Senin, 23 Maret 2015

Sekuntum Bunga Kamboja

Mengayuh sepeda tua berpuluh-puluh mil jauhnya, bersandar di bahu angin jalanan yang panas, berkelok-kelok medan terjal dan sekarung beras mengiringi kayuhan sepeda tuanya.
Pagi buta menyambar keriputnya kulit bapak hari itu, seolah tak heran dengan kebiasaannya membangunkanku dengan ketukan pintu pada pukul 3 pagi, inilah rutinitas keluarga kami pada saat fajar menjemput. Ya, mencari batu kali yang tak seberapa untuk menambal beban hidup.
Angin semilir menusuk ragaku yang masih ngantuk mengharuskanku untuk pegi ke kali mencari batu untuk di jual, ini sebenarnya pekerjaan selingan bapak disamping ngebecak, tapi bapak kali ini sedang tak enak badan dan harus mengantarkan batu yang sudah di kumpulkan ke kota untuk di jual sembari menarik becak, kebetulan mbak mus tetangga kami juga hendak ke kota jadi bapak sudah bawa penumpang dari rumah, ‘setidaknya pagi-pagi sudah bawa rejeki’ ucap bapak. Bergelut dengan keadaan mengharuskanku untuk tetap tegar, melihat bapak yang sudah tidak muda lagi harus menanggung ini semua tanpa ibu berada di sisi kami. Tanpa keluhan yang mendalam bapak rela menjalani ini semua demi kebahagiaan anak-anaknya.
“kuliahmu bagaimana?” bapak selalu bertanya seperti itu ketika bapak hendak pergi ke kota.
“Baik kok pak, gak ada masalah.” Ucapku sembari melihat wajah bapak yang kendur.
“Inget amanat bapak, kamu harus jadi anak yang jujur, pintar, bapak ndak mau kamu sekarang menyepelekan kuliahmu ini, sekolah itu mahal ndo jadi belajar yang benar!”
“iya” ucapku sedikit berat.
Aku kuliah di universitas Negeri, bapak ingin sekali aku menjadi seorang guru, walaupun agak mahal menurut bapak yang hanya tukang becak tapi bapak sanggup membiayai kuliahku saat ini karena bapak yakin jika dengan kerja keras semuanya akan menjadi mungkin.
Libur pekan ini aku manfaatkan untuk membantu bapak walaupun hanya sekedar mencari batu di kali, biasanya kalau sudah terkumpul bapak menjualnya ke kota, tak hanya itu usaha bapak, disamping narik becak, ia juga sering ngangon. Kami punya 2 ekor domba, domba-domba ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat bapak miliki. bapak susah payah dari dulu mengumpulkan uang untuk membeli domba-domba ini. Bapak orang tua yang cerdas, ia tidak mau direndahkan oleh orang lain, makanya kerja keraslah yang bisa ia lakukan.
Mencari rumput-rumput liar di sore hari untuk makanan domba-domba kelaparan, pulang malam hari dengan membawa sekeranjang daun hijau, memberi makan domba dengan di temani lampu kuning temaram bapak lakukan hampir setiap hari. Adikku Ardi yang masih kecil kadang-kadang sering membantu bapak mencari rumput jika bapak belum pulang narik becak.
Aku tak sanggup melihat bapak yang terlalu memaksa menyekolahkanku, apalagi bapak sekarang tidak muda lagi, sering sakit-sakitan, sudah tua, sudah rapuh, makanya aku semester ini sedang giat-giatnya mengejar beasiswaku agar bisa mengurangi beban bapak.
Secangkir teh manis ditemani singkong goreng buatanku menemani malam kami yang teduh, indah, damai, bersama bapak dan Ardi.
“besok aku berangkat pagi-pagi sekali pak, soalnya mbak indah ada pesanan banyak dari yang hajatan jadi harus bikin kue pagi-pagi, karena siang harus segera diantarkan. Wis, bapak ndak usah narik sekarang, bapak sakit, istirahatlah barang satu hari.” Ucapku mengawali pembicaraan.
“bapak ndak apa-apa, Cuma sakit kepala sedikit nanti juga hilang sendiri Lis. Ya sudah kamu tidur biar besok tidak kesiangan, dan kamu Ardi besok kan sekolah cepat tidur bareng kakakmu bapak sebentar lagi nyusul.”
Bapak selalu begitu, rasa sakit rupanya tak ia hiraukan. Aku tahu bapak sangat menyayangi kami, dan bahkan bapak sangat menyayangi ibu begitu juga kami.
Aku rasa aku belum ngantuk tapi aku sudah memejamkan mataku karena bapak menyuruhku untuk tidur. Terdengar dari sela-sela bilik buluk menerobos masuk ke dalam kamar butut tempat aku biasa tidur. Bapak rupanya sedang menatapi foto ibu yang sudah kuning kecoklatan dan sudah rapuh dimakan tikus.
“yanti, anakmu sudah besar, aku menyekolahkan Lisna ke keguruan seperti maumu, aku sudah tua, sudah tak sanggup lagi mengayuh sepeda becakku jauh-jauh, Ardi sering membantuku mencari rumput, mereka anak-anak yang soleh solehah…”
“…Yanti, aku ingin menyusulmu tapi bagaimana nasib anak-anak jika tiada aku di sampingnya? Andai…” air mata bapak tak terbendung, bapak menangis dengan hati sakit smbil terus menatap foto ibu.
“…Andai kamu ada disini, bersama kita, pasti kami tidak kesepian… sebenarnya aku sudah tidak kuat.” Bapak terus menangis, tangisan yang ditahan-tahan membuat bapak sesegukan, karena aku tahu bapak tidak ingin kami tahu dengan keadaan bapak saat ini.
Tubuh renta dan rintihannya membuat hatiku hancur. Bapak memang tidak pernah mengeluhkan sakitnya itu, tapi aku tahu bapak sedang sakit, bapak selalu saja bilang tidak apa-apa, disuruh ke dokter saja tidak mau. Bapak memang keras kepala.
Pagi buta bapak sudah mengutak-atik becak bututnya itu, aku baru saja membuka mata dan sepertinya ini masih jam empat subuh. Bapak, bapak, memang tidak kenal lelah.
“pak, bapak jam segini sedang apa? Ini masih pagi loh pak, bapa mau narik lagi? gak mau mendengarkan apa kata Lisna to?” aku bertanya lembut pada bapak.
“ini Lis, becak bapa remnya agak blong jadi harus di perbaiki. Bapak izin narik setengah hari saja ya Lis, soalnya kan Ardi minta baju seragam baru, lagian di rumah bosan ndak ada kerjaan, wong bapak bukan orang kaya jadinya jenuh kalo ndak bekerja keras. hahaha” celotehan bapak ini ada-ada saja.
Sekitar pukul lima aku berangkat ke rumah mbak Indah, aku bekerja sampingan membuat kue, lumayan hasilnya bisa bantu biaya kuliah. Pagi itu Ardi sedang sarapan dan bapak siap-siap mau narik. Setiap bapak mau pergi, bapak selalu mengelus-elus kepala kami, tenang rasanya, bapak benar-benar ayah yang hebat.
Sekantung keresek plastik hitam nampak digantung di paku dekat jendela ruang makan. Ah bapak membelikan Ardi baju seragam dan aku kerudung, sempat-sempatnya bapak membelikan kami pakaian.
“Lis, bapak punya tanaman ini. Nanti kamu tanam di rumah bapak yah.” Suara lembut itu mengagetkanku yang sedang asik mencoba kerudung pemberian bapak.
“eh, iya pak? Bapak bicara apa tadi? sejak kapan bapak suka dengan tanaman?”
“Ndak, bapak Cuma ingin nanti rumah bapak wangi, indah. Tapi itu nanti, ini tak taro dulu di halaman belakang jangan dulu di tanam di tanah, tunggu sampai berbunga saja di polibag.” Bapak ini kadang-kadang suka ngawur, aku tidak paham dengan apa yang dibicarakan oleh bapak.
Satu minggu berlalu, aku mulai masuk kuliah, ya terpaksa harus meninggalkan bapak dan Ardi sementara karena aku ngkost di kota. Berat rasanya walaupun hanya seminggu karena setiap akhir pekan aku menyempatkan untuk pulang.
Tiga hari di kota rasanya tiga tahun, karena jauh dari bapak dan Ardi. Entah kenapa hati ini selalu bimbang, mungkin karena bapak akhir-akhir ini selalu sakit-sakitan. Beberapa malam aku selalu merenungkan kehidupanku bersama Bapak dan Ardi, sungguh ironis tak ada Ibu di samping kami.
Kring..
Dilihat handphone monokrom milikku dan satu pesan dari bapak. ‘Lis, bapak ingin nanti kamu pulang pakai kerudung dari bapak, dan jangan lupa itu tanaman nanti kau urus yah, rupanya sudah mau berbunga. Belajar dengan rajin jangan main terus!’ rupanya bapak meminjam ponsel mbak Nuh tetangga kami, di keluarga kami memang hanya aku saja yang memegang ponsel, itu juga karena kebutuhan bukan karena gaya seperti remaja-remaja gaul pada umumnya.
‘Bapak, semuanya akan aku sembahkan untuk bapak. Aku sekolah juga untuk bapak dan Ardi, mana mungkin aku tidak patuh.’
Pagi yang sangat cerah di kota Magetan, angin sepoi-sepoi menyelusup melewati sela-sela kaca mengelus-elus tubuhku yang terlelap tidur semalam.
Kring… kring…
Handphone butut itu berbunyi lagi.
“hallo”
“Lis kamu cepat pulang, bapakmu…”
2 jam perjalanan dengan muka semrawut, kepala pusing karena dikagetkan oleh telepon mbak indah. raga masih di Magetan tetapi Jiwa sudah di rumah, tak lupa kerudung dari bapak aku pakai.
Bapak dengan lemah terbujur kaku tak berdaya, dibalut kain putih beraromakan melati, harum semerbak. Hati ini bagaikan disambar petir, di cabik-cabik sampai ke tulang rusuk melihat Bapak tampan, putih berseri.
Rupanya ini pesan terakhir dari bapak, rupanya ini bunga yang dipilih bapak untuk menemani istirahat panjangnya.
Dan aku tanam setangkai bunga kamboja putih ini di rumah abadi Bapak, bunga yang baru mekar menyambut roh lelaki tua paruh baya yang beriman. Tidurlah dengan tenang di sisi Tuhan bapakku tersayang, Anak-anakmu baik-baik saja. Aku tak kuasa menahan titik-titik air yang sudah memenuhi kelopak mata, tumpah ruahlah semua air mata, deras menetes di pusaran bapak tercinta. Lembayung senjapun melukiskan betapa pedih kehidupanku, dan detik ini juga aku bertekad, kelak aku akan tiada dengan kebahagiaanku. Aminn…
‘Salam Rindu… Ayah’
Biarkan kata-kata itu terbang, terbawa angin, semilir menyelusup liang-liang bawah tanah, naik ke syurga bersama dengan rinduku padamu wahay penikmat surgawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar