Bocah itu bernama Kochi, hanya Kochi. Banyak orang mengalamatkan
pertanyaan prihal nama itu. Kochi membisu. Mana sempat ia bersapa apa
lagi bertanya prihal asal-usul namanya, orang tuanya saja ia tidak
ingat. Sekelebat ingatan yang berhubungan dengan orang tuanya hanyalah
tentamg sapuan angin. Malam itu, orang tua Kochi bertranformasi menjadi
angin. Bebas. Terbang. Terbenam. Ayahnya, seorang pendekar pedang hebat.
Begitu pula Kochi. Sejak usia belia ia telah berusaha mempertajam
indranya untuk menebas. Menebas semua termasuk rasa rindu akan pelukan
Ibu yang tak pernah ia rasa dalam ingatan.
Kochi berlatih dengan seorang guru, guru Ching. Guru Ching sudah
uzur. Sebentar lagi nyawanya akan lapuk di makan lumut akhirat. Lumut
akhirat itu hebat. Lebih hebat dari lumut apapun. Tapi, lumut biasapun
hebat. Batu raksasa dibinasakan dengan perlahan. Akan tetapi, lumut
akhirat jauh lebih hebat. Nyawa yang di buat dari unsur tak terkenali
bisa dihancurkan dengan akarnya.
“Bagaimana lumut itu hidup?”
“Sesuatu yang kau sebut dosa.” Jawab guru Ching singkat.
Usia uzurnya sedikit membendung ketajaman pedang guru Ching. Lumut
akhirat yang pernah di tebasnya beberapa kali kini bersarang di tubuh
rentanya. Kochipun diajarinya menebas lumut itu. Dipinjaminya Kochi
sebilah pedang bambu. Singkat kata, guru Ching meninggal. Lumut akhirat
itu terlihat menggerogoti tubuh guru Ching. Kochi terhenyak. Nelangsa
singkat yang ia taburkan dalam sepi terbungkus haru. Memangku jasad
gurunya yang segera dikebumikan. Sangat segera.
Lumut akhirat itu, musuh utamanya. Maka ia memutuskan untuk keluar dari
tempat guru Ching. Menebas ibu lumut akhirat adalah ambisi hidupnya. Itu
kali pertama ia keluar dan berinteraksi langsung bersama makhluk yang
biasa dikenali gurunya dengan sebutan manusia. Termasuk dirinya.
Terkejut bukan main batin Kochi. Belum dua langkah ia keluar dari pintu
utama ia sudah bertemu manusia lain. anehnya, manusia itu memelihara
lumut akhirat. Di sekujur tubuhnya. Di mata. Di hidung. Di mulut. Di
banyak tempat. Baunya tersebar ke seluruh atmosfer hutan dan jalan
setapak. Tapi, orang itu tidak risih, aneh.
Semenjak berkelana, Kochi telah berusaha membiasakan diri dengan
manusia berlumut akhirat itu. Bahkan, ada beberapa orang yang otaknya
telah digerogoti lumut akhirat. Bagian reproduksinya berlumut akhirat.
Punhalnya dengan hati dan jantung. Tapi, yang membuat Kochi heran, orang
tersebut bisa di panggil dengan sebutan mewah, “Pak Presiden”.
Kebingungan yang kian memuncak semakin menaikkan nafsu Kochi untuk
mendapat pedang kehidupan. Konon, pedang tersebut bersinar dan warna
merah adalah cirinya. Lumut akhirat bukan halangan berarti bagi pedang
kehidupan itu.
“Seperti memotong roti dengan gergaji” istilah yang selalu almarhum
kakeknya utarakan. Betapa mahanya pedang itu. Kesulitan mengalahkan
pedang itu mirip dengan kesulitan mencarinya. Hanya pendekar pedang
terpilih yang bisa memegang dan mengayunkannya. Pendekar sekaliber
almarhum guru Chingpun tidak berkesempatan bahkan untuk melihatnya saja.
Untungnya, Kochi tidak sedikitpun mengalami degradasi semangat prihal
semua itu.
Kakeknya pernah bercerita untuk menemukan pedang itu Kochi harus
pergi ke puncak gunung tertinggi yang bisa diloncati oleh semut di depan
sana. Bingung. Kochi memutuskan untuk menelusuri desa demi desa. Desa
pertama yang ia kunjungi memiliki seorang ahli pedang. Membutuhkan 3
tahun untuk megalahkan ahli pedang tersebut. ia harus melawan ahli
pedang itu di hutan bambu. Berkali-kali ia terluka. Bekas luka itu bak
cat merah yang sengaja ditumpahkan di atas tubuh. Kesakitan sudah
menjadi teman seperjuangannya.
Di desa selanjutnya ia bertemu ahli pedang yang dapat menggunakan
delapan pedang sekaligus. Ia harus melawan dengan tengan kosong, sama
seperti sebelumnya. Setiap pukulan yang ia sarangkan di balas dengan
tebasan dua pedang, minimal. Satu pukulan dari dirinya sendiri bisa
membuat jarinya hampir putus termakan pedang. Sungguh kasihan Kochi.
Sementara, di desa berbagai wabah penyakit bermunculan. Segala jenis
dukun tidak pernah dapat ketenangan. Antrean pasien selalu menjulang.
Padalah semua itu akibat lumut akhirat. Kejam.
Alkisah, dengan tubuh sobek-sobek kochi berhasil mengalahkan pendekar
berpedang delapan itu. Kemampuan pedangnya kali ini sudah di atas
rata-rata pendekar pedang. Hebat.
Di desa selanjutnya, Kochi harus berhadapan dengan pendekar pedang
muda. Melihat keunggulan fisik, kochi meninggi, sang pendekar merendah.
Sebuah pukulan coba di buat Kochi. Seketika itu juga tebasan pedang sang
pendekar melaju. Cepat. Ketat. Aneh, tebasan tersebut tidak sakit sama
sekali. Kochi tidak terluka, tapi ia terpental. Rumah pendekar yang
terletak di puncak bukit bersalju jadi tembok terbesar. Terhitung sudah
ratusan kali Kochi mendaki bukit itu. Dua menit, ia akan terpental dan
mulai mendaki lagi. sementara, wabah lumut akhirat terus menjulang dan
pedang kehidupan adalah penawarnya. Satu-satunya. Dan, para pendekar
lain tidak sadar. Aneh.
Peluh bak lelehan air mata di tengah kematian. Membungkus kalbu
meninggalkan asa. Asanya untuk menebas lumut akhirat. Hanya itu!
Panjatan ke tiga ratus begitu berat bagi Kochi. Kakinya bak tak
bertulang. Tangannya tidak dapat menggapai angin, hanya gontai tak
berjiwa. Matanya hanya melihat oase pedang kehidupan. Nanar. Hilang
sudah semua keinginan, hasrat. Bersama itu ketakutan sirna, hanya
pasrah. Tebasan pedang pendekar itu terasa dekat dan segera akan
mementalkannya, lagi. “jraash” darah segar mengucur. Kochi tidak
terpental. Ia bangkit. Sadar. Pedang itu tidak mempan ketika pikiran
kosong. Pelajaran bertarung dengan pikiran kosong sangat sulit. Tapi,
Kochi berhasil menang, lagi. Luka Kochi tidak dapat didefinisikan oleh
mesin pendefinisi sekaliber apapun. Mengerikan.
Setelah itupun masih setumpuk pendekar yang harus dihadapi kochi. Ada
yang berpedang angin, ada yang bisa menghilang ada yang bisa terbang.
Macam-macam. Luka adalah keharusan. Penjahit wajib tertusuk duri, pandai
besi wajib terkena besi panas dan kiper wajib kemasukkan goal. Sewajib
itu, seharus itu. Tebasan pedih penakluk asa sudah jadi rutinitas
kehidupan dunia. Pendekar berpedang angin itu harus ia lawan dengan
kekuatan pikiran. Orang biasa tidak akan bisa melihat pedang itu. Ia
juga, sebelumnya. Mata terpejam membantunya melihat wujud pedang angin
dan mengalahkan sang empunya pedang. Luka, jangan di tanya lagi. apa
lagi soal waktu. Saking banyaknya pendekar yang dikalahkan, tidak ada
detail ingatan yang masih menyimpan cara mengalahkan dan triknya.
Setelah itupun masih banyak yang perlu ia lakukan. Mencari pemimpin
besar, berbicara dan di tendang. Hingga, sekarang ia di kenal oleh semua
orang. Dari nenek-nenek yang tergeletak tak berdaya di kedalaman hutan
paling dalam hingga bos-bos berdasi kupu-kupu pemakan uang rakyat. Semua
mengenalnya. Semua hormat padanya. Kochi terkenal sebagai pendekar
pedang hebat. Pendekar pembawa ketentraman dan penakluk kejahatan.
Kecuali lumut akhirat yang belum dapat dikalahkan Kochi. Nenek dan bos
tadi, tidak lepas dari terjangan lumut akhirat. Seluruh badannya,
kecuali organ merupakan lumut akhirat. Menjijikkan. Lumut itu bagaikan
lumpur hijau yang lengket dan menghisap alam pikiran serta kewarasan
manusia. Lendirnya menetes di setiap senti jalan yang dilalui
pemiliknya. Semua penuh dengan lendir. Dari got-got tempat tikus
jalanan, aspal borongan, gedung DPR hingga gedung presiden tak luput
dari keberadaan lendir itu. Lendir yang telah mengering. Baunya
mengernyitkan hidung untuk memohon kehilangan reseptor baunya. Sungguh
menyengat. Semua itu hanya disadari Kochi seorang. Cukup ia saja.
Orang sudah terbiasa. Kali ini, dengan lendir dan bau menyengat
itupun tak acuh jua mereka. Baru saja Kochi melihat sepasang kekasih,
dengan lumut akhirat di tubuhnya, saling bermesraan dengan sepiring mie
di depannya. Lendir itu, menetes bercampur dengan kuah dan bumbu mie.
Terserap, dan merasuk ke dalam tubuh untuk menjadi tenaga. Tenaga
negatif. Mereka tak jijik, tak hirau bahkan tak tahu!
Bosan sudah Kochi mengetahui penderitaan implisit dari warga yang
masih terlelap jua. Hidup gemerlap di bawah pendaran lampu tanpa
sedikitpun mau bertanya pada rumput dan sapuan ombak tentang tujuan
hidup dan kehidupan. Mencari kepuasan duniawi tanpa menghiraukan jeritan
batin dalam kalbu meratap. Sebagai orang yang sadar, ia harus berjuang.
Membangunkan mereka adalah keharusan. Maka, pedang kehidupan adalah
kewajiban.
Kochi mengabdikan hidupnya demi mencari pedang tersebut. Orang lain,
mengabdi setulus mungkin lewat penghormatan kepada pendekar Kochi.
Dilewati oleh Kochi adalah berkah bagi mereka. Tertunduklah tanpa berani
mendongak ke atas semua rakyat tersebut. Kochi, sebagai pendekar merasa
berlebihan. Tapi rakyat ngotot. Ya sudah. Sebesar itu hormat rakyat
seluruh dunia kepada Kochi maka semakin tegaslah tekad Kochi menemukan
pedang kehidupan itu. Sebuah desa akan dikunjungi Kochi selama satu
bulan. Semua tempat yang berpotensi di tempat oleh pedang akan
ditelusuri. Segenap wagra membantu. Di semak, di atas pohon, di tebing,
di pesisir pantai, di gunung, di pemandian bahkan di goa terdalam
sekalipun ia telusuri untuk sekadar menghirup jejak si pedang kehidupan.
Semakin hebatlah kemampuan Kochi dan semakin jauhlah ia dari tanda
keberadaan pedang tersebut. Kochi tidak putus arah. Di desa selanjutnya,
ia bongkar semua bangunan tak ada guna. Semua. Tak ada tanda. Dibacanya
semua dongeng dan cerita detektif yang berkaitan dengan pedang. Di
batu, di bawah pot, di ruang rahasia, di brangkas, dan di tempat lain
yang tertera di cerita itu ia jelajahi. Tapi nihil selalu bergelayut
manja. Lumut akhirat semakin melebarkan senyum menanti keputusasaan
warga yang tiada kunjung berhasil membantu Kochi. Warga bimbang, lumut
senang.
Tak terasa hampir semua desa telah dijelajahi Kochi. Hampir semua
tempat yang di dalam bahkan di luar akal sehat telah dilingkupi. Hampir
semua motivasi telah di beri tapi hasil tiada menanti. Tinggal dua desa
yang belum ia kunjungi. Harapanpun tidak banyak dari dua desa itu. Desa
itu sangat kuno, dan jarang penghuni serta angker. Lagi pula,
prajuritnya tinggal sepertiga. Sisanya, di lahap lumut akhirat dengan
leluasa.
Gerombolan orang sudah menanti di desa tujuan. Berharap sesuatu yang
bahkan mereka tidak sadari. Pencarian pedang kehidupan dari pendekar tak
berpedang belum berakhir. Lebih tepatnya, belum di mulai karena tiada
secuil petunjukpun yang lepas landas dan tertangkap otak. Kehormatan
Kochi semakin besar atas dedikasinya. Bahkan, untuk menatap langsung
badannya orang lain ragu. Takut. Gelisah. Tak enak, dll. Prajurit mulai
berpencar ke penjuru arah. Kochi berjalan di antara kerumunan warga yang
menunduk mengahturkan hormat. Di sana, seorang ayah dan anaknya yang
masih seumuran jagung meringkuk. Memuja.
“Yah.. ada sesu..” belum sempat anak itu menyelesaikan frase kata
terakhir si ayah bangkit. Secepat kilat membanting wajah anaknya untuk
hormat dan menghadap tanah. Sempat si penjaga Kochi menoleh dan berlalu.
Sang ayah menghembuskan nafas lega.
“Jangan biarkan dirimu mati seperti Ibu. Hormat dan menunduk. Kita hanya rakyat!” bisik sang ayah.
Sang anak bergelinang tangis. Belum sempat ia bicara. Padahal ia hanya ingin bilang kepada pendekar Kochi
“Pendekal, ada sebuah pedang di punggung anda. Awas nanti bisa jatuh.
Pedang itu bersinal. Melah lagi” tapi ketakutan akan kehilangan anaknya
telah menghantui ayahnya. Membatalkan perkataan itu. Sang anak lebih
memilih untuk diam. Membisu. Lidahnya telah terpotong secara tidak
sengaja akibat bantingan ayah. Di jepit gigi, tepatnya. Sementara,
pendekar Kochi masih melanjutkan pencarian dengan sisa asa dan lentera
dalam diri. Menuju ke desa terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar