MP3 playerku masih setia menemaniku hingga senja tiba. Lagu-lagu
favoritku dan dia terus terputar di playlist yang telah ku buat. Membuat
ku semakin tenggelam dalam kenangan saat masih bersamanya. Sahabatku
yang dulu selalu ada di sampingku. Aku masih terhanyut dalam kenangan di
masa lalu sejak pagi tadi. Kini senja mulai menampakan wujudnya, namun
aku masih tak ingin keluar dari kamarku.
“Bayangkan ku melayang seluruh nafasku terbang. Bayangkan ku
menghilang semua tanpamu teman. Bila nafasku lepas, semua langkah yang
lelah, semua waktu yang hilang tapi bayangmu tetap….”
Tak mampu lagi aku menahan air mata ini saat terdengar lagu Peterpan
yang berjudul Sahabat terputar di MP3 player yang ku taruh tepat di
sampingku. Air mataku mulai jatuh membasahi pipiku. Aku hanya bisa
menggigit kecil bibir bawahku untuk menahan kesedihanku. Ku buka satu
persatu gambar-gambar yang penuh kenangan di album fotoku. Gambar-gambar
yang mengingatkan ku akan sosok dia yang pernah menjadi orang paling
penting dalam hidupku. Namanya adalah Rosid. Sahabat terbaik yang pernah
ku miliki. Dahulu kami selalu bersama, dimanapun ada dia maka disitulah
aku berada.
—
Namanya adalah Rosid. Dia adalah seorang anak pecinta alam. Bahkan
karenanya lah kini aku juga menjadi anak pecinta alam juga. Saat itu
Rosid dan teman-teman lainnya yang tergabung dalam ekskul pecinta alam
di sekolahku ingin mengadakan pendakian ke gunung Semeru yang terletak
di Malang. Acara ini memang di khususkan dalam rangka perpisahan untuk
angkatan ku yang memang sebentar lagi akan lulus dan keluar dari sekolah
tentunya. Rosid sudah terbilang sebagai pendaki yang aktif walaupun
umurnya masih 18 tahun saat itu. Dia sudah pernah mendaki ke gunung Gede
Pangrango sebanyak dua kali, ke gunung Salak dan Semeru satu kali.
Walaupun aku berteman dengannya tak lantas membuatku juga aktif
sepertinya. Aku hanya pernah mengikutinya mendaki ke gunung Gede
Pangrango, itu pun hanya sekali. Maka dari itu dia sangat bersikeras
untuk mengajakku mendaki lagi. Karena dia pernah mengatakan padaku
“Sahabatku harus menjadi manusia yang kuat, terbiasa menghadapi
tantangan dan menaklukan tantangan itu.”
Hari keberangkatan pun tiba. Kami berkumpul di sekolah tepat pukul 11
pagi. Hari itu tak semendung biasanya. Awan hitam mulai menyelimuti
langit sejak pukul setengah 11 tadi. Membuat langit terlihat gelap
seolah sedang bersedih akan kepergian seseorang. Namun, aku hanya
menganggapnya sebagai tanda akan turun hujan. Sekitar jam 1 siang
barulah kami berangkat dengan bis yang telah di sewa sebelumnya. Hujan
yang ku kira akan turun tadinya ternyata tak turun juga. Tapi saat bis
mulai berjalan keluar dan menuju ke jalan besar barulah rintikan hujan
mulai terlihat. Sepanjang perjalanan kami terus bernyanyi dan tertawa
bersama. “Jek, lagunya Mr. Big Jek yang judulnya Bang Toyib!” Teriak
Rosid saat itu meminta sebuah lagu ke Jaka yang sedang memainkan gitar.
“Hahahaha” Kami pun tertawa bersama karena permintaan Rosid yang aneh
itu.
“Bangun woi bangun!! Ayo udah sampe nih kita!” teriak salah satu
temanku membangunkan kami satu persatu saat bis sudah sampai ke tujuan.
Kami segera terbangun dan mulai turun dari bis. Saat itu kami diturunkan
di pasar Tumpang dan sudah siap dua mobil jeep yang akan membawa kami
menuju resort Ratu Pani. Sesampainya di resort Ratu Pani kami
beristirahat sejenak menghilangkan rasa lelah yang telah menempel di
tubuh sejak tadi.
Sudah lama aku tak melihat suasana seperti ini. Suasana para pendaki
yang sudah siap dengan peralatan lengkapnya masing-masing. Berkumpul dan
saling berinteraksi antara satu sama lainnya. Saling berbagi pengalaman
dan memberikan masukan. Waktunya pendakian pun tiba, kami saling
berkumpul membentuk lingkaran. Kami berdoa bersama kepada sang ilahi
meminta perlindungannya agar semua dapat berjalan lancar. Selesai berdoa
kami diminta oleh Rosid untuk bergabung dengan rombongan pendaki lain
yang berasal dari mahasiswa pecinta alam dari Universitas lain di
Jakarta.
“Loh, kita gabung sama mereka sid?” Tanyaku yang terheran-heran ke Rosid.
“Iyalah, mana sanggup gue ngejagain lo semua kalo sendirian? Kan kalo
ada mereka banyak yang ngejagain orang amatir kayak lo pastinya. Haha..”
Jawab Rosid sambil menggodaku.
“Emmm… Tau deh yang udah sering naik. Naik berat badan!” Balasku sembari menepuk bahunya.
“Hahaha…” Rosid hanya membalas dengan tertawa
Sepanjang perjalanan aku dan Rosid selalu bersama. Rosid selalu
berada di belakangku seperti ingin selalu menjagaku. Sempat aku merasa
risih karena aku ingin sesekali berada di belakangnya. Namun, ah
sudahlah mungkin memang belum saatnya aku menjaga dia. Setelah berjalan
cukup jauh, sampailah kami di Ranu Kumbolo. Pemandangan yang indah
dengan rumput-rumput ilalang serta sekumpulan air jernih yang membentuk
danau terlihat berada di tengah-tengahnya. Sungguh pemandangan terindah
pertama kali yang pernah ku lihat saat mendaki gunung.
“Kita istirahat sebentar ya di sini!” Teriak salah satu mahasiswa
pecinta alam yang mendampingi kami. Lalu kami mulai beristirahat sembari
menikmati pemandangan. Sungguh hanya rasa syukur dan kagum pada sang
ilahi saat itu yang ada di otakku karena aku benar-benar disuguhkan oleh
pemandangan yang indah. Belum lama aku merasa cukup beristirahat,
rombongan kami sudah diminta untuk melanjutkan perjalanan lagi. Aku yang
masih merasa lelah saat itu lalu meminta Rosid untuk tinggal beberapa
saat lagi. Rosid menerima permintaanku dan mempersilahkan rombongan
untuk jalan lebih dulu.
Setelah sudah cukup aku beristirahat barulah aku dan Rosid mulai
melanjutkan perjalanan lagi. “Lo tau jalan kan Sid?” Tanyaku yang ingin
menggodanya. “Iya tau, tau..” Jawab Rosid sambil terus berjalan di
belakangku. Memang aku sudah percaya saat itu dengan Rosid karena dia
memang sudah pernah ke Semeru sebelumnya. Tak lama kami berjalan
sampailah kami di padang rumput yang cukup luas dengan bukit dan hutan
yang mengelilingi di sisinya. Padang rumput itu bernama Oro-oro ombo.
Aku terus berjalan sambil terus menikmati pemandangan, hingga aku
sedikit memelankan langkahku. “Ini jalannya kemana Sid?” tanyaku yang
bingung. “Udah jalan lurus aja.” Jawab Rosid yang sempat terdiam
beberapa detik saat aku bertanya. Beberapa langkah aku sudah berjalan
aku memutuskan untuk berhenti karena aku tidak bisa membaca arah saat
itu. Aku meminta Rosid untuk berada di depanku dan dia pun langsung
berada di depanku. Baru pertama kalinya saat itu Rosid benar-benar
berada di depanku dalam perjalanan pendakian.
Saat itu aku memang benar-benar percaya padanya karena dia memang
sudah pernah ke Semeru sebelumnya. Tapi sepanjang aku di belakangnya
Rosid tampak seperti orang yang mencari arah. Sering dia melihat ke
kanan dan ke kiri, bahkan tak jarang dia memutarkan badannya
memperhatikan sekitar sambil terus melangkah. Sempat aku ingin bertanya
padanya tapi rasa tak enak dalam diriku membuatku membatalkan niatku.
Kami terus melangkah hingga memasuki wilayah hutan pinus. Kami terus
melanjutkan langkah kami satu jam lamanya dan aku masih melangkah di
belakang Rosid. “Boy kita nyasar kayaknya nih..” ucap Rosid padaku.
Awalnya aku hanya menganggap itu sebagai candaannya saja tapi ternyata
dia tidak bercanda. “Ya udah kita balik aja ke tempat tadi Sid!” ucapku
mencoba memberikan pendapat pada Rosid. “Nggak bisa, kita udah terlalu
jauh masuk ke hutan, lagi pula tadi aku lupa tak memberi tanda sepanjang
perjalanan kita masuk ke hutan tadi.” Jelas Rosid yang mulai bingung.
Saat itu hari mulai gelap, kami terus berjalan hingga bisa menemukan
tempat yang pas untuk kami bersitirahat sejenak. “Kita istirahat dulu di
sini. Kita nggak akan jalan di malam hari. Terlalu bahaya…” Ucap Rosid
padaku. Kami pun beristirahat, kami tidur dengan sleeping bag
masing-masing ditemani api unggun kecil yang tadi sempat dibuat Rosid.
Saat itu aku tak seperti orang yang hilang. Aku merasa sangat terjaga
saat sedang bersamanya. Tak ada rasa ragu dan takut sedikitpun yang
menyelimutiku.
Sudah hampir dua hari kami berada di dalam hutan dan masih belum bisa
menemukan jalan keluar. Kali ini keadaannya benar-benar berbeda. Aku
dan Rosid sudah mulai lelah, persediaan makanan dan air kami sudah
habis. Bahkan saat ini Rosid kakinya terluka akibat tersayat batang
pohon saat mencoba melewati pohon yang sudah tumbang. “Sid gue udah
nggak kuat lagi nih..” kata ku yang berjalan tertatih-tatih sambil
menuntun Rosid yang jalan terpincang-pincang. “Kita pasti bisa Boy, kita
nggak boleh nyerah di sini. Belum waktunya…” Ucap Rosid yang mencoba
memotivasiku. Semangatku kembali tumbuh saat Rosid terus memotivasiku.
“Nah ini dia jalannya, nggak lama lagi kita sampe Boy!” teriak Rosid
dengan penuh semangat. Tapi saat aku mulai melangkah tiba-tiba dia
seperti menjerit kesakitan “Aaarrghh..”. “Lo kenapa sid?” tanyaku
sembari mendudukan dan menyandarkan Rosid di bawah pohon. “Kaki gue
sakit banget Boy..” Rosid merintih kesakitan sambil memegangi kakinya
yang terluka. Aku melihat luka di kakinya semakin parah, mungkin karena
infeksi. Memang saat Rosid mendapatkan luka itu, tak adanya obat membuat
ku terpaksa hanya bisa mengikat luka yang cukup lebar di sekitar tulang
keringnya dengan kain. Pikirku agar darahnya tak terus keluar dan
infeksi tak cepat menyebar. Ku lihat wajahnya mulai pucat. Bibirnya
mulai berwarna putih seperti orang yang kekurangan darah. “Sid lo harus
kuat sid! Lo kan yang bilang kalo kita nggak boleh nyerah sekarang!” aku
mencoba meyakinkan Rosid jika dia harus berjuang. “Udah nggak bisa
Boy.. udah nggak bisa..Ssshhh..” Rosid menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil memegangi kakinya dan menahan rasa sakitnya. “Lo harus pergi
sekarang Boy, kita udah di jalur yang bener. Nggak jauh dari sini lo
akan nemuin pos Kalimati..” Rosid mencoba menunjukan arah jalannya pada
ku. “Nggak! Gue nggak akan pernah ninggalin lo! Kita bakalan hidup Sid!”
Teriak ku saat itu yang mulai menitikan air mata. “Kalo emang lo mau
gue hidup, sekarang juga pergi ke pos Kalimati dan cari pertolongan di
sana. Dan bawa pertolongan itu ke sini Boy..” Rosid mencoba menyuruhku
pergi. Aku benar-benar tak bisa menahan air mata ku saat itu. Aku
tertunduk lalu ku lihat wajahnya yang mulai pucat tersenyum padaku. Aku
putuskan untuk segera berlari menuju ke pos Kalimati. Aku berlari dan
terus berlari agar aku bisa menyelamatkan sahabatku. Aku terus berlari
seolah aku sudah lupa jika badanku sudah letih saat itu. Akhirnya aku
berhasil mencapai Kalimati dan kulihat banyak tenda dan para pendaki
yang berkumpul di situ. Beberapa dari mereka melihat ke arahku.
Langkahku mulai terhenti, aku masih terus mencoba mengangkat kakiku
untuk terus melangkah. Pandanganku mulai buram, badanku mulai terasa
berat dan nafasku sudah sangat terengah-engah. Tubuhku jatuh menghantam
tanah, mereka yang melihatku langsung menghampiriku dan mengangkatku.
Dari situ aku sudah mulai tak ingat apa-apa lagi hingga aku tersadar
sudah terbaring di tandu yang dibawa oleh banyak orang.
Mereka menaruhku di sebuah pos penjagaan, ingatku itu adalah Ratu
Pani. Pos pertama tempat kami mendaftar untuk mendaki. Aku masih belum
bisa benar-benar ingat apa yang terjadi padaku saat itu. Tapi tiba-tiba
terdengar teriakan seseorang “Ada satu lagi di belakang! Lukanya
parah!”. Sontak aku langsung bisa mengingat semuanya dan aku langsung
mencoba membangunkan tubuhku yang sudah benar-benar tak berdaya ini. Aku
lihat samar seorang anak seusiaku yang sedang di bawa oleh petugas
dengan menggunakan tandu. Berbeda denganku, anak itu langsung di berikan
pertolongan yang intensif. Saat itu ramai orang yang berkerumun,
berlari ke sana ke mari. “Rosiid.. Rosiid..” Ku teriak bersusah payah,
namun hanya sedikit suara yang mampu keluar dari mulutku ini. Mereka
yang berkerumun mulai pergi dan aku sudah bisa melihat Rosid dari
kejauhan sedang diperiksa oleh petugas medis. Air mataku mulai
berlinang, tubuhku kembali sangat lemas begitu aku melihat petugas medis
itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Memberikan isyarat pada petugas
lain jika anak itu sudah tak lagi bisa diselamatkan. Aku benar-benar tak
sanggup lagi menahan air mata saat itu. Aku hanya bisa menangis saat
itu sambil terus melampiaskan kekesalan di dalam pikiranku. “Bahkan saat
sedang sekarat pun kau masih mencoba untuk menjagaku sid. Kau
menyuruhku pergi dengan alasan untuk menyelamatkanmu. Padahal kamu tahu
jika kamu tak akan bisa selamat! Lalu kenapa kamu menyuruhku pergi?
Kenapa kamu tak membiarkanku di sampingmu? kanapa kamu ingin aku hidup?
Kenapa kita tak bisa pergi bersama lagi Sid? kenapa.. kenapa..???”
—
Kini sepuluh tahun sudah kepergian mu kawan. Aku masih sangat ingat
semua pesan yang kau berikan padaku. Aku masih ingat keinginanmu yang
terakhir saat kita tersesat di hutan. Malam itu kau berkata padaku “Aku
ingin bekerja membantu ibuku, membiayai adikku kuliah hingga melihatnya
wisuda.” Kini aku sudah mewujudkan keinginanmu. Ku yakin kau sudah
melihat adikmu wisuda dari tempatmu berada sekarang. Soal ibumu, aku
sudah memberikannya warung kecil-kecilan. Jadi kau tak perlu khawatir
lagi dan bisa tenang di sana. Tenang sahabatku itu semua sama sekali tak
merepotkanku. Berkatmu kini aku telah menemukan alasan mengapa aku
masih hidup hingga saat ini dan mengapa kau menginginkan ku tuk tetap
hidup. Sampai jumpa sahabat ku. Jika di kehidupan lain nanti kita
bertemu lagi, aku ingin kau menjadi sahabatku lagi dan aku lah yang akan
selalu berada di belakangmu, melihat punggungmu dan menjagamu selalu.
Terima kasih, sahabatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar