Aku terbangun di pagi itu dengan penuh kedamaian. Ku dengar kicau
burung dan mentari menambah hangat sambutan pagi. Aku Silvia, umurku 17
tahun sekarang. Ibuku seorang single parent. Ya, ayahku sudah di panggil
yang maha kuasa ketika umurku masih 4 tahun. Segera aku bangun dan
menuju ke kamar mandi, setelah itu memakai baju seragam, dan keluar dari
kamarku. Aku menengok ibu yang sedang menyiapkan dagangannya.
“Nak, sarapan dulu. Tuh makanannya udah Ibu siapin di atas meja,” kata Ibu.
“Iya, makasih ya bu,” jawabku sambil tersenyum.
Seselesainya aku sarapan, ku pakai sepatuku, kemudian pamit pada ibu.
“Bu, Silvi pergi dulu ya. Assalamu’alaikum,” aku pamit pada Ibu sambil mencium tangannya.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan ya nak,” kata Ibu. Kalimat itu selalu Ibu ucapkan sebelum aku pergi sekolah.
Hari itu aku tidak merasakan hal yang aneh. Semua sama seperti
biasanya. Namun hal yang mengejutkan terjadi ketika aku pulang sekolah.
Ibuku tidak ada di rumah, tetanggaku bilang beliau di bawa ke rumah
sakit. Aku tertegun menganga tidak percaya. Beribu pertanyaan muncul di
pikiranku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung meluncur ke rumah sakit
tempat Ibu dilarikan. Setelah lama menunggu hasil pemeriksaan, ternyata
dokter memvonis Ibuku terkena penyakit kanker otak stadium tiga.
“Ya Allah, kenapa jadi seperti ini? Sejak kapan Ibu mengidap penyakit
ini?” gumamku. Tak terasa air mata mengalir di pipi, jantungku seakan
berhenti berdetak.
Mulai dari hari itu aku memutuskan untuk mandiri, menyiapkan segala
sesuatu dengan tanganku sendiri. Aku juga menggantikan Ibu berjualan.
Suatu hari aku menanyakan satu hal kepada Ibu.
“Bu, ada yang mau Silvi tanya nih,” kataku memulai pembicaraan.
“Mau nanya apa, nak?” kata Ibu.
“Silvi kan udah kelas tiga, sebentar lagi Silvi lulus dari SMA dan
insya’Allah ngelanjutin ke perguruan tinggi. Kira-kira nanti Ibu mau
Silvi ngelanjutin kemana?” tanyaku.
“Kalo bisa, nanti Ibu mau kamu lanjut ke Universitas Indonesia,” jawab Ibu.
“Ya udah, Silvi bakal usahain semaksimal mungkin untuk mengabulkan
permintaan Ibu. Silvi akan usaha keras mulai dari sekarang,” ujarku
dengan senyum dan nada optimis.
Mulai dari hari itu, dengan giat aku belajar dan berusaha untuk
mewujudkan permintaan Ibu, serta tidak lupa aku selalu berdo’a. Di
samping itu aku juga dengan sabar menggantikan Ibu berjualan setelah
pulang sekolah.
Waktu terus berlalu, tanpa terasa aku sudah sampai di “Penghujung Putih
Abu-abu”, hari ini aku akan menerima pengumuman kelulusan. Alhamdulillah
aku lulus dengan hasil yang memuaskan.
“Ibu, Silvi lulus, hasilnya juga memuaskan. Nilai Silvi yang paling
besar di sekolah,” aku berteriak sambil berlari dari depan pintu.
“Alhamdulillah ya, Silvi. Ibu seneng dengernya,” Ibu merespon.
Raut kegembiraan terpancar dengan sangat jelas di wajahnya, seakan-akan beliau lupa akan penyakit yang diidapnya.
Sekarang targetku tinggal 1 lagi, masuk ke Universitas Indonesia.
Semua berkas dan formulir pendaftaran ke Universitas Indonesia sudah di
urus dan di kirim. Aku tinggal menunggu hasil. Aku menunggu dengan
harap-harap cemas.
Akhirnya hari itu datang juga. Dari pagi aku sudah bersiap untuk
melihat hasil kelulusan di universitas tersebut. Selama di perjalanan
ritme detak jantungku tidak karuan, rasanya jantungku hampir lepas. Aku
mendekati papan pengumuman dengan perasaan tak karuan. Ku urut jariku di
daftar nama peserta yang diterima, betapa terkejutnya aku ketika
melihat namaku di urutan ketiga, Silvia Pratiwi.
Tak sabar aku ingin kembali ke rumah untuk memberitahukan berita ini kepada Ibu. Aura senang dari beliau sudah bisa kubayangkan.
“Ibu, Ibu, Silvi berhasil! Silvi masuk ke Universitas yang Ibu mau,
Universitas Indonesia. Silvi juga ada di urutan ketiga,” seruku dengan
senyum sumringah.
“Alhamdulillah, nak. Akhirnya permintaan Ibu yang terakhir bisa kamu
penuhi. Semoga kelak kamu juga bisa jadi yang terbaik disana,” ujar Ibu
dengan nada pelan.
Binar di mata Ibu langsung nampak, beliau kelihatan bangga. Tetapi,
entah mengapa aku merasakan sebuah getaran yang berbeda ketika ku tatap
sorot matanya, dan ketika ku dengar kalimat itu. Aku hanya mengangguk
dan tersenyum.
“Oh iya, Silvi pergi jualan dulu ya bu,” kataku.
“Ya sudah, hati-hati di jalan ya,” jawab Ibu. Pesan terakhir itu memang tak pernah lupa beliau sampaikan.
Dengan santainya aku berjalan mengelilingi komplek, menjajakan barang
daganganku. Setelah daganganku habis, langsung saja aku pulang ke
rumah. Tapi tiba-tiba aku menyaksikan pemandangan yang tidak biasa.
Bagaimana tidak, saat itu rumahku ramai dan ku lihat sebuah bendera
kuning dikibarkan di depan rumahku. Tanpa banyak berpikir, aku berlari
ke dalam rumah. Betapa hancur hatiku ketika melihat orang yang paling ku
sayang sudah terbujur kaku. Seketika tangisku pecah saat itu juga, ku
peluk dan ku cium kening Ibu untuk yang terakhir kalinya. Jujur,
kesedihan yang tak terbendung melandaku saat itu. Tapi di sisi lain, aku
juga merasa cukup puas, karena di detik-detik terakhirnya aku bisa
membuat beliau tersenyum dan bangga akanku. Inilah bentuk abdiku
untukmu, IBU.. :’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar