereka cuek aj, yang ada dalam diri mereka hanya semangat untuk belajar tak hiraukan yang lain.
Berbeda dengan guru yang penyabar itu sebut saja namanya Bono, ketika mereka melakukan aktivitas mengintip itu, dia membiarkan saja, karena dia tahu betapa mahalnya untuk sekolah, bahkan sempat ada murid di kelas yang protes dan berkata “pak usir saja anak desa itu, itu mengganggu kami”
Sang guru Bono menjawab “dengan apa mereka mengganggu?, apa mereka berisik, apa mereka melemparimu dengan batu, atau mereka mengolok2 kamu, tapi justru sebaliknya, yang kalian lakukan di kelas ini, kalian sering ribut, tidak mendengarkan pelajaran dari guru, bahkan sering lempar-lemparan satu sama lainnya, hai kamu yang protes, saya bertanya kepada kamu, apakah kamu yang memberi makan mereka, atau kamu yang sudah melahirkan dan merawat mereka sehingga kamu punyak hak untuk usir mereka dari jendela, ingatlah, kita harus bersyukur, kalian bisa sekolah, tidak harus mengintip seperti mereka yang diluar”
setelah sang guru itu menasehati murid dikelasnya, tak ada satupun murid yang berani berkomentar, mereka mulai berpikir dan berkaca kepada diri sendiri.
Sempat juga pada suatu ketika ke 7 anak itu berkenalan dengan salah seorang murid yang kasian meliat keseharin mereka, sebut saja Nina dan dia sering memberikan buku pelajaran sekolahnya kepada ke 7 anak itu. Salah seorang anak desa itu berkata “mengapa hanya kamu yang baik dan perhatian kepada kami, sementara yang lain lihatlah, asik dengan sendirinya tanpa ada rasa apapun terhadap kami, yang ada mereka hanya mengejek kami”
Nina menjawab “ya mungkin mereka belum pernah merasakan menjadi keluarga miskin tidak punya uang untuk sekolah, sehingga mereka tak mengerti hal-hal yang begini”
Dono si anak desa itu berkata “emangnya kamu pernah miskin “
Nina pun menjawab “dulu orang tuaku hanya biasa2 saja, aku sempat putus sekolah, karena kurang biaya, akhirnya TUHAN memberikan rejeki kepada keluarga kami, makanya aku tahu gimana rasa dan hati kalian sama seperti aku waktu dulu”
Nina juga sering menfotokopi buku2 sekolah dengan menyisihkan sedikit uang sakunya dan di dia berikan kepada ke 7 nak itu. Sungguh mulia hati Nina sang murid ini, dengan memangkas uang sakunya dia rela berkorban bagi anak2 itu. Lalu bagaimana dengan kita dan masyarakat sekeliling kita, banyak rumah 2 mewah bertebaran, gaji yang besar setiap bulannya, tapi tak jarang yang menyisihkan sebagian berkatnya untuk membantu anak2 putus sekolah. Tak malukah kita kepada Nina sang murid ini, hanya dengan memangkas uang sakunya dia mau untuk membantu ke 7 anak itu.
Karena keseringan aktivitas mengintip itu, akhirnya terdengar juga kegiatan mereka ke telinga kepala sekolah. Banyak guru dan murid yang protes karena aksi mereka, dan tak banyak guru yang membela mereka. Sang kepala sekola pun menjawabnya sama dengan sang guru yang baik itu dengan perkataan yang hampir sama di berkata kepada semua guru dan murid ketika upacara sekolah,
dia berkata “saya mendengar kabar kalo ada yang sering mengintip pelajaran di sekolah ini lewat jendela. Tolong beritahukan kepada saya dimana letak kesalahan anak-anak yang sering mengintip itu. Apa dia mengganggu? dengan apa mereka mengganggu, apa mereka berisik, apa mereka melemparimu dengan batu, atau mereka mengolok-ngolok kamu, tapi justru sebaliknya, yang kalian lakukan di kelas ini, kalian sering ribut, tidak mendengarkan pelasaran dari guru, bahkan sering lempar lemparan satu sama lainnya, kita semua harus bersyukur, kalian bisa sekolah, tidak harus mengintip seperti mereka yang diluar, harusnya kita semua bisa membantu mereka, bukan mempersulit keadaan mereka, saya akan biarkan ini dan mencari solusinya, selama mereka tidak menagganggu ketertiban di sekolah ini”
Tanpa mereka sadari kegitan itu sudah hampir sebulan mereka lakukan dan merekapun mendapat pelajaran yang sama dengan yang anak yang di dalam sekolah. Setiap melakukan kegiatan itu mereka membawa buku dan alat tulis untuk mencatat dan mempelajari semuanya.
Pada suatu saat, ketika mereka sedang mengintip, Seorang guru yang penyabar itu ( pak Bono ) yang sempat mengetahui kelakuan ke 7 anak itu, keluar dari halaman sekolah dan mengendap ngendap menghampiri ke 7 anak itu. Mereka sungguh kaget, ada yang lari ke tengah sawah, ada yang jatuh dari jendela,
tapi sang guru itu berkata “jangan lari kalian semua, aku bukan harimau, aku tidak mengusir kalian”
seorang anak berkata (Tinem) dengan muka yang penuh sedih dan pasrah dengan penuh semangat “pak bolehkan kami mengintip dan menikmati pelajaran itu karena kami tak mampu bersekolah?“
Sang guru Bono pun menangis mencucurkan iar matanya tak mampu berkata apa-apa, tertegun sejenak sambil mengambil kertas yang digemgam anak itu,
dan berkata, “boleh bapak lihat apa isi kertas itu, sang guru pun bertambah sedih dan semakin deras air matanya keluar, dan berkata “sungguh hebat kalian, anak-anak yang di dalam sana belum tentu bisa menangkap pelajaran saya, tapi kamu dengan keadaan yang seperti ini memanfaatkan semuanya, dan membuat itu menjadi berguna”
sang guru pun bertanya “dimana kalian belajar menulis dan membaca?” Dono si anak desa itu menjawab “dimana saja pak, di guru ngaji kami, di orang tua kami, pokoknya semua, pak, yang bisa membaca dan menulis kami akan minta mereka untuk mengajari kami, meskipun tak seperti belajar di sekolah, tapi kami sudah bersyukur kami bisa mendapatkan itu dari sebagaian masyarakat desa kami.”
seorang anak lain menjawab (Totok) “itu semua kami lakukan karena semangat kami pak. Kami memang begini keadaannya, tak punya apa2, kami hanya punya semangat dan hati yang besar pak”
sang guru pun mengusap air matanya dan menjawab, “dengan apa yang aku punya baik itu kemampuan tenaga, atau apapun itu, aku bersumpah akan merubah kalian semua” dan merekapun saling berpelukan satu sama lain termasuk guru itu.
Setelah itu sang guru Bono pun berkata “baiklah, silahkan kalian lanjutkan mengintipnya, tapi ingat jangan berisik ya! besok hari minggu tunggu aku di desa kalian aku akan datang dan kita buat rencana”.
Ke 7 anak itu pun berpamitan pulang dan dengan senang dan girang, karena mendapatkan perhatian dari salah seorang guru itu. Mereka saling bersenda gurau dan berkata “itulah yang kita punya, hanya semangat yang bisa kalahkan dan merubah semuanya, terimah kasih ya ALLAH, engkau sudah mendengarkan isi hati kami, dan merekapun sama2 bersujud menunjukkan rasa terima kasih itu kepada sang PENCIPTA.
Hari yang mereka tunggu-tungggu adalah MINGGU masih 2 hari lagi, hati merekapun tak sabar, mereka tetap melakukan kegiatan mengintip pelajaran itu dengan penuh semangat.
Tiba di hari minggu pagi yang cerah, sang guru Bono tadi berangkat pagi hari menuju desa terpencil itu, ditengah jalan guru itu sempat menangis, dan berkata “oh TUHAN, sungguh jalan yang berat untuk sampai ke desa itu, tapi aku tak habis pikir, mereka bisa sampai ke sekolah dengan jalan kaki, mereka punya semangat yang tinggi, kalo mereka bisa, mengapa kau tidak?” Dengan berbekal mengingat ucapan dari ke 7 anak itu bahwa, “semangat akan kalahkan semuanya” diapun terus memacu motor bututnya untuk sampai ke desa itu.
Sementara sang guru sedang dalam perjalanan, ke 7 anak itu sudah bersiap menunggu di depan jembatan masuk ke desa mereka.
Seorang anak berkata ( Dul ) “pak guru itu gak mungkin datang, lebih baik kita pulang saja lanjutkan pekerjaan kita”.
Dono menjawab “Dimana Semangat kalian, apa sudah hilang?”
dan Tini pun berkata “lebih baik kita berdoa saja semoga pak guru itu datang “
Satu jam berlalu, akhirnya pak guru itu sampai ke desa mereka, ke 7 anak itu pun senang riang bahwasannya sang guru itu menepati janjinya.
Akhirnya sang guru pun diajak ke suatu tempat,
Dono berkata “pak motornya tinggal disini aj, gak bakalan ilang kita jalan kaki saja”
dengan rasa was was sang guru Bono pun mengikuti anak2 aitu menuju suatu tempat, dan dalam hati pak guru itu bertanya “mau dibawa kemana saya “ini. Setelah 10 menit berjalan lewat jalan setapat masuk ke rerimbunan hutan, akhirnya sampailah di suatu tepian sungai dimana anak-anak itu sering bermain disana. Dan ternyata apa yang terjadi?
Disitu sudah ada sebuah gubuk yang mereka bangun sendiri dengan tangan dan keringat mereka sendiri dan dengan semangat mereka, dan mereka bilang kepada sang guru “disinilah tempat kami belajar pak, inilah sekolah kami, yang kami bangun dengan keringat keringat dan semangat kami”.
Sang guru Bono pun tertegun melihat semangat mereka yang begitu tinggi untuk sekolah sampai-sampai dia bisa membangun gubuk kecil ini untuk kegiatan belajar.
Setelah beberapa saat berbincang dan bersenda gurau, dan berkanalan satu dengan yang lainnya, mereka pun membuat suatu rencana untuk membangun tempat yang sedikit layak di perkampungan mereka untuk dijadikan tempat belajar / sekolah kecil.
Akhirnya merekapun tanpa panjang lebar, langsung menemui kepala desa (sesepuh desa) untuk membicarakannya. Mereka pun sempat mengenalkan guru guru ngaji itu menyambut baik kedatangan sang guru itu. Tak lama kemudian sampailah kepada rumah sesepuh desa dan mereka memperkenalkan guru itu kepadanya. Setelah berkenalan, sang guru pun menyampaikan maksud kedatangannya serta rencana untuk membangun tempat yang layak untuk belajar.
Sesepuh desapun berkata “kalo cuman tempat seperti rumah, kami bisa dan sanggup membangunnya, tapi yang jadi pertanyaan , siapakah yang akan mengajar anak-anak disini?”
sang guru Bono pun menjawab “saya pak, saya siap mengajar mereka apapun yang resikonya saya juga akan mengajak teman2 saya yang mungkin mau secara sukarela untuk mengajar anak2 disini”
sesepuh desa berkata “baiklah kalo pengajarnya sudah ada, tapi dengan apa kami harus membayar pengajar-pengajar itu?”
sang guru Bono pun menjawab “dengan senyuman anak2 ini saya rasa sudah cukup pak, di senyuman mereka mengalir sebuah semangat yang tinggi yang membuat saya tak hiaraukan gaji atau pengorbanan apapun”
sesepuh pun menjawab” baiklah kalo begitu, mereka memang punya semangat yang tinggi saya tau itu, mereka sudah bikin gubuk kecil yang mereka sebut itu sekolah merekal di tepi sungai, kalo mereka saja bisa bikin seperti itu mengapa kita tidak bisa membuat yang lebih baik, baiklah saya berjanji 10 hari dari sekarang saya dan orang2 kampung akan siapkan tempat untuk belajar yang bisa menampung 20 – 30 orang, pegang janji saya” sang guru Bono pun senang mendengar itu dan anak2 pun senang dan menangis karena tak sia-sia perjuangan dan semangat mereka.
Tak lama kemudian sang guru Bono itu pun berpamitan pulang setelah puas kelililing dan bermain bersama ke 7 anak desa itu. Tiba di jembatan, sang gurupun berkata “besok 2 hari lagi setelah ngajar di sekolah saya langsung kesini saya akan bawakan kalian film tentang semangat sekelompok anak yang juga ingin merasakan pendidikan dan kita sama2 menontonnya”
Dono “mau nonton dimana pak disini yang punya tv cumin pak sesepun itu pun cuman malam dihidupinnya, apa boleh kita meminjamnya?”
sang guru pun menjawab “tenang saya bawa laptop besok dan kita nonton disana, ato kalo mungkin saya akan membawa proyektor biar kalian puas nontonnya hahahha”
Dul bertanya “lapot apaan pak, masak nonton pilm pake kompresor juga gimana caranya tuh “
seorang anak lain berkata ( Totok ) “hahahhahaha, laptop tuh computer, dul, kalo protor saya belom pernah denger pak, hahahha”
sang guru Bono pun berkata “sudah kalian jangan ribut, besok liat saja apa yang saya bawa, ok “
Akhirnya sang guru itu pun pulang, dan anak2 itu dengan hati yang riang kembali ke kampungnya untuk membantu rencana pembutan tempat belajar itu.
Tak berhenti sampai disitu, sang guru itu bekerja sama dengan pihak sekolah untuk mencari siapa yang mau mengjar sukarela di desa itu. Tapi lagi-lagi uang yang menjadi masalah, guru-guru enggan mengajar jika tidak ada imbalan atau imbalannya tak sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Hanya seorang guru wanita yang mau melakukan itu sebut saja namanya Dina, meskipun dia bukan orang yang mampu / kaya, tapi dia juga punya hati yang tulus untuk melakukan itu semua.
Sang guru Bono itu berkata kepada Dina temannya “mengapa kamu mau melakukan ini?”
si guru wanita Dina itu menjawab “hatiku terpanggil mas, ketika melihat mereka mengintip di jendela, mereka mengintip bukan untuk hanya melihat, tapi mereka ikut belajar juga “
Dina juga berkata “bahkan pada suatu ketika aku adakan kuis matematika di kelas, tak seorangpun yang bisa, tapi ada suara dari luar, mungkin mereka tidak sengaja, atau mereka ingin menjawab dan menunjukkan kepada kita bahwa mereka bisa, ada seorang anak dari jendela yang meneriakkan jawaban yang benar akan kuis itu, aku terteegun sejenak dan segera berlari hampiri mereka, tapi mereka sudah pergi ketakutan karena takut dianggap berisik”
Sang guru Bono pun berkata “baiklah, meskipun kita cuman dua orang kita pasti bisa, kita secara bergantian setiap hari pergi ke desa itu untuk ajari mereka, saya yakin dengan semangat dan hati mereka, mereka bisa menjadi lebih pandai dari pada anak di sekolah ini”.
Lagi-lagi kata semangat yang dielu elukan, mungkin kata itu memang harus kita miliki atau hanya kita ucapkan tanpa kita resapi arti kata semangat itu.
Suatu hari ada seorang pemburu yang sering datang ke tempat itu, dia juga sering mengajari anak-anak di desa itu walalu hanya sebentar sambil bersenda gurau. Rupanya sang pemburu adalah teman dari sang guru Bono yang baik hati itu, dia tinggal juga di desa sebrang dan satu desa dengan guru itu.
Pada suatu saat mereka saling bertemu, sang guru Bono mengutarakan keinginan hatinya untuk mengajar sukarela di desa itu, sang pemburu pun menjawab” sebelum kamu datang kesana, aku sudah sering kesana dan mengajari sebagian anak itu meski hanya sebentar dan memberi pelajaran ala kadarnya, ataupun menjawab semua pertanyaan-pertanyaan mereka. Dan kalau itu sudah menjadi niatmu aku siap membantu apa saja yang aku bisa selama aku punya waktu luang”
Setelah 2 hari berlalu sang guru Bono pun menepati janjinya untuk membawa kan film dan memutarnya di desa itu, bersama dengan sang pemburu, dan teman guru wanitanya, sore hari pun mereka berangkat.
Tiba disana sudah di tunggu oleh ke 7 anak itu. Dan mereka diajak sama nonton film LASKAR PELANGI. Mereka menghayati dan bercermin kepada mereka sendiri, ternyata kondisi mereka hampir sama dengan kondisi di film itu. Setelah 1 jam asik nonton
Dono berkata “kalo mereka saja bisa, kenapa kita tidak”
sang guru Bono pun menjawab “betul itu, jika mereka bisa seperti mengapa kita tidak, kita sama2 makan nasi, kita sama-sama punya semangat, apalagi semangat kalian adalah semangat yang luar biasa”
dari film itu mereka mengambil pelajaran, bahwa yang miskin, yang terbelakang, dan yang terpencil sekalipun, pasti bisa menggapai impiannya asal punya semangat dan hati yang besar.
Lambat laun waktupun berlalu sampai tempat untuk kegiatan belajar mereka sudah berdiri dan siap digunakan, ke 3 orang pengajar itu saling bergantian mengajar mereka tanpa imbalan uang sepeserpun. Tapi terkadang juga ada masyarakat yang berberikan sedikit hasil alamnya baik itu berupa jagung, ayam atau sayuran kepada ke tiga pengajar itu. Selalin sedikit hasil alam, disaat sedang mengajar mereka hanya disuguhin sedikit makanan serta secangkir kopi untu menemani mereka mengajar. Tapi bukan itu yang dilihat oleh ketiga pengajar itu, melainkan adalah semangat anak-anak di desa itu yang mau untuk belajar.
Sering juga kawan-kawan guru dan kepala sekolah menanyakan kegiatan mengajar mereka di desa itu, bahkan mereka menanyakan, dibayar berapa sih ngajar disana, kok sampe mau-maunya,
sang guru Bono pun sering menjawab “kami mengajar bukan karena imbalan, meski kami mengajar hanya dibayar dengan secangkir kopi panas, tapi kopi panas itu sudah membangkitkan semangat saya dan teman-teman saya untuk membantu mewujudkan impian anak-anak yang ada disana, jadi uang tidak penting bagi kami, yang penting LIHATLAH SEMANGAT MEREKA yang ada disana”
guru-guru yang lain pun terdiam tak berani berkata apa-apa.
Di jaman sekarang ini susah mendapati guru yang rela mengajar tanpa ada imbalannya, anak – anak di desa itu sering berkata “dimana letak pepatah dahulu kala yang katanya GURU adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Yang ada sekarang guru-guru yang sering korupsi uang sekolah, Cuma memandang besarnya gaji “. hahhahahhaha ( itu kata mereka, loh ,bukan kata saya, hahahhahha )
Lama berselang tiba saat di sekolah itu diadakan kegiatan-kegiatan tahunan, ada drumben, pentas seni, melukis, gerak jalan, pawai, cerdas cermat, serta kegiatan olahraga lainnya.
Ke 7 anak itu pun mendengar kabar itu, dan saling beratanya tanya satu dengan lainnya , apakah mereka bisa ikut dalam kegiatan itu. Rasanya mustahil bagi sebuah kelompok belajar desa terpencil yang tanpa memiliki ijin, dll untuk ikut dalam kegiatan apapun, padahal mereka punya sebongkah kemampuan dan semangat untuk bisa ikut dan memenangkan kegiatan itu. Ke 7 anak itu sudah berharap seperti yang ada di film LASKAR PELANGI mereka berharap untuk ikut di kegiatan dan berusaha memenangkan setiap kegiatan yang diikutinya itu.
Seoarang anak berkata kepada sang guru “pak bisakah kita ikut kegiatan itu?’
sang guru Bono pun terdiam lama dan menjawab “APA YANG KALIAN PUNYA dari sejak kita bertemu?”
seorang murid pun menjawab “SEMANGAT DAN HATI KAMI pak”
sang guru pun menjawab “kalo itu yang kalian terus miliki, kita pasti bisa, aku akan mengurusnya dengan segala kamampuannku, kalian berdoa saja untuk hal yang mustahil ini “
Sang guru pun ingin mengikutkan anak-anak di desa terpencil itu untuk ikut dalam kegiatan itu. Dengan semangat dia mendatangi panitia, kepala sekolah, untuk mengutarakan niatnya itu. Lagi2 kesulitan dialaminya, dia ditanya, apa nama sekolahnya, sudah punya ijin belum, sudah terdaftar belum, akhirnya dia pulang dengan cucuran air mata kecewa dan terus semangat untuk melakukan niatnya itu. Sambil berpikir bagaimana caranya.
Akhirnya setelah berembuk bertiga dengan teman pengajarnya, sang guru Bono pun mendapatkan ide, dia kembali ke panitia keesokan harinya, dan berkata kepada semua panitio dan pimpinan yang ada disana dan didengarkan oleh ketua panitia.
Dengan suara yang lantang Dia berkata “pak tempat belajar kami, bukan sekolah dasar, karena kami tidak punya ijin , dll, kami hanya kelompok belajar di desa terpencil yang dengan SEMANGAT KAMI, kami bisa melakukan semuanya itu. kami hanya ingin ikut kegiatan itu pak, meski kami harus mendaftar biaya yang besar, kami akan membayarnya, jangan lihat dan jangan perhitungkan kami, jangan anggap kami ada sebagai peserta di kegiatan itu, anggap saja kami adalah sekelompok anak-anak gila yang ikut di kegiatan itu, kalo kami menang kami tak butuh piala, kami tak butuh uang, dan kami tak butuh penghargaan, kami hanya mau tunjukkan bahwa dengan SEMANGAT dan HATI kami, kami bisa menanakllukkan kalian semua”
ketua panitia pun mendengar keributan itu, dan mempersilahkan sang guru itu masuk kedalam ruangan dan berbicara 4 mata.
Ketua penitia berkata “sebernarnya saya mau membantu kamu, tapi ini adalah prosedur, tapi saya adalah manusia yang juga punya HATI seperti kamu, ok, apapun resikonya kamu silahkan tampil di kegiatan itu meskipun kamu tidak akan mendapatkan apa-apa walaupun memenangkannya”
sang guru Bono itu menjawab dengan tersungkur “terima kasih pak terimah kasih ya ALLAH engkau sudah dengar doa MEREKA”.
Lalu dia bergegas pulang mengambil TV dan Radio kesayangannya untuk dijual dan dia pergunakan untuk biaya pendaftaran di kegiatan itu. Oh sungguh mulia hati sang guru Bono ini, dia rela berkorban demi Semangat dan Hati anak –anak di desa terpencil itu. Bagaimana dengan kita, apakah kita mau melakukan hal seperti guru Bono ketika melihat kondisi seperti itu di sekeliling kita, yang ada kita hany salaing penyalahkan antara satu dngan yang lai, tanpa melakukan apa-apa.
Sang guru Bono pun membawa kabar gembira itu kepada anak didiknya.
Berhari-hari setelah kabar genbira itu mereka dapatkan mereka mulai berpikir sama-sama apa saja kegiatan yang bisa mereka ikuti dengan kondisi yang seadanya, sang guru Bono pun memilihkan kegiatan untuk anak-anak itu. Satu persatu mereka ikutin dan persiapkan, dan inilah hasil nya:
• Cerdas cermat JUARA 3
mereka menjadi pintar karena mereka belajar dari apa saja yang mereka dapatkan,termasuk mengintip. Coba saja waktunya masih panjang dan mereka mendapatkan bimbingan yang sama dengan anak-anak sekolah lain, mereka pasti bisa jadi JUARA 1
• Melukis JUARA 3
mereka hanya melukis menggunakan pensil tanpa warna, tapi hasilnya adalah istimewa, suatu saat jika mereka sudah bisa menggunakan alat pewarna, mereka pasti bisa JUARA 1
• Lari JUARA 1
jangan ditanya deh soal yang beginian, anak-anak desa punya kemampuan yang lebih di bidang ini
• PUISI JUARA 1
ada seorang anak yang sering malantunkan puisi di tepi sungai setiap hari untuk menghibur dan memberi semangat kepada semua temannya, jadi ini adalah pekerjaan yang mudah bagi dirinya, hahahaha
• MUSIK JUARA 3
walau hanya menggunakan rebana dan galon aqua kosong dan belajar dari guru ngajinya, mereka bisa melantunkan lagu islami dengan baik dan membuat penonton senang. Ini bukan menjadi hal yang sulit, setiap minggu mereka pasti latihan musik-musik islami dengan menggunakan rebana dan kentongan melantunkan lagu islami dengan biak dan enak didengar.
• DRUM BAND JUARA 2
persaingan sangat berat, mereka tidak punya alat musik, mereka hanya punya seruling, terompet tahun baru, dan galon aqua yang kosong, dll, tapi hasilnya istimewa, dan yang paling diacungi jempol, mereka meniru persis seragam yang ada di film LASKAR PELANGI dengan hanya menggunakan dedaunan
Sempat terjadi kebingungan bagi mereka dengan apa mau main drum band. Gak punya apa 2, mereka saling berpikir dan sang guru memberi saran dengan hati yang sedih berkata “pakailah apa yang kalian punya”. Akhirnya mereka pulang kerumah masing-masing mencari apa yang mereka punya yang bisa mengeluarkan suara, ada yang membawa panci bekas, kaleng kosong, dll, bahkan ada yang membawa kentongan, galon aqua bekas yang sudah pecah, serta terompet tahun baru sisa tahun kemarin yang masih mereka simpan. Mereka kumpulkan semua, dan mereka berlatih dengan SEMANGAT MEREKA dan akhirnya membuahkan hasil yang menyenangkan.
Sungguh miris hati ini melihat itu, hanya dengan alat seadanya itu, mereka bisa kalahkan semua pesainggnya. Lalu bagaimana dengan yang sudah punya alat musik Drum band yang harganya mahal-mahal. Hahhahahhaa, mereka hanya punya alat itu, tapi mereka tak punya SEMANGAT dan HATI untuk mememainkan dan melakukan sesuatu.
• PAWAI JUARA 1
Penonton kerkesima melihat seoang anak yang berdiri di atas kerbau dan sapinya sambil memainkan serulingnya dan berjoget diatas nya sepanjang pawai dan menghiasi sapi-sapi dan kerbau-kerbau mereka dengan indah dan iiringi musik tradisional yang bagus, bereka anggap ini aksi akrobatik, padahal bagi ke 7 anak ini, ini adalah hal biasa yang dilakukan saat memandikan sapi dan kerbaunya di sungai, hahhahaha
Tapi setelah kegiatan itu, walau mereka memenangkan sebagaian kegiatan, mereka melanggkah pulang tanpa membawa piala, penghargaan, dll.
Seorang anak berkata “pak kita kan sudah menang, apa kita gak dapat piala tau yang lain”
sang guru Bono menjawab “apa pentingnya sebuah pila, yang penting kamu sudah bisa tunjukkan kepada semua orang bahwa kalian bisa melakukan semuanya itu dengan SEMANGAT dan HATI yang kalian miliki, tak jadi masalah tanpa piala, kita cukup membawa kegembiraan kemenangan ini sehingga bisa menambah SEMANGAT kita untuk terus belajar”
sembari berkata sang guru Bono pun mengangis deras dan merekapun saling berpelukan.
Akhirnya yang pada awalnya perjanjian jika mereka menang tak bisa mendapatkan apa-apa, sang ketua panitia pun berembuk bersama dan mengakui kehebatan mereka, dan sesaaat pada waktu ke 7 anak dan sang guru Bono dalam perjalanan pulang ada seorang yang berteriak memanggil mereka untuk kembali ke acara dan mendapatkan hak mereka. Dan ada seorang dari pusat kota yang menyaksikan itu, dan menyerahkan piala dan penghargaan lain bertanya kepada anak – anak desa itu. “dari SD mana?”,
seorang anak menjawab dengan cucuran air mata kebanggan “dari SD SEMANGAT pak , kami gak punya ijin, dll pak, kami SD yang ala kadarnya yang selalu mengintip anak2 sekolah belajar “
mendengar kata2 itu. Timbul pertanyaan bagi orang pemerintah pusat itu dan dia berkata “siapa yang mengajar”
lalu sang guru Bono dan ke 2 temannya maju mendekat dan berkata “saya dan ke 2 teman saya pak “,
lalu orang itu berkata “besok kamu ke kota “kamu harus bangun tempat itu dan cari siapa yang mau mengajar disana akan mendapatkan gaji yang sesuai, untuk ijin dlll saya akan bantu uruskan “
mendengar itu pun sang guru Bono dan ke 7 anak itu bersorak penuh gembira. Mereka telah berhasil tunjukkan bahwa SEMANGAT DAN HATI mereka sudah membawa mereka menuju impian mereka untuk menikmati pendidikan.
Berjalannnya waktu membuat anak di desa itu semakin pandai dan bisa menikmati pendidikan dengan bantuan pemerintah tanpa membayar sepeserpun, mereka yang pintar disekolahkan keluar dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sang guru Bono pun senang dan terus mengajar di desa itu tanpa henti-henti nya sampai diangkat menjadi kepala sekolah di sekolah yang baru itu dan menikahi si guru wanita Dina. Sementara sang pemburu karena yang sebenarnya bukan seorang guru juga terus memberi pengajaran diluar sekolah selama masih ada waktu.
Itulah akhir cerita itu. LIHATLAH SEMANGAT KAMI, kata ke 7 anak itu, mereka bisa wujudkan impian mereka bukan dengan uang, bukan dengan keuasaan, tapi dengan keterbelakangan, kemiskinan, SEMANGAT dan HATI MEREKA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar