Senin, 23 Maret 2015

Jejak Terakhir

Desember 1979, aku lupa tanggal dan hari tersebut. Yang kutahu hari itu menjadi hari yang cukup tenang untuk menikmati rumah baru keluargaku sebelum sisa-sisa kolonial Belanda menghabiskan segalanya yang ku punya, menyapu bersih kehidupan di desa sukaharjo, di desa kecil di jawa tangah.
“Kak, ada apa ini?” tanya ku kepada kakak tunggal ku, Hamid.
“Ssssttt!” jawabnya, dengan sebuah isyarat untuk diam.
“Hamid, Hamzah! cepat pergi dari rumah ini, lewat pintu belakang! Dan tak usah kembali!” perintah Ibu dengan wajah cemas dan kebingungan.
“Tapi bu?” tanya ku dengan bimbang.
Belum sempat menjawab pertanyaan ku, Kak Hamid menarik tangan ku yang kala itu tak mau meninggalkan kedua orangtuaku.
“Sebentar kak! Aku pikir kita perlu ini.” sepasang senjata tradisional, ku ambil dari dapur rumah.
Akhirnya kami berdua pergi meninggalkan rumah. Tak disangka beberapa prajurit Belanda Kolonial mengejar kami berdua, dengan spontan langkah seribu kami kerahkan untuk menghindari sergapan prajurit Belanda Kolonial. Sudah lumayan lama kami berdua berlari, tiba-tiba kaki kak Hamid berhenti di sela-sela pepohonan.
“Zah, kita harus berpencar disini untuk memperkecil pandangan Belanda kolonial, aku ke timur kau ke barat” ujar kak Hamid.
“Tidak kak! Kita saudara, satu darah! Kita harus bersama! Harus menjaga satu sama lain! Aku tak mau” Jawabku.
“Zah! Kau ini adikku! Kau harus percaya dan turuti aku!” ujar kak Hamid sambil memegang bahuku.
“Tidak! Pasti ada cara lain untuk menghindari orang itu!” jawabku dengan suara lantang.
“Dan inilah caranya! Aku ambil Keris ini dan kau bawa Panah nya, cepat! Cepat! Lari!”
Dan akhirnya aku berlari menuju ke timur, dengan kaki yang lemah ini dengan perasaan yang berat ini, aku meninggalkannya dengan air mata meninggalkan semuanya yang ku ketahui.
Aku terus berlari dan menuliskan tinta-tinta sejarah untuk mengingat segala hal, termasuk senjata Panah yang terpaksa aku jual demi kehidupanku.
Setelah itu, setelah pelarian itu aku hidup di daerah pendidikan, bukan sebagai pelajar tetapi sebagai pengemis receh dari para manusia berjas. Tetapi aku tak tinggal diam, tak ku sia-sia kan uang yang aku kumpulkan, aku mengumpulkan semuanya dalam waktu yang tak lama untuk bisa memasuki tempat Pendidikan bekas zaman penjajahan. Aku lewati berbagai rintangan, semua ranjau telah ku lewati dan karena itulah terkadang aku di panggil jenius, tetapi tak se jenius dalam mengatasi kekurangan uang. Akhirnya aku keluar dari tempat Pendidikan itu dengan rasa kecewa dan pasrah, seakan aku marah kepada diriku sendiri. Setelah itu, berbulan-bulan kulewati dengan mengemis kembali, hanya bisa menyuguhkan telapak tangan untuk meminta.
“Zah, kamu dapet panggilan sama pemilik sekolah!” salah seorang mantan teman se pelajar ku memberi tahu kepada ku.
“Ada apa ya?”
“Mana ku tahu? Sudah cepat! Semoga hal baik yang kau dengar!”
“Benar juga ya?” pikirku.
Hal itu tak membuat banyak pertanyaan bagiku, yang ku pikir pada saat itu hanyalah hal-hal baik. Langsung tak memakai lama aku pun menuju tempat pendidikan tersebut.
“Kenapa, Pakde?” tanya ku kepada pemilik tempat pendidikan tersebut.
“Ini lho, ada yang mencari mu!” jelas nya.
“Hamzah, siapkan koper! Kita akan ke Amerika? Apakah Kamu suka nasi? Jika begitu jangan harap di sana ada nasi, yang ada kita hanya bermain di dunia politik, hmmm, tidak tidak tidak bukan kita, tapi kamu Hamzah! Apakah kamu siap?” tiba-tiba seorang misterius berkata kepada ku.
“La, Bapak siapa ya?” Tanya ku.
“Aku ini duta besar Indonesia di Amerika, kebetulan aku lagi ada urusan di negeri ini”
Aku pun hanya memanggut seraya meneteskan air mata bahagia menandakan iya.
Mulai dari sinilah aku ciptakan jejak baru ku, sejarah baru ku, dan bahasa baru ku. Namun, disisi lain aku menyesal untuk hijrah ke Amerika, hal ini membuat aku semakin jauh dari keberadaan Kak Hamid yang sebenarnya tak ku ketahui keberadaan nya, tetapi dugaan ku selama ini dia hanya berada di Indonesia, tidak kemana-mana dan aku berjanji akan mencarinya.
20 Agustus 1998, aku menyelesiakan pendidikan ku di salah satu universitas politik di Washington dan aku langsung terjun ke dunia politik dan bekerja di Kedubes Indonesia di Amerika. Selama aku bekerja di Kedubes RI tak ada yang istimewa bagi ku, hari-hari selalau berlangsung sangat membosankan, tetapi inilah jalanku inilah jalan yang ku pilih, dan tak ada sedikit keraguan di dalamnya, aku yakin pekerjaan ini pasti suatu saat akan mendapat tantangan yang sangat berat.
Tahun terus berganti tahun, benar saja tebakan ku. 16 tahun kemudian Korea Utara mengancam untuk meledakkan perang dunia ke III setelah mengumumkan akan mengawalinya dengan melancarkan serangan nuklir ke negara Paman Sam atas dasar kebohongan Amerika dalam kerjasama yang telah lama mereka jalin, tetapi menurutku itu bukanlah sebuah kebohongan melainkan perbedaan ketika berpendat dan kesalahpahaman anatara kedua pihak. Hal tersebut tentu saja membuat seluruh negara geger di buatnya, termasuk Indonesia sebagai Pendiri Gerakan Non Blok. Dengan begitu pemerintah pusat RI mengirimkan surat perintah agar disegerakannya pembentukan tim komisi peleraian konflik Amerika-Korea Utara, dan aku di tunjuk sebagai salah satu anggotanya.
Segala hal peleraian lewat jalur diplomatik gagal, Korea Utara tak mau membatalkan rencananya, dan Korea Utara mengumumkan akan melancarkan serangan besar-besaran di waktu kapan pun. Tetapi hal itu belum selesai bagi ku aku akan terus memikirkan bagaimana caranya untuk bisa meleraikan konflik ini.
“Sudahlah Zah, kita berdua gak akan bisa melerai konflik besar-besaran ini” jelas Raymond, teman kerjaku.
“shut up! kamu kerjain dulu apa tugasmu! Apakah kamu ingin banyak orang mati akibat peperangan?”
“Whatever, eh Zah ku dengar Amerika akan dapat bantuan dari prmerintah RI lewat jalur militer”
“Bulshit..!” jawabku tak acuh.
“Dasar! Tumpukan kertas itu akan memakan mu Hamzah, awas hati-hati!”
Beberapa minggu kemudian, tampaknya ancaman Korea Utara hanya omong kosong, orang-orang Amerika banyak yang tak menghiraukannya dan menganggap itu hanyalah sekedar isu, aku pikir Korea Utara membatalkan serangannya atau entah bagaimana. Namun, sepertinya hatiku mulai ingin hijrah kembali ke tanah air, dan mulai menulusuri Indonesia untuk mencari Kak Hamid, entah mengapa dalam benakku selalu tergebu-gebu untuk mencarinya, aku mulai muak dengan tantangan ini aku hampir habis terlalap mesin ketik di ruangan ini, pikirku dalam hati.
“Hei! Tak menyangka kau ada disini!” tiba-tiba seseorang memanggilku.
“Siapa?” jawabku acuh tak acuh, karena aku sedang sibuk dengan komputerku
“Oi, Hamzah!” panggil orang itu seolah-olah ia mengenalku.
“Raymond? Gimana hasil nya?” jawabku, ku kira orang itu adalah Raymond.
“Hamzah! Aku bukan Rayon atau siapa itu namanya dan aku di pihak mu!” jawab orang itu.
Perlahan ku tengok kan kepala ku ke arah orang itu, ternyata seorang prajurit tentara lengkap dengan senjata sniper H&K G-3 di pelukannya, dan orang itu adalah orang yang membuat air mataku menetes dengan tiba-tiba.
“Kak Hamid?! Benar kau Kak Hamid?! Astaga! apakah kau mencariku? Kenapa kau ada di sini? Kok bisa? Hahahaha! Lihat uban mu?”
“Hamzah! Hahaha! Hamzah, Hamzah tak kusangka kau akan memakai kacamata” Takjub Kak Hamid seraya berlari memelukku, den sesekali meemegang kapalaku.
“Kak, kemari jangan disini reuni nya, kita harus masuk ke ruangan yang aman!” ujarku
“Baiklah” jawab Kak Hamid.
Lalu ku ajak Kak Hamid menuju ruang kerjaku. Di perjalanan aku telah banyak merancang kata untuk membuat pertanyaan kenapa ia ada disini, dan meyakinkan bahwa ia adalah benar-benar saudarku yang telah lama terpisah.
“Duduklah, Kak!”
“Baiklah, kita mulai darimana pembicaraan ini?!” tanya Kak Hamid.
“itu seragam mu?” Tanya ku.
“Oohh, aku jelaskan mulai dari seragamku. Aku masuk dalam prajurit yang dikirim pemerintah RI dalam misi perdamaian konflik Amerika-Korut, aku kemari bersama prajurit lainnya yang terbagi dalam tiga gelombang, kebetulan aku masuk dalam gelombang pertama dan aku bisa di bilang veteran di kelompok ku. kami cenderung memihak ke Amerika karena hubungan diplomatik kami dengan mereka sangat erat. Begitulah ceritanya” jelas Kak Hamid.
“Lalu? kenapa kau bisa masuk dalam pasukan ini? Sejak kapan” tanyaku lagi.
“Hahah, Hamzah. Aku tidak ingusan seperti kecil dulu. Begini.., dulunya? Setelah kita berpisah, aku memilih ke timur karena aku tahu, jika aku berlari terus aku akan menemukan tempat Pendidikan Prajurit Rakyat, tapi tak mudah! Aku dulu masih berumur 13 tahun, aku belum mencapai syarat utama untuk masuk dalam tempat itu! Aku menghabiskan waktu 4 tahun untuk menjadi kuli bangunan saaat itu, dan akhirnya? Lewat kerja keras dan kesabaran aku dapat memasuki tempat itu dan menjadi satu-satunya penembak jitu pada saat itu. Dan kamu, Zah? Kenapa jas dan kacamata menempel di tubuhmu?”
“Huft, itu perjalanan yang memalukan bagiku, aku tak sekuat dirimu, Kak! Perintahmu itu? Ketika aku pergi ke arah barat sangat tepat! Aku hanya jadi pengemis disana! Bahkan aku menjual satu-satu nya barang yang bakal jadi kenangan, Panah! Ya, senjata tradisional itu ku relakan untuk ku jual demi bisa masuk di tempat salah satu tempat Pendidikan di daerah sana, di Yogyakarta. Tetapi aku hanya dapat duduk di bangku selama tujuh bulan! Beruntungnya, ada seseorang guru besar yang takjub terhadap kecerdasan ku dan memungut aku sebagai anak nya, dan akhirnya aku di kirim ke sekolah Politik di Washington, ya…, inilah aku jadinya! Mendapat tugas sebagai anggota dari sebuah komisi yang bertujuan melerai lewat jalur diplomasi” jelas ku panjang lebar.
“Hei, Hamzah apakah kau gila?” tiba-tiba Raymond memotong pembicaraan.
“Heiheiheihei, kau Raymond? Kenalkan ini kakakku, Hamid! Kak Hamid? Ini Raymond!”
“Aduh, Hamzah? Habis makan apa kau? Bicara dengan siapa kau? Sudah kubilang tumpukkan kertas itu akan memakanmu Hamzah! Kendalikan akalmu, jangan biarkan semua ini membuatmu menjadi terhalusinasi! Masih banyak yang harus kita selesaikan!” jelas Raymond dengan kata-kata yang tak ku mengerti.
“Haduhh, Raymond! Kamu ini! Kamu sudah benar akan beritamu, dan inilah kakak ku! Ia tergabung dalam squad militer dari pemerintah RI, kamu benar Raymond.!” Jelas ku, agar Raymond tak keliru.
“Setan kau Hamzah, memang benar itu! Tapi tidak di kirim ke Washington, tetapi di New York! Kerasukan apa kau ini?! Tak mungkin seorang prajurit masuk gedung ini?! Sendirian lagi! Tanyakan kepada Kakak khayalan mu itu? Mana surat tanda kemiliterannya?!”
“Mana Kak!? Tunjukkan saja kepada si tolol itu!?”
“Mana?! mana?!” desak Raymond, yang tak ada maksud itu.
“Aduh Raymond kamu ini! Jangan menyinggung kakakku. Ntar dia pergi dari gedung ini, tuuukan merengut Kak Hamid nya!”
Tiba-tiba sirine tanda serangan udara terdengar di kuping ku, kurasa ini adalah serangan lewat pasukan penerjun.
“Hamzah, ayo pergi! ini serangan rudal dari Korut!” ajak Raymond yang semakin lama semakin ngawur.
“Mengapa kau khawatir? Ini adalah serangan penerjun, tidak terlalu berbahaya! kita masih aman, lagi pula kita masih punya prajurit handal disini, hahaha! Betul kan kak?”
“Sadarlah! Sadarlah Hamzah! tak ada namanya Kakakmu itu! Yang ada kita harus kabur!”
“No!, aku ingin nostalgia dulu.!”
Tiba-tiba Raymond menarik ku dengan paksa untuk keluar bangunan, ku dengar banyak suara ledakan di sekitarku.
“Dimana kakak ku?” tanyaku.
“Sudahlah! Jangan bodoh! Kita harus berlari, kita harus pergi ke dalam tanker bawah tanah!” jelas Raymond.
Kami pun keluar gedung, entah dengan maksud apa temanku satu ini. Tiba-tiba sebuah rudal menghatam daerah seiktar kami dan menciptakan ledakan hebat, sehingga kami pun terpental jauh.
“Raymond! Kita harus kembali ke gedung! Untuk menyelamatkan kakakku”
“Loss!” jawab Raymond.
“Ayo Raymond!” ajakku.
“Bukan, bukan itu yang ku maksud, aku berkata lost! Kalah! Kita kalah Hamzah! semua orang berteriak menjemput kematian, ini buruk Hamzah! Jika kau dapat melihat dengan jelas kau akan merasakaanya” kulihat wajah Raymond mengeluarkan air matanya.
Tiba-tiba rudal yang lain menyusul dan membuat ledakkan, lagi-lagi kami terpental jauh tetapi kali ini dalam jarak yang berbeda. Na’as, sebuah besi menancap di perutku aku merasa ngilu dan pedih dan sisa-sisa ledakan masih mengiung mengganggu pendengaranku, tidak beberapa lama tiba-tiba Raymond mendatangiku dengan mimik wajah yang tak jelas lalu ku balas dengan senyuman di bibirku.
“Kau tahu Raymond?! Kau benar!.. se..sekali la..gi kau be…bbb…nar! aku dapat merasakan nya Raymond! Aaa…aaaku sedang dalam sa…dar, dan ak..kkku merasakan panasnya Indonesia, ak..ku melihat cahaya disana”
“Hamzah! Walaupun kau hanya menghayal! Aku tahu karena ini adalah wujud keinginanmu yang tak terwujud, aku tahu Hamzah”
Aku hanya menjawab dengan senyuman, karena aku sadar aku tak mampu menjawabnya, karena aku sadar kak Hamid itu tak kan bertemu aku, karena aku sadar azal akan menjemputku, dan aku akan segera mati, mati sebagai seseorang yang sendiri dan tak berguna. Karena inilah jejak terakhirku, jejak pencarianku yang tak berguna dan tak berbuah hasil.
Washington 23 september 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar