Senin, 23 Maret 2015

Pedang Kehidupan

Bocah itu bernama Kochi, hanya Kochi. Banyak orang mengalamatkan pertanyaan prihal nama itu. Kochi membisu. Mana sempat ia bersapa apa lagi bertanya prihal asal-usul namanya, orang tuanya saja ia tidak ingat. Sekelebat ingatan yang berhubungan dengan orang tuanya hanyalah tentamg sapuan angin. Malam itu, orang tua Kochi bertranformasi menjadi angin. Bebas. Terbang. Terbenam. Ayahnya, seorang pendekar pedang hebat. Begitu pula Kochi. Sejak usia belia ia telah berusaha mempertajam indranya untuk menebas. Menebas semua termasuk rasa rindu akan pelukan Ibu yang tak pernah ia rasa dalam ingatan.
Kochi berlatih dengan seorang guru, guru Ching. Guru Ching sudah uzur. Sebentar lagi nyawanya akan lapuk di makan lumut akhirat. Lumut akhirat itu hebat. Lebih hebat dari lumut apapun. Tapi, lumut biasapun hebat. Batu raksasa dibinasakan dengan perlahan. Akan tetapi, lumut akhirat jauh lebih hebat. Nyawa yang di buat dari unsur tak terkenali bisa dihancurkan dengan akarnya.
“Bagaimana lumut itu hidup?”
“Sesuatu yang kau sebut dosa.” Jawab guru Ching singkat.
Usia uzurnya sedikit membendung ketajaman pedang guru Ching. Lumut akhirat yang pernah di tebasnya beberapa kali kini bersarang di tubuh rentanya. Kochipun diajarinya menebas lumut itu. Dipinjaminya Kochi sebilah pedang bambu. Singkat kata, guru Ching meninggal. Lumut akhirat itu terlihat menggerogoti tubuh guru Ching. Kochi terhenyak. Nelangsa singkat yang ia taburkan dalam sepi terbungkus haru. Memangku jasad gurunya yang segera dikebumikan. Sangat segera.
Lumut akhirat itu, musuh utamanya. Maka ia memutuskan untuk keluar dari tempat guru Ching. Menebas ibu lumut akhirat adalah ambisi hidupnya. Itu kali pertama ia keluar dan berinteraksi langsung bersama makhluk yang biasa dikenali gurunya dengan sebutan manusia. Termasuk dirinya. Terkejut bukan main batin Kochi. Belum dua langkah ia keluar dari pintu utama ia sudah bertemu manusia lain. anehnya, manusia itu memelihara lumut akhirat. Di sekujur tubuhnya. Di mata. Di hidung. Di mulut. Di banyak tempat. Baunya tersebar ke seluruh atmosfer hutan dan jalan setapak. Tapi, orang itu tidak risih, aneh.
Semenjak berkelana, Kochi telah berusaha membiasakan diri dengan manusia berlumut akhirat itu. Bahkan, ada beberapa orang yang otaknya telah digerogoti lumut akhirat. Bagian reproduksinya berlumut akhirat. Punhalnya dengan hati dan jantung. Tapi, yang membuat Kochi heran, orang tersebut bisa di panggil dengan sebutan mewah, “Pak Presiden”. Kebingungan yang kian memuncak semakin menaikkan nafsu Kochi untuk mendapat pedang kehidupan. Konon, pedang tersebut bersinar dan warna merah adalah cirinya. Lumut akhirat bukan halangan berarti bagi pedang kehidupan itu.
“Seperti memotong roti dengan gergaji” istilah yang selalu almarhum kakeknya utarakan. Betapa mahanya pedang itu. Kesulitan mengalahkan pedang itu mirip dengan kesulitan mencarinya. Hanya pendekar pedang terpilih yang bisa memegang dan mengayunkannya. Pendekar sekaliber almarhum guru Chingpun tidak berkesempatan bahkan untuk melihatnya saja. Untungnya, Kochi tidak sedikitpun mengalami degradasi semangat prihal semua itu.
Kakeknya pernah bercerita untuk menemukan pedang itu Kochi harus pergi ke puncak gunung tertinggi yang bisa diloncati oleh semut di depan sana. Bingung. Kochi memutuskan untuk menelusuri desa demi desa. Desa pertama yang ia kunjungi memiliki seorang ahli pedang. Membutuhkan 3 tahun untuk megalahkan ahli pedang tersebut. ia harus melawan ahli pedang itu di hutan bambu. Berkali-kali ia terluka. Bekas luka itu bak cat merah yang sengaja ditumpahkan di atas tubuh. Kesakitan sudah menjadi teman seperjuangannya.
Di desa selanjutnya ia bertemu ahli pedang yang dapat menggunakan delapan pedang sekaligus. Ia harus melawan dengan tengan kosong, sama seperti sebelumnya. Setiap pukulan yang ia sarangkan di balas dengan tebasan dua pedang, minimal. Satu pukulan dari dirinya sendiri bisa membuat jarinya hampir putus termakan pedang. Sungguh kasihan Kochi. Sementara, di desa berbagai wabah penyakit bermunculan. Segala jenis dukun tidak pernah dapat ketenangan. Antrean pasien selalu menjulang. Padalah semua itu akibat lumut akhirat. Kejam.
Alkisah, dengan tubuh sobek-sobek kochi berhasil mengalahkan pendekar berpedang delapan itu. Kemampuan pedangnya kali ini sudah di atas rata-rata pendekar pedang. Hebat.
Di desa selanjutnya, Kochi harus berhadapan dengan pendekar pedang muda. Melihat keunggulan fisik, kochi meninggi, sang pendekar merendah. Sebuah pukulan coba di buat Kochi. Seketika itu juga tebasan pedang sang pendekar melaju. Cepat. Ketat. Aneh, tebasan tersebut tidak sakit sama sekali. Kochi tidak terluka, tapi ia terpental. Rumah pendekar yang terletak di puncak bukit bersalju jadi tembok terbesar. Terhitung sudah ratusan kali Kochi mendaki bukit itu. Dua menit, ia akan terpental dan mulai mendaki lagi. sementara, wabah lumut akhirat terus menjulang dan pedang kehidupan adalah penawarnya. Satu-satunya. Dan, para pendekar lain tidak sadar. Aneh.
Peluh bak lelehan air mata di tengah kematian. Membungkus kalbu meninggalkan asa. Asanya untuk menebas lumut akhirat. Hanya itu! Panjatan ke tiga ratus begitu berat bagi Kochi. Kakinya bak tak bertulang. Tangannya tidak dapat menggapai angin, hanya gontai tak berjiwa. Matanya hanya melihat oase pedang kehidupan. Nanar. Hilang sudah semua keinginan, hasrat. Bersama itu ketakutan sirna, hanya pasrah. Tebasan pedang pendekar itu terasa dekat dan segera akan mementalkannya, lagi. “jraash” darah segar mengucur. Kochi tidak terpental. Ia bangkit. Sadar. Pedang itu tidak mempan ketika pikiran kosong. Pelajaran bertarung dengan pikiran kosong sangat sulit. Tapi, Kochi berhasil menang, lagi. Luka Kochi tidak dapat didefinisikan oleh mesin pendefinisi sekaliber apapun. Mengerikan.
Setelah itupun masih setumpuk pendekar yang harus dihadapi kochi. Ada yang berpedang angin, ada yang bisa menghilang ada yang bisa terbang. Macam-macam. Luka adalah keharusan. Penjahit wajib tertusuk duri, pandai besi wajib terkena besi panas dan kiper wajib kemasukkan goal. Sewajib itu, seharus itu. Tebasan pedih penakluk asa sudah jadi rutinitas kehidupan dunia. Pendekar berpedang angin itu harus ia lawan dengan kekuatan pikiran. Orang biasa tidak akan bisa melihat pedang itu. Ia juga, sebelumnya. Mata terpejam membantunya melihat wujud pedang angin dan mengalahkan sang empunya pedang. Luka, jangan di tanya lagi. apa lagi soal waktu. Saking banyaknya pendekar yang dikalahkan, tidak ada detail ingatan yang masih menyimpan cara mengalahkan dan triknya.
Setelah itupun masih banyak yang perlu ia lakukan. Mencari pemimpin besar, berbicara dan di tendang. Hingga, sekarang ia di kenal oleh semua orang. Dari nenek-nenek yang tergeletak tak berdaya di kedalaman hutan paling dalam hingga bos-bos berdasi kupu-kupu pemakan uang rakyat. Semua mengenalnya. Semua hormat padanya. Kochi terkenal sebagai pendekar pedang hebat. Pendekar pembawa ketentraman dan penakluk kejahatan. Kecuali lumut akhirat yang belum dapat dikalahkan Kochi. Nenek dan bos tadi, tidak lepas dari terjangan lumut akhirat. Seluruh badannya, kecuali organ merupakan lumut akhirat. Menjijikkan. Lumut itu bagaikan lumpur hijau yang lengket dan menghisap alam pikiran serta kewarasan manusia. Lendirnya menetes di setiap senti jalan yang dilalui pemiliknya. Semua penuh dengan lendir. Dari got-got tempat tikus jalanan, aspal borongan, gedung DPR hingga gedung presiden tak luput dari keberadaan lendir itu. Lendir yang telah mengering. Baunya mengernyitkan hidung untuk memohon kehilangan reseptor baunya. Sungguh menyengat. Semua itu hanya disadari Kochi seorang. Cukup ia saja.
Orang sudah terbiasa. Kali ini, dengan lendir dan bau menyengat itupun tak acuh jua mereka. Baru saja Kochi melihat sepasang kekasih, dengan lumut akhirat di tubuhnya, saling bermesraan dengan sepiring mie di depannya. Lendir itu, menetes bercampur dengan kuah dan bumbu mie. Terserap, dan merasuk ke dalam tubuh untuk menjadi tenaga. Tenaga negatif. Mereka tak jijik, tak hirau bahkan tak tahu!
Bosan sudah Kochi mengetahui penderitaan implisit dari warga yang masih terlelap jua. Hidup gemerlap di bawah pendaran lampu tanpa sedikitpun mau bertanya pada rumput dan sapuan ombak tentang tujuan hidup dan kehidupan. Mencari kepuasan duniawi tanpa menghiraukan jeritan batin dalam kalbu meratap. Sebagai orang yang sadar, ia harus berjuang. Membangunkan mereka adalah keharusan. Maka, pedang kehidupan adalah kewajiban.
Kochi mengabdikan hidupnya demi mencari pedang tersebut. Orang lain, mengabdi setulus mungkin lewat penghormatan kepada pendekar Kochi. Dilewati oleh Kochi adalah berkah bagi mereka. Tertunduklah tanpa berani mendongak ke atas semua rakyat tersebut. Kochi, sebagai pendekar merasa berlebihan. Tapi rakyat ngotot. Ya sudah. Sebesar itu hormat rakyat seluruh dunia kepada Kochi maka semakin tegaslah tekad Kochi menemukan pedang kehidupan itu. Sebuah desa akan dikunjungi Kochi selama satu bulan. Semua tempat yang berpotensi di tempat oleh pedang akan ditelusuri. Segenap wagra membantu. Di semak, di atas pohon, di tebing, di pesisir pantai, di gunung, di pemandian bahkan di goa terdalam sekalipun ia telusuri untuk sekadar menghirup jejak si pedang kehidupan. Semakin hebatlah kemampuan Kochi dan semakin jauhlah ia dari tanda keberadaan pedang tersebut. Kochi tidak putus arah. Di desa selanjutnya, ia bongkar semua bangunan tak ada guna. Semua. Tak ada tanda. Dibacanya semua dongeng dan cerita detektif yang berkaitan dengan pedang. Di batu, di bawah pot, di ruang rahasia, di brangkas, dan di tempat lain yang tertera di cerita itu ia jelajahi. Tapi nihil selalu bergelayut manja. Lumut akhirat semakin melebarkan senyum menanti keputusasaan warga yang tiada kunjung berhasil membantu Kochi. Warga bimbang, lumut senang.
Tak terasa hampir semua desa telah dijelajahi Kochi. Hampir semua tempat yang di dalam bahkan di luar akal sehat telah dilingkupi. Hampir semua motivasi telah di beri tapi hasil tiada menanti. Tinggal dua desa yang belum ia kunjungi. Harapanpun tidak banyak dari dua desa itu. Desa itu sangat kuno, dan jarang penghuni serta angker. Lagi pula, prajuritnya tinggal sepertiga. Sisanya, di lahap lumut akhirat dengan leluasa.
Gerombolan orang sudah menanti di desa tujuan. Berharap sesuatu yang bahkan mereka tidak sadari. Pencarian pedang kehidupan dari pendekar tak berpedang belum berakhir. Lebih tepatnya, belum di mulai karena tiada secuil petunjukpun yang lepas landas dan tertangkap otak. Kehormatan Kochi semakin besar atas dedikasinya. Bahkan, untuk menatap langsung badannya orang lain ragu. Takut. Gelisah. Tak enak, dll. Prajurit mulai berpencar ke penjuru arah. Kochi berjalan di antara kerumunan warga yang menunduk mengahturkan hormat. Di sana, seorang ayah dan anaknya yang masih seumuran jagung meringkuk. Memuja.
“Yah.. ada sesu..” belum sempat anak itu menyelesaikan frase kata terakhir si ayah bangkit. Secepat kilat membanting wajah anaknya untuk hormat dan menghadap tanah. Sempat si penjaga Kochi menoleh dan berlalu. Sang ayah menghembuskan nafas lega.
“Jangan biarkan dirimu mati seperti Ibu. Hormat dan menunduk. Kita hanya rakyat!” bisik sang ayah.
Sang anak bergelinang tangis. Belum sempat ia bicara. Padahal ia hanya ingin bilang kepada pendekar Kochi
“Pendekal, ada sebuah pedang di punggung anda. Awas nanti bisa jatuh. Pedang itu bersinal. Melah lagi” tapi ketakutan akan kehilangan anaknya telah menghantui ayahnya. Membatalkan perkataan itu. Sang anak lebih memilih untuk diam. Membisu. Lidahnya telah terpotong secara tidak sengaja akibat bantingan ayah. Di jepit gigi, tepatnya. Sementara, pendekar Kochi masih melanjutkan pencarian dengan sisa asa dan lentera dalam diri. Menuju ke desa terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar