“Kalau kalian mau, kalian bisa bantu-bantu berdagang bersama kami,
dari pada kalian menjadi gelandangan di luar sana,” sahut Ibu Rain lagi.
Joe tersenyum. “Terima kasih, anda baik sekali,” katanya.
“Nah sekarang makan dulu,” kata Rain sambil menunjuk ke meja yang sudah
reot. Joe merasa beruntung sekali. Baik sekali orang-orang ini,
pikirnya, padahal mereka baru mengenalnya. Ia kemudian makan makanan
yang telah dihidangkan dengan diam.
Ibu Rain kemudian mengeluarkan dua buah tikar. “Maaf sekali, tempat
tidurnya kurang,” katanya malu-malu. Joe tersenyum kecil. “Tidak apa-apa
Bu,” katanya.
Rain menoleh ke Abu. “Ibu, kurasa, Abu bisa tidur di tempat tidurku,
kasihan dia, ia tidak boleh tidur di lantai,” katanya. Ibu Rain
mengangguk. “Mari, Nak,” katanya ramah sambil membantu Abu bangun dan
membawanya ke tempat tidur Rain.
Dalam sekejap rumah yang kecil itu langsung sunyi. Joe melihat jam
tangannya.. Sudah pukul 1 pagi. Apa yang akan dikatakan Ibu Rita dan Pak
Andre jika melihat anaknya telah menghilang? Joe tidak bisa tidur. Ia
merasa bersalah sekali sudah membawa-bawa Abu.
“Nak, Nak? Bangun Nak,” bisik suara lembut yang menyentuh pipinya.
Joe membuka matanya. Hari sudah cerah ternyata. “Sarapan sudah siap.”
Joe mengucek matanya dan memakai kembali kaca matanya. Tampak di meja
reot itu ada setumpuk roti. Joe merasa tidak lapar, tapi Ibu Rain terus
memaksanya untuk makan.
Joe akhirnya menyerah. Ia menurut dan akhirnya memakan roti itu. Ketika sedang asyik makan, Abu keluar dari kamar Rain.
“Abu, kau sudah sembuh?” tanya Joe. Abu mengangguk, diam tanpa kata.
“Oh syukurlah, Mari makan, Nak!” kata Ibu Rain sambil mendorong piring ke arah Abu.
Abu tersenyum dan duduk. “Terima kasih, Bu,” kata Abu.
“Ibu, apakah Ibu punya telepon?” tanya Abu tidak jelas, mulutnya penuh
dengan roti sekarang. “Ya Nak? Maaf aku tidak bisa mendengarmu dengan
jelas,” kata Ibu Rain lembut.
Abu menelan potongan rotinya. “Apakah Ibu memiliki telepon? Bolehkah aku
meminjamnya?” tanya Abu hati-hati. “Oh, maaf sekali, sayangnya aku
tidak punya,” kata Ibu Rain.
Joe angkat bicara. “Er… kalau begitu.. adakah wartel di dekat sini, Bu?” tanyanya.
Rain menggeleng. “Jauh sekali, Joe. Mungkin memakan waktu 2 jam untuk sampai ke sana.” kata Rain. “Oh,” kata Joe. “Baiklah.”
Rain kemudian mengemas barang-barangnya. “Kau mau kemana?” tanya Abu.
Rain tersenyum. “Berjualan.” sahutnya. “Bolehkah kami ikut membantumu?”
tanya Joe. Rain kemudian menatap ibunya dengan bimbang. “Jika kalian
mau, silahkan,” kata Ibu Rain lagi dengan ramah. “Tapi hati-hati!”
Mereka bertiga kemudian berjalan ke luar rumah. Joe membantu membawakan
barang-barang dagangan Rain.
“Biasanya kau berjualan di mana?” tanya Abu. “Di pinggir jalan,”
jawab Rain. Setitik rasa kasihan muncul di benak Joe. “Setiap hari kau
berjualan seperti ini, Rain? Memangnya kau tidak sekolah?” tanya Joe.
Rain tertawa kecil. “Untuk makan saja susah, apalagi sekolah. Tidak, aku
tidak sekolah, sekolahku putus sejak kelas 2 SD. Sejak ayahku
meninggal, aku membantu Ibu. Berjualan makanan” jawabnya.
Joe bertukar pandang dengan Abu. Joe menyadari, masih banyak orang
yang ternyata kurang beruntung dari pada dirinya. Ia selama ini
menganggap dirinya malang karena tak memiliki orangtua, padahal seluruh
warisan orangtuanya jatuh kepadanya. Melihat Rain, Joe menyadari selama
ini ia kurang bersyukur.
Rain kemudian menggelar barang dagangannya. “Nanti hasilnya kita bagi
3, siapa tahu cukup untuk ongkos kalian pulang.” Kata Rain. Joe
mengangguk. Sungguh anak baik, pikirnya.
Mereka menunggu dan menunggu. 5 menit, 10 menit, 20 menit, 1 jam, 2
jam… tetap tidak ada pembeli. Sinar matahari yang begitu panas membakar
tengkuk Joe. Sambil bersandar di tiang Joe dan Abu menguap. Joe
benar-benar heran. Kok bisa anak ini tidak jenuh melakukan aktivitas
seperti ini sehari-hari? Pikirnya.
Dengan iseng Joe kemudian mengambil sapu tangan Abu. Ia kemudian
memelintir sapu tangan itu sampai berubah menjadi api dan apinya kembali
menghilang. Rain yang sedari tadi melamun memandangnya dengan takjub.
“Wow! Kau bisa sihir?” tanya Rain takjub.
Abu tertawa. “Itu bukan sihir, itu sulap,” jelasnya dengan geli. Joe tersenyum malu.
“Wow! Hebat! Kau bisa yang lainnya lagi?” tanya Rain dengan mata yang berbinar-binar.
“Kau punya benda atau sesuatu?” tanya Joe. “Cuma ini,” kata Rain,
kemudian mengambil pulpen panjang kecil dari sakunya. Joe menerima
pulpen itu.
“Kau punya tisu?” tanya Joe lagi. Rain mengeluarkan tisu dari kantong celananya.
“Lihat ini,” kata Joe. Ia membungkus pulpen itu dengan tisu… kemudian
setelah dibuka, pulpen itu telah terpelintir. Rain memandangnya tak
percaya. “Hebat, hebat! Dari mana kau belajar seperti itu?” tanyanya.
“Ya dengan latihan saja. Semua orang pun bisa, asalkan rajin latihan,”
kata Joe sambil mengedipkan mata. Rain masih terlihat takjub. “Kau bisa
sulap juga?” tanyanya kepada Abu.
“Bisa.” Jawab Abu. Ia mengambil pulpen Joe yang telah terpelintir,
kemudian membungkusnya kembali dengan tisunya. Setelah dibuka, pulpen
itu telah menghilang.
Rain bertepuk tangan. “Hebat! Aku tidak pernah melihat yang seperti itu!” katanya girang.
Orang-orang yang sedari tadi berlalu lalang tanpa memperhatikan
ketiga pemuda itu sekarang merubung. Secara tiba-tiba Joe dan Abu
melakukan atraksi sulap dadakan.
Joe dan Abu memperagakan trik-trik sulap sederhana. Orang-orang pun
dibuat takjub oleh mereka. Kemudian tanpa diminta, orang-orang itu
memberikan uang kepada mereka.
Setelah selesai melakukan atraksi, mereka bertiga hendak menghitung uang, namun sebuah mobil hitam muncul.
“Oh,” bisik Rain. “Satpol PP! Darko!” katanya panik. Joe dan Abu
menoleh. “Darko? Satpol PP?” tanya mereka tidak mengerti. Seorang
petugas satpol PP berpakaian seragam serba hitam turun dari mobil. “Itu,
itu Darko, satpol PP paling bengis!” kata Rain. “Ayo!”
Secara terburu-buru Rain merapikan barang dagangannya. Mereka
kemudian berlari. Joe yang masih penasaran, menoleh ke belakang. Satpol
PP yang bernama Darko itu tampak menghancurkan dan mengacak-ngacak
barang dagangan pedagang lain. Terdengar isak tangis si pedagang dari
kejauhan.
“Jahat sekali orang itu!” kata Joe. Ia ingin sekali menghampiri Darko,
petugas satpol PP itu. Namun Rain menahannya dan menggelengkan kepala.
“Jangan! Jangan melawannya! Dia punya pentungan yang bisa membuatmu
menjadi gegar otak!” kata Rain memperingatkan.
Joe mengangkat sebelah alisnya. “Menurutku tanpa dipentung pun, Joe
sudah gegar otak. Otakmu miring kan Joe, saking cerdasnya,” gumam Abu.
Joe terbahak. Rain nyengir. “Ayo kita pulang.”
Mereka bertiga berjalan dalam diam ketika tiba-tiba 2 orang pemuda
berpakaian preman menghadang mereka. “Well, well. Bertemu lagi dengan si
kecil yang tampan ini,” kata preman yang cukup jangkung. Rain menelan
ludah. “Mau apa lagi kau Sam?” tantangnya.
Preman yang bernama Sam melipat tangannya. “Rain.. rain… Kau tetap telmi
seperti dulu. Tentu kami ingin uangmu.” katanya lagi. Rain menggeleng.
“Tapi, aku tidak punya uang! Barang daganganku sama sekali tidak laku!”
katanya. Suaranya serak sekarang.
Preman yang bernama Rom tertawa bengis. “Jangan coba membohongi kami,
Rainie kecil,” kekehnya. Ketakutan mulai melanda mereka bertiga.
Seseorang kemudian muncul. Ternyata Darko, si satpol PP yang tadi. “Wah
kita kedatangan tamu,” kata Darko. Ketiganya nyengir sekarang. “Lihat,
Darko. Anak ini membawa bodyguard,” kata Sam sambil menunjuk ke arah Joe
dan Abu yang masih terpaku di tempat mereka. “Jangan ganggu mereka!
Mereka temanku!” pinta Rain memelas.
Darko menghampiri Joe. Darko mengendus Joe. “Sepertinya dia anak orang
kaya. Rom, Sam, pegang dia.” Rom dan Sam kemudian memegangi Joe.
“Jangan!” seru Abu dan Rain bersamaan. Joe meronta berusaha melepaskan
diri. “Berapa uang yang kau punya?” tanya Rom. Joe menggertakkan
giginya. “5 ribu!” serunya. “Ah, bohong,” kata Sam. “Kau pasti punya
lebih dari itu.” Sambungnya lagi sambil mencengkeram rambut Joe.
“Sudah kubilang aku hanya punya 5 ribu!” seru Joe dengan suara tertahan.
Matanya menyipit kesakitan akibat dicengkeram rambutnya oleh Sam.
“Rom, Darko, pegang kedua orang itu,” kata Sam sambil menunjuk Abu dan
Rain yang bersiap lari. Rom dan Darko langsung memegangi Abu dan Rain.
Kruk Abu terjatuh.
“Kau tahu apa ini?” tanya Sam sambil menyeringai menyeramkan. Ia mengacungkan pisau yang berkilat. Mata Joe terbelalak ngeri.
“Berani sumpah aku hanya punya 5 ribu!” seru Joe, keringat dingin mulai
menetes di wajahnya. “Dasar pembohong!” seru Sam, kemudian BUK! Sam
menusukkan pisau yang dipegangnya ke perut Joe. Darah perlahan-lahan
mengucur dari perut Joe. Joe jatuh berlutut. Matanya sekarang berair
karena menahan sakit.
“JOE! JOE! BERTAHANLAH!” seru Abu yang masih meronta berusaha melepaskan
pegangan Darko yang begitu kencang. Sam tersenyum jahat. Dengan puas ia
menatap Joe yang masih merintih kesakitan. “Lari, Abu, lari Rain…” kata
Joe lemah. Sam tertawa.
Abu yang tidak terima sahabatnya dilukai, langsung memukul Darko
dengan kruknya. Darko yang kaget mengaduh kesakitan. Rain mengikutinya.
Ia kemudian meninju tulang kering Rom dan berhasil melepaskan diri.
Tanpa pikir panjang, Abu menendang tangan Sam. Pisau pun jatuh dari
tangan Sam.
Abu langsung mengambil pisau itu. Perlahan-lahan ia mengiris tangannya
dengan pisau itu hingga tangannya berdarah. “Abu… apa yang kau lakukan?”
tanya Rain ngeri. Abu menunjukkan telapak tangannya yang berdarah
kepada 3 orang preman itu. “Kau tahu, aku ini penderita AIDS.” Kata Abu.
Darko, Rom, dan Sam melangkah mundur. “Darahku beracun.” Katanya lagi
sambil menunjukkan telapak tangannya.
“Kalau kalian menyentuh darahku, kalian akan menjadi penderita AIDS
juga.” Kata Abu lagi. Darko, Rom, dan Sam memandangnya ngeri. “Orang itu
penderita AIDS, larii!!” seru mereka bertiga, takut akan darah yang
ditunjukkan oleh Abu. Mereka pun lari lintang pukang dan menghilang dari
peredaran.
Abu tersenyum penuh kemenangan. Rain terkekeh. “Kau cerdik.” Katanya.
Mereka langsung menghampiri Joe yang masih berlutut. “Joe.. Ya Tuhan
Joe.. Bertahanlah sobat..” kata Abu cemas. “Cari bantuan, cari bantuan…”
kata Joe tertahan. Darah mengalir banyak sekali dari perutnya.
Rain memberikan sapu tangannya. “Hentikan pendarahannya dengan ini
dulu,” katanya. “Aku akan mencari bantuan, kalian tunggu disini.” Kata
Rain, kemudian ia berlari.
Abu membalut luka Joe dengan sapu tangannya. Dengan cemas ia
memeriksa kondisi sahabatnya itu. “Kau cerdik.” kata Joe dengan suara
yang masih tertahan. “Benar-benar cerdik.”
Abu tersenyum kecil. “Mereka ternyata penakut.” katanya.
“Abu, maafkan aku telah membuatmu terdampar di sini,” kata Joe masih
dengan suara tertahan. “Tak ada yang perlu dimaafkan,” kata Abu tegas.
“Kau sahabatku. Bertahanlah, kawan…” kata Abu cemas. Sapu tangan putih
Rain sudah berubah menjadi merah sekarang.
Kemana Rain? Kenapa dia lama sekali? Abu makin merasa panik karena darah yang dikeluarkan Joe semakin banyak.
Sementara itu, di rumah Abu…
Pak Andre dan Bu Rita telah melapor kepada polisi. Bu Rita tak
henti-hentinya terisak. “Bagaimana jika mereka dirampok? Bagaimana jika
mereka tidak punya apapun? Bagaimana jika mereka tersesat dan tak tahu
jalan?” kata Bu Rita sambil terisak di bahu Pak Andre.
Pak Andre bingung harus berkata apa selain menghibur istrinya. “Joe akan menjaga Abu, Mama tenang..” kata Pak Andre pelan.
“Tapi bahkan Abu tidak membawa ponsel ataupun jaketnya,” isak Ibu Rita
lagi. Pak Andre bingung sekarang. Abu, Joe dimana kalian, Nak? Batinnya
sedih. Seharusnya aku mengizinkannya mengikuti audisi itu… Rasa bersalah
menghantui Pak Andre.
Di Jakarta..
Setelah menunggu hampir setengah jam akhirnya Rain datang bersama 2
orang laki-laki. “Ini Indra dan ini Robert, teman lama,” kata Rain
kepada Abu. “Ya ampun darahnya banyak sekali,” kata Robert. “Kau bisa
berdiri?” tanyanya. Joe mengangguk lemah. Indra dan Robert kemudian
membantu Joe berdiri. “Kenapa bisa begini, Rain?” tanya Indra.
“Trio Rom, Sam, dan Darko. Mereka memalak kami. Joe bilang ia tidak
punya uang dan Sam menusuk Joe.” jawab Rain. Indra dan Robert
menggelengkan kepalanya. “Mereka bertiga memang selalu menindas yang
lemah. Darko.. satpol PP tapi kelakuannya betul-betul biadab.” kata
Indra. “Kita harus membawanya ke puskesmas terdekat. Indra, kau tidak
punya sapu tangan lagi? Satu itu tidak cukup,” kata Robert. Indra
meraba-raba sakunya. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya.
“Tahan, akan sakit sedikit.” Kata Indra. “Supaya darahnya tidak mengalir terus.”
Indra kemudian memencet luka Joe dengan sapu tangannya. Joe mengaduh dan
meringis kesakitan. Indra dan Robert memapah Joe. Rain dan Abu
mengikutinya dari belakang.
Mereka melangkah dengan cepat sekali. Puskesmas itu memang agak jauh.
Akhirnya mereka sampai. “Dokter Limbad, tolong obati anak ini, dia
terluka parah,” kata Robert sambil menunjuk Joe. Seorang dokter berambut
gimbal keluar dari ruang periksa. Ia menatap Joe dengan kaget.
“Ya ampun… kenapa bisa begini?” tanyanya. “Ayo, bawa ke ruang periksa.” katanya lagi.
Indra dan Robert memapah Joe ke ruang periksa. Abu masih sangat takjub melihat dokter tadi.
“Dokter tapi penampilannya seperti itu?” bisiknya heran.
Rain terkekeh. “Ya.. tapi dia dokter yang hebat,” jawabnya. Rain dan Abu
kemudian ikut masuk ke ruang periksa. “Berbaringlah,” kata Dr Limbad.
Joe kemudian berbaring. Dr. Limbad kemudian memeriksa Joe, kemudian
mengobati lukanya perlahan-lahan. “Apakah lukanya serius, Dr Lim?” tanya
Rain cemas.
Limbad menoleh. “Tidak kok. Untung saja tidak mengenai lambungnya..
Memangnya kenapa dia sampai bisa ditusuk begini?” tanya Dr Limbad lagi.
“Darko, Rom dan Sam. Mereka memalak kami semua.” kata Rain. “Joe menolak
memberikan uangnya. Sam menusuknya.” jelasnya lagi.
Limbad menghela nafas. “Mereka bertiga itu.. Aku tidak mengerti mereka
sebenarnya.. Selalu saja membuat onar.. Selalu memalak yang lemah…” kata
Dr Limbad sambil membersihkan luka Joe dengan kapas. Joe meringis. Rain
mengangkat bahu. “Entahlah Dr. Lim. Kau tahu nyaris setiap hari aku
selalu dipalak oleh 3 orang itu,” katanya.
“Untung saja lukanya tidak dalam, kalau dalam, bisa mengenai lambung
nya” kata Dr. Limbad lagi sambil memperban luka Joe. “Kapan mereka
bertiga berhenti membuat masalah?” kata Dr. Limbad lagi sambil
mengencangkan perban Joe. “Selesai,” katanya.
Joe tersenyum. Ia kemudian duduk. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Dr. Limbad lagi.
“Sudah enakan Dokter, terima kasih,” kata Joe sambil meregangkan
badannya. “Tangan dia juga terluka, Dr. Lim,” kata Rain sambil menunjuk
Abu.
“Luka? Yang ini juga dilukai ketiga preman itu?” tanya Dr. Limbad.
Abu menggeleng. “Tidak dokter. Saya melukainya sendiri. Saya
berpura-pura bahwa saya penderita AIDS. Saya bilang kepada mereka bahwa
darah saya beracun,” jelas Abu panjang lebar. Indra, Robert, dan Dr.
Limbad tertawa terbahak-bahak. “Pintar sekali idenya.. ternyata Darko
juga pengecut, eh?” kata Dr. Limbad sambil memperban tangan Abu. Tidak
sampai 10 menit Dr Limbad selesai mengobati Abu dan Joe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar