Saat sebuah kasih sayang tak dapat dipisahkan, jarak dan waktu selalu
memaksakannya. Ketika sebuah kasih sayang mulai pudar, jarak dan waktu
juga yang selalu membuatnya kembali hidup dan datang.
Ada sebuah kisah antara kasih sayang Ibu dan seorang anak. Sebuah
kisah penyesalan yang sangat mendalam di antara mereka. Sebuah air mata
yang selalu terjatuh setiap saat mereka saling merindukan. Lantas apa
yang mereka tangisi? Saat mereka merasa saling kehilangan, dan saat itu
juga mereka merasakan betapa membutukannya mereka satu sama lain.
Aliza. Mereka biasa menyebutnya dengan panggilan tersebut. Dia adalah
seorang anak berumur sepuluh tahun yang sangat menyayangi Ibunya. Tentu
saja. Siapa lagi yang harus disayanginya kecuali sang Ibu? Dia seorang
anak yatim. Dan dia adalah anak semata wayang Ibunya. Dia tak punya
Kakak maupun Adik. Dia adalah satu-satunya yang Ibunya punya dan dia
punya satu-satunya Ibu dan satu-satunya teman. Temannya yang tak lain
bernama Nabila.
Kisah gelap itu berawal ketika sang Ibu sakit. Sang Ibu tak dapat
bekerja seperti biasanya. Terpaksa sekali dia harus diam dan tinggal di
rumah. Berhubung pekerjaannya adalah mencari kayu bakar di hutan, dia
terlalu lemah untuk berangkat kerja. Namun dia masih bisa melakukan
pekerjaan rumah yang kecil.
Pagi itu sang Ibu memasak jamur. Sementara Aliza masih tertidur pulas
di kasur kecilnya yang sudah tak sama sekali empuk. Tiba-tiba hidung
Aliza mencium sebuah bau yang harum. Tak lain dan tak bukan adalah aroma
harum dari sup jamur yang Ibunya buat. Diapun segera bangun dan
menghampiri sang Ibu. Dia menarik baju Ibunya berisyaratkan bahwa dia
lapar dan ingin makan sup jamur. Ibunya pun tersenyum lemah dari
wajahnya yang sedikit pucat.
“Kamu boleh makan Aliza. Tapi kamu sholat dulu ya, sayang. Udah sholat kita makan bareng,” Ucap Ibunya.
Alizapun mengangguk cepat. Dia segera berlari keluar dan menuju
pancuran tempat biasa orang-orang mandi, mencuci dan hal-hal yang
berhubungan dengan air yang ada di depan rumahnya. Karena masyarakat
yang ada di sana kebanyakan miskin, jadi mereka tak mempunyai toilet
sendiri. Rumah-rumah merekapun hanya terbuat dari bilik bambu.
Alizapun mulai mencopot plastik yang digunakan untuk menahan air yang
keluar. Dia mulai membasuh anggota badannya satu per satu. Terasa
sedikit dingin. Karena hari masih pukul lima pagi, tak heran jika Aliza
merasa kedinginan.
Setelah selesai, dia segera berlari kembali menuju gubuk kumuh
kecilnya. Dia langsung menyambar mukena dan segera melaksanakan sholat.
Dia sudah tak sabar untuk bisa memakan sup jamurnya.
Dalam waktu tiga menit dia sudah selesai melaksanakan sholat fardhu
dua raka’at itu. Dia langsung melipat mukena dan memakai jilbab.
Selepasnya dia langsung berlari menuju sang Ibu.
“Ibuku, apakah supnya sudah matang?”
“Belum, sayang. Ibu sedang merebusnya. Ayo kita tunggu di meja.” Ucap
Ibunya sambil sedikit menyembunyikan rasa pusing yang dia alami.
Merekapun segera duduk di depan meja. Alizapun menatap lekat-lekat wajah Ibunya.
“Aliza, Ibu punya satu pertanyaan untukmu,”
“Apa itu, Ibuku?”
“Jika kau sudah besar nanti, apa yang kau cita-citakan?” Tanya sang Ibu.
Alizapun memalingkan bola matanya menatap ke atas.
“Aku ingin menjadi seorang koki. Aku ingin nanti Ibu bisa merasakan
enaknya masakanku, seperti enaknya masakan Ibu.” Ucap Aliza.
“Oh ya, Bu. Akupun ingin membuatkan Ibu sup ayam. Kita itu tak pernah
makan ayam sama sekali. Jadi aku akan memasak ayam yang banyak untuk
Ibu,” Ucapnya sedikit ceria.
Sang Ibupun tersenyum sambil mengeluarkan buliran hangat. Alizapun mencibir ketika melihat Ibunya mengeluarkan air mata.
“Ibu menangis? Apa yang membuat Ibu sedih?” Tanya Aliza cemas.
“Ibu hanya terharu. Belajarlah yang rajin, sayang. Ibu sudah tak
sabar untuk mencicipi sup ayam lezat buatanmu,” Ucap Ibunya sambil
tersenyum.
Alizapun tersenyum lebar melihat senyum Ibunya. Senyum itu pasti tak akan dilupakannya.
“Oh iya. Supnya sudah siap. Ayo kita santap,” Ucap sang Ibu.
Sang Ibupun segera mengangkat panci berisi sayur jamur. Dia segera
menuangkan sup jamur ke dalam sebuah mangkuk ditambah sebuah nasi.
Diapun memberikannya pada Aliza. Aliza mengernyitkan dahi.
“Mengapa hanya satu? Untuk Ibu mana?”
“Makan saja, Aliza. Biarkan Ibu tak makan juga,”
“Aku tahu mengapa Ibu tak makan. Pasti karena Nabila kan? Pasti Ibu
akan memberikan sup jamur kita untuknya kan?” Tanya Aliza sedikit cepat.
Memang setiap kali Nabila datang, Ibunya selalu bertanya, apakah
sudah sarapan? Dan anak itu selalu menjawab tidak. Dan makanan milik si
Ibupun dia berikan pada Nabila. Padahal Nabila masih lengkap memiliki
kedua orang tua. Dia juga anak tunggal. Entah apa maksudnya?
“Benarkan? Apakah Ibu tak pernah berfikir bagaimana keadaan Ibu? Jika
Ibu meninggal, siapa yang akan menemaniku? Ibu tak pernah berfikir
padaku! Aku sangat benci dia! Dia selalu mengambil harta kita, Bu!” Ucap
Aliza sedikit meninggi.
“Aliza sayang, Ibu baik-baik saja walau tak makan. Kasihan dia, setiap ke sini dia selalu belum makan,”
“Apakah Ibu tak pernah berfikir dia berbohong? Mengapa Ibu tak pernah
berfikir seperti itu. Dia anak tunggal! Dia lebih kaya daripada kita!
Dia tak mungkin kelaparan! Mengapa Ibu bodoh?!”
“Plakk!”
Sebuah tamparan keras mendarat nyaman di pipi Aliza. Air matanya tampak bercucuran menerima tamparan itu.
“Kau berani sekali meninggikan suaramu di depan Ibumu! Apakah Ibu
mengajarkanmu tentang itu? Mengapa Kau berani melakukan hal itu?”
Alizapun menggigit bibirnya dan berlari menjauh dari Ibunya. Dia
kecewa. Tamparan itu terasa sangat sakit baginya. Sementara sang Ibu
membiarkannya. Sang Ibu berfikir, bahwa dia nanti juga akan kembali. Dia
tak mengejarnya. Hari ini dia sangat merasa pusing sekali. Dia
menyentuh kepalanya lalu bersandar di tembok. Ada rasa menyesal di
dadanya setelah menampar buah hatinya itu.
Sementara Aliza terus berlari memasuki hutan. Langkahnya entah akan
dia tuju ke mana. Air matanya terus berceceran di pipinya yang lusuh.
Dia berlari secepat yang dia bisa untuk membawanya jauh dari sang Ibu.
Dia merasa sedikit benci pada sang Ibu. Mengapa Ibu tega menamparku?
Pikirnya.
Sesudah berlari selama lima belas menit diapun terhenti. Kini
pandangannya liar menatap sekitar. Dia tak sama sekali mengenal tempat
yang dia injaki.
“Di mana aku? Ada orang di sini?” Gumam dia.
Diapun sedikit kembali ke jalan asalnya. Sudah satu jam dia
berkeliling, namun dia tak menemukan jalan sama sekali. Air matanya kini
meluap lagi. Bibir kecilnya tak sengaja berucap,
“Ibu! Ibu!” Tangisnya.
Dia terduduk di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Dia bersandar di pohon itu sambil terisak.
“Ibuuu!!!” Teriaknya.
Namun sang Ibupun tak muncul jua. Yang dia dapatkan hanyalah sebuah
gema dari sudut ruangan. Air matanya semakin deras mengalir. Ia sadar
perbuatannya tadi salah. Jikalau benar, Ibunya tak akan menamparnya.
Tapi dia benar-benar tak ingin, jika Nabila selalu mengambil makanan
Ibunya.
“Nabila memang satu-satunya temanku, Ibu. Tapi mengapa Ibu tak
memikirkan diri Ibu? Jika Ibu meninggal, siapa yang aku punya? Hanya Ibu
saja yang aku punya.” Isak Aliza.
Sementara sang Ibu tengah bersandar di tembok sambil menitikan
setetes air mata. Dia menanti kedatangan anaknya. Namun setelah dia
tunggu sekian lama, anaknya belum menampakan bayangannya juga. Dia terus
menanti sampai dia ketiduran.
Aliza terus mencari jalan. Perutnya sudah keroncongan. Dari pagi dia
memang belum makan. Perutnya sudah sangat tak kuat menahan lapar.
Tiba-tiba saja sebuah hujan turun membasahi area gunung. Alizapun menatap langit,
“Ya Allah, maafin Aliza. Aliza salah, Aliza pengen pulang,” Batinnya.
Diapun kembali bersandar di bawah pohon untuk menghindari hujan.
Aroma tanah sudah tercium khas. Aliza masih tak henti menitikan bulir
bening dari pelupuk matanya. Dia menyandarkan kepala di bawah naungan
pohon besar. Lututnya di peluk oleh kedua tangannya. Kepalanya dia
simpan di atas lutut.
“Ibu, apa Ibu nggak cariin Aliza? Aliza sendiri di sini, Bu. Ibu juga
sendiri, ya di sana? Aliza nggak biasa jauh dari Ibu,” Ucapnya.
Diapun memejamkan matanya. Dan tepat saat itu juga dia tertidur di sana.
Ketika malam menjelang, Ibu Aliza terbangun dari tidurnya. Dia segera
pergi menuju kamar, kalau-kalau Aliza sudah pulang. Seketika dia
sampai, tak ada Aliza di sana. Kepalanya mulai pusing lagi. Niatnya dia
ingin mencari Aliza. Namun sudah larut. Diapun berniat untuk mencari
Aliza besok pagi.
Sementara Aliza, dia sedang dibuai sebuah mimpi indah. Mimpi tentang sosok Ibunya.
Dalam mimpinya dia sedang bersandar di paha sang Ibu. Sang Ibu mengelus-elus kepalanya.
“Apakah Ibu sayang Aliza?”
“Tentu saja, Ibu mana yang tak sayang pada anaknya.”
“Tapi itu ada di dalam dongeng, Bu.”
“Sekarang, apakah Aliza sayang pada Ibu?”
“Tentu saja, anak mana yang tak sayang pada Ibunya,” Ucap Aliza.
“Mengapa kau meniru perkataan Ibu?”
“Karena aku ingin menjadi Ibu. Ibu adalah Ibu terbaik di dunia.” Ucap Aliza.
Sang Ibupun tersenyum tipis.
“Apakah kau tahu kupu kupu, Aliza?”
“Ya. Kupu kupu sangat indah.”
“Dan kau tahu bagaimana sayap kupu-kupu?”
“Tahu, Ibuku. Sayap kupu kupu merupakan yang paling indah dari kupu kupu. Benar begitu bukan?”
“Dan itu adalah kita. Dua sayap kupu kupu,”
Alizapun menatap Ibunya. Sang Ibu mengelus kepalanya sambil menatap
ke langit. Tiba-tiba setetes air membasahi mata Aliza. Aliza
mengerjip-ngerjipkan matanya. Dia mengucek-nguceknya. Air semakin banyak
turun ke matanya. Diapun membukanya lebar. Ternyata dia masih di hutan
itu. Dia kehujanan. Tubuhnya basah kuyup semua. Diapun berdiri dan
mencari pohon yang lebih besar untuk mencari naungan. Dia terus mencari
sambil terus berlinangan. Air hujan yang menerpa tubuhnya tak
dihiraukannya. Samar-samar diapun mendengar suara burung hantu.
“Apakah ada orang di sini? Tolong aku! Aku tersesat!” Teriaknya.
Dia memeluk tubuh kecilnya dengan tangan mungilnya. Tubuhnya gemetaran. Giginya sudah bertabrakan. Dia kedinginan.
Tiba-tiba suara burung hantu terdengarnya lagi. Dia melotot kaget.
Dia mulai takut. Matanya liar menyapu seisi ruang. Dia mempercepat
langkahnya. Rasa takut sudah menyeruak masuk melalui pori-pori tubuhnya.
“Ibu, Aliza takut. Aliza kedinginan, Bu. Aliza nyesel. Aliza pengen pulang, Bu.” Ucapnya terisak.
Diapun terduduk lesu di atas tumpukan daun yang berguguran. Air
matanya turun deras sederas air hujan yang kini menimpa dirinya. Dia
masih sesenggukan dan sangat menyesali perbuatannya. Seharusnya dia tak
boleh kabur dari Ibunya. Kini dia mulai merasa membutuhkan Ibunya. Dia
merasa seperti seekor kupu kupu tanpa sebelah sayap. Dia hanya
sendirian. Dia kehilangan satu-satunya orang yang sangat disayanginya.
Ibu. Dia tak tahu apakah dia bisa kembali?
Fajar mulai menyingsing. Aliza masih belum pulang ke rumahnya. Dia
masih tersesat di tengah hutan belantara yang entah ada di mana. Padahal
dia tak terlalu jauh berlari. Namun langkahnya tiba-tiba saja hilang
arahnya.
Sementara Sang Ibu kini sedang berjalan menuju hutan untuk mencari
sang anak tercinta. Dia memaksakan keadaan walau sebenarnya merasa
sangat pusing dan tak berdaya.
Sementara Aliza baru terbangun dari tidurnya yang tak sama sekali
nyenyak. Tidurnya yang ditemani angin malam, suara hujan, dan burung
hantu yang ada di sana. Mungkin juga bersama pohon dan daun yangh
berguguran di atas wajahnya. Diapun bangun dan mulai melanjutkan
perjalanannya untuk bisa kembali ke rumah dan bertemu dengan sang Ibu
yang sangat dicintainya. Langkahnya gontai dan lemas karena belum makan
seharian. Pandangannya berkunang-kunang. Air matanya terus menetes dan
menetes. Hatinya menjerit. Menjerit tanpa ada seorangpun makhluk Tuhan
yang mendengarnya.
“Tolong aku! Apakah ada orang di sini? Ku mohon! Siapapun itu, tolong!” Teriaknya dengan sisa tenaga yang ada di dalam dirinya.
Diapun terduduk lagi. Lututnya begitu lemas untuk berjalan. Dia
terlalu lemah dan kecil untuk hidup sendirian. Dia terlalu naif untuk
terus mengintari hutan di tebing gunung ini. Bulir hangat menemani
keterpuruk dan kelemahannya.
“Ibu, maafkan Aliza. Ibu, Aliza butuh Ibu.”
Di tempat lain Ibu Aliza tengah mencari sang anak. Dia sudah bertanya
kepada penjaga gunung tersebut tentang Aliza. Namun mereka tak
mengetahuinya.
Dia terus berjalan mencari Aliza. Langkahnya tertatih-tatih. Sakit di
kepalanya semakin menjadi-jadi. Dia mengernyitkan dahi menahan
penderitaan yang kini dia hadapi.
“Ya Allah, biarkan aku bertemu dengan anakku. Aku tak mau kesakitan
ini menghalangi semua pencarian ini. Aku ingin dia selamat,” Desahnya.
Dia tetap memaksakan diri mencari anaknya sambil berjalan memegangi
setiap pohon yang ada. Tak boleh ada sesuatu apapun yang menghalanginya
untuk mencari sang anak. Dia teramat menyayanginya.
“Aliza! Aliza!” Teriaknya di tengah keheningan hutan.
Tak ada satu suarapun yang terdengar kecuali teriakannya. Mungkin bersama suara angin sepoy yang menghembus.
“Aliza! Kamu di mana, Nak? Maafin Ibu!” Teriaknya lagi.
Namun tak ada jawaban juga.
Kini dia hanya bisa terduduk lemas di atas tanah. Bulir bening
menetes perlahan. Dia tak pernah sesedih itu. Dia tak pernah jauh dari
Aliza. Walaupun dia sedang bekerja, dia tak pernah secemas ini. Dia
benar-benar merasa kehilangan Aliza.
Dan Aliza saat ini tengah berjalan dengan sebuah kayu yang sepuluh cm
lebih pendek dari tubuhnya. Dia menggunakan tongkat itu untuk menahan
berat badannya. Dia sudah lemas dan lelah. Mungkin dengan memakai
tongkat itu dia sedikit tertolong.
Di sepanjang jalan dia terus menangis. Dia tak henti-henti menangisi
takdir yang sedang menghinggapinya. Dia terus meratapi segala yang kini
dia alami. Dia terus menyesali. Dia terus menangis.
“Tolong! Tolong!” Ucapnya lemas.
Suaranya sudah parau. Air matanya sudah hampir habis. Tenaganya sudah tak tersisa. Dia begitu sedih dan menyesal.
Diapun berniat untuk istirahat terlebih dahulu. Seperti biasanya, dia
pasti istirahat di bawah naungan pohon. Diapun segera menarik nafas
panjang agar lebih tenang. Seketika dia menari-narikan bola matanya, dia
kaget melihat sesuatu yang amat berharga baginya.
“Jamur!” Ucapnya bahagia.
Diapun segera berlari menghampiri jamur yang ada di sekitar pohon di
sebelahnya. Dia tersenyum lebar sambil mencabuti jamur-jamur yang
tertanam di sana.
“Mengapa jamurnya banyak sekali? Pasti Ibu akan senang jika aku membawakan jamur yang banyak ini untuknya.” Ucap Aliza.
Diapun menyobekan bajunya dan memasukan jamur itu ke helai kain yang
dia sobek. Dan salah satunya dia bawa. Lalu dia mencuci jamur itu pada
genangan air bekas hujan semalam. Diapun segera memakannya tanpa
memasaknya. Dia sudah terlanjur lapar. Asalkan dia bisa mengisi
perutnya, dia pasti akan memakannya.
Setelah selesai memakan jamur itu, dia sedikit bertenaga. Diapun segera melanjutkan perjalanannya mencari jalan untuk kembali.
Sementara di tempat lain, Ibunya tengah berjalan terpogoh-pogoh tak
kuat menahan pusing dan panas. Keringatnya sudah bercucuran bersamaan
dengan air matanya. Walaupun sudah tak tahan, dia tetap bersikeras
mencari si anak.
Dengan bekal sebotol air, dia terus melanjutkan perjalanannya dalam
mencari sang anak. Entah sudah berapa lama dia mencari. Dia tak kunjung
menemukan sang anak. Hingga sore menjelang, si Ibupun berniat untuk
pulang. Tahu-tahu Aliza sudah ada di rumah.
Sesampainya di rumah, tak ditemukannya seseorangpun di sana. Hanya
semangkuk sup jamur yang dia hidangkan tadi pagi kalau-kalau Aliza
pulang ketika dia sedang pergi. Sup jamur itu masih seperti awal. Masih
sama. Hanya mungkin sekarang sudah dingin.
Sang Ibupun segera menghempaskan diri ke kamar. Dia merasa sangat
kedinginan. Diapun merasakan pening yang sangat hebat. Berhubung dia tak
meminum obat sama sekali.
Diapun segera menarik selimut yang biasa Aliza pakai. Dia merasakan
kehangatan yang sangat menghangatkan. Dia merasakan pelukan dan ciuman
dari Aliza ketika dia akan tidur. Dia merasakan Aliza sedang memeluknya
sekarang.
“Ibu, Ibu kedinginan, ya? Ibu jangan nangis, Aliza di sini sama Ibu.
Walau Aliza nggak ada di samping Ibu, Aliza tetep ada di hati Ibukan?”
Desah Aliza sendiri.
Ucapan itu dapat di dengar oleh Ibunya walau dari jauh. Entah apa yang bisa menyebabkan Ibunya dapat mendengar hal itu.
“Aliza, kamu di mana sayang? Ibu rindu sama kamu. Kalau kamu pulang,
Ibu janji nggak bakalan nampar kamu lagi. Ibu bakalan makan tiap pagi,”
Ucap Ibunya sendiri.
Aliza di tempat lain masih terus berjalan menyusuri jalan setapak
yang entah di mana keberadaannya. Dia tak peduli jalan mana yang dia
ambil. Yang penting dia dapat kembali.
Dia masih terus berjalan menyusuri gelapnya malam. Tangannya kuat
menggenggam sewadah jamur yang telah dia gulung dan ikat sendiri dengan
helai kain dari bajunya. Malam ini memang tak hujan. Namun hembusan
angin malam masih setia menerpa tubuh mungilnya. Kakinya yang kecil
memang sudah merasa lelah. Namun langkahnya pantang untuk istirahat dan
menepi. Langkahnya masih setia mengiringi tubuh kusut Aliza untuk
mencapai rumah.
Karena keadaan malam itu sangat gelap dan hening, Aliza tak dapat
memandang dengan benar. Jika ada sedikit cahaya, dia bisa menatap cukup
jelas.
Hingga saat dia sedang berjalan dengan tenangnya, diapun terpeleset
dan terperosok ke bawah. Dia terjatuh. Dia terguling-guling di atas
tumpukan daun kering. Hingga saat kepalanya mendarat dan terbentur ke
sebuah pohon, dia pingsan.
—
“Arghh,” Aliza menggeram.
Dia terbangun dari pingsannya. Di dapatinya hari sudah siang. Kakinya
tampak sakit dan bengkak. Kepalanya juga terasa sangat pusing. Dia
mencoba untuk bangun. Namun dia tak bisa. Kakinya benar-benar tak bisa
membuatnya berdiri.
Rasa sakit itu kian menerpanya. Air matanya mulai berlinang lagi.
Kaki bengkaknya sangat membuatnya terhambat untuk segera pulang. Diapun
mulai merasa lapar. Aliza teringat akan jamur yang dia bawa kemarin.
Segera dia mencari-carinya. Namun tak kunjung didapatinya. Dia mulai
merangkak sambil mencari-cari bungkusan jamur yang kemarin dia temukan.
“Jamurku. Di mana jamurku?” Ucapnya.
Diapun melihat sebuah bungkusan biru yang tak lain adalah bungkusan
jamur itu. Namun sayang, bungkusan jamur itu tersangkut di atas.
Terpaksa dia harus merangkak ke atas menggunakan tangan dan sisa
tenanganya. Dengan segala kekuatannya dia merangkak sebisa mungkin.
Walau sakit di kepala dan kakinya membuatnya menderita, dia tak mungkin
berhenti untuk mencapai bungkusan jamur itu. Dan dengan segala yang dia
lakukan, dia sudah dapat mengambil bungkusan dan mencapai di atas.
Diapun memakan dua buah jamur yang dia bawa. Sisa jamur yang ada di
bungkusannya tinggal lima helai lagi. Diapun segera mencari tongkat
untuk membantunya berjalan. Karena kakinya yang bengkak dan tak mampu
untuk berjalan.
Jalan setapak dia telusuri lagi dengan langkah tertatih-tatih diiringi sebilah tongkat kayu yang lebih tinggi darinya.
Sementara sang Ibu sedang menyiapkan semangkuk sup jamur. Dia tak
berani makan terlebih dahulu sebelum Aliza bisa makan. Dia hanya
menyimpan sup jamur itu dengan semangkuk nasi yang cukup untuk makan
mereka berdua.
Setelah itu sang Ibupun segera memakai jaket dan berangkat ke hutan
untuk mencari Aliza lagi. Walau sakitnya semakin menjadi-jadi, dia tetap
berniat pergi mencari Aliza. Tiga hari terakhir ini Aliza belum
pulang-pulang juga. Si Ibu tak pernah menyerah dan masih percaya bahwa
Aliza masih selamat.
Diapun segera berangkat. Wajahnya tampak makin pucat. Dari kemarin
dia tak nafsu makan. Dia hanya ingin melihat Aliza makan. Dia ingin
makan bersamanya. Jadi dia tak akan makan sebelum Aliza dia dapati.
Aliza masih berjalan dengan wajah yang sama-sama pucat dengan Ibunya.
Entah berapa lama dia bisa bertahan. Setiap kali dia teringat Ibunya,
dia selalu menitikan bulir bening dari ujung matanya. Dia selalu
teringat akan kesalahannya pada Ibunya. Walaupun dia sudah ditampar oleh
Ibunya, dia sadar itu kesalahannya.
Dia masih berjalan dengan berjuta rasa sakit yang menghampirinya.
Sakit fisik dan sakit batin. Dia benar-benar merasa sakit. Matanya
memerah karena terlalu sering menangis. Menangisi segala yang telah
terjadi dalam hidupnya.
“Ibu, Aliza sayang Ibu. Ibu jangan tinggalin Aliza. Ibu, jemput Aliza
di sini. Aliza udah nggak kuat jalan. Aliza udah sakit,” Desahnya.
“Brukk,”
Tubuhnya ambruk seketika. Dia masih tersadar. Namun tubuhnya sudah
beku. Beku akan rasa sakit yang sedang dia hadapi. Sakit yang baru dia
rasakan seumur hidupnya. Rasa sakit yang hanya dia rasakan saat ini. Dia
tak pernah merasakan nestapa ini. Dia tak pernah merasa sekakit itu.
Tak pernah.
Sang Ibu masih terus berkeliaran mencari sang anak. Tak pernah
didapatinya bayangan sedikitpun dari Aliza. Namun semangat dalam hatinya
tak pernah patah. Demi satu-satunya harta berharga dia, dia tak akan
menyia-nyiakannya.
Hingga sorepun datang. Langit mulai hitam dan mendung. Tak lama dari
itu, hujanpun turun dengan derasnya. Sepasang anak dan Ibu ini tak
pernah mengeluh untuk saling bertemu kembali. Tak pernah berhenti untuk
menemukan jalan menuju kasih sayang mereka lagi. Namun mengapa Tuhan
belum menghendaki? Sudah begitu banyak nestapa yang mereka jalani. Namun
tak ada juga kebahagiaan yang mereka dapati. Entah kapan Yang Maha
Kuasa menghendaki.
Hujan dan angin masih menerpa dan mencoba mematahkan semangat orang
tua dan anak ini. Beribu-ribu nestapa mencoba memudarkan niat pencarian
mereka. Tak adapun sesuatu yang bisa membuat mereka menyerah begitu
saja.
Di tengah indahnya deras suara hujan, Sang Ibu sudah tak bisa menahan
segala kesakitan fisik yang menimpanya. Dia terjatuh begitu saja di
sebuah jalan setapak. Dia menutupkan matanya. Rasa sakit yang ada pada
dirinya mulai hilang. Entah apa yang terjadi pada dia.
Sementara si kecil Aliza masih berjalan terpogoh-pogoh. Kakinya yang
bengkak sudah sedikit membaik. Namun tubuhnya benar-benar menggigil saat
itu. Jilbab putih dengan sebuah gamis biru yang dia pakai sudah basah
semuanya. Dia terus berjalan menyusuri jalan yang ada. Tak ada lagi yang
bisa dia lakukan kecuali berserah diri. Dia sudah tak bisa melakukan
apa-apa. Dia sudah tersesat dalam kesesatan yang nyata.
Ketika tengah berjalan, dia melihat sesuatu yang tengah tergeletak di
pinggir jalan. Dia benar-benar melihat seseorang tengah terduduk lesu.
Diapun segera berlari untuk memeriksa siapa orang itu. Ketika dia sudah
dekat, dia kaget dan tak dapat menahan air matanya. Ya benar. Yang
tengah tergeletak di sana adalah sosok Ibunya yang amat dicintainya.
Diapun langsung memeluk dan menyadarkan sang Ibu.
“Ibu, ini Aliza, Bu. Ibu bangun, Bu. Bu Aliza bawa jamur yang banyak
buat Ibu. Ibu bangun. Ibu jangan buat Aliza sedih, Bu. Aliza bakalan
buat sup jamur buat Ibu. Walau Aliza belum bisa buatin sup ayam, Aliza
mau buatin sup jamur, Bu. Mau kan, Bu?” Ucap Aliza sambil
menggoyang-goyangkan sang Ibu.
Namun tak ada sedikitpun gubrisan dari sang Ibu. Sang Ibu tetap
terdiam dan membungkam mulutnya. Aliza yang mulai menyadari bahwa Ibunya
sudah tiada. Dia sudah pergi jauh meninggalkannya. Tubuh Ibunya sudah
dingin dan hampa. Mengetahui hal itu, dia langsung
mengguncang-guncangkan keras tubuh Ibunya berharap agar sang Ibu bangun
lagi. Tak terasa ternyata air matanya sudah terjatuh lagi. Dia menangis
sekencang-kencangnya melihat sang Ibu sudah terkulai lemah tak berdaya.
“Ibu! Ibu bangun, Ibu! Ini Aliza, Bu! Ibu! Ibu! Aliza buatin sup jamur, ya Bu! Aliza bawa jamur. Ayo, Bu!” Rintihnya.
Diapun sadar bahwa Ibunya tak akan mungkin sadar dan bangun kembali. Tak akan mungkin memeluknya kembali.
“Ibu! Maafkan Aliza, Bu! Aliza tak pernah berfikir bahwa Ibu akan
pergi! Apakah Ibu tak merasa kasihan pada Aliza? Aliza akan hidup dengan
siapa, Bu! Ibu! Ibu sayang Aliza kan? Aliza tahu, seberapa pun Aliza
sayang Ibu, Ibu tetep lebih sayang sama Aliza, kan? Kan, Bu?” Ucap Aliza
sambil memeluk Ibunya.
Diapun terus menangis merintih sambil memeluk sang Ibu. Tak ada lagi
yang bisa dia lakukan. Dia sudah menyesali segalanya. Dia menyesal.
“Bu, Aliza pengen ikut Ibu. Bawa aja Aliza ke manapun Ibu pergi,” Ucapnya sambil menggigil.
Entah bagaimana nantinya kehidupan Aliza. Kini dia sudah tak punya
harapan lagi untuk melanjutkan kehidupannya. Selama ini dia selalu
bergantung pada sang Ibu. Dia sudah tak bisa melakukan apapun tanpa Ibu
di hidupnya. Dia sudah seperti kupu kupu tanpa sebelah sayap. Mungkin
kehidupannya akan lebih menderita daripada tiga hari dia tersesat itu.
Jika dia mati mungkin, yang bisa membuatnya lari dari nestapa dan
membuatnya hilang dari malam. Jika dia mati mungkin, yang bisa membuat
segala keterpurukannya hilang.
Seorang gadis itu telah merapatkan lekat-lekat matanya. Dia sudah
amat kedinginan. Dia sudah tak bisa menahan dinginnya malam itu. Dan
mungkin keinginannya telah bisa dia capai. Sekarang mungkin dia sudah
mengikuti jejak Ibunya. Sekarang mungkin dia sudah pergi ke keabadian.
Keabadian bersama Ibunya tercinta. Tapi, jika Tuhan menghendaki.
- SEKIAN -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar