Tengah hari itu, kabupaten Lahat seakan membara. Hujan yang tak
kunjung datang membuat matahari berpijar di tengah petala langit. Tanah
mulai gersang berselabut debu seakan menyemburkan uap api neraka yang
mendidih panas. Siswa SMA Negeri 4 Lahat berteduh di bawah atap kelasnya
untuk melaksanakan bimbel siang. Sekolah yang berada di tengah hutan,
jauh dari hingar bingar keramaian. Masyarakatnya masih mempercayai
kepercayaan nenek moyang.
Meski begitu, ternyata berbeda halnya dengan lingkungan di dalam sekolah
SMANPALA? SMA Negeri 4 Lahat? yang bernuansa Islami. Sekolah ini
bertaraf internasional. Belajar dari pagi sampai malam sehingga
keakraban siswa, guru dan seluruh penghuni SMANPALA sangat erat.
Iffah, salah seorang siswi kelas XII IPA-1, berbalut jilbab pink
seragam sekolahnya yang rapi, gede dan syar’i menambah keanggunannnya.
Iffah saat itu tengah sibuk mengerjakan soal-soal untuk persiapan ujian
nasional yang tinggal hitungan hari. Meski itu momok yang sangat
menakutkan, Iffah tetap yakin. Insya Allah bisa menaklukkannya dengan
berusaha dan berdoa kepada Allah.
Diam-diam ternyata Iffah memiliki segenggam impian yang tertulis
besar di whiteboard dinding kamarnya. Tertulis “Universitas Al-Azhar.
Man Jadda Wajadda.” Entah angin apa yang membawanya bermimpi sampai ke
negeri Fir’aun itu. Azzam Iffah semakin kuat seperti bangunan piramida
yang takkan roboh oleh terpaan badai. Tekadnya semakin bulat meski
terkadang terdengar suara bisik-bisik orang yang mematahkan semangatnya.
“Hei! Tinggi sekali mimpimu, tidak akan mungkin kau bisa ke sana!” Kata mereka dengan nada mengejek.
Hati Iffah seakan luluh lantak demi mendengar orang yang mengejek
impiannya. Namun, Iffah mengibas suara ejekan itu? seakan tak mendengar.
Membalas dengan menyunggingkan secercah senyuman manis di wajahnya.
Ternyata dibalik senyuman manisnya itu, hatinya menjerit pedih hingga ke
ulu hati. Laa tahzan, Innallaha ma’ana. Batin Iffah lirih dalam
hatinya.
Malam mulai menuju tengahnya. Iffah pun bangkit dari tidurnya untuk
menjalankan shalat malam demi mewujudkan mimpinya. Dalam keheningan
malam itu, Iffah berpegang pada tangisan, untaian doa, menghirup bau
malam dan menikmati keajaiban istighfar. Iffah mengadukan keluh kesahnya
yang memberontak di dalam dada kepada pemilik takdirnya. Bibirnya
bergetar dan air mata menderai-derai membasahi mukena ungunya.
“Ya Allah, Engkau mengetahui impianku ini, hanya kepada-Mu hamba
meminta. Ya Allah, hamba bermimpi ingin berkuliah di Universitas
Al-Azhar. Jika itu yang terbaik berikanlah petunjuk dan kemudahan bagi
hamba, Ya Allah. Niatku hanya untuk-Mu. Hamba ingin memperdalam ilmu
agama sehingga ilmu itu bisa hamba amalkan dan tersampaikan kepada kaum
muslimin dan muslimat. Ya Allah, sesungguhnya hanya Engkau yang
mengetahui rahasiaku dan hal yang aku tampakkan. Maka terimalah segala
udzur-ku, kabulkanlah yang aku butuhkan, berikanlah kepadaku apa-apa
yang aku minta. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala
sesuatu yang ada dalam hatiku, mengetahui masalah duniaku, agamaku dan
akhiratku. Sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu.”
Itulah untaian doa yang kerap terlantun dari bibirnya. Doa-doa yang
terangkai dari lubuk hati yang terdalam. Kalimat yang tersusun dari
gejolak yang sering memberontak dalam jiwanya. Hati yang sering menjerit
ketika ada orang-orang yang mengejek impiannya.
Siangnya, Iffah bergegas melangkahkan kaki di tengah teriknya
matahari yang mengikuti dirinya untuk pergi ke warnet mencari informasi
seputar pendidikan Universitas Al-Azhar – Mesir. Tak lama browsing,
Iffah menemukan informasi tentang “Persyaratan Seleksi Nasional Calon
Mahasiswa Al-Azhar.” Kening Iffah seketika berkerut dan mulai putus asa
ketika mengetahui informasi untuk seleksi test Al-Azhar harus lah
memiliki ijazah Madrasah Aliyah dengan status akreditasi “DISAMAKAN”
pada Universitas Al-Azhar.
Ya Allah, akankah impianku hanya berhenti sampai di sini? Tanya Iffah
dalam hati seakan Allah berada di depan matanya, dengan berderai air
mata.
Rintangan yang bertubi-tubi menerpa belum akan mematahkan
semangatnya. Baginya rintangan ini adalah ujian yang tak perlu
dikeluhkan tapi patut disyukuri. Ujian yang memberi berkah dan hidayah
untuk semakin dekat kepada Allah. Di tengah ujian yang terus digelung
nestapa rupanya Iffah teringat “mantra” Man Jadda Wajadda. Mantra yang
sangat mujarab menguatkan azzam-nya. Iffah tetap kuat dan tersenyum
menjalaninya meski tak tahu skenario apa lagi yang akan di perankannya.
Suka duka dilaluinya dengan ber-khusnudzon kepada Allah. Iffah teringat
pada sebuah ayat dalam firman Allah SWT; “Boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (QS.Al-Baqarah [2] : 216)
Iffah kemudian melanjutkan membaca informasi test Perguruan Tinggi Al-Azhar, Mesir yang tertulis :
1. Ujian Lisan (menggunakan bahasa arab)
Meliputi : Bahasa Arab (percakapan terjemah dan teks) dan hafalan/bacaan Al- Quran minimal 3 juz;
2. Ujian Tulis ( menggunakan bahasa arab)
Meliputi : Bahasa Arab (memahami teks, kata bahasa dan insya’) dan Pengetahuan Agama Islam (PAI).
Wajah Iffah tertunduk diam tak berkutik. Tangannya seakan membeku
seketika. Namun tak lama kemudian, semua mencair dengan spontan. Wajah
Iffah berubah tegap seakan baru saja ada yang membisikkan di telinga
kanannya; “Fah, ingatlah janji Allah Kun Fayakun.” Hening. “Ya, ya, ya,
kalam Allah itu seperti hidup, renyah, mengucurkan air segar pada
pemahaman dibenakku akan janji Allah itu!” Dalam hati Iffah berteriak.
Ghiroh Iffah drastis membuncah.
Ujian Nasional telah berakhir dengan segala perjuangan belajar dari
pagi, siang, sore hingga malam di sekolah dan di rumah. Lelah dan penat
telah dilalui Iffah dengan penuh keikhlasan. Hasil pengumuman tak
mengecewakan. Sujud syukurpun Iffah lakukan dengan penuh khitmad. Sambil
menunggu ijazah keluar Iffah mengisi waktu penantiannya dengan memulai
menghafal Al-Quran dan privat mengaji tajwid di rumah.Tengah malam
sehabis shalat malam, Iffah mengambil mushaf tercinta yang covernya
berhias kain flanel berwarna ungu. Di depannya tertempel namanya Iffah.
Di ciumnya selalu mushaf-nya setelah menyelesaikan hafalan juz satu.
Ayat demi ayat dihafalnya dengan membersihkan niat semata hanya untuk
Allah. Hidayah apa yang membuatku mau menghafal Al-Quran? Tak terbersit
dalam hidupku untuk menghafal Al-Quran. Alhamdulillah hamdan katsiran
thayyiban mubarakatan fih. Batin Iffah dalam hatinya.
Senyuman merekah mulai menghinggapi wajah Iffah. Perlahan rintangan
demi rintangan mulai menemukan jalan keluar yang tak diduga-duga. Sore
itu, pintu rumah terdengar ada yang mengetuk. Selang beberapa detik,
terdengar suara.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!” Suara sandal jepit Iffah mengiringi langkah cepat menuju daun pintu.
“Eh Kakak dan Ayuk. Silakan, silakan masuk. Senang sekali rasanya
sore-sore begini sudah dikunjungi. Silakan, silakan duduk.” Iffah
mengenakan gamis ungunya menyambut tamu.
Kakak dan Ayuk adalah sepasang suami istri yang masih berkerabat
dekat dengan Ibu. Perbincangan dimulai ketika Ibu hadir di ruang tamu.
Sejenak Iffah meninggalkan ruang tamu untuk membuatkan minuman.
“Aduh, gak usah repot-repot, Dik!” Sapa ayuk ketika Iffah menghantarkan minum ke meja tamu.
“Gak apa, Yuk. Biasa saja.” Jawab Iffah sambil tersenyum ta’dzim.
“Oh ya, Iffah mau masuk kuliah dimana?” tanya ayuk. Iffah terdiam dan ragu-ragu menceritakan impiannya kepada Kakak dan Ayuk.
Suara lirih Iffah akhirnya keluar juga meski agak tersendat-sendat menceritakan kronologisnya.
“Kak, Adik punya impian ingin kuliah di Al-Azhar Mesir. Namun adik
mendapat kendala sekarang, Adik bingung. Dimana mencari pondok pesantren
yang ijazah Madrasah Aliyah-nya diakui oleh Universitas Al-Azhar?”
Iffah memecah kesunyian yang tadinya mendominasi.
“Oh… Adik mau mencoba ke sana ya? Subhanallah. Insya Allah… niat yang
baik akan dimudahkan oleh Allah.” Jawab Kakak dengan bijaksananya.
“Amiin.” Jawab Iffah dengan optimis sambil menanti kata-kata apalagi yang akan di ucapkan Kakak.
Tak berapa lama kakak pun bertanya kembali. “Hm… adik bilang tadi ingin
mencari pondok pesantren yang di akui oleh Al Azhar ya?” sambil
meletakkan gelas air minum yang baru diteguk olehnya.
“Iya, Kak!” Jawab Iffah cepat.
“Pondok Pesantren Raudhatul Ulum di Sakatiga Kecamatan Indralaya
Kabupaten Ogan Ilir saja, Dik. Kalau gak salah santriwatinya banyak
kuliah disana.”
Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakatan fih. Pertolongan
Allah semakin dekat dan tidak disangka-sangka datangnya. Lirih Iffah
dalam hati.
“Oh iya ya, Kak?” sambil bertanya dan mengucapkan syukur, perbincangan pun menemukan titik terang.
Perjalanan untuk meraih mimpi semakin panjang meski tertatih menapaki
hidup, tak membuat Iffah putus asa. Semangatnya semakin menggelora.
Jalannya mulai terbentang. Kehidupan di dalam pondok pesantren telah di
depan mata.
Perbincangan kemarin telah menghantarkan Iffah ke Pondok Pesantren
Raudhatul Ulum (RU). Meski harus mengulang satu tahun lagi di Madrasah
Aliyah untuk mendapatkan ijazah yang di akui oleh Al-Azhar, tak membuat
Iffah merasa rugi. Iffah yakin itulah pengorbanan yang harus dilakukan
untuk meraih cita-citanya.
Gapura Pondok Pesantren RU semakin dekat ketika mobil meluncur cepat
menuju ke arahnya. Setiba di pos satpam, terlihat beberapa orang santri
memberikan selembar kertas yang berisi tentang “barang-barang yang tidak
boleh dibawa santriwati selama mukim (belajar) di Pondok Pesantren RU”
antara lain tidak boleh membawa handphone, televisi, radio,
tape-recorder, kipas angin, MP3-player, laptop dan lain-lain.
Iffah mendapatkan kamar “Aisyah” bernomor satu. Tempat tidur yang
bertingkat dua, dihuni oleh dua belas orang santriwati kelas satu
Madrasah Aliyah dengan satu pembina kamar. Berat rasanya hati ketika
harus menyesuaikan diri dengan adik-adik yang terpaut usia beberapa
tahun. Cepat atau lambat Iffah pun harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan barunya.
Hari pertama di Pondok, kehidupannya berubah total dengan di SMA
dahulu, khususnya dari segi pemakaian bahasa sehari-hari. Sebelumnya
Iffah sudah tahu bahwa percakapan sehari-hari di pondok menggunakan
bahasa Arab. Sentak Iffah terkejut ketika mendengar adik kelas VII
Madrasah Tsanawiyah fasih bercakap menggunakan bahasa arab antar
temannya. Subhanallah, Iffah semakin semangat untuk belajar
mempraktekkan mufradat yang didapatkannya dalam percakapan sehari-hari.
Beberapa bulan, Iffah sudah mampu mempraktekkan bahasa Arab yang
didapatkannya dalam percakapan sehari-hari, seperti; “Kaifa khaluki ya
ukhti?” tanya salah satu adik kelas XI Madrasah Aliyah kepada Iffah.
“Bikhoiri walhamdulillah.” Jawab Iffah dengan fasihnya.
Beberapa bulan di Pondok, Iffah menjalin ukhuwah dengan anak
santriwati dan para Ummi yang mengajar disana. Iffah sangat bahagia
ketika menemukan seorang Ummi bernama Rita yang berkarakter lembut dan
baik hati. Beliau adalah seorang guru Fiqih. Ummi Rita menetap di area
Pondok sehingga ketika bosan di kamar, Iffah berkunjung ke rumah Ummi
yang tak jauh dari asrama. Ummilah yang setia mendengar cerita suka duka
impian Iffah selama di asrama.
Perasaan bingung mulai menyapa Iffah. Beberapa bulan di Pondok, Iffah
merasa kurang maksimal belajar. Guru khusus untuk mendidiknya tidak
ada. Berhubung Iffah hanya sendirian mengulang kembali satu tahun di
pondok, Iffah masih merasa awam dengan pelajaran di Pondok yang sangat
jelas jauh berbeda ketika di SMA dahulu. Berat rasanya melaluinya. Usaha
terus dilakukan Iffah mulai dari belajar sendirian mencari ilmu ke
rumah Ummi yang berada di area Pondok. Tapi tetap saja Iffah merasa
kurang maksimal dengan cara begitu. Iffah bingung, otaknya terus
berpikir. Waktu berputar semakin dekat akan tetapi ilmu yang didapatkan
baru sedikit. Kegelisahan mulai membumbung tinggi di hatinya. Tengah
malam, diadukannya masalahnya. Rutin setiap malam tak mengenal malas.
Keesokannya, Iffah menceritakan masalahnya di Pondok dan impiannya
kepada Ummi yang kebetulan alumni Al-Azhar. Perbincangan semakin ramai
ketika para Ummi yang lain pun turut memberikan saran. Istikharah pun,
Iffah laksanakan.
“Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Hamba bingung, apakah hamba
harus pulang ke rumah? Meraih mimpi di jalan lain. Ya Allah, berikanlah
petunjuk dan jalan keluar yang terbaik bagi hamba.” Iffah menangis
tersedu-sedu dalam doanya.
Beberapa hari, Iffah merenung dalam kesendirian. Ya Allah, apa yang
harus hamba lakukan? tanya Iffah lirih dalam hati. Perbincangan dengan
para Ummi kemarin, membuatnya memutuskan untuk keluar Pondok. Tekadnya
semakin bulat. Iffah tetap tegar menghadapi kenyataanya pahit.
Barang-barang telah selesai di-packing semalam.
Pagi harinya, salam terakhir yang mendung di waktu Dhuha,
menghantarkan Iffah pamit kepada adik-adik dan para Ummi yang sempat
hadir dalam kehidupannya. Mengenal mereka adalah anugerah terindah bagi
Iffah. Berat rasanya meninggalkan Pondok dengan suasana Islamnya yang
kental. Air matapun jatuh membasahi wajah manisnya ketika bersalaman
kepada para Ummi, khususnya Ummi Rita.
“Anakku… yakinlah Allah akan mengabulkan keinginanmu suatu saat nanti.” Lirih suara pesan Ummi Rita.
Iffahpun semakin terharu. “Aamiin.” Jawabnya sambil berpelukan erat dengan Ummi Rita.
Menapaki jalanan menuju pintu gerbang, Iffah perlahan menjauh dari
kerumunan para Ummi dan santriwati. Iffah berjalan membawa koper barang
di temani Mbak Dian yang kebetulan alumni SMA 4 Lahat yang bekerja
menjadi seorang guru di Pondok.
Setibanya di mulut pintu, Iffah dan mbak Dian naik beca motor,
kendaraan yang sangat akrab dengan warga masyarakat di Indralaya itu
disingkat menjadi “betor” menuju terrminal untuk mencari bus tujuan kota
Lahat.
Bus yang dinanti tiba. Iffah pun pamit bersalaman dengan Mbak Dian.
Iffah bergegas naik sendirian ke dalam bus dengan membawa koper dan
kardus yang berisi peralatan selama di asrama. Iffah memberanikan diri
pulang sendirian. Ini adalah pengalaman pertama Iffah di kota orang.
Bus meluncur kencang. Iffah duduk sendiri di dekat pintu ditemani
seorang laki-laki yang disebut Kenek yang sesekali berdiri di depan
pintu Bus. Pikiran Iffah menggelayut di otaknya selama mobil meluncur.
Hatinya menangis. Di ambilnya mushaf tersayangnya di tas kecil yang
selalu menemaninya dikala sedih maupun gembira. Perlahan dibuka dan
dibacanya dengan shirr.
Lima jam perjalanan masih jauh. Tiba-tiba Kenek itu menyapa Iffah.
“Banyak sekali barang bawaannya, Dek?”
Iffah hanya menggeroreskan senyum sedikit. Perbincangan pun selalu di
awali oleh Kenek yang dipanggil Iffah dengan sebutan “Kakak” itu.
Akhirnya Iffah pun mengeluarkan suara. “Iya Kak, dari Pondok.” Jawab Iffah ramah.
Perbincangan semakin terarah ketika si Kakak banyak bertanya tentang
Pondok Pesantren. Iffah pun menjawab satu per satu tentang kehidupan di
sana. Akhir perbincangan, Kakak Kenek itu memberikan pesan untuk meraih
mimpi itu perlu “DUIT.”
Iffah spontan mengerutkan keningnya. Kakak pun kembali menegaskan. “Iya perlu DUIT, Dek.” Ucapnya serius. “Ayo tahu gak DUIT?”
Iffah pun berfikir DUIT itu adalah uang. Ternyata jawabannya adalah
“Doa, Usaha, Ikhtiar, dan Tawakal” yang disingkat menjadi DUIT.
“Oh… begitu ya, Kak?” Jawab Iffah malu dalam hati.
Subhanallah, pesan yang sangat bagus sekali dari seorang Kenek. Hati
Iffah menjadi terhibur dengan pesan si Kakak yang kelak akan selalu
diingatnya.
Setiba di rumah, Iffah masih dirundung pilu seakan begitu berat ujian
yang diberikan Allah kepadanya. Hampir satu tahun sudah, Iffah berada
di rumah ditemani buku-buku Islam yang dibacanya. Ilmunya semakin
bertambah. Pelajaran demi pelajaran membuatnya berfikir positif. Ujian
demi ujian membuatnya semakin dekat kepada Allah. Shalat malam, witir,
fajar, dhuha, nyaris tak pernah ditinggalkannya selama satu tahun ini.
Pagi dan sore Alma’tsurat selalu dibacanya. Mushaf ungu yang selalu
dibacanya sehari 1 juz. Hafalan yang tetap berjalan. Tak menyangka
setelah pulang dari Pondok, Iffah bisa menghafalkan Surat Ar-Rahman yang
dianggapnya dahulu sulit.
Ternyata mantra “Man Jadda Wajadda” sangat mujarab untuk meraih
mimpinya. Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakatan fih. Iffah
tak putus asa meski mimpinya belum terwujud. Iffah tetap berusaha dan
bersemangat menggenggam impiannya.
Iffah teringat pada sebuah ayat dalam firman Allah SWT; “Sesungguhnya
Allah tidak akan mngubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’d ‘[13]:11). Ini adalah
pelajaran yang Iffah dapat di bangku SMA. Iffah men-tadabbur-i firman
itu dengan membacanya berulang-ulang untuk dapat memahami dengan penuh
pada isi yang disampaikan.
Dalam benak Iffah, teringat juga akan sebuah hadits; “Tidak ada yang
bisa mengubah qadha-nya Allah kecuali doa.” (H.R. Tirmidzi). Ditambah
dengan mantra “Man shabara zhafira”, Iffah tetap menggenggam impiannya
melalui firman Allah yang berbunyi; “Dan mintalah pertolongan kepada
Tuhanmu dengan melaksanakan shalat dan dengan sikap sabar.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 45].
Iffah selalu berdoa dengan ber-khusnudzan kepada Allah. Iffah teringat
sebuah hadits riwayat Muslim; “Tak perlu berkata seandainya, ikhlaskan
semua. Ini adalah takdir yang telah tertulis di Lauh Mahfuz lima puluh
ribu sebelum alam raya diciptakan.”
Tak perlu menangis karena kegagalan. Kegagalan baginya adalah sukses
yang tertunda. Karena itu, Iffah bangkit dan berusaha kembali
menggenggam impian. Tersenyumlah, Allah sedang mempersiapkan kesuksesan
yang lebih indah untuk hamba-hamba Allah di masa datang. Allah tidak
akan pernah menjadikan hambanya dengan sia-sia. Iffah semakin yakin
bahwa suatu saat nanti Allah akan mengabulkan impianya melalui “Man
Jadda Wajadda”.
Meski dari lulusan SMA dan bukan dari lulusan Pondok Pesantren, bukanlah
halangan untuk mengukir prestasi dalam bidang apapun yang diimpikan.
Niat yang baik karena-Nya, maka Allah akan memudahkan jalan menuju
impian.
~ SELESAI ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar