Rabu, 18 Maret 2015

Tak Lekang Oleh Waktu (Part 3)

“Berapa biayanya, Dokter Lim?” tanya Rain. “50 ribu,” jawab Dr Limbad sambil tersenyum. Joe mengangkat alisnya. Rain kemudian mengeluarkan seluruh uang hasil yang mereka dapatkan tadi, dan menyerahkannya kepada Dokter Limbad. “Indra, Robert, Dr. Lim, terima kasih banyak sudah membantu,” kata Rain. “Sama-sama, Rain.” Jawab Indra.
“Cepat sembuh ya, berhati-hatilah jika Darko, Rom, dan Sam muncul lagi,” kata Robert sambil menepuk punggung Joe. Joe mengangguk. “Ya, jangan terlalu banyak bergerak,” kata Dr. Limbad. Mereka bertiga pun keluar dari rumah sakit itu. “Maafkan aku Joe…” kata Rain. Joe menatapnya heran. “Maaf? Untuk apa minta maaf? Kau kan tidak punya salah apa-apa,” kata Joe terheran-heran. “Aku menyerahkan semua uang kita… Kalian jadi tidak bisa pulang.” kata Rain sambil menunduk.
Abu memotongnya. “Ya ampun Rain! Uang kan bisa kita cari lagi besok! Yang penting Joe diobati! Tenanglah, tidak usah merasa tidak enak begitu!” kata Abu santai.
Rain tersenyum. “Baiklah, sekarang kita pulang.”
Sesampainya di rumah Rain…
“Rain! Kenapa kau lama sekali Nak? Ibu khawatir sekali akan kondisimu!” kata Ibu Rain sambil mencium rambut putra kesayangannya itu. Ibu Rain kemudian menatap Joe yang perutnya diperban serta Abu yang tangannya diperban juga. “Kalian kenapa?” tanyanya cemas.
Mereka semua duduk. Rain kemudian menceritakan semuanya kepada ibunya. Ibu Rain ternganga tidak percaya. “Jahat sekali mereka! Dan Darko… aku benar-benar membencinya! Kerjaannya hanya menyiksa dan memalak pedagang jalanan saja! Tapi kau tidak apa-apa kan, Nak Joe, Nak Abu?” tanyanya lagi dengan khawatir.
“Tidak usah khawatir, kami baik-baik saja,” kata Joe. “Besok Ibu akan ikut kalian, kalian tidak boleh Cuma bertiga lagi,” kata Ibu Rain. “Sekarang makan dan tidurlah.” Mereka makan dalam diam. Sesekali Joe melirik ke Abu. Sahabatnya itu tampak murung.
Rain dan Ibunya tidur terlebih dahulu. Abu melangkah keluar. Joe mengikutinya.
Abu menengadah menatap bintang-bintang di langit. “Sedang apa kau, Abu?” tanya Joe pelan.
Abu menoleh. “Kau lihat 2 bintang itu… indah sekali.” Kata Abu sambil menunjuk ke langit. Joe menengadah. Di antara bintang-bintang yang berkilauan, memang tampak 2 bintang yang paling bersinar. “Yang depan itu bintangmu dan yang depan itu bintangku.” kata Abu. Joe tersenyum. Ia bingung harus mengatakan apa.
“Sedang apa ya Papa dan Mama? Mereka pasti senang aku menghilang. Aku banyak masalah.” kata Abu. Joe terdiam, kemudian berkata. “Jangan berkata seperti itu, mereka selalu menyayangimu.” Abu tertawa getir. “Kalau mereka menyayangiku, mereka pasti mendukungku untuk menjadi pesulap,” katanya.
“Orangtuamu hanya ingin yang terbaik bagimu,” kata Joe mencoba menghibur Abu.
Abu menggeleng. “Kau tahu, aku kadang-kadang merasa iri kepadamu. Kau bebas, kau cerdas, kau normal.” Kata Abu sambil menatap Joe. Joe menggelengkan kepalanya keras-keras. “Tidak, Abu. Kau jauh lebih beruntung dari aku! Kau punya orangtua yang menyayangimu, sedangkan aku hanya sendirian, aku hanya memiliki kau.” kata Joe tegas. “Sebaiknya kita tidur… sudah malam..” sambung Joe lagi.
Keesokan harinya…
Joe, Abu, Rain, dan Ibunya kembali berjualan di pinggir jalan. Seperti biasa, sepi pembeli. Rain mulai terlihat bosan dan patah semangat. “Tunjukkan atraksi sulap kalian lagi dong,” kata Rain. Ibu Rain menoleh. “Sulap?” tanyanya heran. “Ya, Ibu, mereka bisa melakukan sulap,” kata Rain semangat. Ibu Rain langsung tertarik. Joe kemudian mengambil pensil dari barang dagang Rain. Ia kembali memelintir pensil itu dengan tisu, dan setelah dibuka, pensil itu secara ajaib berubah menjadi peniti. Ibu Rain berbinar. “Keren,” katanya.
“Masih ada lagi,” kata Abu. “Lihat tangan saya kosong, Bu?” kata Abu sambil menunjukkan tangannya yang kosong. Ibu Rain mengangguk. Abu kemudian menyentuh bagian belakang telinga Ibu Rain.
Kemudian ia melepaskan tangannya, dan sekarang tangannya sudah memegang telur.
Ibu Rain bertepuk tangan. “Hebat! Hebat sekali Nak!” ujarnya kegirangan.
Orang-orang kembali merubung… Joe dan Abu kembali melaksanakan atraksi sulap dadakan.
Ketika masih asyik memeragakan trik-trik sulap, tiba-tiba terdengar suara kericuhan.
Joe menoleh. Darko, Rom, dan Sam. Mereka menghancurkan barang-barang pedagang, bahkan menginjak-injaknya. Pria paruh baya yang sudah berambut putih itu tidak terima barang-barangnya dihancurkan. Ia melawan trio Darko, Rom, dan Sam. Mereka kemudian adu teriak seru sekali. Joe tiba-tiba menyadari bahwa Darko juga membawa teman-teman satpol PP-nya.
“INI BARANG-BARANGKU! KENAPA KAU MENGHANCURKANNYA?” seru pria paruh baya itu.
Darko tertawa. “YA, TAPI KAU MELANGGAR ATURAN!” serunya sambil terus menendang barang dagangan pria itu. Istri dan anak pria itu menjerit dan terisak.
“AKU BARU DISINI! MANA AKU TAHU AKU MELANGGAR ATURAN? TIDAK BISAKAH KAU MEMBERITAHU SECARA BAIK-BAIK?” teriak pria paruh baya itu lagi.
Kini perhatian orang-orang sudah tidak kepada atraksi Joe dan Abu lagi, melainkan ke Darko dan pedagang yang beradu teriak seru sekali.
Pedagang-pedagang yang lain pun tidak terima. Mereka kemudian ikut beradu mulut… Berawal dari adu mulut itu, akhirnya keduanya menjadi bentrok, dan saling dorong. Berawal dari saling dorong, tiba-tiba saja melebar menjadi kerusuhan hebat. Entah karena emosi, Darko dan para satpol PP yang lain kemudian melemparkan tembakan membabi buta.
Orang-orang menjerit ketakutan. “LARI!” seru Rain, merapikan barang-barang dagangannya. Rain berlari secepat kilat. Suara tembakan membahana di belakang mereka. Darko dan para satpol PP itu juga menembakkan gas air mata. Segalanya menjadi kelabu secara tiba-tiba. Joe merasa sangat panik, karena ia tidak bisa melihat dengan jelas. Mana Rain? Mana Ibu Rain? Mana Abu? Ia hanya mendengar lolongan ketakutan orang-orang, dan suara pecahan kaca.
Joe merunduk dengan sigap, menghindari tembakan-tembakan yang makin membabi buta. “Oh Tuhan…” gumamnya, melihat tiba-tiba ada banyak sekali mayat dan darah berserakan.
Dengan panik Joe berusaha mencari-cari ketiga sahabatnya.. Dimana mereka? Dimana mereka? Serunya dalam hati. Joe dengan sigap menghindari pecahan kaca yang terbang ke arahnya. Ya ampun, dasar manusia.. pikirnya.. Hal sepele akhirnya menjadi seperti ini..
Joe terus berlari sambil menoleh ke sana sini.. Dia hanya melihat anak-anak yang menjerit ketakutan, dan orang-orang yang berlarian, tapi ia tidak bisa melihat Abu, Rain, maupun Ibunya..
Suara PRANG kembali terdengar, dan pecahan kaca yang banyak sekali terbang mengenai telinga kirinya. “Ahhh…” jerit Joe tertahan sambil memegangi telinga kirinya. Joe terus mencari-cari Abu, Rain, dan Ibu Rain.. Perutnya terasa sakit apalagi luka bekas tusuknya belum pulih betul…
Tiba-tiba Rain menabraknya. “Joe, ayo Joe!” seru Rain sambil menggandeng tangan Joe. Mereka berdua dengan putus asa berusaha mencari Abu dan Ibu Rain, mereka harus keluar dari kerusuhan itu… Joe dan Rain terus-terusan lari sambil membungkuk menghindari tembakan dan pecahan kaca…
Dan, Joe melihat sesosok tubuh tertelungkup. Ia sangat mengenal tubuh itu, dengan ngeri ia mengajak Rain menghampiri tubuh yang tertelungkup itu. Abu belum meninggal, seru suara dalam kepalanya. Joe kemudian membalikkan tubuh yang tertelungkup tersebut. Ternyata bukan Abu.. Merasa lega namun juga cemas, Joe dan Rain terus berlari. Sepintas Joe melihat Darko, Rom, Sam, dan petugas satpol PP yang lain terus melancarkan serangan, muka mereka tanpa penyesalan sama sekali. Joe ingin sekali menghajar mereka, tapi keinginannya itu ia pendam. Yang penting ia harus menemukan Abu dan Ibu Rain dulu…
Joe terus memicingkan matanya.. Ia berusaha menguatkan diri melihat orang-orang mulai bertumbangan… Sampai akhirnya matanya menemukan dua sosok berjalan terpincang-pincang dan seorang perempuan..
“Rain, itu mereka!” seru Joe. “Ayoo!” Joe menarik tangan Rain dan mengejar kedua orang itu. Mereka berhasil mendekati kedua orang itu, ternyata benar itu adalah Abu dan Ibu Rain. “Kita harus segera keluar dari sini…” kata Joe setengah berteriak, agar suaranya terdengar lebih keras dari teriakan orang-orang.
Mereka dibutakan oleh asap yang berasal entah dari mana. Joe memicingkan matanya, dan ia melihat sebuah celah. “Kesana!” perintah Joe kepada sahabat-sahabatnya. Mereka berempat lari ke celah dari asap itu.. Dan tiba-tiba DOR! Suara tembakkan itu begitu memekakkan telinga Joe. Ia menoleh perlahan. Oh… ternyata yang tertembak adalah Ibu Rain!
“Ibu!!” jerit Rain histeris. Rain langsung memapah Ibunya secara gelagapan. Ibu Rain mengeluarkan banyak sekali darah. Joe hanya bisa tertegun, ia tidak bisa membantu Rain memapah ibunya karena ia sendiri sudah repot memapah Abu.
Mereka akhirnya berhasil keluar dari kerusuhan itu… Mereka sampai di sebuah taman yang sepi. Rain terlihat sangat panik dan kalut. Rumah sakit masih sangat jauh dari tempat mereka. “Ibu… Bertahanlah, Ibu…” kata Rain dengan sedih. Ibu Rain tersenyum lemah.
“Ja-jadilah anak baik, Rain,” bisik Ibu Rain lemah dengan terbata-bata. Kemudian dengan pelan ia menengok kepada Abu dan Joe.
“Ka-kalian ja-jagalah Rain baik-baik.” kata Ibu Rain lagi. Air mata Rain mengalir. “Ibu, pasti Ibu bisa bertahan,” isaknya. Ibu Rain tersenyum. “Aku harus pergi sekarang.” Bisiknya, kemudian ia menutup matanya, dan tidak bergerak kembali. “IBU!!! TIDAK!” seru Rain terisak. Namun apa daya, ibunya kini telah tiada. Joe dan Abu menunduk. Memandangi Rain dengan perasaan sangat iba. Rain terus menangisi ibunya.
Joe meletakkan tangannya di bahu Rain. “Rain, ia ibu yang hebat, biarkanlah ia pergi dengan tenang,” kata Joe berusaha menghibur Rain. Rain masih terisak. “Darko.. Sam.. Rom… belum puaskah mereka menyiksaku? Dulu Ayahku mereka bunuh sekarang Ibu!” jerit Rain. “Rain, hapus air matamu,” bisik Abu. “Tidak ada lagi yang dapat kau lakukan. Kita bawa jenazah Ibumu.”
Rain terlihat memaksakan dirinya untuk tegar. “Ya sudah… kita akan menguburkan Ibu di dekat makam Ayah.” kata Rain. Mereka kemudian membawa jenazah ibu Rain, menggali kuburan dengan sekop milik Rain seadanya, dan memakamkannya di dekat makam ayah Rain.
“Aku sendirian sekarang.” kata Rain. “Masih ada kami. Ayo pulang.” kata Joe lelah.
Tiga sekawan itu kemudian berjalan dengan langkah gontai. Hari telah senja dan kerusuhan sudah usai. Sekarang ambulans wara-wiri untuk mengangkut jenazah yang telah menjadi korban kerusuhan tersebut.
“Apa kau masih tetap ingin berjualan, Rain?” tanya Joe hati-hati saat mereka sudah kembali ke rumah Rain. “Tentu saja… bagaimana mungkin aku hidup jika tidak berjualan?” sahut Rain.
Mereka kemudian kembali membantu Rain berjualan, namun kali ini pindah lokasi. Seperti biasa, barang dagangan tidak laku, Joe dan Abu akhirnya melaksanakan atraksi sulap.
Ajaib, uang yang terkumpul begitu banyak. Mereka semua pulang dengan riang. Di rumah Rain mereka menghitung uang yang berhasil mereka kumpulkan. “Banyak sekali,” kata Rain senang.
“Ya.. haha..” kata Joe. Mereka kemudian membagi 3 uang itu. “Sepertinya cukup untuk ongkos pulang,” kata Joe gembira. Abu tiba-tiba menatapnya. “Loh? Kita tidak jadi ke Mal Emporium nanti? Audisi The Master?” tanya Abu. Joe menepuk dahinya. “Ya ampun! Aku lupa… tentu saja,” jawab Joe. Abu tertawa. “Audisinya tinggal 3 hari lagi dan kau lupa?” kata Abu sambil mengacak rambut Joe dengan gemas. Joe balas tertawa.
“Berarti aku akan pisah dengan kalian?” potong Rain sedih. Joe dan Abu hampir lupa bahwa Rain ada di ruangan itu juga. Joe dan Abu bertukar pandang. “Er, Rain, tujuan kita ke Jakarta ini memang karena ingin mengikuti audisi The Master,” Joe menjelaskan dengan lembut.
Rain tampak kecewa sekali. Abu iba melihatnya. “Hmm… Bagaimana jika kau ikut kita, ke audisi The Master?” usulnya. Mata Rain berbinar kegirangan. “Sungguh? Tentu, tentu! Aku senang sekali!” Rain mendadak seperti lupa bahwa ibunya baru saja meninggal.
“Kita akan berangkat besok, kurasa uang ini juga cukup untuk menginap 2 malam,” kata Joe. Abu dan Rain mengangguk menyetujuinya. “Audisinya di Mal Emporium ya? Dari sini Cuma naik bus, kok,” kata Rain. “Baiklah… hari yang melelahkan, saatnya tidur!” ujar Abu.
Keesokan harinya, dengan hati yang riang, 3 orang sahabat itu bersiap-siap untuk berangkat. Mereka kemudian jalan sedikit ke halte bus. Di halte bus mereka bercakap-cakap sambil menunggu bus yang akan datang. Setelah sekitar satu jam menunggu, bus yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Joe, Abu, dan Rain masuk ke dalam bus itu, mereka kemudian mengambil tempat duduk bersebelahan.
Bus perlahan-lahan melaju. Joe menoleh ke jendela, kemudian ke Abu. “Kau tahu, akhirnya kita bisa menggapai mimpi kita,” kata Joe kepada Abu. Abu mengangguk, kemudian terbatuk. “Kau tidak apa-apa?” tanya Joe cemas. “Aku baik-baik saja kok.” jawab Abu.
Bus terus melaju perlahan… sampai…
“Serahkan uangmu, supir.” kata 2 orang yang sedari tadi duduk di sebelah supir. Salah satu menodongkan pistol di kepala si supir. Supir bus itu terlihat gugup. Penumpang yang ada di bus langsung terdiam. “Tetap jalan.” kata salah satu dari ketiga orang itu.
Rain menarik lengan jaket Joe. “Trio Darko, Rom dan Sam,” bisiknya. Joe memperhatikan keduanya. Rom, Sam, Darko. “Sial! Kenapa sih mereka selalu ada dimana-mana?” keluh Joe. Abu dan Rain mengangkat bahu. “Nasib kita sial… selalu saja bertemu dengan para cowok cantik itu,” kata Abu sembari menyipitkan matanya. Joe terbatuk untuk menyamarkan tawanya. “Jangan melakukan gerakan apapun.” kata Joe lagi. Mereka bertiga kemudian diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar