“Berapa biayanya, Dokter Lim?” tanya Rain. “50 ribu,” jawab Dr Limbad
sambil tersenyum. Joe mengangkat alisnya. Rain kemudian mengeluarkan
seluruh uang hasil yang mereka dapatkan tadi, dan menyerahkannya kepada
Dokter Limbad. “Indra, Robert, Dr. Lim, terima kasih banyak sudah
membantu,” kata Rain. “Sama-sama, Rain.” Jawab Indra.
“Cepat sembuh ya, berhati-hatilah jika Darko, Rom, dan Sam muncul lagi,”
kata Robert sambil menepuk punggung Joe. Joe mengangguk. “Ya, jangan
terlalu banyak bergerak,” kata Dr. Limbad. Mereka bertiga pun keluar
dari rumah sakit itu. “Maafkan aku Joe…” kata Rain. Joe menatapnya
heran. “Maaf? Untuk apa minta maaf? Kau kan tidak punya salah apa-apa,”
kata Joe terheran-heran. “Aku menyerahkan semua uang kita… Kalian jadi
tidak bisa pulang.” kata Rain sambil menunduk.
Abu memotongnya. “Ya ampun Rain! Uang kan bisa kita cari lagi besok!
Yang penting Joe diobati! Tenanglah, tidak usah merasa tidak enak
begitu!” kata Abu santai.
Rain tersenyum. “Baiklah, sekarang kita pulang.”
Sesampainya di rumah Rain…
“Rain! Kenapa kau lama sekali Nak? Ibu khawatir sekali akan kondisimu!”
kata Ibu Rain sambil mencium rambut putra kesayangannya itu. Ibu Rain
kemudian menatap Joe yang perutnya diperban serta Abu yang tangannya
diperban juga. “Kalian kenapa?” tanyanya cemas.
Mereka semua duduk. Rain kemudian menceritakan semuanya kepada
ibunya. Ibu Rain ternganga tidak percaya. “Jahat sekali mereka! Dan
Darko… aku benar-benar membencinya! Kerjaannya hanya menyiksa dan
memalak pedagang jalanan saja! Tapi kau tidak apa-apa kan, Nak Joe, Nak
Abu?” tanyanya lagi dengan khawatir.
“Tidak usah khawatir, kami baik-baik saja,” kata Joe. “Besok Ibu akan
ikut kalian, kalian tidak boleh Cuma bertiga lagi,” kata Ibu Rain.
“Sekarang makan dan tidurlah.” Mereka makan dalam diam. Sesekali Joe
melirik ke Abu. Sahabatnya itu tampak murung.
Rain dan Ibunya tidur terlebih dahulu. Abu melangkah keluar. Joe mengikutinya.
Abu menengadah menatap bintang-bintang di langit. “Sedang apa kau, Abu?” tanya Joe pelan.
Abu menoleh. “Kau lihat 2 bintang itu… indah sekali.” Kata Abu sambil
menunjuk ke langit. Joe menengadah. Di antara bintang-bintang yang
berkilauan, memang tampak 2 bintang yang paling bersinar. “Yang depan
itu bintangmu dan yang depan itu bintangku.” kata Abu. Joe tersenyum. Ia
bingung harus mengatakan apa.
“Sedang apa ya Papa dan Mama? Mereka pasti senang aku menghilang. Aku
banyak masalah.” kata Abu. Joe terdiam, kemudian berkata. “Jangan
berkata seperti itu, mereka selalu menyayangimu.” Abu tertawa getir.
“Kalau mereka menyayangiku, mereka pasti mendukungku untuk menjadi
pesulap,” katanya.
“Orangtuamu hanya ingin yang terbaik bagimu,” kata Joe mencoba menghibur Abu.
Abu menggeleng. “Kau tahu, aku kadang-kadang merasa iri kepadamu. Kau
bebas, kau cerdas, kau normal.” Kata Abu sambil menatap Joe. Joe
menggelengkan kepalanya keras-keras. “Tidak, Abu. Kau jauh lebih
beruntung dari aku! Kau punya orangtua yang menyayangimu, sedangkan aku
hanya sendirian, aku hanya memiliki kau.” kata Joe tegas. “Sebaiknya
kita tidur… sudah malam..” sambung Joe lagi.
Keesokan harinya…
Joe, Abu, Rain, dan Ibunya kembali berjualan di pinggir jalan. Seperti
biasa, sepi pembeli. Rain mulai terlihat bosan dan patah semangat.
“Tunjukkan atraksi sulap kalian lagi dong,” kata Rain. Ibu Rain menoleh.
“Sulap?” tanyanya heran. “Ya, Ibu, mereka bisa melakukan sulap,” kata
Rain semangat. Ibu Rain langsung tertarik. Joe kemudian mengambil pensil
dari barang dagang Rain. Ia kembali memelintir pensil itu dengan tisu,
dan setelah dibuka, pensil itu secara ajaib berubah menjadi peniti. Ibu
Rain berbinar. “Keren,” katanya.
“Masih ada lagi,” kata Abu. “Lihat tangan saya kosong, Bu?” kata Abu
sambil menunjukkan tangannya yang kosong. Ibu Rain mengangguk. Abu
kemudian menyentuh bagian belakang telinga Ibu Rain.
Kemudian ia melepaskan tangannya, dan sekarang tangannya sudah memegang telur.
Ibu Rain bertepuk tangan. “Hebat! Hebat sekali Nak!” ujarnya kegirangan.
Orang-orang kembali merubung… Joe dan Abu kembali melaksanakan atraksi sulap dadakan.
Ketika masih asyik memeragakan trik-trik sulap, tiba-tiba terdengar suara kericuhan.
Joe menoleh. Darko, Rom, dan Sam. Mereka menghancurkan barang-barang
pedagang, bahkan menginjak-injaknya. Pria paruh baya yang sudah berambut
putih itu tidak terima barang-barangnya dihancurkan. Ia melawan trio
Darko, Rom, dan Sam. Mereka kemudian adu teriak seru sekali. Joe
tiba-tiba menyadari bahwa Darko juga membawa teman-teman satpol PP-nya.
“INI BARANG-BARANGKU! KENAPA KAU MENGHANCURKANNYA?” seru pria paruh baya itu.
Darko tertawa. “YA, TAPI KAU MELANGGAR ATURAN!” serunya sambil terus
menendang barang dagangan pria itu. Istri dan anak pria itu menjerit dan
terisak.
“AKU BARU DISINI! MANA AKU TAHU AKU MELANGGAR ATURAN? TIDAK BISAKAH KAU
MEMBERITAHU SECARA BAIK-BAIK?” teriak pria paruh baya itu lagi.
Kini perhatian orang-orang sudah tidak kepada atraksi Joe dan Abu lagi,
melainkan ke Darko dan pedagang yang beradu teriak seru sekali.
Pedagang-pedagang yang lain pun tidak terima. Mereka kemudian ikut
beradu mulut… Berawal dari adu mulut itu, akhirnya keduanya menjadi
bentrok, dan saling dorong. Berawal dari saling dorong, tiba-tiba saja
melebar menjadi kerusuhan hebat. Entah karena emosi, Darko dan para
satpol PP yang lain kemudian melemparkan tembakan membabi buta.
Orang-orang menjerit ketakutan. “LARI!” seru Rain, merapikan
barang-barang dagangannya. Rain berlari secepat kilat. Suara tembakan
membahana di belakang mereka. Darko dan para satpol PP itu juga
menembakkan gas air mata. Segalanya menjadi kelabu secara tiba-tiba. Joe
merasa sangat panik, karena ia tidak bisa melihat dengan jelas. Mana
Rain? Mana Ibu Rain? Mana Abu? Ia hanya mendengar lolongan ketakutan
orang-orang, dan suara pecahan kaca.
Joe merunduk dengan sigap, menghindari tembakan-tembakan yang makin
membabi buta. “Oh Tuhan…” gumamnya, melihat tiba-tiba ada banyak sekali
mayat dan darah berserakan.
Dengan panik Joe berusaha mencari-cari ketiga sahabatnya.. Dimana
mereka? Dimana mereka? Serunya dalam hati. Joe dengan sigap menghindari
pecahan kaca yang terbang ke arahnya. Ya ampun, dasar manusia..
pikirnya.. Hal sepele akhirnya menjadi seperti ini..
Joe terus berlari sambil menoleh ke sana sini.. Dia hanya melihat
anak-anak yang menjerit ketakutan, dan orang-orang yang berlarian, tapi
ia tidak bisa melihat Abu, Rain, maupun Ibunya..
Suara PRANG kembali terdengar, dan pecahan kaca yang banyak sekali
terbang mengenai telinga kirinya. “Ahhh…” jerit Joe tertahan sambil
memegangi telinga kirinya. Joe terus mencari-cari Abu, Rain, dan Ibu
Rain.. Perutnya terasa sakit apalagi luka bekas tusuknya belum pulih
betul…
Tiba-tiba Rain menabraknya. “Joe, ayo Joe!” seru Rain sambil
menggandeng tangan Joe. Mereka berdua dengan putus asa berusaha mencari
Abu dan Ibu Rain, mereka harus keluar dari kerusuhan itu… Joe dan Rain
terus-terusan lari sambil membungkuk menghindari tembakan dan pecahan
kaca…
Dan, Joe melihat sesosok tubuh tertelungkup. Ia sangat mengenal tubuh
itu, dengan ngeri ia mengajak Rain menghampiri tubuh yang tertelungkup
itu. Abu belum meninggal, seru suara dalam kepalanya. Joe kemudian
membalikkan tubuh yang tertelungkup tersebut. Ternyata bukan Abu..
Merasa lega namun juga cemas, Joe dan Rain terus berlari. Sepintas Joe
melihat Darko, Rom, Sam, dan petugas satpol PP yang lain terus
melancarkan serangan, muka mereka tanpa penyesalan sama sekali. Joe
ingin sekali menghajar mereka, tapi keinginannya itu ia pendam. Yang
penting ia harus menemukan Abu dan Ibu Rain dulu…
Joe terus memicingkan matanya.. Ia berusaha menguatkan diri melihat
orang-orang mulai bertumbangan… Sampai akhirnya matanya menemukan dua
sosok berjalan terpincang-pincang dan seorang perempuan..
“Rain, itu mereka!” seru Joe. “Ayoo!” Joe menarik tangan Rain dan
mengejar kedua orang itu. Mereka berhasil mendekati kedua orang itu,
ternyata benar itu adalah Abu dan Ibu Rain. “Kita harus segera keluar
dari sini…” kata Joe setengah berteriak, agar suaranya terdengar lebih
keras dari teriakan orang-orang.
Mereka dibutakan oleh asap yang berasal entah dari mana. Joe
memicingkan matanya, dan ia melihat sebuah celah. “Kesana!” perintah Joe
kepada sahabat-sahabatnya. Mereka berempat lari ke celah dari asap
itu.. Dan tiba-tiba DOR! Suara tembakkan itu begitu memekakkan telinga
Joe. Ia menoleh perlahan. Oh… ternyata yang tertembak adalah Ibu Rain!
“Ibu!!” jerit Rain histeris. Rain langsung memapah Ibunya secara
gelagapan. Ibu Rain mengeluarkan banyak sekali darah. Joe hanya bisa
tertegun, ia tidak bisa membantu Rain memapah ibunya karena ia sendiri
sudah repot memapah Abu.
Mereka akhirnya berhasil keluar dari kerusuhan itu… Mereka sampai di
sebuah taman yang sepi. Rain terlihat sangat panik dan kalut. Rumah
sakit masih sangat jauh dari tempat mereka. “Ibu… Bertahanlah, Ibu…”
kata Rain dengan sedih. Ibu Rain tersenyum lemah.
“Ja-jadilah anak baik, Rain,” bisik Ibu Rain lemah dengan terbata-bata. Kemudian dengan pelan ia menengok kepada Abu dan Joe.
“Ka-kalian ja-jagalah Rain baik-baik.” kata Ibu Rain lagi. Air mata Rain
mengalir. “Ibu, pasti Ibu bisa bertahan,” isaknya. Ibu Rain tersenyum.
“Aku harus pergi sekarang.” Bisiknya, kemudian ia menutup matanya, dan
tidak bergerak kembali. “IBU!!! TIDAK!” seru Rain terisak. Namun apa
daya, ibunya kini telah tiada. Joe dan Abu menunduk. Memandangi Rain
dengan perasaan sangat iba. Rain terus menangisi ibunya.
Joe meletakkan tangannya di bahu Rain. “Rain, ia ibu yang hebat,
biarkanlah ia pergi dengan tenang,” kata Joe berusaha menghibur Rain.
Rain masih terisak. “Darko.. Sam.. Rom… belum puaskah mereka menyiksaku?
Dulu Ayahku mereka bunuh sekarang Ibu!” jerit Rain. “Rain, hapus air
matamu,” bisik Abu. “Tidak ada lagi yang dapat kau lakukan. Kita bawa
jenazah Ibumu.”
Rain terlihat memaksakan dirinya untuk tegar. “Ya sudah… kita akan
menguburkan Ibu di dekat makam Ayah.” kata Rain. Mereka kemudian membawa
jenazah ibu Rain, menggali kuburan dengan sekop milik Rain seadanya,
dan memakamkannya di dekat makam ayah Rain.
“Aku sendirian sekarang.” kata Rain. “Masih ada kami. Ayo pulang.” kata Joe lelah.
Tiga sekawan itu kemudian berjalan dengan langkah gontai. Hari telah
senja dan kerusuhan sudah usai. Sekarang ambulans wara-wiri untuk
mengangkut jenazah yang telah menjadi korban kerusuhan tersebut.
“Apa kau masih tetap ingin berjualan, Rain?” tanya Joe hati-hati saat
mereka sudah kembali ke rumah Rain. “Tentu saja… bagaimana mungkin aku
hidup jika tidak berjualan?” sahut Rain.
Mereka kemudian kembali membantu Rain berjualan, namun kali ini
pindah lokasi. Seperti biasa, barang dagangan tidak laku, Joe dan Abu
akhirnya melaksanakan atraksi sulap.
Ajaib, uang yang terkumpul begitu banyak. Mereka semua pulang dengan
riang. Di rumah Rain mereka menghitung uang yang berhasil mereka
kumpulkan. “Banyak sekali,” kata Rain senang.
“Ya.. haha..” kata Joe. Mereka kemudian membagi 3 uang itu.
“Sepertinya cukup untuk ongkos pulang,” kata Joe gembira. Abu tiba-tiba
menatapnya. “Loh? Kita tidak jadi ke Mal Emporium nanti? Audisi The
Master?” tanya Abu. Joe menepuk dahinya. “Ya ampun! Aku lupa… tentu
saja,” jawab Joe. Abu tertawa. “Audisinya tinggal 3 hari lagi dan kau
lupa?” kata Abu sambil mengacak rambut Joe dengan gemas. Joe balas
tertawa.
“Berarti aku akan pisah dengan kalian?” potong Rain sedih. Joe dan Abu
hampir lupa bahwa Rain ada di ruangan itu juga. Joe dan Abu bertukar
pandang. “Er, Rain, tujuan kita ke Jakarta ini memang karena ingin
mengikuti audisi The Master,” Joe menjelaskan dengan lembut.
Rain tampak kecewa sekali. Abu iba melihatnya. “Hmm… Bagaimana jika kau
ikut kita, ke audisi The Master?” usulnya. Mata Rain berbinar
kegirangan. “Sungguh? Tentu, tentu! Aku senang sekali!” Rain mendadak
seperti lupa bahwa ibunya baru saja meninggal.
“Kita akan berangkat besok, kurasa uang ini juga cukup untuk menginap 2
malam,” kata Joe. Abu dan Rain mengangguk menyetujuinya. “Audisinya di
Mal Emporium ya? Dari sini Cuma naik bus, kok,” kata Rain. “Baiklah…
hari yang melelahkan, saatnya tidur!” ujar Abu.
Keesokan harinya, dengan hati yang riang, 3 orang sahabat itu
bersiap-siap untuk berangkat. Mereka kemudian jalan sedikit ke halte
bus. Di halte bus mereka bercakap-cakap sambil menunggu bus yang akan
datang. Setelah sekitar satu jam menunggu, bus yang ditunggu-tunggu
akhirnya datang juga. Joe, Abu, dan Rain masuk ke dalam bus itu, mereka
kemudian mengambil tempat duduk bersebelahan.
Bus perlahan-lahan melaju. Joe menoleh ke jendela, kemudian ke Abu.
“Kau tahu, akhirnya kita bisa menggapai mimpi kita,” kata Joe kepada
Abu. Abu mengangguk, kemudian terbatuk. “Kau tidak apa-apa?” tanya Joe
cemas. “Aku baik-baik saja kok.” jawab Abu.
Bus terus melaju perlahan… sampai…
“Serahkan uangmu, supir.” kata 2 orang yang sedari tadi duduk di sebelah
supir. Salah satu menodongkan pistol di kepala si supir. Supir bus itu
terlihat gugup. Penumpang yang ada di bus langsung terdiam. “Tetap
jalan.” kata salah satu dari ketiga orang itu.
Rain menarik lengan jaket Joe. “Trio Darko, Rom dan Sam,” bisiknya.
Joe memperhatikan keduanya. Rom, Sam, Darko. “Sial! Kenapa sih mereka
selalu ada dimana-mana?” keluh Joe. Abu dan Rain mengangkat bahu. “Nasib
kita sial… selalu saja bertemu dengan para cowok cantik itu,” kata Abu
sembari menyipitkan matanya. Joe terbatuk untuk menyamarkan tawanya.
“Jangan melakukan gerakan apapun.” kata Joe lagi. Mereka bertiga
kemudian diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar