Rabu, 18 Maret 2015

Tak Lekang Oleh Waktu (Part 1)

Di suatu kota, tepatnya di Bandung, hidup dua orang yang bersahabat karib sekali sejak kecil, mereka adalah Joe Sandy dan Abu. Joe merupakan seseorang yang cerdas dan hidup sendiri tanpa orangtua. Sedangkan Abu adalah anak keluarga berada yang kurang beruntung karena kakinya pincang. Selain itu daya tahan tubuhnya lemah sekali. Namun persahabatan mereka tidak terhalangi oleh perbedaan itu. Keduanya sama-sama menyukai sulap. Mereka berdua sering sekali mempraktikkan trik-trik sulap bersamaan.
Suatu hari, ketika pulang ke rumahnya, Joe melihat iklan salah satu stasiun televisi swasta yang mengadakan acara “The Master.” Joe yang sangat menyukai sulap tertarik untuk mengikuti acara tersebut. Tentu ia tak melupakan sahabatnya Abu.
Dengan riang Joe mampir ke rumah Abu dan memberitahu soal acara The Master tersebut. “Ini saatnya kita menggapai mimpi kita,” kata Joe. “Menjadi pesulap professional.” Abu pun merasa gembira dan sangat tertarik. “Kapan audisinya dimulai, Joe?” tanyanya. “Minggu depan. Audisinya di Jakarta. Di Mal Emporium. Ayolah, kita harus ikut, acara ini benar-benar hebat,” kata Joe gembira.
Mendadak senyum menghilang dari wajah Abu. “Kurasa orangtuaku tidak akan mengizinkanku, Joe. Kau tahu.. mereka tidak pernah mendukung hobiku.” kata Abu. Joe memandang sahabatnya itu dengan perasaan iba. “Tapi, Abu, kau bisa mencoba membujuk mereka, kan? Mereka mau mengantarmu, kan? Ayolah… kau sudah 22 tahun, masa mereka tidak mengizinkanmu pergi?” kata Joe memelas.
Abu tersenyum. “Entahlah kawan… tapi aku akan mencoba bicara dengan mereka.” Jawabnya. Joe tersenyum senang. “Beri tahu aku setelah itu, ok?” katanya sambil mengedipkan mata. Kemudian Joe pulang kembali ke rumahnya.
Sewaktu makan malam, Abu mencoba berbicara dengan kedua orangtuanya. “Pa, Ma, aku ingin mengatakan sesuatu, boleh?” tanya Abu sambil menyendok telur gorengnya.
“Boleh saja, apa yang ingin kau bicarakan, nak?” tanya Andre, ayah Abu. “Salah satu stasiun televisi swasta mengadakan acara The Master. Aku ingin sekali mengikutinya, audisinya di Jakarta, boleh kan Pa?” tanya Abu sambil memandang ayahnya. Reaksi ayah dan Ibu Abu langsung bisa ditebak. “Tidak.” Kata mereka berdua tegas. Abu menghela nafas. “Ayolah… pa, ma. Aku kan sangat menyukai sulap…” katanya lagi.
Pak Andre melempar serbetnya. “Tapi kami tidak menyukainya, Abu. Kau tahu, kau itu lemah, dan kami tidak suka kau memainkan permainan konyol seperti sulap itu!” katanya tegas. Ibu Abu, Rita, mengangguk menyetujui. Abu merasa kesal sekali. Matanya berkaca-kaca sekarang. “Papa dan Mama tidak pernah mengerti aku!” serunya sambil mengambil kruknya, dan ia masuk ke dalam kamarnya, dan membanting pintunya. Kedua orangtuanya hanya bisa diam melihat kekecewaan anaknya itu. Di kamarnya Abu bersungut-sungut. Beruntung sekali Joe, dia bebas melakukan apa saja yang dia mau, gerutunya dalam hati.
Keesokan harinya..
Seperti biasa Joe mampir ke rumah Abu. Joe dengan riang menceritakan bahwa tabungannya sudah cukup untuk pergi ke Jakarta. Ia membicarakan apa yang akan ia persiapkan untuk audisi nanti. Abu mendengarkan dengan murung. Joe akhirnya berhenti berbicara. “Kenapa kau, teman?” tanyanya. Joe menepuk pundak Abu. “Ayolah, hari ini cerah sekali! Kenapa mukamu mendung seperti itu?”
“Joe, orangtuaku tidak mengizinkan aku untuk pergi ke Jakarta dan mengikuti audisi The Master,” jawab Abu pelan. Joe tertegun. Ia merasa sangat iba dengan kawannya itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Kau pergi saja kesana… jangan gara-gara aku kau jadi tidak bisa menggapai mimpimu,” kata Abu. “Aku akan selalu mendukungmu”. Joe menggeleng. “Kau lupa janji kita? Bersama-sama selamanya.” Kata Joe sambil menatap Abu dengan serius. Abu menatapnya heran, dan tersenyum. “Ya.. tapi..”
“Aku akan membantumu keluar malam ini tanpa sepengetahuan orangtuamu.” Kata Joe sambil tersenyum. “Kau yakin?” tanya Abu. Joe tersenyum. “Yakin sekali. Kau tidak boleh tidak ikut audisi The Master. Kita akan pergi ke Jakarta malam ini.” Sambungnya lagi.
Abu tersenyum. Kemudian ia dan Joe mengaitkan kelingking mereka. “Bersama-sama, selamanya,” kekeh keduanya.
Malam pun tiba. Abu sudah bersiap-siap menunggu Joe. Sepanjang malam ia tak tidur. Detik demi detik ditunggunya. Sampai akhirnya bunyi pelan menghantam kaca jendelanya. Ternyata Joe, yang melempar batu ke kaca jendela kamarnya. “Psst,” kata Joe. “Ayo.” Joe ternyata bergelayut di jendela kamar Abu.
“Pelan-pelan.” Balas Abu, menyerahkan kruknya. “Jangan sampai orangtuaku bangun.” sambungnya lagi. Namun tangan Abu licin. Kruk itu tergelincir dari tangannya dan menghantam kepala Joe, kemudian terpelanting ke tanah dengan pelan. “Aw,” kata Joe. “Hati-hati dong, kawan!” Abu langsung nyengir. “Sori, sobat,” katanya. Terdengar suara Pak Andre yang sedang mendengkur. Abu perlahan-lahan melangkahkan kakinya ke luar jendela. Joe memeganginya. “Awas kakimu kena kepala aku,” bisik Joe dengan suara yang sangat rendah.
Joe akhirnya berhasil membantu Abu keluar. Mereka saling tos. “Ya! Jakarta, aku datang!” kata Abu sambil meninju udara. Joe terkikik. “Ayo.” Katanya geli.
Mereka berdua kemudian berjalan. Sampai akhirnya benar-benar keluar dari area rumah Abu. “Jadi,” kata Abu. “Kita ke Jakarta sekarang?” Joe terpingkal. “Mau nunggu tahun depan?” katanya riang. “Ayo, kejar mimpi kita sekarang!” Kedua sahabat itu tertawa di tengah sunyinya malam. Joe kemudian menyetop taksi. “Ke stasiun yah,” kata Joe sambil membantu Abu naik ke taksi tersebut. “Baik,” kata supir itu.
Selama perjalanan, Joe dan Abu terus membayangkan seperti apa mereka jika mengikuti acara The Master tersebut. Mereka akhirnya sampai di stasiun kereta api. Joe membantu Abu turun. Ia langsung ke loket tempat penjualan tiket. “Dua tiket untuk ke Jakarta,” kata Joe riang sambil merogoh sakunya. Penjual tiket kemudian merobek 2 tiket untuk mereka. “Tunggu setengah jam lagi, kereta akan datang.” Katanya. “Baiklah,” jawab Joe.
Mereka kemudian duduk. Sambil membunuh waktu, Joe dan Abu bercanda tak henti-hentinya. Mereka bermain suit gunting kertas batu, dan terus tertawa. Orang-orang yang berlalu lalang menatap mereka dengan heran, karena tentu Joe dan Abu sudah bukan anak-anak lagi.
Tanpa terasa setengah jam berlalu. Kereta yang ditunggu akhirnya datang. Penumpang pun turun. “Ayo,” kata Joe semangat. Joe membantu Abu berdiri. Dengan semangat Joe dan Abu menaiki kereta itu. Beruntung sekali banyak tempat duduk yang sudah kosong. Joe dan Abu langsung duduk. “Kira-kira,” kata Abu, “apa yang akan mereka katakan setelah melihat atraksi sulap kita, ya Joe?”
“Abu, Abu, pikiranmu terlalu jauh… kita sampai disana saja belum,” kata Joe sambil tertawa lepas. Abu balas tertawa. “Haha.. aku kan cuma berandai-andai saja,” katanya.
Perjalanan mereka terasa sangat singkat. Tiba-tiba saja mereka sudah sampai di Jakarta.
Abu tertidur dalam perjalanan itu. Joe menepuk-nepuk pipinya. “Abu, bangun, ayo, kita sudah sampai.” kata Joe.
Abu mengucek matanya. “Sudah sampai? Cepat sekali.” katanya. Joe langsung membantu Abu berdiri. “Inilah Jakarta.” bisik Joe sambil memandang sekeliling. Mereka kemudian berjalan keluar dari stasiun tersebut. Angin malam yang dingin tidak meruntuhkan semangat 2 anak muda yang ingin mengejar mimpinya itu.
“Sekarang, yang kita lakukan adalah mencari tempat menginap,” kata Joe. Abu mengangguk. “Asik sekali nih, berhari-hari di Jakarta,” kata Abu. “Audisinya tanggal berapa sih Joe?” “Tanggal 6.. Masih seminggu lagi,” sahut Joe. Joe kembali menyetop taksi, dan mereka langsung meminta tolong supir taksi itu untuk ikut membantu mencarikan tempat penginapan.
Sementara itu, di rumah Abu…
Pak Andre yang terbangun akibat kucing yang hendak merampok ikan, terkejut melihat kamar putranya sudah kosong dan jendelanya terbuka. Ia langsung membangunkan Bu Rita.
“Mama… Abu tidak ada di kamarnya!” seru Pak Andre. Bu Rita yang tengah tertidur nyenyak langsung terbangun. “Papa, jangan bercanda!” seru Bu Rita. “Ayo, periksa saja kamarnya!” kata Pak Andre sambil sedikit menyeret Bu Rita.
Bu Rita langsung terkejut melihat kamar Abu yang sudah kosong dan jendelanya yang terbuka. “Sepertinya Abu kabur lewat jendela.. Kalau tidak kenapa jendelanya terbuka?” kata Pak Andre. “Papa, anak kita itu pincang, dia tidak mungkin bisa melewati jendela itu sendirian!” sahut Bu Rita. Pak Andre terdiam dan berpikir sejenak. “Pasti ada orang yang membantunya keluar.” katanya.
Pak Andre dan Bu Rita saling bertukar pandang. “JOE!” kata mereka berbarengan. “Pasti Joe mengajaknya untuk mengikuti audisi The Master itu…” kata Pak Andre.
Bu Rita tertegun. “Kalau memang iya… ya ampun, mereka Cuma berdua malam-malam gini, Papa, sungguh mengkhawatirkan!” kata Bu Rita. “Mama tenang dulu.. kita telpon polisi.” kata Pak Andre mencoba menenangkan Bu Rita.
Di Jakarta..
Supir taksi itu terus menerus berbelok ke sana kemari. Joe yang tadinya santai saja, sekarang mulai cemas. “Pak? Bisakah Bapak membawa kami ke wisma terdekat?” tanyanya, tetapi suaranya terdengar aneh. Supir itu tidak menjawab sama sekali. Ia terus mengendarai taksi dengan kecepatan yang tinggi. “Pak, Anda bisa mendengar saya Pak?” tanya Joe, berusaha tetap tenang. Supir itu kemudian mengerem mendadak. Ia berbalik menatap mereka berdua, dan menyeringai. Tiba-tiba ia mengacungkan pisau.
Joe dan Abu berusaha tidak berteriak. “Apa maumu?” tanya Joe tercekat. Supir itu menyeringai menyeramkan. “Berikan uangmu sekarang juga.” Katanya. Atau.. “Kau akan merasakan ini.” Katanya lagi sambil mengacungkan pisau yang berkilat itu. “Tapi, tapi.. kami tidak punya uang! Uang ini masih kami butuhkan untuk menginap!” kata Joe serak. Supir itu tertawa. “Memangnya apa peduliku? Harta atau nyawa?” tantangnya sambil menyeringai.
Joe merasa kalut. Ya ampun, kalau ia tidak menyerahkan dompetnya, mereka mungkin akan mati. Tapi jika ia menyerahkan dompetnya, akan bertahan dengan apa mereka?
“Cepat! Serahkan dompetmu!” kata supir itu lagi. Joe tidak bergerak. Abu secara tiba-tiba mengetukkan kruknya ke kepala supir itu. Supir itu berteriak kesakitan, kemudian Joe secara sigap langsung membuka pintu taksi, dan berlari. Abu tertatih-tatih di belakangnya. Joe langsung berteriak memanggil sahabatnya itu. Si supir taksi menggerutu dan langsung menghilang di tengah gelapnya malam. Kedua sahabat itu kembali terkekeh. “Tidak ada yang bisa mengalahkan kita,” kata Abu.
Joe mengangguk senang. Mereka berdua terus berjalan. “Sekarang, satu pertanyaan,” kata Joe. “Dimana sih kita?” Abu mengangkat bahu. “Pasti ada wisma di dekat sini.” katanya.
“Kalau begitu ayo kita cari, sobat,” kata Joe.
Hari sudah sangat larut. Joe memasukkan tangannya ke saku. Dengan sabar ia menunggu Abu yang jalannya sangat lambat. Ketika mereka sedang asyik melihat-lihat, sesosok orang berbalutkan pakaian serba hitam tiba-tiba menabrak Joe. Joe hampir terjengkang ke selokan. “Hey,” serunya. “Kalau jalan lihat-lihat dong! Punya mata tidak sih?”
Orang tadi tidak menjawab, melainkan terus berlari. Setelah dibantu bangun oleh Abu, Joe meraba-raba kantongnya. Oh! Dompet dan tasnya sudah tidak ada. “Hey, kembalikan dompetku!” seru Joe yang secara ekspres berlari mengejar orang itu. Abu mengikutinya dari belakang. Joe berhasil mengejar orang itu. Joe melompat ke punggung orang itu sehingga mereka berdua terjengkang jatuh. Joe langsung menghajar orang itu. Tapi kemudian orang itu balas menendang perut Joe, kemudian berlari jauh dan cepat sekali, seperti cheetah. Joe mengerang sambil memegangi perutnya. Kacau!! Dompet dan tasnya sudah dicuri sekarang.
Abu menghampirinya. “Joe maafkan, aku, aku tidak bisa mengejar orang itu,” kata Abu.
Joe mengangguk. “Memangnya aku tidak tahu kondisi kakimu? Tidak apa-apa , Abu,” ujar Joe sambil membersihkan pakaiannya dari debu.
“Sekarang, bagaimana kita? Dompet dan tasku dicuri padahal semua uangku ada disana!” kata Joe lemas. “Kau membawa uang, Abu?” Abu menggeleng. “Aku cuma membawa 10 ribu, aku benar-benar lupa membawa dompet..” kata Abu menyesal.
Joe menatap sahabatnya. Ia tidak bisa menyalahkan Abu. Tentu Abu tadi tidak ingat untuk membawa dompet karena terburu-buru turun dari jendela..
“Haduh, bisa-bisa kita jadi gelandangan disini.” Keluh Joe. Abu hanya diam, ia bingung mau berkata apa.
“Sekarang bagaimana…?” perkataan Joe terpotong. Petir tiba-tiba menggelegar, angin berhembus kencang, dan tik tik tik… gerimis mulai turun, kemudian lama-lama membesar menjadi hujan yang sangat deras. “Aduh… hujan lagi… ayo Abu, kita harus berteduh.” ajak Joe sambil menarik Abu dan membantunya berjalan. Mereka kemudian berteduh di bawah pohon taman. Joe merasa sangat bingung sekarang… Mau kemana mereka? Mau makan apa? Mau tidur dimana? Pupus sudah mengikuti audisi The Master. Kenyataannya, dompet dan barang-barang mereka dicuri, dan mereka terdampar di bawah pohon taman.
Hujan tak menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Malah semakin deras, dengan petir menggelegar yang cukup besar. Mereka tak mungkin lama-lama berteduh di bawah pohon itu.
Joe menoleh ke Abu. Abu tampak berkeringat dan menggigil. Joe memegang dahi Abu. Panas sekali. Joe merasa sangat bersalah sekali. Ia kemudian melepaskan jaketnya, dan menyelimutkannya ke Abu. “Seharusnya aku tidak membawamu ke sini,” kata Joe. Abu tidak menjawab, ia terus-terusan menggigil. Kenapa akhirnya malah jadi seperti ini sih? Malang betul nasib kita, ratap Joe.
Bayangan hitam kemudian muncul di hadapan Joe. Sosok bayangan itu makin lama makin nampak jelas. Awalnya Joe merasa ngeri takut-takut itu adalah pencopet lagi. Namun ketika orang itu menampakkan diri di bawah cahaya, kelihatannya ia bukan orang jahat. Seorang pemuda tinggi yang sangat tampan, kelihatannya ia habis berdagang. Pemuda itu menatap mereka berdua dengan heran. Kemudian pemuda itu menghampiri mereka.
“Wah, sedang apa kalian disini?” tanya Pemuda itu ramah. Dari wajahnya ia kelihatan iba melihat Joe dan Abu.
“Kami dirampok. Kami datang dari Bandung, tadinya kami mau mengikuti audisi The Master tapi semua barang-barang kami ludes dirampok.” jawab Joe. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Memang harus hati-hati, di Jakarta itu rawan kejahatan. Ayo, ikut ke rumahku, kalian bisa berteduh disana, tidak baik disini, dingin sekali.” Kata pemuda itu lagi dengan ramah. “Tapi kami tidak mau merepotkan.” kata Joe. Pemuda itu menggeleng. “Tidak, tidak.. lagian disini dingin sekali, dan sepertinya teman kau sakit.” Kata Pemuda itu lagi sambil menunjuk Abu yang masih menggigil. “Ya,” kata Joe. “Baiklah jika kau memaksa. Rumahmu jauh dari sini?” tanya Joe.
Pemuda itu tersenyum. “Tidak kok, tidak begitu jauh.” jawabnya. Joe kemudian memapah Abu. Ia kepayahan memapah Abu sendirian. “Perlu bantuan?” tanya Pemuda itu lagi. “Ya, tolong dong…” kata Joe. Pemuda itu membantu memapah Abu. “Hey, aku belum mengetahui namamu.” Kata Joe. Pemuda itu tersenyum. “Aku Rain,” jawabnya.
“Oh Aku Joe dan ini sahabatku Abu.” Rain tersenyum. “Senang bertemu kalian, Joe, Abu.”
Joe dan Rain kemudian memapah Abu. Ternyata memang benar rumahnya tidak terlalu jauh. Rumah Rain ternyata berada di seberang tempat pembuangan sampah.
“Tidak bagus memang, maklumlah, namanya juga gak mampu,” kata Rain tersipu. “Ya ampun jangan bilang begitu, kami berterima kasih sekali kau sudah mau menolong kami.” kata Joe. Rain mengetuk pintu. “Ibu!! Aku membawa tamu nih!!” serunya. Seorang wanita paruh baya kemudian membuka pintu. “Rain? Ini siapa?” tanyanya ramah.
“Ini teman-teman baruku Bu.” kata Rain. “Ayo masuk.” Joe dan Rain masuk sambil memapah Abu. “Ya ampun, kalian basah kuyup,” kata Ibu itu ramah. “Keringkan dengan ini.” Ibu Rain memberikan handuk kepada Joe. Joe langsung mengeringkan badannya dan Abu dengan handuk tersebut.
“Dia sakit bu,” kata Rain sambil menunjuk Abu yang masih kelihatan menggigil. Ibu itu mendadak tampak iba. Ia kemudian menyiapkan kompres. “Pakai ini,” katanya ramah sambil menyerahkan kompres ke tangan Joe. Joe langsung mengompres Abu. Ibu Rain yang ramah itu duduk. “Rain, aku tidak pernah melihat mereka berdua sebelumnya.” katanya ramah.
“Aku memang baru melihat mereka tadi bu.. Kasihan mereka berdua. Berteduh di bawah pohon saat hujan besar.” kata Rain.
Ibu Rain tampak terkejut. “Oh. Dari mana kalian berasal, Nak?” tanyanya ramah.
“Bandung, Bu. Kami ke Jakarta hendak mengikuti audisi The Master, tapi, uang dan barang-barang kami dicuri,” jawab Joe. “Ya ampun, kasihan sekali. Siapa namamu, Nak?” tanya Ibu Rain lagi. “Aku Joe dan ini Abu.” jawab Joe sambil menunjuk Abu.
“Oh… hujan masih deras diluar, sebaiknya kalian tinggal disini untuk beberapa malam,” kata Ibu Rain lagi. “Tapi Bu… Kami tidak mau merepotkan..” kata Joe. Rain menggeleng. “Tidak apa-apa kok!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar