Aku aku berada dalam ruangan luas dengan dinding serba putih.
Keanggunannya sebagai sebuah bangunan kokoh masih tampak walaupun catnya
kusam dan sudah mengelupas. Langit-langitnya yang tinggi seputih kertas
yang sedang aku dekap. Detikan jam dinding merayap meniti waktu.
Jemariku mengeras karena sudah terlalu lama mengetuk-ngetuk meja. Hatiku
bertanya mengapa aku harus terdampar dalam ruangan kelas ini. Lima
huruf alphabet yang terdepan bergaung dari getaran pita suara
teman-temanku. Aku tarikan ujung pensilku melingkari salah satu huruf
itu dengan terpaksa sementara kepalaku masih menempel di punggung meja.
Biar saja aku menderita penyakit miopi. Aku tak peduli. Telingaku
terlalu jenuh untuk mendengarkannya. Pelajaran Bahasa Indonesia yang
membosankan hingga mulutku terus mengepul layaknya kereta lokomotif.
“Kalau menguap ditutup mulutnya,” ucap Vita terganggu.
“Biar saja,” ucapku keras kepala.
Sementara Guru bahasa Indonesia yang aku juluki Pak Santa Klaus terus
mendongeng dengan suara mendayu-ndayu, aku asyik memperhatikan gelagat
semua temanku di kelas. Vita yang asyik mendengar MP4 yang kemarin baru
dipamerkannya, Ridho yang asyik dengan komik Naruto edisi terbaru
membuatku mupeng ingin ikut membaca, dan Feri yang sedang asyik nge-game
di belakang. Ternyata semua temanku juga mengacuhkan Pak Santa Klaus
itu sama sepertiku. Pak Santa Klaus yang sudah jelas tahu bahwa kami tak
memperhatikannya tetap mengoceh soal no. 5 tentang sejarah perkembangan
Bahasa Indonesia dan segala thethek bengeknya. Ternyata temanku
mengucapkan lima huruf alphabet yang terdepan hanya sebagai kamuflase.
Dalam hatiku kecilku timbul juga rasa kasihan pada Pak Santa Klaus yang
sejak tadi mengoceh dengan suara bariton. Aku mengalihkan pandanganku ke
tiga jendela besar yang berjejer di samping. Jendela yang besar, kokoh
dan sakral. Angin yang berderai masuk, menghembuskan bau kolonial yang
kental dengan kekejamannya. Jendela itu adalah saksi buta dari masa
penderitaan di kala perjuangan sebelum kemerdekaan.
Seharusnya aku merasa beruntung karena aku tidak dilahirkan pada masa
itu. Masa yang penuh rintihan tangis saat tubuh bergelimpangan dapat
kita temukan di setiap jengkal tanah. Masa dimana pelajar sebayaku harus
meninggalkan bangku sekolah untuk memegang bambu runcing membantu
perang kemerdekaan. Satu kata merdeka adalah hal yang lebih dari cukup
dalam impian mereka. Sekarang 61 tahun peristiwa itu telah berlalu.
Pembangunan berjalan di segala bidang termasuk pendidikan. Sebuah bidang
yang harus aku dalami lebih dari 9 tahun untuk meraih masa depan yang
cerah. Untuk menggantikan darah yang terkucur, ribuan nyawa yang telah
gugur dan air mata yang menetes. Sekarang aku hanya perlu membuka mata
dan mendengarkan untuk melanjutkan jasa pahlawan sebagai seorang
pelajar. Tapi tidak, sekarang aku terlalu malas.
Dari tiga jendela besar yang menjuntai aku menengok gemerisik daun
yang bersentuhan. Deru kendaraan yang berlari di atas aspal. Aku lebih
memilih untuk tetap menempelkan kepala di atas punggung meja sembari
memejamkan mataku.
—
Matahari bersinar condong ke barat, cahayanya terbias dalam bayangan
miring. Kepalaku masih menempel di atas punggung meja yang kasar.
Kelopak mataku mekar dalam sore yang kusam. Aku mengusap mataku yang
masih berkunang-kunang. Aku tersadar ternyata aku masih berada dalam
ruangan kelas. Bodohnya aku!!! tertidur hingga mereka meninggalkanku
dalam ruangan kelas yang sepi.
“DUER… DUERR,”
“Suara apa itu?” bisikku panik dalam hati. Lantai yang aku pijak
bergetar membuat kakiku goyah. “Apakah sedang ada teroris?” ucapku panik
sebagai reaksi pertama karena terlalu sering menonton berita di TV.
Sungguh, suara itu bergaung laksana auman maut yang siap menerkam. Aku
bangkit dan melangkah keluar ruangan.
Aku terpaku menatap dunia berbeda di luar ruangan.
Dimana aku sekarang? Ini bukan halaman sekolahku. Bangunannya memang
sama tapi tidak sekuno ini. Tidak ada konblok yang membalut tanah,
catnya bernuansa sephia dan terlihat kusam. Aku juga tidak menemukan
teman-teman sebayaku. Semua orang berlari panik sembari menggenggam
sebuah bambu runcing. Dentuman keras yang aku kira bom ternyata adalah
sebuah meriam kuno yang sama sekali tidak karatan. Mataku tercekal saat
melihat remaja sebayaku berpakaian mirip Eyang di kala muda.
“ASTAGA!!!” Apa aku masih berada dalam alam mimpi? atau Aku yang memang
kuper tidak mendengar kalau sekolahku ditunjuk sebagai tempat syuting
pembuatan film kemerdekaan?
“HEI KAU SEDANG APA!? Cepat sembunyi!!!” teriak remaja sebayaku dengan
ikat kepala merah putih. Aku panik. Aku putuskan untuk mengambil langkah
seribu masuk kembali ke dalam kelas. Tanganku bergetar hebat saat
menutup daun pintu. Sekujur tubuhku menggigil. Aku meringkuk ketakutan
di bawah meja dengan telinga yang aku tutup rapat-rapat. Semua terasa
nyata hingga beribu pertanyaan menghujam otakku.
“DUER…DUER!!!” Suara itu masih bergaung membuat bulu kudukku
merinding. Ada teriakkan pilu yang mengiringi dentuman keras itu. Aku
takut. Pikiranku terlalu kacau untuk mencerna semua yang telah aku
alami. Di luar banyak remaja sebayaku yang sedang berjuang tapi aku
malah meringkuk di sini. Aku bangkit memutuskan untuk melihat keadaan.
Aku naik ke atas meja dan mengintip situasi di luar dari celah jendela.
Jendela-yang-sama-dengan-yang-aku lihat-di-kelas-tadi. Air mataku
menetes dengan sendirinya saat aku menatap keadaan di luar. Sungguh
pengecut!!! aku terpaku di sini tanpa melakukan apapun.
Banyak tubuh yang tergolek lemah bersimbah darah. Batangan bambu
tersebar dalam genggaman tangan mati. Banyak insan yang telah
menghembuskan nafas terakhir tapi belum sempat menutup mata. Rona merah
senja semerah cairan anyir yang terkucur.
Malam menjelang tanpa cahaya. Tak ada penerangan kecuali sinar redup
dari bulan sabit di angkasa. Bintang-bintang pun terlalu sombong untuk
bersinar. Kedua tanganku penuh darah yang bau anyirnya sudah merebak ke
seluruh ruangan. Aku lupa dengan ketakutanku pada cairan yang aku sebut
darah. Aku mencoba mempraktekan ilmu PMR yang aku dapat di sekolah
semampuku. Aku balut luka mereka yang menganga lebar dengan kain
seadanya. Hatiku miris saat melihat ada beberapa luka dihinggapi lalat.
Sapaan angin lembut masuk dari jendela tanpa daun. Tubuh bergelimpangan
memenuhi ruangan kecil dan pengap. Mereka terlalu letih untuk beradu
dengan pekatnya malam. Kami terpaksa bermalam dalam lorong ini karena
takut musuh akan menyerang kami tiba-tiba. Aku silangkan kedua tanganku
saat udara malam yang dingin mulai membalut ruangan. Aku sandarkan
punggungku pada sebuah tiang kayu besar. Dalam setiap detik yang
berjalan, selalu aku dengarkan ada suara orang yang merintih. Rintihan
kelu akan kerinduan besar pada sebuah kebebasan. Aku selalu berharap ini
hanya mimpi tapi ini adalah kenyataan. Andai saat itu aku tahu bahwa
perjuangan menuju kemerdekaan itu sekeras ini. Aku menyesal karena aku
telah menyia-nyiakannya dengan malas belajar. Dalam keheningan malam aku
meratapi penyesalanku pada diriku sendiri.
Seseorang berjalan mendekat dan duduk tepat di sampingku. Sepertinya
ia adalah seseorang yang berteriak padaku siang tadi. Ia menarik sebuah
nafas panjang yang lebih mirip sebuah dengusan. Matanya menerawang
menatap langit malam yang penuh gumpalan awan. Aku dapat melihat
pancaran sinar kesedihan sekaligus dendam dalam matanya.
Aku terdiam dalam hening. “Kau sangat membenci mereka?” tanyaku ragu.
“Tentu. Mereka yang telah memenggal kepala ayahku di depan semua orang
karena ayahku terlalu setia pada kata merdeka. Mereka juga telah membawa
Ibu dan kakak perempuanku pergi entah kemana.” ucapnya dengan nada
sedih.
“Setiap kali aku bertanya mengapa ayah terlalu setia pada kemerdekaan ia
tidak menjawab. Ia tersenyum dan mengatakan jika aku seturut pada
jalannya pasti aku akan tahu,”
“Apa sekarang kau sudah tahu?” tanyaku.
“Belum. Tapi jika kita menang besok, pasti kita akan tahu,” jawabnya.
“Biar nyawamu melayang,” balasku.
“Ya, biar pun nyawaku melayang” jawabnya sembari tersenyum penuh arti ke
arahku. “Nyawa adalah sebuah semut kecil dibandingkan arti dari sebuah
kemerdekaan. Bendera merah putih akan tegak berdiri di langit biru dan
angin kebebasan akan berderai, itu adalah impian terbesarku” ucapnya
bersemangat.
“Kau tahu, lebih baik mati daripada terjerat dalam tangan penjajah,”
“Mengapa?” tanyaku ingin tahu.
“Mereka akan menyiksa kita dengan siksaan terkeji yang pernah ada jika
kita tak mau membeberkan rahasia. Mungkin punggung kita akan disapa
dengan cambuk bergerigi tajam tapi itu belum seberapa dibandingkan
jeratan bambu tajam yang akan meremukan jari kita tapi itu juga belum
seberapa dibandingkan dengan penggalan maut seperti yang dialami ayahku”
ucapnya miris.
Aku tercengang saat mendengarkan ceritanya.
“Ngomong-ngomong, bukankah kamu yang terpaku sore tadi tanpa senjata,” tanyanya curiga.
“I…iya,” jawabku terbata.
“Aku Farid, siapa namamu?” tanyanya sembari menyodorkan tangannya kearahku.
“Buma,” jawabku sembari membalas uluran tangannya.
“Sebaiknya kau tidur, masih banyak yang harus kita lakukan besok,”
Aku membaringkan tubuhku di atas lantai dingin tanpa alas. Dalam
keheningan malam aku merenungkan tentang semua yang terjadi. Apa artinya
semua ini? Aku mencoba memejamkan mata tapi aku terus terjaga. Farid
masih duduk menerawang ke langit, mungkin ia rindu pada keluarganya. Aku
jadi teringat akan keluargaku di rumah, masih dapatkah aku berjumpa
dengan mereka? Farid mengeluarkan sebuah seruling bambu dan kemudian
meniupkannya. Nada-nadanya mengalun sendu terlarut dalam misteri malam.
Sebuah lagu yang menyiratkan kerinduan besar akan sebuah kebebasan.
Suasana sendu menyelimuti malam. Sekarang aku mulai tahu arti kata
perjuangan.
Bola raksasa terbit dari ufuk timur. Sinarnya menyiratkan warna
kuning keemasan yang merajai pagi. Aku masih terlalu mengantuk untuk
menyadari, APA yang telah aku alami. Kelopak mataku terpaksa mekar
karena cahaya putih yang menyilaukan. Aku terkejut. Semua badan renta
yang bergelimpangan di sisi kiri dan kananku telah tiada. Saat aku
keluar ternyata mereka sudah maju bertempur walaupun dalam keadaan
terluka. Suasana di luar sama kacau dengan keadaan kemarin. Aku berlari
mengambil bambu runcing dan bergabung dalam pertempuran yang mulai
memanas.
“DUER…DUERR.” Dentuman meriam seakan menjadi sangkakala genderang
peperangan. Kubu musuh jauh lebih banyak dibandingkan kami yang hanya
segelintir orang. Entah mengapa ada suatu dorongan besar yang
mengobarkan keberanianku. Tanpa ragu aku mengayunkan bambu runcing
hingga menusuk punggung seseorang musuh dari belakang. Darah merahnya
memancar hingga ke tanah. Ia roboh. Senapan dalam tangan matinya aku
rebut. Baru pertama kali ini aku menjadi seorang pembunuh. Aku ingat
akan semboyan terkenal peperangan. Dalam peperangan kita harus membunuh
atau kita yang akan mati. Aku arahkan senapan ke arah musuh dan
menembakannya membabi-buta hingga satu persatu dari mereka tergolek
lemah.
Gemerisik daun yang teduh menaungi peperangan semerah neraka. Mataku
menangkap sosok Farid yang susah nekad berlari ke atas gedung dengan
membawa bendera merah-putih. Ada seseorang dengan seragam musuh yang
mengarahkan senapan padanya padahal ia hanya membawa sebatang bambu
runcing. Pandanganku teralih pada seorang musuh lain yang mengarahkan
senapannya padaku, tapi aku lebih cepat 1 detik darinya. Aku dihadapkan
pada dua pilihan yang sulit. Nyawaku atau bendera merah putih itu
berkibar di langit. Akhirnya aku tembakan peluru terakhirku mengarah
pada seorang musuh yang sedang membidikkan pelurunya ke arah Farid
sementara aku merasakan sebuah benda kecil nan dingin yang menembus dada
kiriku. Aku merasa ada ribuan semut yang melubangi dadaku. Berjuta rasa
yang aku rasakan, sakit, perih, pilu, sekaligus bangga. Cairan yang
mengucur semerah bendera merah putih yang berkibar di atas gedung putih
itu. Badanku serasa terbang laksana kain merah-putih yang berderai. Aku
menarik kerutan senyum untuk terakhir kalinya saat melihat Farid
melambai-lambaikan bendera merah-putih.
Malaikat putih menari dalam gemerisik daun yang bersentuhan. Cahaya
sucinya membumbung ke arah bola agung di langit. Sangkakala senja
menabuh peperangan merah. Darah yang tercecer tidaklah seperih tadi.
Bendera merah-putih berkibar tegak di langit angkasa biru seakan
memberiku senyuman. Kebebasan yang berderai telah bergema ke seluruh
penjuru. Benar kata orang, nyawa ini tidaklah berarti dibandingkan
sebuah kemerdekaan. Bunga yang gugur akan terpahat dalam sejarah masa
lalu. Badan renta ini akan terbang bersama angin kebebasan.
Aku bertanya apakah aku sudah berada di surga sekarang. Tidak, tempat
ini terlalu riuh untuk di katakan sebuah surga. Aku mengusap kelopak
mataku hingga aku bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sekitarku.
Ini di dalam kelas. Ruangan kelas yang penuh temanku sama seperti
sediakala. Pandangan mata mereka hanya mengarah padaku yang tertangkap
basah tidur di kelas. Tapi aku telah mengalami mimpi yang aneh sekaligus
hebat. Mimpi yang ingin aku ceritakan pada dunia tentang apa yang telah
aku lakukan. Tapi mimpi tetaplah mimpi, aku malangkah ke depan kelas
untuk menerima hukuman karena aku telah tidur di kelas. Hukuman ini
lebih baik daripada harus menjalani lagi perjalanan menderita menuju
kemerdekaan. Akan aku hargai perjuangan mereka mulai dari sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar