Rabu, 18 Maret 2015

Menanti Lara

Maafkan aku, Keith…
Aku pergi tanpa mengatakannya padamu terlebih dahulu
Kau boleh marah padaku…
Tapi satu fakta yang pasti…
Dan aku tahu ini akan membuatmu sangat senang, Keith…
Aku mencintaimu…
Tunggulah aku, Keith…
Aku pasti kembali’
Sebenarnya mataku sudah muak melihat dan membaca isi surat ini. Tapi entah kenapa, atau mungkin akulah yang bodoh. Isi suratmu ini, Lara. Menawanku hingga kini dan aku tetap menantimu di Halte Bis ini. Halte satu-satunya yang ada disini. Aku menantimu kembali, sesuai dengan yang kau bilang di surat itu. Anganku melayang, menusuri kenangan indah bersamamu.
Saat itu kau sudah kuliah, Lara. Sedangkan aku masih kelas 3 SMA. Aku yang masih terlalu muda bagimu ini terus saja mengejar cintamu, berharap mendapatkannya. Dan akhirnya kau menerima cintaku, walaupun setengah hati. Tapi aku cukup senang.
Ingatkah kau Lara, 3 tahun yang lalu… Saat itu…
“Apa sih maumu, Keith? Kau sudah menjadi pacarku. Padahal aku tidak mau berpacaran dengan bocah ingusan seperti mu” ucap Lara tegas.
“Tapi aku mau pacaran dengan nenek-nenek seperti kamu kok. Lara, itu semua karena aku mencintai kamu.”
“Keith, tau kah kau siapa orang yang kau cintai ini? Aku ini 5 tahun lebih tua darimu. Aku bukan berasal dari keluarga kaya raya, Keith. Adikku ada 4 orang. Sebagai anak sulung, seharusnya aku punya calon suami yang mapan, yang bisa menopang kehidupan keluargaku. Bukan seperti dirimu yang anak ingusan. Kalau bersamamu hidupku akan tambah susah, Keith. Kita tidah bisa hidup kalau hanya mengandalkan cinta.” Omel mu.
Aku mengerti Lara, mengapa kau begitu ngotot untuk putus dengan ku. Aku tau, kau harus banting tulang untuk mencari nafkah keluargamu. Dan tak lama setelah kita putus, lebih tepatnya putus sepihak, berita pernikahanmu dengan Si Tua Bangka kaya raya itu pun aku dengar. Tapi aku tidak peduli Lara, karena selamanya aku mencintaimu. Saat itu aku berkata…
“Keith, kau tahu aku sudah istri orang. Mengapa kau masih saja mengganggu hidupku?”
“Lara, aku akan berusaha menjadi orang kaya yang bisa mencukupi kebutuhanmu. Setidaknya aku akan bekerja keras, menyisihkan sebagian gajiku untuk membelikan tas bermerk untukmu, dan makan makanan yang enak di restoran.”
“Sudahlah, Keith. Jangan menghayal selangit, apa sih yang bisa dilakukan anak SMA seperti dirimu?”
Sungguh, Lara. Saat itu aku termotivasi untuk menjadi seorang pengusaha sukses meskipun disaat yang bersamaan kau telah menghancurkan hatiku. Aku ingin membahagiakanmu. Aku akan berusaha sampai mati. Aku ingin dicintaimu Lara, hingga hancur.
Aku merantau, Lara. Sebelum aku pergi, kutitipkan suratku untukmu.
‘Lara, walaupun kau selalu mematahkan seluruh asa dan kataku…
Aku akan tetap setia menunggumu… aku akan tetap mencintaimu seperti dulu…
Aku akan pergi untuk mewujudkan keinginanku.. menjadi prang yang sukses.
Aku akan menjemputmu Lara.’
Entah kau baca atau tidak surat ku itu. Kuharap kau membacanya.
Setelah bertahun-tahun aku meninggalkan tempat kelahiranku, terluntang lantung di negeri orang, usaha ku tidak sia-sia, Lara. Dan aku mencapai impianku dengan kerja keras. Akhirnya aku bisa menjadi sosok pangeran yang kau impikan. Aku akan pulang untuk menjemputmu. Semangatku begitu menggebu. Apalagi sekarang yang tak kupunya, kini kau tak bisa menyangkalku. Rumah mewah telah berdiri atas namaku dan pekarangan yang luas. Mobil marcedes benz yang terbaru, aku pun punya. Perusahaan yang maju dibawah pimpinanku. Akhirnya aku bisa membawamu ke sisiku.
Saat itu aku memutuskan untuk kembali ke Edensor. Sesampainya disana, apa yang kudapat. Aku bahkan tidak dapat menjumpai setitik bayanganmu. Atau bahkan baumu. Aku heran, ku datangi rumahmu, hanya ada kekosongan menyapa. Aku bingung, kemana lagi kau pergi Lara? Aku kembali ke rumah orangtuaku. Aku menceritakan duka ku atas pergimu yang tak ku ketahui pada ibu.
“Bu, mengapa Lara tak ada di rumahnya, Bu? Padahal aku pulang, aku ingin melamarnya. Sebenarnya apa yang terjadi selama kepergianku, Bu?”
“Ibu tidak tahu ia pergi kemana. Mungkin ikut pindah bersama suaminya.”
Aku berlari menuju rumahmu. Kosong. Kau telah pergi. Aku berjalan gontai melewati pagar, melihat ke arah kotak surat. Kotak surat itu mengusikku. Mungkinkah kau meninggalkan sesuatu untukku. Dengan sedikit sekali – sangat sedikit – harapan, aku membuka kotak surat. Lara, ini seperti keajaiban bagiku. Kau benar-benar meninggalkan sesuatu untukku, meski itu adalah surat kumal. Ku ambil kasar surat itu. Ku baca perlahan. Aku tidak tau apakah aku harus senang membacanya atau harus sedih. Perasaanku saat itu tak terlukiskan, Lara. Suratmu seperti menghancurkan hatiku – lagi. Antara sedih, bahagia, bingung, sakit. Entahlah aku tidak tau. Tak kuasa ku tahan air mata. Kadang aku ingin mengumpat dan mengutuk semena-menanya dirimu padaku. Tapi, jauh di sudut hatiku, aku merindukanmu – sangat.
Dari saat itu, Lara. Aku terus menunggumu di halte ini. Aku tetap menunggumu disini dengan surat yang kau tuliskan untukku. Aku akan menantimu dengan setia disini Lara, meskipun maut yang akan menjemputku dan menjemputmu. Lara…
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar