Di suatu kota, tepatnya di Bandung, hidup dua orang yang bersahabat
karib sekali sejak kecil, mereka adalah Joe Sandy dan Abu. Joe merupakan
seseorang yang cerdas dan hidup sendiri tanpa orangtua. Sedangkan Abu
adalah anak keluarga berada yang kurang beruntung karena kakinya
pincang. Selain itu daya tahan tubuhnya lemah sekali. Namun persahabatan
mereka tidak terhalangi oleh perbedaan itu. Keduanya sama-sama menyukai
sulap. Mereka berdua sering sekali mempraktikkan trik-trik sulap
bersamaan.
Suatu hari, ketika pulang ke rumahnya, Joe melihat iklan salah satu
stasiun televisi swasta yang mengadakan acara “The Master.” Joe yang
sangat menyukai sulap tertarik untuk mengikuti acara tersebut. Tentu ia
tak melupakan sahabatnya Abu.
Dengan riang Joe mampir ke rumah Abu dan memberitahu soal acara The
Master tersebut. “Ini saatnya kita menggapai mimpi kita,” kata Joe.
“Menjadi pesulap professional.” Abu pun merasa gembira dan sangat
tertarik. “Kapan audisinya dimulai, Joe?” tanyanya. “Minggu depan.
Audisinya di Jakarta. Di Mal Emporium. Ayolah, kita harus ikut, acara
ini benar-benar hebat,” kata Joe gembira.
Mendadak senyum menghilang dari wajah Abu. “Kurasa orangtuaku tidak
akan mengizinkanku, Joe. Kau tahu.. mereka tidak pernah mendukung
hobiku.” kata Abu. Joe memandang sahabatnya itu dengan perasaan iba.
“Tapi, Abu, kau bisa mencoba membujuk mereka, kan? Mereka mau
mengantarmu, kan? Ayolah… kau sudah 22 tahun, masa mereka tidak
mengizinkanmu pergi?” kata Joe memelas.
Abu tersenyum. “Entahlah kawan… tapi aku akan mencoba bicara dengan
mereka.” Jawabnya. Joe tersenyum senang. “Beri tahu aku setelah itu,
ok?” katanya sambil mengedipkan mata. Kemudian Joe pulang kembali ke
rumahnya.
Sewaktu makan malam, Abu mencoba berbicara dengan kedua orangtuanya.
“Pa, Ma, aku ingin mengatakan sesuatu, boleh?” tanya Abu sambil
menyendok telur gorengnya.
“Boleh saja, apa yang ingin kau bicarakan, nak?” tanya Andre, ayah Abu.
“Salah satu stasiun televisi swasta mengadakan acara The Master. Aku
ingin sekali mengikutinya, audisinya di Jakarta, boleh kan Pa?” tanya
Abu sambil memandang ayahnya. Reaksi ayah dan Ibu Abu langsung bisa
ditebak. “Tidak.” Kata mereka berdua tegas. Abu menghela nafas. “Ayolah…
pa, ma. Aku kan sangat menyukai sulap…” katanya lagi.
Pak Andre melempar serbetnya. “Tapi kami tidak menyukainya, Abu. Kau
tahu, kau itu lemah, dan kami tidak suka kau memainkan permainan konyol
seperti sulap itu!” katanya tegas. Ibu Abu, Rita, mengangguk menyetujui.
Abu merasa kesal sekali. Matanya berkaca-kaca sekarang. “Papa dan Mama
tidak pernah mengerti aku!” serunya sambil mengambil kruknya, dan ia
masuk ke dalam kamarnya, dan membanting pintunya. Kedua orangtuanya
hanya bisa diam melihat kekecewaan anaknya itu. Di kamarnya Abu
bersungut-sungut. Beruntung sekali Joe, dia bebas melakukan apa saja
yang dia mau, gerutunya dalam hati.
Keesokan harinya..
Seperti biasa Joe mampir ke rumah Abu. Joe dengan riang menceritakan
bahwa tabungannya sudah cukup untuk pergi ke Jakarta. Ia membicarakan
apa yang akan ia persiapkan untuk audisi nanti. Abu mendengarkan dengan
murung. Joe akhirnya berhenti berbicara. “Kenapa kau, teman?” tanyanya.
Joe menepuk pundak Abu. “Ayolah, hari ini cerah sekali! Kenapa mukamu
mendung seperti itu?”
“Joe, orangtuaku tidak mengizinkan aku untuk pergi ke Jakarta dan
mengikuti audisi The Master,” jawab Abu pelan. Joe tertegun. Ia merasa
sangat iba dengan kawannya itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Kau
pergi saja kesana… jangan gara-gara aku kau jadi tidak bisa menggapai
mimpimu,” kata Abu. “Aku akan selalu mendukungmu”. Joe menggeleng. “Kau
lupa janji kita? Bersama-sama selamanya.” Kata Joe sambil menatap Abu
dengan serius. Abu menatapnya heran, dan tersenyum. “Ya.. tapi..”
“Aku akan membantumu keluar malam ini tanpa sepengetahuan orangtuamu.”
Kata Joe sambil tersenyum. “Kau yakin?” tanya Abu. Joe tersenyum. “Yakin
sekali. Kau tidak boleh tidak ikut audisi The Master. Kita akan pergi
ke Jakarta malam ini.” Sambungnya lagi.
Abu tersenyum. Kemudian ia dan Joe mengaitkan kelingking mereka. “Bersama-sama, selamanya,” kekeh keduanya.
Malam pun tiba. Abu sudah bersiap-siap menunggu Joe. Sepanjang malam
ia tak tidur. Detik demi detik ditunggunya. Sampai akhirnya bunyi pelan
menghantam kaca jendelanya. Ternyata Joe, yang melempar batu ke kaca
jendela kamarnya. “Psst,” kata Joe. “Ayo.” Joe ternyata bergelayut di
jendela kamar Abu.
“Pelan-pelan.” Balas Abu, menyerahkan kruknya. “Jangan sampai orangtuaku
bangun.” sambungnya lagi. Namun tangan Abu licin. Kruk itu tergelincir
dari tangannya dan menghantam kepala Joe, kemudian terpelanting ke tanah
dengan pelan. “Aw,” kata Joe. “Hati-hati dong, kawan!” Abu langsung
nyengir. “Sori, sobat,” katanya. Terdengar suara Pak Andre yang sedang
mendengkur. Abu perlahan-lahan melangkahkan kakinya ke luar jendela. Joe
memeganginya. “Awas kakimu kena kepala aku,” bisik Joe dengan suara
yang sangat rendah.
Joe akhirnya berhasil membantu Abu keluar. Mereka saling tos. “Ya!
Jakarta, aku datang!” kata Abu sambil meninju udara. Joe terkikik.
“Ayo.” Katanya geli.
Mereka berdua kemudian berjalan. Sampai akhirnya benar-benar keluar
dari area rumah Abu. “Jadi,” kata Abu. “Kita ke Jakarta sekarang?” Joe
terpingkal. “Mau nunggu tahun depan?” katanya riang. “Ayo, kejar mimpi
kita sekarang!” Kedua sahabat itu tertawa di tengah sunyinya malam. Joe
kemudian menyetop taksi. “Ke stasiun yah,” kata Joe sambil membantu Abu
naik ke taksi tersebut. “Baik,” kata supir itu.
Selama perjalanan, Joe dan Abu terus membayangkan seperti apa mereka
jika mengikuti acara The Master tersebut. Mereka akhirnya sampai di
stasiun kereta api. Joe membantu Abu turun. Ia langsung ke loket tempat
penjualan tiket. “Dua tiket untuk ke Jakarta,” kata Joe riang sambil
merogoh sakunya. Penjual tiket kemudian merobek 2 tiket untuk mereka.
“Tunggu setengah jam lagi, kereta akan datang.” Katanya. “Baiklah,”
jawab Joe.
Mereka kemudian duduk. Sambil membunuh waktu, Joe dan Abu bercanda
tak henti-hentinya. Mereka bermain suit gunting kertas batu, dan terus
tertawa. Orang-orang yang berlalu lalang menatap mereka dengan heran,
karena tentu Joe dan Abu sudah bukan anak-anak lagi.
Tanpa terasa setengah jam berlalu. Kereta yang ditunggu akhirnya
datang. Penumpang pun turun. “Ayo,” kata Joe semangat. Joe membantu Abu
berdiri. Dengan semangat Joe dan Abu menaiki kereta itu. Beruntung
sekali banyak tempat duduk yang sudah kosong. Joe dan Abu langsung
duduk. “Kira-kira,” kata Abu, “apa yang akan mereka katakan setelah
melihat atraksi sulap kita, ya Joe?”
“Abu, Abu, pikiranmu terlalu jauh… kita sampai disana saja belum,” kata
Joe sambil tertawa lepas. Abu balas tertawa. “Haha.. aku kan cuma
berandai-andai saja,” katanya.
Perjalanan mereka terasa sangat singkat. Tiba-tiba saja mereka sudah sampai di Jakarta.
Abu tertidur dalam perjalanan itu. Joe menepuk-nepuk pipinya. “Abu, bangun, ayo, kita sudah sampai.” kata Joe.
Abu mengucek matanya. “Sudah sampai? Cepat sekali.” katanya. Joe
langsung membantu Abu berdiri. “Inilah Jakarta.” bisik Joe sambil
memandang sekeliling. Mereka kemudian berjalan keluar dari stasiun
tersebut. Angin malam yang dingin tidak meruntuhkan semangat 2 anak muda
yang ingin mengejar mimpinya itu.
“Sekarang, yang kita lakukan adalah mencari tempat menginap,” kata Joe.
Abu mengangguk. “Asik sekali nih, berhari-hari di Jakarta,” kata Abu.
“Audisinya tanggal berapa sih Joe?” “Tanggal 6.. Masih seminggu lagi,”
sahut Joe. Joe kembali menyetop taksi, dan mereka langsung meminta
tolong supir taksi itu untuk ikut membantu mencarikan tempat penginapan.
Sementara itu, di rumah Abu…
Pak Andre yang terbangun akibat kucing yang hendak merampok ikan,
terkejut melihat kamar putranya sudah kosong dan jendelanya terbuka. Ia
langsung membangunkan Bu Rita.
“Mama… Abu tidak ada di kamarnya!” seru Pak Andre. Bu Rita yang tengah
tertidur nyenyak langsung terbangun. “Papa, jangan bercanda!” seru Bu
Rita. “Ayo, periksa saja kamarnya!” kata Pak Andre sambil sedikit
menyeret Bu Rita.
Bu Rita langsung terkejut melihat kamar Abu yang sudah kosong dan
jendelanya yang terbuka. “Sepertinya Abu kabur lewat jendela.. Kalau
tidak kenapa jendelanya terbuka?” kata Pak Andre. “Papa, anak kita itu
pincang, dia tidak mungkin bisa melewati jendela itu sendirian!” sahut
Bu Rita. Pak Andre terdiam dan berpikir sejenak. “Pasti ada orang yang
membantunya keluar.” katanya.
Pak Andre dan Bu Rita saling bertukar pandang. “JOE!” kata mereka
berbarengan. “Pasti Joe mengajaknya untuk mengikuti audisi The Master
itu…” kata Pak Andre.
Bu Rita tertegun. “Kalau memang iya… ya ampun, mereka Cuma berdua
malam-malam gini, Papa, sungguh mengkhawatirkan!” kata Bu Rita. “Mama
tenang dulu.. kita telpon polisi.” kata Pak Andre mencoba menenangkan Bu
Rita.
Di Jakarta..
Supir taksi itu terus menerus berbelok ke sana kemari. Joe yang tadinya
santai saja, sekarang mulai cemas. “Pak? Bisakah Bapak membawa kami ke
wisma terdekat?” tanyanya, tetapi suaranya terdengar aneh. Supir itu
tidak menjawab sama sekali. Ia terus mengendarai taksi dengan kecepatan
yang tinggi. “Pak, Anda bisa mendengar saya Pak?” tanya Joe, berusaha
tetap tenang. Supir itu kemudian mengerem mendadak. Ia berbalik menatap
mereka berdua, dan menyeringai. Tiba-tiba ia mengacungkan pisau.
Joe dan Abu berusaha tidak berteriak. “Apa maumu?” tanya Joe
tercekat. Supir itu menyeringai menyeramkan. “Berikan uangmu sekarang
juga.” Katanya. Atau.. “Kau akan merasakan ini.” Katanya lagi sambil
mengacungkan pisau yang berkilat itu. “Tapi, tapi.. kami tidak punya
uang! Uang ini masih kami butuhkan untuk menginap!” kata Joe serak.
Supir itu tertawa. “Memangnya apa peduliku? Harta atau nyawa?”
tantangnya sambil menyeringai.
Joe merasa kalut. Ya ampun, kalau ia tidak menyerahkan dompetnya, mereka
mungkin akan mati. Tapi jika ia menyerahkan dompetnya, akan bertahan
dengan apa mereka?
“Cepat! Serahkan dompetmu!” kata supir itu lagi. Joe tidak bergerak. Abu
secara tiba-tiba mengetukkan kruknya ke kepala supir itu. Supir itu
berteriak kesakitan, kemudian Joe secara sigap langsung membuka pintu
taksi, dan berlari. Abu tertatih-tatih di belakangnya. Joe langsung
berteriak memanggil sahabatnya itu. Si supir taksi menggerutu dan
langsung menghilang di tengah gelapnya malam. Kedua sahabat itu kembali
terkekeh. “Tidak ada yang bisa mengalahkan kita,” kata Abu.
Joe mengangguk senang. Mereka berdua terus berjalan. “Sekarang, satu
pertanyaan,” kata Joe. “Dimana sih kita?” Abu mengangkat bahu. “Pasti
ada wisma di dekat sini.” katanya.
“Kalau begitu ayo kita cari, sobat,” kata Joe.
Hari sudah sangat larut. Joe memasukkan tangannya ke saku. Dengan
sabar ia menunggu Abu yang jalannya sangat lambat. Ketika mereka sedang
asyik melihat-lihat, sesosok orang berbalutkan pakaian serba hitam
tiba-tiba menabrak Joe. Joe hampir terjengkang ke selokan. “Hey,”
serunya. “Kalau jalan lihat-lihat dong! Punya mata tidak sih?”
Orang tadi tidak menjawab, melainkan terus berlari. Setelah dibantu
bangun oleh Abu, Joe meraba-raba kantongnya. Oh! Dompet dan tasnya sudah
tidak ada. “Hey, kembalikan dompetku!” seru Joe yang secara ekspres
berlari mengejar orang itu. Abu mengikutinya dari belakang. Joe berhasil
mengejar orang itu. Joe melompat ke punggung orang itu sehingga mereka
berdua terjengkang jatuh. Joe langsung menghajar orang itu. Tapi
kemudian orang itu balas menendang perut Joe, kemudian berlari jauh dan
cepat sekali, seperti cheetah. Joe mengerang sambil memegangi perutnya.
Kacau!! Dompet dan tasnya sudah dicuri sekarang.
Abu menghampirinya. “Joe maafkan, aku, aku tidak bisa mengejar orang itu,” kata Abu.
Joe mengangguk. “Memangnya aku tidak tahu kondisi kakimu? Tidak apa-apa ,
Abu,” ujar Joe sambil membersihkan pakaiannya dari debu.
“Sekarang, bagaimana kita? Dompet dan tasku dicuri padahal semua uangku
ada disana!” kata Joe lemas. “Kau membawa uang, Abu?” Abu menggeleng.
“Aku cuma membawa 10 ribu, aku benar-benar lupa membawa dompet..” kata
Abu menyesal.
Joe menatap sahabatnya. Ia tidak bisa menyalahkan Abu. Tentu Abu tadi
tidak ingat untuk membawa dompet karena terburu-buru turun dari
jendela..
“Haduh, bisa-bisa kita jadi gelandangan disini.” Keluh Joe. Abu hanya diam, ia bingung mau berkata apa.
“Sekarang bagaimana…?” perkataan Joe terpotong. Petir tiba-tiba
menggelegar, angin berhembus kencang, dan tik tik tik… gerimis mulai
turun, kemudian lama-lama membesar menjadi hujan yang sangat deras.
“Aduh… hujan lagi… ayo Abu, kita harus berteduh.” ajak Joe sambil
menarik Abu dan membantunya berjalan. Mereka kemudian berteduh di bawah
pohon taman. Joe merasa sangat bingung sekarang… Mau kemana mereka? Mau
makan apa? Mau tidur dimana? Pupus sudah mengikuti audisi The Master.
Kenyataannya, dompet dan barang-barang mereka dicuri, dan mereka
terdampar di bawah pohon taman.
Hujan tak menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Malah semakin deras,
dengan petir menggelegar yang cukup besar. Mereka tak mungkin lama-lama
berteduh di bawah pohon itu.
Joe menoleh ke Abu. Abu tampak berkeringat dan menggigil. Joe memegang
dahi Abu. Panas sekali. Joe merasa sangat bersalah sekali. Ia kemudian
melepaskan jaketnya, dan menyelimutkannya ke Abu. “Seharusnya aku tidak
membawamu ke sini,” kata Joe. Abu tidak menjawab, ia terus-terusan
menggigil. Kenapa akhirnya malah jadi seperti ini sih? Malang betul
nasib kita, ratap Joe.
Bayangan hitam kemudian muncul di hadapan Joe. Sosok bayangan itu
makin lama makin nampak jelas. Awalnya Joe merasa ngeri takut-takut itu
adalah pencopet lagi. Namun ketika orang itu menampakkan diri di bawah
cahaya, kelihatannya ia bukan orang jahat. Seorang pemuda tinggi yang
sangat tampan, kelihatannya ia habis berdagang. Pemuda itu menatap
mereka berdua dengan heran. Kemudian pemuda itu menghampiri mereka.
“Wah, sedang apa kalian disini?” tanya Pemuda itu ramah. Dari wajahnya ia kelihatan iba melihat Joe dan Abu.
“Kami dirampok. Kami datang dari Bandung, tadinya kami mau mengikuti
audisi The Master tapi semua barang-barang kami ludes dirampok.” jawab
Joe. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Memang harus hati-hati,
di Jakarta itu rawan kejahatan. Ayo, ikut ke rumahku, kalian bisa
berteduh disana, tidak baik disini, dingin sekali.” Kata pemuda itu lagi
dengan ramah. “Tapi kami tidak mau merepotkan.” kata Joe. Pemuda itu
menggeleng. “Tidak, tidak.. lagian disini dingin sekali, dan sepertinya
teman kau sakit.” Kata Pemuda itu lagi sambil menunjuk Abu yang masih
menggigil. “Ya,” kata Joe. “Baiklah jika kau memaksa. Rumahmu jauh dari
sini?” tanya Joe.
Pemuda itu tersenyum. “Tidak kok, tidak begitu jauh.” jawabnya. Joe
kemudian memapah Abu. Ia kepayahan memapah Abu sendirian. “Perlu
bantuan?” tanya Pemuda itu lagi. “Ya, tolong dong…” kata Joe. Pemuda itu
membantu memapah Abu. “Hey, aku belum mengetahui namamu.” Kata Joe.
Pemuda itu tersenyum. “Aku Rain,” jawabnya.
“Oh Aku Joe dan ini sahabatku Abu.” Rain tersenyum. “Senang bertemu kalian, Joe, Abu.”
Joe dan Rain kemudian memapah Abu. Ternyata memang benar rumahnya tidak
terlalu jauh. Rumah Rain ternyata berada di seberang tempat pembuangan
sampah.
“Tidak bagus memang, maklumlah, namanya juga gak mampu,” kata Rain
tersipu. “Ya ampun jangan bilang begitu, kami berterima kasih sekali kau
sudah mau menolong kami.” kata Joe. Rain mengetuk pintu. “Ibu!! Aku
membawa tamu nih!!” serunya. Seorang wanita paruh baya kemudian membuka
pintu. “Rain? Ini siapa?” tanyanya ramah.
“Ini teman-teman baruku Bu.” kata Rain. “Ayo masuk.” Joe dan Rain masuk
sambil memapah Abu. “Ya ampun, kalian basah kuyup,” kata Ibu itu ramah.
“Keringkan dengan ini.” Ibu Rain memberikan handuk kepada Joe. Joe
langsung mengeringkan badannya dan Abu dengan handuk tersebut.
“Dia sakit bu,” kata Rain sambil menunjuk Abu yang masih kelihatan
menggigil. Ibu itu mendadak tampak iba. Ia kemudian menyiapkan kompres.
“Pakai ini,” katanya ramah sambil menyerahkan kompres ke tangan Joe. Joe
langsung mengompres Abu. Ibu Rain yang ramah itu duduk. “Rain, aku
tidak pernah melihat mereka berdua sebelumnya.” katanya ramah.
“Aku memang baru melihat mereka tadi bu.. Kasihan mereka berdua. Berteduh di bawah pohon saat hujan besar.” kata Rain.
Ibu Rain tampak terkejut. “Oh. Dari mana kalian berasal, Nak?” tanyanya ramah.
“Bandung, Bu. Kami ke Jakarta hendak mengikuti audisi The Master, tapi,
uang dan barang-barang kami dicuri,” jawab Joe. “Ya ampun, kasihan
sekali. Siapa namamu, Nak?” tanya Ibu Rain lagi. “Aku Joe dan ini Abu.”
jawab Joe sambil menunjuk Abu.
“Oh… hujan masih deras diluar, sebaiknya kalian tinggal disini untuk
beberapa malam,” kata Ibu Rain lagi. “Tapi Bu… Kami tidak mau
merepotkan..” kata Joe. Rain menggeleng. “Tidak apa-apa kok!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar