Senin, 23 Maret 2015

Kesedihanku

Sampai saat ini, yang menurutku telah 21 hari aku berada di sini, seingatku tak ada seorang pun dari keluargaku yang datang menjenguk. Suamiku, anak-anakku, ayah, ibu, mertuaku, semuanya. Tak ada satu pun yang menjengukku. Semuanya seakan alpa tentang keadaanku di sini, di suatu tempat yang dikelilingi jeruji besi ini.
Jujur, aku masih tak habis pikir mengapa wanita lemah sepertiku berada di sini. Yang kuingat, aku memecahkan akuarium besar milik majikanku yang kemudian membuatnya murka, dan aku pun langsung dipecatnya begitu saja. Tak hanya sampai di situ, esoknya saat aku tengah bergumul bersama anak-anakku, bercanda ria bersama, aparat keamanan meringkusku dengan paksa dan menuduhku dengan hal yang bukan-bukan. Pencuri, ya aku dituduh mencuri perhiasan milik mantan majikanku sendiri. Aku coba menjelaskan semuanya, bahwa ini fitnah, ini tuduhan yang salah. Tapi siapa yang akan mendengarkanku?
Dan karena itulah, 21 hari terakhir kulewati dengan terpaksa di tempat yang begitu pengap ini. Ya, semoga saja aku tak salah menghitung hari-hariku, sebab aku hanya bisa menandai pergantian hari lewat ventilasi kecil yang juga terpagari oleh besi tanpa sedikit pun tahu sekarang hari apa, tanggal berapa, dan sebagainya. Yang kuingat, sebelum aku meringkus tak berdaya di sini, ulang tahun ke-15 Alfi, anak sulungku tinggal beberapa hari lagi. Dan aku, sebagai seorang ibu yang senantiasa menyayanginya, dengan ini, telah memberikan kado yang buruk baginya, bahkan mungkin terlalu buruk untuk ia terima.
Padahal di tahun-tahun sebelumnya, aku tak pernah luput memberikan hadiah kecil-kecilan buat Alfi, juga buat Alfin, si pangeran sulungku di setiap kali ulang tahun mereka berdua tiba. Kadang mukenah, jlbab untuk Alfi, serta peci hitam dan baju koko untuk Alfin yang kubeli di toko obralan 2 kilometer dari rumah majikanku. Tapi kini, apa yang aku berikan untuk mereka? Ah, aku tak tahu harus berucap apa.
Dan hari ini, saat cahaya mentari baru saja menembus celah-celah ventilasi, saat pagi masih terasa gigil sekali, aku mendapati sepucuk surat kecil tergeletak di pojok kanan kamar baruku yang di kelilingi jeruji besi ini.
Aku mengambilnya, perlahan membukanya, dan kemudian membacanya dengan seksama,
Ibu, ini aku Alfi, anak Ibu. Semoga di sana ibu tetap baik-baik saja dan tak kekurangan satu apa pun.
Saat ini aku tengah sakit, Bu. Tapi bukan hanya ragaku yang sakit, jiwa dan perasaanku juga tengah terluka. Dalam sekali. Dan kuharap Ibu tidak akan shok dengan ceritaku ini.
Masih dapat dengan jelas kuingat malam itu, sehabis menunaikan shalat isya’ berjama’ah, seperti biasa aku dan Bapak menghibur Alfin yang masih terus saja menanyakan keberadaan Ibu. Kami terus bercanda tawa bersama di gubuk kecil kita yang begitu sederhana. Saat itu, Alfin benar-benar terhibur dan bisa sejenak melupakan keceriaan saat bersama Ibu. Tapi aku, yang sudah cukup mengerti semua ini, semua canda tawa itu terasa ganjil dan selalu saja terasa tak sempurna. Bukan karena apa-apa, Ibu. Tak lain karena tak ada Ibu di sini yang biasa mendampingi kami bercanda tawa bersama. Dan jujur, aku begitu rindu panggilan lelucon Ibu kepadaku yang dulu membuatku sedikit cemberut mendengarkan kalimat itu, “si gigi kelinci”. Kini aku begitu rindu kalimat itu, Bu. Sangat-sangat rindu. Terutama saat Ibu mengucapkannya sambil mencubit hidungku yang kata Ibu tak mancung-mancung juga. Aku rindu semua itu, Ibu. Sungguh begitu rindu.
Kami terus bercanda tawa bersama hingga akhirnya gigil malam membuat kami terlelap. Aku masih begitu ingat kata-kata Bapak sesaat sebelum aku terlelap bersama kantukku,
“Fi, kamu yang sabar ya, Nak. Besok kita jenguk Ibu di penjara. Tapi jangan bilang-bilang Alfin. Bapak gak mau adekmu itu mengerti semua ini.” Bapak membelai rambutku seperti waktu kecil dulu. Dan tiba-tiba aku kembali teringat dirimu, Bu. Teringat belaian lembutmu waktu aku kecil dulu. Aku rindu semua itu.
Sebelum terlelap, aku memandangi foto Ibu lekat-lekat dan kemudian memeluknya erat.
Aku begitu nyenyak merangkai mimpiku malam itu, di tambah lagi dengan gigil hujan yang tak kunjung reda, membuat tidurku semakin lelap saja. Jujur, malam itu aku memimpikanmu, Bu. Benar-benar memimpikan Ibu kembali bercanda tawa ria di antara kami, sebelum akhirnya ada sesuatu yang membuatku terperanjat dari tidurku. Aku merasa getaran, Ibu. Awalnya, aku menyangka hal itu hanya perasaanku saja. Namun lama kelamaan getaran itu semakin keras dan terus saja menjadi. Saat itu aku mendengar suara Alfin dari kamar sebelah yang berteriak memanggil Ibu, juga suara bapak yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Waktu itu, aku juga mendengar suara aneh dari tebing tanah curam di belakang gubuk kecil kita. Aku merinding. Aku khawatir. Sesegera mungkin aku membuka pintu kamar. Kulihat bapak mengahampiri Alfin, hendak menggendongnya. Bapak menoleh padaku lantas berkata, “Alfi, cepat keluar rumah!” bersamaan dengan suara Bapak, aku mendengar suara aneh yang seakan menimpa gubuk kita. Kraaaak. Dan semuanya pun perlahan runtuh.
Aku berlari keluar rumah sebelum akhirnya ada sesuatu yang menimpa kepalaku. Aku tersungkur. Kurasakan pening yang sangat. Kuraba kepalaku, berdarah. Aku coba berdiri kembali, namun genteng rumah kita yang jatuh satu per satu bercampur lumpur menimpaku, membuatku tersungkur kembali. Aku sakit, tubuhku remuk. Aku merangkak dengan sisa tenagaku. Lamat-lamat kulihat Bapak juga tertimpa kayu atap rumah. Alfin terlempar, lepas dari gendongan Bapak. Bapak tak sadarkan diri.
Aku terus merangkak dengan sisa-sisa tenagaku, mencoba menghampiri Alfin. Sementara itu, lumpur-lumpur semakin buas saja meruntuhkan segalanya. Kayu-kayu atap rumah perlahan jatuh satu persatu menimpaku. Aku tak bisa bergerak. Aku berteriak pada Alfin agar cepat keluar rumah, tapi dia tetap saja menangis dengan terus menerus memanggil nama Ibu.
Aku terus saja berteriak, menyuruh Alfin keluar rumah segera, sebelum akhirnya lumpur-lumpur itu membenam kami semua. Aku meronta. Aku menerjang sekuat tenaga. Menerjang dan terus menerjang untuk mencari sedikit udara untuk bernafas di antara lumpur yang menguburku hidup-hidup. Aku terus meronta dan aku berhasil. Aku mengambil nafas panjang-panjang. Kurasakan lumpur telah memasuki tenggorokanku, hidung, telinga, semuanya. Aku kibas-kibaskan kepalaku, terasa pening sekali. Perlahan aku mencoba untuk membuka mata meski teramat perih. Lamat-lamat kulihat dua tangan menjulur ke atas dan masih bergerak. Tangan itu begitu mungil. Tangan Alfin. Aku kembali meronta, Ibu. Kembali menerjang, berusaha menghampirinya yang kira-kira lima meter dariku. Namun lumpur-lumpur yang membelotku membuatku tak berdaya. Aku menangis. Aku berteriak dan terus menerjang tanpa daya. Hingga akhirnya kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dua tangan itu semakin lemah, lunglai, dan akhirnya tak bergerak lagi. Aku menangis, Bu. Aku berteriak sekuat teraga. Aku kemudian tak sadarkan diri karena kusaksikan semua itu dengan mata kepalaku sendiri.
Kukira aku telah mati, Bu. Saat kubuka mata, semuanya putih. Aku menyangka telah berada di dunia lain yang tak kukenal. Namun setelah kubuka mata lebar-lebar dan kuedarkan pandangan, orang-orang itu menghampiriku dengan wajah iba. Pak Amir bersama istrinya yang baik hati, Bu Tuti, Mbak Ida, dan banyak dari tetangga-tetangga kita. Saat itu aku baru sadar, aku belum mati. Aku di rumah sakit. Saat kutanya perihal bapak dan Alfin, mereka semua berkasak-kusuk sebentar, lalu menyuruhku untuk bersabar.
Aku selalu bertanya-tanya sendiri di hatiku sebelum akhirnya Bu Tuti memberiku sebuah jawaban. Dia mengelus-ngelus kepalaku sambil berucap,
“Kamu yang sabar, Nak. Alfin dan Bapakmu telah tiada…”
Aku masih begitu hafal kata-kata itu hingga kini. Kata-kata yang membuatku terkesiap dan menangis, menyesali semua apa yang terjadi. Bukan hanya itu yang membuatku terluka. Di saat Bu Tuti mengelus-elus kepalaku, aku teringat satu hal, saat Bapak juga mengelus-elus kepalaku sebelum aku terlelap di malam itu. Rencana akan menjenguk Ibu tanpa diketahui Alfin. Itulah yang semakin membuatku terpukul hingga kini.
Dan kini, kutullis surat ini untuk Ibu. Aku harap, Ibu tidak akan shok mendengar semua kisahku ini. Bu, saat ini aku ingin menjadi seperti anak kecil lagi. Aku rindu belaian lembut Ibu yang mengelus pelan kepalaku. Aku meindukanmu, Bu. Sangat-sangat rindu.
Salam rindu dari anakmu yang tinggal seorang diri ini,
Alfi.
Ada yang sakit di dadaku. Perih sekali. Semakin perih. Dan aku tak kuat lagi menahan sakit ini. Semuanya seakan berputar di sekelilingku. Aku tersungkur, namun dada ini masih saja sakit, semakin perih. Semuanya semakin cepat saja berputar. Semuanya seakan buram, terus memburam. Dan akhinya, gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar