Mengayuh sepeda tua berpuluh-puluh mil jauhnya, bersandar di bahu
angin jalanan yang panas, berkelok-kelok medan terjal dan sekarung beras
mengiringi kayuhan sepeda tuanya.
Pagi buta menyambar keriputnya kulit bapak hari itu, seolah tak heran
dengan kebiasaannya membangunkanku dengan ketukan pintu pada pukul 3
pagi, inilah rutinitas keluarga kami pada saat fajar menjemput. Ya,
mencari batu kali yang tak seberapa untuk menambal beban hidup.
Angin semilir menusuk ragaku yang masih ngantuk mengharuskanku untuk
pegi ke kali mencari batu untuk di jual, ini sebenarnya pekerjaan
selingan bapak disamping ngebecak, tapi bapak kali ini sedang tak enak
badan dan harus mengantarkan batu yang sudah di kumpulkan ke kota untuk
di jual sembari menarik becak, kebetulan mbak mus tetangga kami juga
hendak ke kota jadi bapak sudah bawa penumpang dari rumah, ‘setidaknya
pagi-pagi sudah bawa rejeki’ ucap bapak. Bergelut dengan keadaan
mengharuskanku untuk tetap tegar, melihat bapak yang sudah tidak muda
lagi harus menanggung ini semua tanpa ibu berada di sisi kami. Tanpa
keluhan yang mendalam bapak rela menjalani ini semua demi kebahagiaan
anak-anaknya.
“kuliahmu bagaimana?” bapak selalu bertanya seperti itu ketika bapak hendak pergi ke kota.
“Baik kok pak, gak ada masalah.” Ucapku sembari melihat wajah bapak yang kendur.
“Inget amanat bapak, kamu harus jadi anak yang jujur, pintar, bapak ndak
mau kamu sekarang menyepelekan kuliahmu ini, sekolah itu mahal ndo jadi
belajar yang benar!”
“iya” ucapku sedikit berat.
Aku kuliah di universitas Negeri, bapak ingin sekali aku menjadi
seorang guru, walaupun agak mahal menurut bapak yang hanya tukang becak
tapi bapak sanggup membiayai kuliahku saat ini karena bapak yakin jika
dengan kerja keras semuanya akan menjadi mungkin.
Libur pekan ini aku manfaatkan untuk membantu bapak walaupun hanya
sekedar mencari batu di kali, biasanya kalau sudah terkumpul bapak
menjualnya ke kota, tak hanya itu usaha bapak, disamping narik becak, ia
juga sering ngangon. Kami punya 2 ekor domba, domba-domba ini
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat bapak miliki. bapak susah
payah dari dulu mengumpulkan uang untuk membeli domba-domba ini. Bapak
orang tua yang cerdas, ia tidak mau direndahkan oleh orang lain, makanya
kerja keraslah yang bisa ia lakukan.
Mencari rumput-rumput liar di sore hari untuk makanan domba-domba
kelaparan, pulang malam hari dengan membawa sekeranjang daun hijau,
memberi makan domba dengan di temani lampu kuning temaram bapak lakukan
hampir setiap hari. Adikku Ardi yang masih kecil kadang-kadang sering
membantu bapak mencari rumput jika bapak belum pulang narik becak.
Aku tak sanggup melihat bapak yang terlalu memaksa menyekolahkanku,
apalagi bapak sekarang tidak muda lagi, sering sakit-sakitan, sudah tua,
sudah rapuh, makanya aku semester ini sedang giat-giatnya mengejar
beasiswaku agar bisa mengurangi beban bapak.
Secangkir teh manis ditemani singkong goreng buatanku menemani malam kami yang teduh, indah, damai, bersama bapak dan Ardi.
“besok aku berangkat pagi-pagi sekali pak, soalnya mbak indah ada
pesanan banyak dari yang hajatan jadi harus bikin kue pagi-pagi, karena
siang harus segera diantarkan. Wis, bapak ndak usah narik sekarang,
bapak sakit, istirahatlah barang satu hari.” Ucapku mengawali
pembicaraan.
“bapak ndak apa-apa, Cuma sakit kepala sedikit nanti juga hilang sendiri
Lis. Ya sudah kamu tidur biar besok tidak kesiangan, dan kamu Ardi
besok kan sekolah cepat tidur bareng kakakmu bapak sebentar lagi
nyusul.”
Bapak selalu begitu, rasa sakit rupanya tak ia hiraukan. Aku tahu bapak
sangat menyayangi kami, dan bahkan bapak sangat menyayangi ibu begitu
juga kami.
Aku rasa aku belum ngantuk tapi aku sudah memejamkan mataku karena
bapak menyuruhku untuk tidur. Terdengar dari sela-sela bilik buluk
menerobos masuk ke dalam kamar butut tempat aku biasa tidur. Bapak
rupanya sedang menatapi foto ibu yang sudah kuning kecoklatan dan sudah
rapuh dimakan tikus.
“yanti, anakmu sudah besar, aku menyekolahkan Lisna ke keguruan seperti
maumu, aku sudah tua, sudah tak sanggup lagi mengayuh sepeda becakku
jauh-jauh, Ardi sering membantuku mencari rumput, mereka anak-anak yang
soleh solehah…”
“…Yanti, aku ingin menyusulmu tapi bagaimana nasib anak-anak jika tiada
aku di sampingnya? Andai…” air mata bapak tak terbendung, bapak menangis
dengan hati sakit smbil terus menatap foto ibu.
“…Andai kamu ada disini, bersama kita, pasti kami tidak kesepian…
sebenarnya aku sudah tidak kuat.” Bapak terus menangis, tangisan yang
ditahan-tahan membuat bapak sesegukan, karena aku tahu bapak tidak ingin
kami tahu dengan keadaan bapak saat ini.
Tubuh renta dan rintihannya membuat hatiku hancur. Bapak memang tidak
pernah mengeluhkan sakitnya itu, tapi aku tahu bapak sedang sakit,
bapak selalu saja bilang tidak apa-apa, disuruh ke dokter saja tidak
mau. Bapak memang keras kepala.
Pagi buta bapak sudah mengutak-atik becak bututnya itu, aku baru saja
membuka mata dan sepertinya ini masih jam empat subuh. Bapak, bapak,
memang tidak kenal lelah.
“pak, bapak jam segini sedang apa? Ini masih pagi loh pak, bapa mau
narik lagi? gak mau mendengarkan apa kata Lisna to?” aku bertanya lembut
pada bapak.
“ini Lis, becak bapa remnya agak blong jadi harus di perbaiki. Bapak
izin narik setengah hari saja ya Lis, soalnya kan Ardi minta baju
seragam baru, lagian di rumah bosan ndak ada kerjaan, wong bapak bukan
orang kaya jadinya jenuh kalo ndak bekerja keras. hahaha” celotehan
bapak ini ada-ada saja.
Sekitar pukul lima aku berangkat ke rumah mbak Indah, aku bekerja
sampingan membuat kue, lumayan hasilnya bisa bantu biaya kuliah. Pagi
itu Ardi sedang sarapan dan bapak siap-siap mau narik. Setiap bapak mau
pergi, bapak selalu mengelus-elus kepala kami, tenang rasanya, bapak
benar-benar ayah yang hebat.
Sekantung keresek plastik hitam nampak digantung di paku dekat
jendela ruang makan. Ah bapak membelikan Ardi baju seragam dan aku
kerudung, sempat-sempatnya bapak membelikan kami pakaian.
“Lis, bapak punya tanaman ini. Nanti kamu tanam di rumah bapak yah.”
Suara lembut itu mengagetkanku yang sedang asik mencoba kerudung
pemberian bapak.
“eh, iya pak? Bapak bicara apa tadi? sejak kapan bapak suka dengan tanaman?”
“Ndak, bapak Cuma ingin nanti rumah bapak wangi, indah. Tapi itu nanti,
ini tak taro dulu di halaman belakang jangan dulu di tanam di tanah,
tunggu sampai berbunga saja di polibag.” Bapak ini kadang-kadang suka
ngawur, aku tidak paham dengan apa yang dibicarakan oleh bapak.
Satu minggu berlalu, aku mulai masuk kuliah, ya terpaksa harus
meninggalkan bapak dan Ardi sementara karena aku ngkost di kota. Berat
rasanya walaupun hanya seminggu karena setiap akhir pekan aku
menyempatkan untuk pulang.
Tiga hari di kota rasanya tiga tahun, karena jauh dari bapak dan Ardi.
Entah kenapa hati ini selalu bimbang, mungkin karena bapak akhir-akhir
ini selalu sakit-sakitan. Beberapa malam aku selalu merenungkan
kehidupanku bersama Bapak dan Ardi, sungguh ironis tak ada Ibu di
samping kami.
Kring..
Dilihat handphone monokrom milikku dan satu pesan dari bapak. ‘Lis,
bapak ingin nanti kamu pulang pakai kerudung dari bapak, dan jangan lupa
itu tanaman nanti kau urus yah, rupanya sudah mau berbunga. Belajar
dengan rajin jangan main terus!’ rupanya bapak meminjam ponsel mbak Nuh
tetangga kami, di keluarga kami memang hanya aku saja yang memegang
ponsel, itu juga karena kebutuhan bukan karena gaya seperti
remaja-remaja gaul pada umumnya.
‘Bapak, semuanya akan aku sembahkan untuk bapak. Aku sekolah juga untuk bapak dan Ardi, mana mungkin aku tidak patuh.’
Pagi yang sangat cerah di kota Magetan, angin sepoi-sepoi menyelusup
melewati sela-sela kaca mengelus-elus tubuhku yang terlelap tidur
semalam.
Kring… kring…
Handphone butut itu berbunyi lagi.
“hallo”
“Lis kamu cepat pulang, bapakmu…”
2 jam perjalanan dengan muka semrawut, kepala pusing karena
dikagetkan oleh telepon mbak indah. raga masih di Magetan tetapi Jiwa
sudah di rumah, tak lupa kerudung dari bapak aku pakai.
Bapak dengan lemah terbujur kaku tak berdaya, dibalut kain putih
beraromakan melati, harum semerbak. Hati ini bagaikan disambar petir, di
cabik-cabik sampai ke tulang rusuk melihat Bapak tampan, putih berseri.
Rupanya ini pesan terakhir dari bapak, rupanya ini bunga yang dipilih bapak untuk menemani istirahat panjangnya.
Dan aku tanam setangkai bunga kamboja putih ini di rumah abadi Bapak,
bunga yang baru mekar menyambut roh lelaki tua paruh baya yang beriman.
Tidurlah dengan tenang di sisi Tuhan bapakku tersayang, Anak-anakmu
baik-baik saja. Aku tak kuasa menahan titik-titik air yang sudah
memenuhi kelopak mata, tumpah ruahlah semua air mata, deras menetes di
pusaran bapak tercinta. Lembayung senjapun melukiskan betapa pedih
kehidupanku, dan detik ini juga aku bertekad, kelak aku akan tiada
dengan kebahagiaanku. Aminn…
‘Salam Rindu… Ayah’
Biarkan kata-kata itu terbang, terbawa angin, semilir menyelusup
liang-liang bawah tanah, naik ke syurga bersama dengan rinduku padamu
wahay penikmat surgawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar