Sampai saat ini, yang menurutku telah 21 hari aku berada di sini,
seingatku tak ada seorang pun dari keluargaku yang datang menjenguk.
Suamiku, anak-anakku, ayah, ibu, mertuaku, semuanya. Tak ada satu pun
yang menjengukku. Semuanya seakan alpa tentang keadaanku di sini, di
suatu tempat yang dikelilingi jeruji besi ini.
Jujur, aku masih tak habis pikir mengapa wanita lemah sepertiku
berada di sini. Yang kuingat, aku memecahkan akuarium besar milik
majikanku yang kemudian membuatnya murka, dan aku pun langsung
dipecatnya begitu saja. Tak hanya sampai di situ, esoknya saat aku
tengah bergumul bersama anak-anakku, bercanda ria bersama, aparat
keamanan meringkusku dengan paksa dan menuduhku dengan hal yang
bukan-bukan. Pencuri, ya aku dituduh mencuri perhiasan milik mantan
majikanku sendiri. Aku coba menjelaskan semuanya, bahwa ini fitnah, ini
tuduhan yang salah. Tapi siapa yang akan mendengarkanku?
Dan karena itulah, 21 hari terakhir kulewati dengan terpaksa di
tempat yang begitu pengap ini. Ya, semoga saja aku tak salah menghitung
hari-hariku, sebab aku hanya bisa menandai pergantian hari lewat
ventilasi kecil yang juga terpagari oleh besi tanpa sedikit pun tahu
sekarang hari apa, tanggal berapa, dan sebagainya. Yang kuingat, sebelum
aku meringkus tak berdaya di sini, ulang tahun ke-15 Alfi, anak
sulungku tinggal beberapa hari lagi. Dan aku, sebagai seorang ibu yang
senantiasa menyayanginya, dengan ini, telah memberikan kado yang buruk
baginya, bahkan mungkin terlalu buruk untuk ia terima.
Padahal di tahun-tahun sebelumnya, aku tak pernah luput memberikan
hadiah kecil-kecilan buat Alfi, juga buat Alfin, si pangeran sulungku di
setiap kali ulang tahun mereka berdua tiba. Kadang mukenah, jlbab untuk
Alfi, serta peci hitam dan baju koko untuk Alfin yang kubeli di toko
obralan 2 kilometer dari rumah majikanku. Tapi kini, apa yang aku
berikan untuk mereka? Ah, aku tak tahu harus berucap apa.
Dan hari ini, saat cahaya mentari baru saja menembus celah-celah
ventilasi, saat pagi masih terasa gigil sekali, aku mendapati sepucuk
surat kecil tergeletak di pojok kanan kamar baruku yang di kelilingi
jeruji besi ini.
Aku mengambilnya, perlahan membukanya, dan kemudian membacanya dengan seksama,
Ibu, ini aku Alfi, anak Ibu. Semoga di sana ibu tetap baik-baik saja dan tak kekurangan satu apa pun.
Saat ini aku tengah sakit, Bu. Tapi bukan hanya ragaku yang sakit, jiwa
dan perasaanku juga tengah terluka. Dalam sekali. Dan kuharap Ibu tidak
akan shok dengan ceritaku ini.
Masih dapat dengan jelas kuingat malam itu, sehabis menunaikan shalat
isya’ berjama’ah, seperti biasa aku dan Bapak menghibur Alfin yang
masih terus saja menanyakan keberadaan Ibu. Kami terus bercanda tawa
bersama di gubuk kecil kita yang begitu sederhana. Saat itu, Alfin
benar-benar terhibur dan bisa sejenak melupakan keceriaan saat bersama
Ibu. Tapi aku, yang sudah cukup mengerti semua ini, semua canda tawa itu
terasa ganjil dan selalu saja terasa tak sempurna. Bukan karena
apa-apa, Ibu. Tak lain karena tak ada Ibu di sini yang biasa mendampingi
kami bercanda tawa bersama. Dan jujur, aku begitu rindu panggilan
lelucon Ibu kepadaku yang dulu membuatku sedikit cemberut mendengarkan
kalimat itu, “si gigi kelinci”. Kini aku begitu rindu kalimat itu, Bu.
Sangat-sangat rindu. Terutama saat Ibu mengucapkannya sambil mencubit
hidungku yang kata Ibu tak mancung-mancung juga. Aku rindu semua itu,
Ibu. Sungguh begitu rindu.
Kami terus bercanda tawa bersama hingga akhirnya gigil malam membuat
kami terlelap. Aku masih begitu ingat kata-kata Bapak sesaat sebelum aku
terlelap bersama kantukku,
“Fi, kamu yang sabar ya, Nak. Besok kita jenguk Ibu di penjara. Tapi
jangan bilang-bilang Alfin. Bapak gak mau adekmu itu mengerti semua
ini.” Bapak membelai rambutku seperti waktu kecil dulu. Dan tiba-tiba
aku kembali teringat dirimu, Bu. Teringat belaian lembutmu waktu aku
kecil dulu. Aku rindu semua itu.
Sebelum terlelap, aku memandangi foto Ibu lekat-lekat dan kemudian memeluknya erat.
Aku begitu nyenyak merangkai mimpiku malam itu, di tambah lagi dengan
gigil hujan yang tak kunjung reda, membuat tidurku semakin lelap saja.
Jujur, malam itu aku memimpikanmu, Bu. Benar-benar memimpikan Ibu
kembali bercanda tawa ria di antara kami, sebelum akhirnya ada sesuatu
yang membuatku terperanjat dari tidurku. Aku merasa getaran, Ibu.
Awalnya, aku menyangka hal itu hanya perasaanku saja. Namun lama
kelamaan getaran itu semakin keras dan terus saja menjadi. Saat itu aku
mendengar suara Alfin dari kamar sebelah yang berteriak memanggil Ibu,
juga suara bapak yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Waktu
itu, aku juga mendengar suara aneh dari tebing tanah curam di belakang
gubuk kecil kita. Aku merinding. Aku khawatir. Sesegera mungkin aku
membuka pintu kamar. Kulihat bapak mengahampiri Alfin, hendak
menggendongnya. Bapak menoleh padaku lantas berkata, “Alfi, cepat keluar
rumah!” bersamaan dengan suara Bapak, aku mendengar suara aneh yang
seakan menimpa gubuk kita. Kraaaak. Dan semuanya pun perlahan runtuh.
Aku berlari keluar rumah sebelum akhirnya ada sesuatu yang menimpa
kepalaku. Aku tersungkur. Kurasakan pening yang sangat. Kuraba kepalaku,
berdarah. Aku coba berdiri kembali, namun genteng rumah kita yang jatuh
satu per satu bercampur lumpur menimpaku, membuatku tersungkur kembali.
Aku sakit, tubuhku remuk. Aku merangkak dengan sisa tenagaku.
Lamat-lamat kulihat Bapak juga tertimpa kayu atap rumah. Alfin
terlempar, lepas dari gendongan Bapak. Bapak tak sadarkan diri.
Aku terus merangkak dengan sisa-sisa tenagaku, mencoba menghampiri
Alfin. Sementara itu, lumpur-lumpur semakin buas saja meruntuhkan
segalanya. Kayu-kayu atap rumah perlahan jatuh satu persatu menimpaku.
Aku tak bisa bergerak. Aku berteriak pada Alfin agar cepat keluar rumah,
tapi dia tetap saja menangis dengan terus menerus memanggil nama Ibu.
Aku terus saja berteriak, menyuruh Alfin keluar rumah segera, sebelum
akhirnya lumpur-lumpur itu membenam kami semua. Aku meronta. Aku
menerjang sekuat tenaga. Menerjang dan terus menerjang untuk mencari
sedikit udara untuk bernafas di antara lumpur yang menguburku
hidup-hidup. Aku terus meronta dan aku berhasil. Aku mengambil nafas
panjang-panjang. Kurasakan lumpur telah memasuki tenggorokanku, hidung,
telinga, semuanya. Aku kibas-kibaskan kepalaku, terasa pening sekali.
Perlahan aku mencoba untuk membuka mata meski teramat perih. Lamat-lamat
kulihat dua tangan menjulur ke atas dan masih bergerak. Tangan itu
begitu mungil. Tangan Alfin. Aku kembali meronta, Ibu. Kembali
menerjang, berusaha menghampirinya yang kira-kira lima meter dariku.
Namun lumpur-lumpur yang membelotku membuatku tak berdaya. Aku menangis.
Aku berteriak dan terus menerjang tanpa daya. Hingga akhirnya
kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dua tangan itu semakin lemah,
lunglai, dan akhirnya tak bergerak lagi. Aku menangis, Bu. Aku berteriak
sekuat teraga. Aku kemudian tak sadarkan diri karena kusaksikan semua
itu dengan mata kepalaku sendiri.
Kukira aku telah mati, Bu. Saat kubuka mata, semuanya putih. Aku
menyangka telah berada di dunia lain yang tak kukenal. Namun setelah
kubuka mata lebar-lebar dan kuedarkan pandangan, orang-orang itu
menghampiriku dengan wajah iba. Pak Amir bersama istrinya yang baik
hati, Bu Tuti, Mbak Ida, dan banyak dari tetangga-tetangga kita. Saat
itu aku baru sadar, aku belum mati. Aku di rumah sakit. Saat kutanya
perihal bapak dan Alfin, mereka semua berkasak-kusuk sebentar, lalu
menyuruhku untuk bersabar.
Aku selalu bertanya-tanya sendiri di hatiku sebelum akhirnya Bu Tuti
memberiku sebuah jawaban. Dia mengelus-ngelus kepalaku sambil berucap,
“Kamu yang sabar, Nak. Alfin dan Bapakmu telah tiada…”
Aku masih begitu hafal kata-kata itu hingga kini. Kata-kata yang
membuatku terkesiap dan menangis, menyesali semua apa yang terjadi.
Bukan hanya itu yang membuatku terluka. Di saat Bu Tuti mengelus-elus
kepalaku, aku teringat satu hal, saat Bapak juga mengelus-elus kepalaku
sebelum aku terlelap di malam itu. Rencana akan menjenguk Ibu tanpa
diketahui Alfin. Itulah yang semakin membuatku terpukul hingga kini.
Dan kini, kutullis surat ini untuk Ibu. Aku harap, Ibu tidak akan
shok mendengar semua kisahku ini. Bu, saat ini aku ingin menjadi seperti
anak kecil lagi. Aku rindu belaian lembut Ibu yang mengelus pelan
kepalaku. Aku meindukanmu, Bu. Sangat-sangat rindu.
Salam rindu dari anakmu yang tinggal seorang diri ini,
Alfi.
Ada yang sakit di dadaku. Perih sekali. Semakin perih. Dan aku tak
kuat lagi menahan sakit ini. Semuanya seakan berputar di sekelilingku.
Aku tersungkur, namun dada ini masih saja sakit, semakin perih. Semuanya
semakin cepat saja berputar. Semuanya seakan buram, terus memburam. Dan
akhinya, gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar