Desember 1979, aku lupa tanggal dan hari tersebut. Yang kutahu hari
itu menjadi hari yang cukup tenang untuk menikmati rumah baru keluargaku
sebelum sisa-sisa kolonial Belanda menghabiskan segalanya yang ku
punya, menyapu bersih kehidupan di desa sukaharjo, di desa kecil di jawa
tangah.
“Kak, ada apa ini?” tanya ku kepada kakak tunggal ku, Hamid.
“Ssssttt!” jawabnya, dengan sebuah isyarat untuk diam.
“Hamid, Hamzah! cepat pergi dari rumah ini, lewat pintu belakang! Dan
tak usah kembali!” perintah Ibu dengan wajah cemas dan kebingungan.
“Tapi bu?” tanya ku dengan bimbang.
Belum sempat menjawab pertanyaan ku, Kak Hamid menarik tangan ku yang kala itu tak mau meninggalkan kedua orangtuaku.
“Sebentar kak! Aku pikir kita perlu ini.” sepasang senjata tradisional, ku ambil dari dapur rumah.
Akhirnya kami berdua pergi meninggalkan rumah. Tak disangka beberapa
prajurit Belanda Kolonial mengejar kami berdua, dengan spontan langkah
seribu kami kerahkan untuk menghindari sergapan prajurit Belanda
Kolonial. Sudah lumayan lama kami berdua berlari, tiba-tiba kaki kak
Hamid berhenti di sela-sela pepohonan.
“Zah, kita harus berpencar disini untuk memperkecil pandangan Belanda kolonial, aku ke timur kau ke barat” ujar kak Hamid.
“Tidak kak! Kita saudara, satu darah! Kita harus bersama! Harus menjaga satu sama lain! Aku tak mau” Jawabku.
“Zah! Kau ini adikku! Kau harus percaya dan turuti aku!” ujar kak Hamid sambil memegang bahuku.
“Tidak! Pasti ada cara lain untuk menghindari orang itu!” jawabku dengan suara lantang.
“Dan inilah caranya! Aku ambil Keris ini dan kau bawa Panah nya, cepat! Cepat! Lari!”
Dan akhirnya aku berlari menuju ke timur, dengan kaki yang lemah ini
dengan perasaan yang berat ini, aku meninggalkannya dengan air mata
meninggalkan semuanya yang ku ketahui.
Aku terus berlari dan menuliskan tinta-tinta sejarah untuk mengingat
segala hal, termasuk senjata Panah yang terpaksa aku jual demi
kehidupanku.
Setelah itu, setelah pelarian itu aku hidup di daerah pendidikan,
bukan sebagai pelajar tetapi sebagai pengemis receh dari para manusia
berjas. Tetapi aku tak tinggal diam, tak ku sia-sia kan uang yang aku
kumpulkan, aku mengumpulkan semuanya dalam waktu yang tak lama untuk
bisa memasuki tempat Pendidikan bekas zaman penjajahan. Aku lewati
berbagai rintangan, semua ranjau telah ku lewati dan karena itulah
terkadang aku di panggil jenius, tetapi tak se jenius dalam mengatasi
kekurangan uang. Akhirnya aku keluar dari tempat Pendidikan itu dengan
rasa kecewa dan pasrah, seakan aku marah kepada diriku sendiri. Setelah
itu, berbulan-bulan kulewati dengan mengemis kembali, hanya bisa
menyuguhkan telapak tangan untuk meminta.
“Zah, kamu dapet panggilan sama pemilik sekolah!” salah seorang mantan teman se pelajar ku memberi tahu kepada ku.
“Ada apa ya?”
“Mana ku tahu? Sudah cepat! Semoga hal baik yang kau dengar!”
“Benar juga ya?” pikirku.
Hal itu tak membuat banyak pertanyaan bagiku, yang ku pikir pada saat
itu hanyalah hal-hal baik. Langsung tak memakai lama aku pun menuju
tempat pendidikan tersebut.
“Kenapa, Pakde?” tanya ku kepada pemilik tempat pendidikan tersebut.
“Ini lho, ada yang mencari mu!” jelas nya.
“Hamzah, siapkan koper! Kita akan ke Amerika? Apakah Kamu suka nasi?
Jika begitu jangan harap di sana ada nasi, yang ada kita hanya bermain
di dunia politik, hmmm, tidak tidak tidak bukan kita, tapi kamu Hamzah!
Apakah kamu siap?” tiba-tiba seorang misterius berkata kepada ku.
“La, Bapak siapa ya?” Tanya ku.
“Aku ini duta besar Indonesia di Amerika, kebetulan aku lagi ada urusan di negeri ini”
Aku pun hanya memanggut seraya meneteskan air mata bahagia menandakan iya.
Mulai dari sinilah aku ciptakan jejak baru ku, sejarah baru ku, dan
bahasa baru ku. Namun, disisi lain aku menyesal untuk hijrah ke Amerika,
hal ini membuat aku semakin jauh dari keberadaan Kak Hamid yang
sebenarnya tak ku ketahui keberadaan nya, tetapi dugaan ku selama ini
dia hanya berada di Indonesia, tidak kemana-mana dan aku berjanji akan
mencarinya.
20 Agustus 1998, aku menyelesiakan pendidikan ku di salah satu
universitas politik di Washington dan aku langsung terjun ke dunia
politik dan bekerja di Kedubes Indonesia di Amerika. Selama aku bekerja
di Kedubes RI tak ada yang istimewa bagi ku, hari-hari selalau
berlangsung sangat membosankan, tetapi inilah jalanku inilah jalan yang
ku pilih, dan tak ada sedikit keraguan di dalamnya, aku yakin pekerjaan
ini pasti suatu saat akan mendapat tantangan yang sangat berat.
Tahun terus berganti tahun, benar saja tebakan ku. 16 tahun kemudian
Korea Utara mengancam untuk meledakkan perang dunia ke III setelah
mengumumkan akan mengawalinya dengan melancarkan serangan nuklir ke
negara Paman Sam atas dasar kebohongan Amerika dalam kerjasama yang
telah lama mereka jalin, tetapi menurutku itu bukanlah sebuah kebohongan
melainkan perbedaan ketika berpendat dan kesalahpahaman anatara kedua
pihak. Hal tersebut tentu saja membuat seluruh negara geger di buatnya,
termasuk Indonesia sebagai Pendiri Gerakan Non Blok. Dengan begitu
pemerintah pusat RI mengirimkan surat perintah agar disegerakannya
pembentukan tim komisi peleraian konflik Amerika-Korea Utara, dan aku di
tunjuk sebagai salah satu anggotanya.
Segala hal peleraian lewat jalur diplomatik gagal, Korea Utara tak
mau membatalkan rencananya, dan Korea Utara mengumumkan akan melancarkan
serangan besar-besaran di waktu kapan pun. Tetapi hal itu belum selesai
bagi ku aku akan terus memikirkan bagaimana caranya untuk bisa
meleraikan konflik ini.
“Sudahlah Zah, kita berdua gak akan bisa melerai konflik besar-besaran ini” jelas Raymond, teman kerjaku.
“shut up! kamu kerjain dulu apa tugasmu! Apakah kamu ingin banyak orang mati akibat peperangan?”
“Whatever, eh Zah ku dengar Amerika akan dapat bantuan dari prmerintah RI lewat jalur militer”
“Bulshit..!” jawabku tak acuh.
“Dasar! Tumpukan kertas itu akan memakan mu Hamzah, awas hati-hati!”
Beberapa minggu kemudian, tampaknya ancaman Korea Utara hanya omong
kosong, orang-orang Amerika banyak yang tak menghiraukannya dan
menganggap itu hanyalah sekedar isu, aku pikir Korea Utara membatalkan
serangannya atau entah bagaimana. Namun, sepertinya hatiku mulai ingin
hijrah kembali ke tanah air, dan mulai menulusuri Indonesia untuk
mencari Kak Hamid, entah mengapa dalam benakku selalu tergebu-gebu untuk
mencarinya, aku mulai muak dengan tantangan ini aku hampir habis
terlalap mesin ketik di ruangan ini, pikirku dalam hati.
“Hei! Tak menyangka kau ada disini!” tiba-tiba seseorang memanggilku.
“Siapa?” jawabku acuh tak acuh, karena aku sedang sibuk dengan komputerku
“Oi, Hamzah!” panggil orang itu seolah-olah ia mengenalku.
“Raymond? Gimana hasil nya?” jawabku, ku kira orang itu adalah Raymond.
“Hamzah! Aku bukan Rayon atau siapa itu namanya dan aku di pihak mu!” jawab orang itu.
Perlahan ku tengok kan kepala ku ke arah orang itu, ternyata seorang
prajurit tentara lengkap dengan senjata sniper H&K G-3 di
pelukannya, dan orang itu adalah orang yang membuat air mataku menetes
dengan tiba-tiba.
“Kak Hamid?! Benar kau Kak Hamid?! Astaga! apakah kau mencariku? Kenapa kau ada di sini? Kok bisa? Hahahaha! Lihat uban mu?”
“Hamzah! Hahaha! Hamzah, Hamzah tak kusangka kau akan memakai kacamata”
Takjub Kak Hamid seraya berlari memelukku, den sesekali meemegang
kapalaku.
“Kak, kemari jangan disini reuni nya, kita harus masuk ke ruangan yang aman!” ujarku
“Baiklah” jawab Kak Hamid.
Lalu ku ajak Kak Hamid menuju ruang kerjaku. Di perjalanan aku telah
banyak merancang kata untuk membuat pertanyaan kenapa ia ada disini, dan
meyakinkan bahwa ia adalah benar-benar saudarku yang telah lama
terpisah.
“Duduklah, Kak!”
“Baiklah, kita mulai darimana pembicaraan ini?!” tanya Kak Hamid.
“itu seragam mu?” Tanya ku.
“Oohh, aku jelaskan mulai dari seragamku. Aku masuk dalam prajurit yang
dikirim pemerintah RI dalam misi perdamaian konflik Amerika-Korut, aku
kemari bersama prajurit lainnya yang terbagi dalam tiga gelombang,
kebetulan aku masuk dalam gelombang pertama dan aku bisa di bilang
veteran di kelompok ku. kami cenderung memihak ke Amerika karena
hubungan diplomatik kami dengan mereka sangat erat. Begitulah ceritanya”
jelas Kak Hamid.
“Lalu? kenapa kau bisa masuk dalam pasukan ini? Sejak kapan” tanyaku lagi.
“Hahah, Hamzah. Aku tidak ingusan seperti kecil dulu. Begini.., dulunya?
Setelah kita berpisah, aku memilih ke timur karena aku tahu, jika aku
berlari terus aku akan menemukan tempat Pendidikan Prajurit Rakyat, tapi
tak mudah! Aku dulu masih berumur 13 tahun, aku belum mencapai syarat
utama untuk masuk dalam tempat itu! Aku menghabiskan waktu 4 tahun untuk
menjadi kuli bangunan saaat itu, dan akhirnya? Lewat kerja keras dan
kesabaran aku dapat memasuki tempat itu dan menjadi satu-satunya
penembak jitu pada saat itu. Dan kamu, Zah? Kenapa jas dan kacamata
menempel di tubuhmu?”
“Huft, itu perjalanan yang memalukan bagiku, aku tak sekuat dirimu, Kak!
Perintahmu itu? Ketika aku pergi ke arah barat sangat tepat! Aku hanya
jadi pengemis disana! Bahkan aku menjual satu-satu nya barang yang bakal
jadi kenangan, Panah! Ya, senjata tradisional itu ku relakan untuk ku
jual demi bisa masuk di tempat salah satu tempat Pendidikan di daerah
sana, di Yogyakarta. Tetapi aku hanya dapat duduk di bangku selama tujuh
bulan! Beruntungnya, ada seseorang guru besar yang takjub terhadap
kecerdasan ku dan memungut aku sebagai anak nya, dan akhirnya aku di
kirim ke sekolah Politik di Washington, ya…, inilah aku jadinya!
Mendapat tugas sebagai anggota dari sebuah komisi yang bertujuan melerai
lewat jalur diplomasi” jelas ku panjang lebar.
“Hei, Hamzah apakah kau gila?” tiba-tiba Raymond memotong pembicaraan.
“Heiheiheihei, kau Raymond? Kenalkan ini kakakku, Hamid! Kak Hamid? Ini Raymond!”
“Aduh, Hamzah? Habis makan apa kau? Bicara dengan siapa kau? Sudah
kubilang tumpukkan kertas itu akan memakanmu Hamzah! Kendalikan akalmu,
jangan biarkan semua ini membuatmu menjadi terhalusinasi! Masih banyak
yang harus kita selesaikan!” jelas Raymond dengan kata-kata yang tak ku
mengerti.
“Haduhh, Raymond! Kamu ini! Kamu sudah benar akan beritamu, dan inilah
kakak ku! Ia tergabung dalam squad militer dari pemerintah RI, kamu
benar Raymond.!” Jelas ku, agar Raymond tak keliru.
“Setan kau Hamzah, memang benar itu! Tapi tidak di kirim ke Washington,
tetapi di New York! Kerasukan apa kau ini?! Tak mungkin seorang prajurit
masuk gedung ini?! Sendirian lagi! Tanyakan kepada Kakak khayalan mu
itu? Mana surat tanda kemiliterannya?!”
“Mana Kak!? Tunjukkan saja kepada si tolol itu!?”
“Mana?! mana?!” desak Raymond, yang tak ada maksud itu.
“Aduh Raymond kamu ini! Jangan menyinggung kakakku. Ntar dia pergi dari gedung ini, tuuukan merengut Kak Hamid nya!”
Tiba-tiba sirine tanda serangan udara terdengar di kuping ku, kurasa ini adalah serangan lewat pasukan penerjun.
“Hamzah, ayo pergi! ini serangan rudal dari Korut!” ajak Raymond yang semakin lama semakin ngawur.
“Mengapa kau khawatir? Ini adalah serangan penerjun, tidak terlalu
berbahaya! kita masih aman, lagi pula kita masih punya prajurit handal
disini, hahaha! Betul kan kak?”
“Sadarlah! Sadarlah Hamzah! tak ada namanya Kakakmu itu! Yang ada kita harus kabur!”
“No!, aku ingin nostalgia dulu.!”
Tiba-tiba Raymond menarik ku dengan paksa untuk keluar bangunan, ku dengar banyak suara ledakan di sekitarku.
“Dimana kakak ku?” tanyaku.
“Sudahlah! Jangan bodoh! Kita harus berlari, kita harus pergi ke dalam tanker bawah tanah!” jelas Raymond.
Kami pun keluar gedung, entah dengan maksud apa temanku satu ini.
Tiba-tiba sebuah rudal menghatam daerah seiktar kami dan menciptakan
ledakan hebat, sehingga kami pun terpental jauh.
“Raymond! Kita harus kembali ke gedung! Untuk menyelamatkan kakakku”
“Loss!” jawab Raymond.
“Ayo Raymond!” ajakku.
“Bukan, bukan itu yang ku maksud, aku berkata lost! Kalah! Kita kalah
Hamzah! semua orang berteriak menjemput kematian, ini buruk Hamzah! Jika
kau dapat melihat dengan jelas kau akan merasakaanya” kulihat wajah
Raymond mengeluarkan air matanya.
Tiba-tiba rudal yang lain menyusul dan membuat ledakkan, lagi-lagi
kami terpental jauh tetapi kali ini dalam jarak yang berbeda. Na’as,
sebuah besi menancap di perutku aku merasa ngilu dan pedih dan sisa-sisa
ledakan masih mengiung mengganggu pendengaranku, tidak beberapa lama
tiba-tiba Raymond mendatangiku dengan mimik wajah yang tak jelas lalu ku
balas dengan senyuman di bibirku.
“Kau tahu Raymond?! Kau benar!.. se..sekali la..gi kau be…bbb…nar! aku
dapat merasakan nya Raymond! Aaa…aaaku sedang dalam sa…dar, dan ak..kkku
merasakan panasnya Indonesia, ak..ku melihat cahaya disana”
“Hamzah! Walaupun kau hanya menghayal! Aku tahu karena ini adalah wujud keinginanmu yang tak terwujud, aku tahu Hamzah”
Aku hanya menjawab dengan senyuman, karena aku sadar aku tak mampu
menjawabnya, karena aku sadar kak Hamid itu tak kan bertemu aku, karena
aku sadar azal akan menjemputku, dan aku akan segera mati, mati sebagai
seseorang yang sendiri dan tak berguna. Karena inilah jejak terakhirku,
jejak pencarianku yang tak berguna dan tak berbuah hasil.
Washington 23 september 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar