Maafkan aku, Keith…
Aku pergi tanpa mengatakannya padamu terlebih dahulu
Kau boleh marah padaku…
Tapi satu fakta yang pasti…
Dan aku tahu ini akan membuatmu sangat senang, Keith…
Aku mencintaimu…
Tunggulah aku, Keith…
Aku pasti kembali’
Sebenarnya mataku sudah muak melihat dan membaca isi surat ini. Tapi
entah kenapa, atau mungkin akulah yang bodoh. Isi suratmu ini, Lara.
Menawanku hingga kini dan aku tetap menantimu di Halte Bis ini. Halte
satu-satunya yang ada disini. Aku menantimu kembali, sesuai dengan yang
kau bilang di surat itu. Anganku melayang, menusuri kenangan indah
bersamamu.
Saat itu kau sudah kuliah, Lara. Sedangkan aku masih kelas 3 SMA. Aku
yang masih terlalu muda bagimu ini terus saja mengejar cintamu,
berharap mendapatkannya. Dan akhirnya kau menerima cintaku, walaupun
setengah hati. Tapi aku cukup senang.
Ingatkah kau Lara, 3 tahun yang lalu… Saat itu…
“Apa sih maumu, Keith? Kau sudah menjadi pacarku. Padahal aku tidak mau
berpacaran dengan bocah ingusan seperti mu” ucap Lara tegas.
“Tapi aku mau pacaran dengan nenek-nenek seperti kamu kok. Lara, itu semua karena aku mencintai kamu.”
“Keith, tau kah kau siapa orang yang kau cintai ini? Aku ini 5 tahun
lebih tua darimu. Aku bukan berasal dari keluarga kaya raya, Keith.
Adikku ada 4 orang. Sebagai anak sulung, seharusnya aku punya calon
suami yang mapan, yang bisa menopang kehidupan keluargaku. Bukan seperti
dirimu yang anak ingusan. Kalau bersamamu hidupku akan tambah susah,
Keith. Kita tidah bisa hidup kalau hanya mengandalkan cinta.” Omel mu.
Aku mengerti Lara, mengapa kau begitu ngotot untuk putus dengan ku.
Aku tau, kau harus banting tulang untuk mencari nafkah keluargamu. Dan
tak lama setelah kita putus, lebih tepatnya putus sepihak, berita
pernikahanmu dengan Si Tua Bangka kaya raya itu pun aku dengar. Tapi aku
tidak peduli Lara, karena selamanya aku mencintaimu. Saat itu aku
berkata…
“Keith, kau tahu aku sudah istri orang. Mengapa kau masih saja mengganggu hidupku?”
“Lara, aku akan berusaha menjadi orang kaya yang bisa mencukupi
kebutuhanmu. Setidaknya aku akan bekerja keras, menyisihkan sebagian
gajiku untuk membelikan tas bermerk untukmu, dan makan makanan yang enak
di restoran.”
“Sudahlah, Keith. Jangan menghayal selangit, apa sih yang bisa dilakukan anak SMA seperti dirimu?”
Sungguh, Lara. Saat itu aku termotivasi untuk menjadi seorang
pengusaha sukses meskipun disaat yang bersamaan kau telah menghancurkan
hatiku. Aku ingin membahagiakanmu. Aku akan berusaha sampai mati. Aku
ingin dicintaimu Lara, hingga hancur.
Aku merantau, Lara. Sebelum aku pergi, kutitipkan suratku untukmu.
‘Lara, walaupun kau selalu mematahkan seluruh asa dan kataku…
Aku akan tetap setia menunggumu… aku akan tetap mencintaimu seperti dulu…
Aku akan pergi untuk mewujudkan keinginanku.. menjadi prang yang sukses.
Aku akan menjemputmu Lara.’
Entah kau baca atau tidak surat ku itu. Kuharap kau membacanya.
Setelah bertahun-tahun aku meninggalkan tempat kelahiranku,
terluntang lantung di negeri orang, usaha ku tidak sia-sia, Lara. Dan
aku mencapai impianku dengan kerja keras. Akhirnya aku bisa menjadi
sosok pangeran yang kau impikan. Aku akan pulang untuk menjemputmu.
Semangatku begitu menggebu. Apalagi sekarang yang tak kupunya, kini kau
tak bisa menyangkalku. Rumah mewah telah berdiri atas namaku dan
pekarangan yang luas. Mobil marcedes benz yang terbaru, aku pun punya.
Perusahaan yang maju dibawah pimpinanku. Akhirnya aku bisa membawamu ke
sisiku.
Saat itu aku memutuskan untuk kembali ke Edensor. Sesampainya disana,
apa yang kudapat. Aku bahkan tidak dapat menjumpai setitik bayanganmu.
Atau bahkan baumu. Aku heran, ku datangi rumahmu, hanya ada kekosongan
menyapa. Aku bingung, kemana lagi kau pergi Lara? Aku kembali ke rumah
orangtuaku. Aku menceritakan duka ku atas pergimu yang tak ku ketahui
pada ibu.
“Bu, mengapa Lara tak ada di rumahnya, Bu? Padahal aku pulang, aku
ingin melamarnya. Sebenarnya apa yang terjadi selama kepergianku, Bu?”
“Ibu tidak tahu ia pergi kemana. Mungkin ikut pindah bersama suaminya.”
Aku berlari menuju rumahmu. Kosong. Kau telah pergi. Aku berjalan
gontai melewati pagar, melihat ke arah kotak surat. Kotak surat itu
mengusikku. Mungkinkah kau meninggalkan sesuatu untukku. Dengan sedikit
sekali – sangat sedikit – harapan, aku membuka kotak surat. Lara, ini
seperti keajaiban bagiku. Kau benar-benar meninggalkan sesuatu untukku,
meski itu adalah surat kumal. Ku ambil kasar surat itu. Ku baca
perlahan. Aku tidak tau apakah aku harus senang membacanya atau harus
sedih. Perasaanku saat itu tak terlukiskan, Lara. Suratmu seperti
menghancurkan hatiku – lagi. Antara sedih, bahagia, bingung, sakit.
Entahlah aku tidak tau. Tak kuasa ku tahan air mata. Kadang aku ingin
mengumpat dan mengutuk semena-menanya dirimu padaku. Tapi, jauh di sudut
hatiku, aku merindukanmu – sangat.
Dari saat itu, Lara. Aku terus menunggumu di halte ini. Aku tetap
menunggumu disini dengan surat yang kau tuliskan untukku. Aku akan
menantimu dengan setia disini Lara, meskipun maut yang akan menjemputku
dan menjemputmu. Lara…
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar