Senin, 23 Maret 2015

Sepasang Teratai Muda

ndonesia adalah negara sedang berkembang, dimana masih banyak terdapat kekayaan alam yang belum dapat diungkap keberadaannya. Juga kota-kota besar yang katanya di sana berkumpul semua orang-orang berjas dan berdasi, juga bertabur berbagai fasilitas mewah kehidupan, seperti Mall, Hotel, Perumahan, Restoran, Taman Hiburan, Diskotik, dan masih banyak yang lainnya.
Jakarta adalah Ibu kota dari Indonesia sendiri. Yang katanya, kota dimana pusat pemerintahan, politik, korupsi, dan kemewahan ada di dalamnya, termasuk juga kriminalitas dan terutama kemiskinan pastinya.
Di tengah-tengah kota Metropolitan yang sangat sibuk dan dibangga-banggakan itu, ternyata masih ada tinggal jutaan orang-orang miskin bahkan di bawah kategori miskin. Dan di sana hiduplah sepasang bersaudara Ayu, yang masih berumur 10 tahun, dan adiknya Neil, yang berumur 7 tahun.
Mereka berdua ditinggal mati kedua orangtuanya saat Ayu masih berumur 8 tahun. Yang mereka tahu orangtua mereka meninggal karena sakit keras. Kini mereka tinggal di tepi jalanan. Gubuk kecil peninggalan orangtua yang ada di kampung kumuh mereka, tempo hari sudah diratakan oleh orang-orang berjas dan berdasi yang tidak bertanggungjawab. Yang mereka dengar dari orang-orang sekitar, katanya tanah itu akan dijadikan perluasan untuk pembangunan sebuah pusat perbelanjaan. Lagi-lagi generasi bangsa seperti mereka harus disingkirkan oleh orang-orang berjas yang begitu tergiur dengan lembaran rupiah.
Tapi hal itu tidak membuat Ayu dan Neil cengeng. Mereka terus berusaha dan bekerja keras untuk mengisi sejengkal perut lapar mereka. Dari pagi hingga sore mereka harus menapaki kota Metropolitan itu untuk mencari botol-botol minuman bekas dan dijual pada bandar pemulung. Sehari mungkin mereka hanya mendapatkan uang sebesar sepuluh hingga lima belas ribu rupiah untuk 1 kilogram botol minuman yang sudah susah payah mereka kumpulkan. Tapi mereka tidak pernah bersungut-sungut. Uang yang mereka dapat mereka belikan untuk satu bungkus nasi dan satu plastik kecil air minum, dan mereka bagi berdua. Ketika malam tiba, mereka hanya tidur di pinggir jalan beralaskan aspal. Tubuh mereka hanya dibalut sepasang baju kumel. Dinginnya malam yang menusuk dan mencabik tiap lapisan kulit mereka, tidak lagi mereka hiraukan. Mereka hanya saling berpelukan satu sama lain ketika angin malam sudah semakin menusuk ke lapisan kulit terdalam mereka.
Suatu sore di tengah kerlip lampu jalanan dan mobil mewah yang lalu lalang, Ayu dan Neil duduk di pinggiran jalan untuk memakan satu bungkus nasi yang mereka beli dari hasil memulung sejak pagi hari.
“Kakak! Ayo cepat dibuka! Aku sudah lapar!!”
“Iya! Iya! Ini juga lagi dibuka!” kata Ayu sambil ligat membuka karet yang mengikat nasi bungkus itu.
Setelah bungkusan nasi terbuka, Ayu meletakkannya di antara mereka berdua lalu berdoa dan mengucapkan syukur atas apa yang mereka dapatkan hari itu. Setelah selesai berdoa, segera mereka mencuci sedikit tangan kanan mereka dan mulai menyuapi nasi ke dalam mulut mereka. Tapi tiba-tiba datang seorang nenek tua renta dan bungkuk menghampiri mereka.
“Nak?” kata nenek itu dengan suara yang gemetar. Segera Ayu dan Neil menghentikan rayap tangan mereka pada nasi bungkus itu.
“Ada apa, nek?” tanya Ayu pada nenek itu.
“Anu?.. Nenek lapar, sudah dua hari nenek belum makan apa-apa..”
Sejenak Ayu menatap nasi bungkus itu, kemudian tanpa ragu ia berkata..
“Kalau begitu, nenek makan saja nasi kami ini. Tadi kami sudah makan beberapa suap, kok?!” kata Ayu, sambil mendekatkan nasi bungkus itu pada nenek tua itu.
“Lagian kami sudah kenyang kok, nek!” sambung Neil.
“Aduh! Terimakasih banyak ya, nak?!” kata nenek tua itu sambil duduk di hadapan nasi bungkus itu dan mulai menyuapi nasi dengan lahap ke dalam mulutnya.
Ayu dan Neil hanya melihat nenek tua itu makan. Meski sebenarnya mereka masih sangat lapar. Tapi kemurahan hati dan rasa belas kasihan mereka, membuat mereka tidak enggan dan tidak menyesal memberikan nasi itu pada nenek tua renta dan bungkuk itu.
Beberapa saat kemudian nenek tua renta itu sudah membersihkan lembar kertas dari semua butir nasi.
“Alhamdulillah! Terimakasih banyak ya, nak? Kalau tidak karena kemurahan hati kalian, nenek pasti sudah mati kelaparan!”
“Kami senang bisa membantu nenek!” jawab Ayu dengan senyum.
Kemudian nenek itu membuka ikatan kain yang dibawanya, lalu diambilnya sehelai kain panjang yang terlihat masih bagus.
“Ini nenek berikan untuk kalian. Anggap saja sebagai rasa terimakasih nenek.”
“Tidak perlu, nek! Kami iklas, kok!” jawab Ayu.
“Tolong terimalah! Nenek akan merasa sangat menyesal jika kalian tidak mau manerimanya. Lagipula nenek masih punya satu lagi!” kata nenek itu sambil menyerahkan kain panjang itu ke tangan Ayu.
“Kalau begitu terima kasih banyak ya, nek?!”
“Sama-sama!” ucap nenek itu dengan senyum dan mulai beranjak dari situ, meninggalkan Ayu dan Neil.
Sejenak Neil menatap lembar kertas yang telah bersih itu.
“Kak? Aku masih lapar…”
“Kakak juga lapar. Tapi kita seharusnya bersyukur, karena kita masih bisa makan hari ini, meski hanya beberapa suap. Sedangkan nenek itu sudah dua hari belum makan, kita tidak tahu apakah besok dia akan dapat makan atau tidak?”
“Kakak benar!?”
“Begini saja! Kita tidur sekarang supaya laparnya tidak terasa!”
“Emm.. Iya.” angguk Neil dengan senyum.
Lalu Ayu membentangkan kain panjang pemberian nenek tua itu. Setelah itu mereka berdua merebahkan tubuhnya di atas kain panjang itu. Lelah tubuh mereka, membuat mereka semakin cepat terlelap, keributan lalu lintas tak lagi mengganggu tidur mereka. Hembusan angin malam yang merobek pori-pori kulit mereka, membuat mereka semakin berpeluk erat antara satu dengan yang lainnya, setidaknya hal itu dapat menghangatkan sedikit rasa dingin pada kulit mereka.
& & &
Sore itu, seperti biasa Ayu dan Neil mencari tepi jalan yang aman untuk tempat mereka beristirahat dan menikmati sebungkus nasi hasil jerih payah mereka satu harian.
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya Ayu menemukan tempat yang nyaman dan aman. Tapi mereka harus menyeberangi jalan raya. Dengan hati-hati Ayu menggandeng tangan adiknya untuk mulai melangkah menyebrangi jalan raya. Tapi dari kejauhan Neil melihat mobil mini bus melaju dengan kencang. Sontak ia langsung menarik tangan Ayu ke pinggir, tapi sayangnya nasi itu terjatuh dan mobil mini bus itu menggilas nasi mereka.
Dengan sedih Ayu melangkah hati-hati untuk mengambil nasi bungkus yang sudah tergilas itu, dan dibawanya ke pinggir jalan.
“Yah kak?! Nasinya sudah kotor?!” ucap Neil dengan sedih.
“Maaf ya, Neil? Kakak tidak hati-hati.”
Kemudian digandengnya kembali tangan Neil sambil memegang nasi bungkus itu. Dan dengan hati-hati mereka mulai menyeberang, dan akhirnya sampai pada tepian jalan yang ada di seberang.
Kemudian duduklah sepasang bersaudara itu, sambil Ayu meletakkan nasi bungkus kotor itu di antara mereka. Dengan segera Ayu mencubili butir nasi kotor dan membuangnya, Neil pun turut membantu. Setelah dibersihkan, ternyata hampir habis setengah dari porsi yang sebelumnya. Yang tadinya cukup untuk dibagi dua, kini hanya cukup untuk satu orang saja.
“Sudah! Kamu saja yang makan?! Kakak tidak lapar, kok?!” kata Ayu menyerahkan nasi itu pada Neil. Tapi Neil yang tahu kalau Ayu sangat lapar, segera membagi dua nasi itu lalu meletakkannya di antara mereka.
“Kakak? Kakak juga harus makan! Kita cuma hidup berdua, apapun yang kita miliki harus dibagi dua. Lagian kalau kakak sakit terus pergi meninggalkan Neil… Neil akan tinggal dengan siapa lagi?”
Ayu sangat terharu dengan ucapan adiknya itu.
“Kalau begitu… Kita makan sama-sama, ya?!”
Setelah mereka selesai makan, mereka mencuci sedikit tangan kanan mereka dengan sebungkus kecil air minum yang tadi dipegang oleh Neil, kemudian mereka berbagi air minum itu. Setelah itu mereka membaringkan tubuh mereka di atas dinginnya aspal tepi jalanan dan mereka menyelimuti tubuh mereka dengan kain panjang itu.
Esok pagi sekitar jam empat pagi-pagi buta, mereka sudah bangun dari tidur mereka. Segera Ayu melipat dua kain panjang itu dan melilitkannya pada lehernya, kemudian mereka mulai berjalan menyusuri tepi jalanan untuk mulai mengumpulkan botol minuman bekas. Sesekali mereka berpencar untuk bisa mengumpulkan lebih banyak botol minuman bekas.
Matahari mulai meninggi tepat di atas kepala mereka. Teriknya matahari yang membakar kulit mereka dan panasnya aspal jalanan yang membakar telapak kaki mereka, tak menyusutkan semangat mereka untuk terus mengumpulkan botol-botol minuman bekas. Tapi ganasnya sinar manatahari membuat mereka haus.
“Kakak, aku haus?” ucap Neil sambil menatap kakaknya.
“Kakak juga haus.. Begini saja! Kita mengamen sebentar, mana tahu ada orang yang berbaik hati memberikan kita beberapa recehan?!” Usul Ayu pada Neil.
“Ya! Ya! Aku setuju?!”
Segera Ayu dan Neil berjalan mencari perempatan jalan yang terdekat, kemudian meletakkan karung tempat botol bekas mereka di pinggiran jalan. Ketika lampu merah, Ayu dan Neil turun ke jalanan dan mendatangi satu per satu kendaraan beroda empat sambil bernyanyi dan bertepuk tangan. Tapi tak satu pun dari mereka yang mau memberikan recehan.
Lampu merah berikutnya, mereka kembali turun ke jalanan. Mereka menghampiri sebuah mobil mewah, kemudian bernyanyi sambil bertepuk tangan.
“Indonesia… tanah airku… Tanah tumpah darahku… Di sanalah aku berdiri.. Jadi pandu ibuku…” Ayu dan Neil bernyanyi dengan riang.
Kemudian pengemudi mobil itu membuka kacanya…
“Hehh!! Bisa diem gak sich loe?!! Loe nyanyi lagu apaan sich?!! Kampungan banget lagu loe!! Emang loe pikir ini tujuh belasan apa?!!! Udah! Udah! Pigi loe dari mobil gue! Ntar lecet lagi!” bentak pemudi yang mengendarai mobil mewah itu, seraya menutup kembali kaca mobilnya.
Segera Ayu dan Neil meninggalkan mobil itu. Tapi kemudian ada seseorang wanita yang mengendarai sepeda motor memanggil mereka. Segera mereka menghampiri wanita itu.
“Ada yang bisa kami bantu, buk?” tanya Ayu.
“Ah, tidak?! Ini ibuk kasih sedikit uang untuk kalian?!” kata wanita itu sambil menyerahkan selembar uang limaribu.
“Tapi buk, kami tidak bisa menerimanya. Kami tidak melakukan apa-apa untuk ibuk?!”
“Ada kok? Dari tadi ibuk mendengarkan nyanyian kalian?! Ibuk senang sekali masih ada anak-anak seperti kalian yang mau menyanyikan lagu-lagu nasional. Jadi diterima, ya?!” kata wanita itu sambil menyodorkan kembali uang tersebut.
“Terimakasih banyak ya, buk?!” kata Ayu dengan wajah yang gembira sambil menerima uang itu.
Segera mereka pergi meninggalkan jalan raya dan menuju ke tepi jalan tempat mereka meletakkan karung mereka. Segera Ayu mengangkat karung itu dan menggandeng tangan Neil untuk mencari warung kecil.
Setelah menemukan warung, segera Ayu membeli dua buah aqua gelas, lalu membaginya pada Neil kemudian mereka meminumnya.
“Kakak… Neil lapar.”
“Gimana kalau kita beli kue basah tiga bungkus dan dua aqua gelas lagi?!”
“Yaa?!” ucap Neil dengan semangat.
Segera Ayu menghabiskan sisa uang itu untuk membeli tiga bungkus kue basah seharga seribu rupiah dan dua aqua gelas seharga limaratus rupiah. Lalu segera Ayu memberikan sebungkus roti pada Neil dan sebungkus lagi untuknya dan satu bungkus lagi dibaginya dua. Lalu dibaginya satu aqua gelas pada adiknya. Dan segera mereka memakannya dengan lahap.
“Kenyang!!” ucap Neil.
“Ya sudah, ayo kita lanjut nyari botol minuman?!”
“Ayo! Kalau sudah kenyang begini, rasanya mencari botol minuman bekas sampai besok pun, Neil tetap semangat?!”
Mereka kembali menyusuri tepi jalanan, tak lupa juga mereka memasukkan botol aqua gelas milik mereka tadi. Haripun semakin sore, Ayu dan Neil segera pergi menuju tempat penyerahan barang-barang bekas yang selalu mereka datangi.
Tapi setibanya di sana alangkah terkejutnya mereka melihat tempat itu bagai diamuk angin topan. Semua tempat yang terbuat dari tepas-tepas sudah dihancurkan dengan mobil-mobil berat, dan semua barang-barang bekas diangkat dengan mobil pengkeruk dan dipindah ke tempat pembuangan sampah.
Ayu dan Neil yang penasaran, segera mananyakan penyebab hal itu pada orang sekitar yang sedang lewat.
“Pak? Pak?! Kenapa tempat ini dihancurkan?!” tanya Ayu.
“Aduh dek?! Yang bapak dengar, katanya di sini mau dibangun ruko.”
“Ohh, makasih ya, pak.”
Dengan perasaan kecewa dan sedih Ayu dan Neil meninggalkan tempat itu dan mulai mencari tempat untuk mengistirahatkan tubuh mereka.
Tapi tiba-tiba rintik air hujan mulai jatuh ke permukaan tanah. Segera Ayu dan Neil mencari tempat berteduh. Dan mereka menemukan lorong buntu di antara rumah-rumah dan segera mereka menuju ujung lorong itu dan duduk menyandar ke dinding yang di atasnya kebetulan ada atap bangunan yang dilebihkan sedikit, sehingga mereka terlindung dari rintik air hujan.
Tapi beberapa saat kemudian, hujan menjadi sangat lebat, angin bertiup semakin kencang. Segera Ayu menyelimuti tubuh mereka dengan kain panjang. Tapi hujan lebat itu membuat sedikit demi sedikit air merembes kepakaian mereka. Ditambah kencangnya angin, membuat tubuh mereka menggigil. Tapi mereka menghangatkan diri dengan saling berpelukan, hingga akhirnya mereka tertidur di tengah kencangnya angin dan lebatnya hujan.
Dalam kepolosan wajah mereka yang sedang tidur seakan ingin menyampaikan sesuatu kepada semua orang..
“Kami berharap tak akan ada lagi orang-orang dan teman-teman kami, yang mengalami nasib yang sama seperti kami. Kami berharap setetes kasih dan kepedulian dari orang-orang berjas dan berdasi untuk kami kaum miskin. Kami juga berharap ibu pertiwi semakin jaya kedepannya agar orang-orang seperti kami bisa merasakan sedikit kehidupan yang layak nantinya.
Salam perdamaian untuk negriku, Indonesia.”
Akhirnya sepasang teratai muda ini tidak sanggup bertahan lebih lama dari amukan hujan dan cambukan angin yang menghantam tubuh mereka.
Dan sekali lagi, generasi bangsa harus gugur di medan pertempuran melawan kejamnya orang-orang yang menduduki kursi berputar di kota Metropolitan.
Cerpen Karangan: Puspita Sandra Dewi
Blog: http://worldartsandra.blogspot.com
Puspita Sandra Dewi, atau lebih akrab dipanggil Puspita atau juga Sandra, lahir pada 17 September 1992 di Medan, Sumatera Utara. Ia adalah putri pertama dari J.M. Bangun dan D.R. Pardede, dan kakak dari Arjuna Walker dan Veronica Trisha.
Saat ini ia berkuliah di UKSW dan mengambil jurusan Teologi, angkatan 2010. Ia mulai menyukai dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku SMP kelas 2. Ia tidak hanya tertarik menulis novel, tetapi juga menulis cerpen, dan puisi-puisi. Selain menyukai seni menulis ia juga menyukai seni lukis.
Hobi yang digemarinya adalah membaca novel, cerpen, puisi, dan menikmati karya lukis. Ia menyukai olahraga renang. Ia juga tertarik membaca mitos-mitos dan mitologi. Novel yang paling dikaguminya adalah Sherlock Holmes karya Sir Athur Conan Doyle.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar