Semua terdengar memiliki irama ditelingaku. Setiap lantunan detik
dari waktu yang terus berjalan ada bisikan dari pasir dijalanan yang tak
disadari adanya. Arakan awan membawa lukisan sederhana dari biru dan
putih terlewatkan oleh insan yang tengah beradu dengan sengat matahari.
Seperti hari biasanya dia sudah berdiri di pinggir trotoar menunggu
si merah datang. Wajahnya kian kusam akibat terpaan panas jalanan dan
asap kendaaraan yang sudah akrab dengan hidupnya. Topi coklat usang yang
di dapat dari seorang pengendara sepeda motor dua tahun lalu di
kemacetan lampu merah masih setia melindungi kepalanya.
“Kapan kau akan sadar?” seorang lelaki dengan tinggi seperti seorang
polisi dan tusuk gigi yang tengah menari dimulutnya menghapuskan
lamunannya ditepi jalan. Seorang yang memberinya segelas air segar
sekaligus orang yang membuatnya tak ingin minum lagi. Setiap sore ia
akan datang mencarinya dan memberinya sebungkus nasi berisi lauk tempe
sambal atau bahkan ayam goreng. Mereka boleh saja sama-sama mengamen
dilampu merah bermodalkan gitar dan suara yang biasa saja. Tetapi lelaki
itu bisa mendapatkan sepuluh kali lipat dari hasil ia mengamen selama
enam sehari.
“Aku sudah sadar sejak awal, kau yang kapan akan sadar dan..
sudahlah” ia pergi mendapatkan mobil mewah putih yang berada dibarisan
depan lampu merah.
“Jangan keras kepala..” sambil berteriak ia pergi meninggalkannya, namun bukan untuk mengamen seperti anak jalanan lainnya.
Setiap hari harus bertempur melawan asap kendaraan, panas, lelah dan
sakit tapi tidak juga menyurutkan janji yang telah ia ucapkan pada diri
sendiri dalam luka batin yang menerpa hidupnya. Meski aku tak mampu
membeli pakaian bagus, makanan mahal dan bahkan harus mati kelaparan.
Aku tak akan pernah menjual hidupku pada duniawi.
Sekarang usianya telah 20 tahun, tak terasa sudah 3 tahun ia hidup
sebagai anak jalanan yang tak tentu tempat tinggal dan makannya. Meski
sebelumnya ia bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, tapi
setidaknya ia masih bisa merasakan betapa nikmatnya bisa makan tiga kali
sehari, sekolah, memanggil seorang ibu atau ayah bahkan dimarahi oleh
orang tua kini sudah menjadi kerinduan baginya.
Diakhir SMA ia harus rela berhenti sekolah karena harus mengisi
perutnya walau hanya dengan sebuskus nasi saja. Lilitan utang membuat
rumahnya menjadi langganan kedatangan rentenir tiap minggu bahkan setiap
hari. Bunga yang kian membengkak membuat rumah dengan isinya harus
jatuh ketangan rentenir. Terpancar senyum puas dan menjijikan saat ia
bertatapan dengan rentenir tua dan buncit itu dihari terakhir ia bisa
menikmati hangatnya kamar tidurnya. Hidup tak jelas dijalanan membuat
orang tuanya harus segera meninggalkannya di dunia ini sendirian.
“Jangan pernah menjual hidupmu dengan kenikmatan duniawi, nak. itu
tak lebih baik dari hidup sederhana.” Adalah ucapan ibunya yang setiap
hari menjadi api dalam hidupnya untuk tetap mengamen dari pada ikut
jalan temannya. Meski begitu bunga tetap saja manusia, seorang gadis
belia yang belum mengenal baik dunia, ia sempat bimbang, “yang mana yang
ibu sebutkan dengan hidup sederhana, ibu. Ini lebih tepat hidup
menderita, ibu. Apakah nerakah telah berpindah kesini, bu..?”
Air mata kerap menemani hari-harinya sama seperti sore ini. Ditengah
lagunya ia langsung pergi meninggalkan mobil putih itu tanpa meminta
upah suara yang telah ia keluarkan. Sisupir sedikit bingung, namun tak
lama karena merah telah berganti.
Ditemani air mata yang masih mengalir ia melangkah pergi menjauh dari
mobil-mobil itu dan asapnya. Disudut gang yang diberi nama setan itu ia
menghilang. Sambil terus menangis ia melayangkan tinju dan tendangan ke
dinding-dinding gang itu, namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
Tangisnya belum juga berhenti tiba-tiba datang batuk mendera
tenggorokan dan dadanya. Darah lagi yang hadir dari mulutnya. Sejenak ia
merasa senyap memandangi darah ditangan dan dinding itu. Kemudian ia
malah tertawa. Serangan batuk dan darah merupakan komedi dalam hidupnya.
Tawa membahana di gang yang lebarnya tak lebih dari tiga langkah kaki
manusia itu. Ia semakin tertawa dan memandikan darah itu disekitar
mulutnya. Meski ia tertawa, namun air mata belum berhenti menyiram
wajahnya bahkan hujan kepiluan itu malah semakin deras. Tubuhnya yang
kurus semakin tak mampu menahan serangan TBC yang juga telah merenggut
ibunya dari sisinya.
Ia juga manusia. Ia seorang wanita yang juga ingin hidup lama dan
merasakan proses dan tahap dalam kehidupan. Menikmati hangatnya keluarga
di rumah, makan setiap hari, bahkan ia juga memiliki niat untuk dapat
menikah.
“Liat Nara gak?” Tanya lelaki yang ternyata diam-diam sudah simpati
padanya sejak tiga tahun ia kenal dijalanan. Sebenarnya Ia tak tahu nama
dari gadis itu, tetapi karena gadis itu tidak pernah berkenan
memberitahukan namanya pada siapapun. Maka ia menamainya dengan Nara,
sama seperti nama dalam judul sinetron yang tengah menjadi pembicaraan
banyak ibu-ibu dimanapun ia tengah berada. Maka jadilah ia dipanggil
Nara hingga sekarang oleh semua orang yang mengenalnya. Bukan tanpa
alasan Gadis itu tidak mau memberikan namanya. Tetapi karena malu atas
hidup yang harus ia jalani sekarang ia tak pernah memberitahukan namanya
pada siapapun. Jikapun ada yang bersikeras ingin tahu ia hanya
mengatakan, “Kau boleh panggil aku apa saja” lalu pergi.
“Tadi lagi ngamen tiba-tiba pergi gitu aja bang.” Jawab bocah kecil yang biasa ngamen di tempat yang sama dengan Nara.
“Pergi kemana?”
“Tadi kayaknya kearah sana tu bang”
“Ya sudah, makasih. Ngamen yang semangat biar dapat bayak uangnya”
“Oke bang” sambil pergi berlari menuju deretan mobil di lampu merah.
Nara tak pernah memanggil lelaki ini dengan namanya. Ia bahkan tidak
pernah mencari lelaki ini. Ia sudah mulai terbiasa dengan tidak ada lagi
orang yang berarti dalam hidupnya untuk ia jaga dan sayangi. Roy,
begitulah ia di sapa oleh semua anak jalanan yang mengenalnya. Ia
memiliki wajah yang tampan untuk ukuran orang yang hidup dijalanan.
Tubuhnya tegap dan tinggi, kulitnya juga putih. Tak heran karena ia
memiliki darah arab dalam tubuhnya. Ibunya adalah TKW yang harus
dipulangkan ke Tanah Air karena mengandung anak dari majikannya dan
siksa karena di tuduh merayu suami majikannya.
Banyak orang yang menjuhinya dan memberinya label sebagai anak haram
hingga di akhir hidup ibunya pun ia belum tahu siapa ayahnya. Hampir tak
ada yang mau mendekat padanya karena penampilannya yang masih kental
wajah keturunan Arab. Satu-satunya orang yang tidak memandang aneh
dirinya adalah Bang Ben yang terkenal dengan tato Naga di separuh badan
sebelah kanan. Ia pun tinggal bersama Bang Ben hingga Nara muncul dalam
hidupnya yang sama sekali tak pernah membedakan sikulit gelap dengan
putih, sisuku a dengan suku b. Ia bersikap sama terhadapnya dengan orang
lain. Itulah Nara dari pendidikannya.
Memasuki gang setan perlahan Roy melangkah dan memanggil nama Nara,
namun tak mendapat balasan. Semakin keras ia memanggil ia semakin
khawatir. Ia percepat langkahnya dengan mata layaknya radar mendeteksi
pergerakan hingga ia tersandung benda yang cukup besar yang ternyata
adalah kaki Nara. “Nara.. kau kenapa? Nara, kau bisa dengar aku?”
***
Kepalanya masih pusing dan tubunya terasa seperti baru mengangkat
gunung. Perlahan matanya membuka, ia pegang kepalanya dan perlahan mulai
duduk. Dengan lembut kedua tangan Roy membantunya mengangkat tubuh Nara
mendekat pada bantal untuk peyangga tubuh Nara.
“Lebih baik berbaring aja dulu. Jangan terlalu dipaksa Nar.” Nara
terkejut mendapati suara yang sangat dikenalnya, Roy dengan tanganya
sedang membantu Nara duduk.
“Kau kenapa ada sini? Trus kenapa aku ada disini dan apa ini?” Nara melihat peralatan infuse yang terpasang ditubuhnya.
“Kau pingsan, untung aku melihatmu. Jadi aku membawamu ke sini. Kau
harus di rawat Nar, jangan membantah lagi. Biar aku yang urus soal
biayanya. Kau cukup bertahan dan di rawat penyakitmu lalu sehatlah.
Aku..” dengan cepat tangan Nara menghempaskan tangan Roy dan mencabut
selang infuse dari pergelangan tangan Nara dan bersiap melompat dari
tempat tidur. Namun tampaknya tubuhnya belum kuat dan menolak bergerak.
“Nara…” dengan sigap Roy mengangkat Nara kembali ke tempat tidur dan membaringkannya. “aku mohon jangan menolak”
“Aku gak bisa, sungguh aku gak bisa. Kalau pun aku harus di rawat aku
tak mau uang itu darimu.” Air mata Nara kembali meluncur diwajah kurus
dan pucat itu.
“Kenapa Nar.. aku bersumpah itu uang halal”
“Jangan coba menipuku lagi. Aku tak bisa menerimanya.”
“Nara aku berani sumpah ini halal” Roy mencoba meyakinkan Nara.
“Apanya yang halal..? kau pikir aku tak tau kau mendapatkan uang itu
dari tante-tante girang yang yang kesepian. Kau sama saja menjual diri.”
“Nara cukup..!” kini suara Roy mulai meninggi.
“dan aku tak mau menjadi alasanmu menjual dirimu” sesaat hining
muncul di antara mereka. Keduanya tak sanggup menatap wajah meraka.
“kau tenang saja, aku akan tetap hidup. Jangan perdulikan aku.” Lalu
Nara pergi dengan langkah yang gontai menyusuri lorong rumah sakit.
Entah mana yang akan menang nantinya. Apakah semangat hidupnya atau
penyakit yang merajai tubunya. Ia belum tahu. Tetapi satu yang ia tahu
bahwa semangat hidupnya masih ada dan belum ditulari TBC begitu pula
dengan hatinya yang masih setia untuk tidak menerima dan memberi cinta
pada siapapun.
Medan, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar