Beberapa hari kemudian, tepat hari libur sekolah. Ara diajak sang
paman pergi ke Jakarta. Pada saat itu juga Ara berinisiatif untuk
menemui ayahnya kembali. Kali ini ia datangi kediaman ayahnya. Ia tidak
sendiri, ia ditemani Om dan sepupunya. Ara sangat berharap kedatangannya
disambut baik oleh ayah dan keluarga tirinya. Ara pun tiba.
“Asalamualaikum”
“Waalaikumsalam” sang ayah membuka pintu. Ara lega, ternyata ayahnya lah
yang membukakan pintu. Ara memang tidak mau jika ibu tirinya atau
saudara tirinya yang membukakan pintu.
“Ayo masuk, masuk!” ajak sang ayah.
“Lastri! Kakakmu datang ni” sang ayah memanggil Lastri, anak dari hasil pernikahan ke duanya.
Lastri pun ke luar, tapi ia tidak sendiri melainkan ada sang ibu yang
ikut serta menuju ruang tamu untuk menemui Ara, Om, dan sepupunya.
“Eh ada tamu agung toh!” ujar ibu tiri Ara. Sementara Lastri hanya diam.
Tatapan mata keduanya penuh sinis terhadap Ara. Bahkan sang ayah pun
lebih memilih banyak diam dibandingkan bicara. Sekali lagi hati Ara
terluka. Harapannya selalu hilang, harapan indah saat bertemu sang ayah
justru mencabik-cabik hatinya. Ia ingin sekali bisa menangis di hadapan
ayahnya agar ayahnya tahu bahwa ia selama ini sangat merindukannya,
sangat membutuhkannya, dan terluka atas sikap acuhnya.
Tapi Ara tegar, ia tak mau hati om dan sepupunya ikut terluka karena
melihat ia menangis. Sebelum akhirnya memutuskan pergi dari rumah
ayahnya, Ara sempat memotret adik tirinya. Keesokan harinya Ara kembali
tiba di rumah. Dan menceritakan kepada ibunya tentang kejadian di rumah
ayahnya. Ya, Ara tidak mendapat apa-apa. Ara pun menunjukkan foto adik
tirinya kepada sang ibu. Setelah mendengar cerita Ara dan melihat foto
Lastri, sang ibu kesal.
“Sudah Mama bilang, percuma kamu temuin Papa kamu! Apa yang kamu dapat?
Gak dapat apa-apa kan? Kamu malah direndahkan seperti itu. Pokoknya
suatu saat nanti kamu harus sukses, Ra! Buktikan sama papa kamu kalau
kamu bisa!” tukas Mama.
Ara menangis, ia tak sanggup lagi menyembunyikan kesedihannya. Terlebih
lagi melihat pembelaan sang ibu untuknya, hati Ara seakan menjerit.
“Tuhan, sesulit dan sepahit inikah hidupku?” desirnya merintih.
Hari terakhir libur sekolah, Shita datang ke rumah Ara. Namun Ara tidak ada di rumah.
“Tunggu saja dulu Ta! Sebentar lagi juga Ara dateng kok. Sini, sini masuk, ngobrol-ngobrol dulu sama Tante!” ujar ibu Ara.
“Iya Tante, makasih” jawab Shita.
“Tante seneng kamu datang ke sini. Sebentar lagi kalian kelas XII. setelah lulus, nanti kamu mau kuliah di mana?”
“Kuliah? Belum tahu Tante. Pengennya sih kuliah, tapi mengingat kedua
orangtuaku kondisi ekonominya elit (ekonomi sulit) gak tahu deh Tante.
Kalau ada rezki ya alkhamdulillah. Kalau gak, ya aku kerja aja Tante.
Bantuin Mama, Papa.”
“Iya ya Ta, orang-orang kayak kita ini Cuma punya mimpi. Jaman sekarang
semua serba uang. Tante sih pengen Ara bisa kuliah, tapi jujur Tante gak
sanggup membiayai Ara kuliah. Kalau kalian pengen kuliah, mulai dari
sekarang harus rajin-rajin cari beasiswa. Tapi mending cari kerja aja
deh Ta, cari uang! Sukses kan gak harus kuliah dulu, yang penting kalian
terampil dan punya kemauan pasti bisa sukses!”
“Iya Tante, bener”
Tiba-tiba Ara datang.
“Eh.. ada Shita! Udah lama Ta?” Tanya Ara.
“Lumayan Ra. Hehe.”
“Maaf ya jadi nunggu, abis kamu gak bilang sih mau ke sini!”
“Iya, santai aja lagi!”
Suatu hari Ara pergi mendatangi konser musik The Masiv dengan Lala.
Lala adalah teman SDnya. Rumah Lala juga tak jauh dari rumah Ara. Lala
pernah mengantar Ara ke suatu tempat, Lala pernah menolong Ara. Dan Ara
pikir, ia harus membalas kebaikan Lala. Terpaksa ia mengikuti ajakan
Lala yang mengidolakan The Masiv untuk menonton konsernya. Konser
tersebut diadakan di Stadion yang letaknya tak jauh dari sekolah Ara.
Konser dimulai sore hari. Jam sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Ara
panik, tak biasanya ia berada di luar rumah hingga petang. Takut sang
ibu cemas dan memarahinya, akhirnya dengan tak enak hati ia meninggalkan
Lala. Ara pun pulang. Sesampainya di rumah, sang ibu menyambutnya. Kali
ini Ara disambut dengan wajah kesal ibunya. Dan hal yang ditakuti Ara
terjadi, ibunya sangat marah. Saat itu Ara bagaikan sedang mimpi buruk.
Gagang sapu melayang ke tubuhnya. Berkali-kali sang ibu memukulinya. Ara
menangis, ia kesakitan tapi ia sadar bahwa ia bersalah.
“Mau jadi apa kamu? Tugas kamu belajar, bukan malah keluyuran nonton
konser! Sama siapa kamu pergi? Sama siapa? Jawab!” ujar sang ibu,
meletup-letup penuh emosi.
“Lala Mah” jawab Ara dalam isak.
“Lala? Sejak kapan kamu bergaul sama dia? Mama gak suka! Ngerti? Ini
cukup pertama dan terakhir kalinya!” seru sang ibu, kemudian pergi
meninggalkan Ara dengan muka merah padam. Ara masih kesakitan. Bukan
hanya tubuhnya yang sakit, tapi hati dan batinnya ikut mengerang penuh
sesal karena telah membuat sang ibu kecewa.
Keesokan harinya Ara menceritakan apa yang telah dialaminya kepada Shita.
“Yang sabar Ra! Mama kamu kayak gitu pasti karena beliau gak mau anaknya
jadi gak bener. Mama kamu sayang banget sama kamu kok Ra” ucap Shita.
“Iya Ta, aku tahu. Aku sering kok ngerasain ini, Mama sering mukulin aku
kalau memang bener-bener merasa kecewa. Dan setiap Mama ngelakuin itu,
aku sadar kalau aku salah. Cuma cara Mama negur aku yang aku anggap
keterlaluan. Apa mama kamu juga kayak gitu Ta?”
“Setiap orangtua punya cara sendiri untuk mendidik anaknya, Ra. Dan itu
semua gak tanpa alasan. Mama kamu pengen kamu jadi anak yang kuat.
Pokoknya, yang penting kamu jangan buat mama kamu kecewa lagi ya ke
depannya!”
“Makasih ya Ta, kamu yang selalu bisa nenangin aku.”
“Sama-sama Ra, ini kan gunanya sahabat”
Pada saat jam istirahat, Ara menemui Ferdi.
“Fer, aku mau ngomong sesuatu” ujar Ara kepada Ferdi.
“Iya Ra, ngomong apa?”
“Aku sayang sama kamu. Tapi aku gak bisa ngelanjutin hubungan ini.”
“Loh… kenapa Ra?”
Pada saat itu juga Ara menceritakan kejadian yang telah menimpanya.
Selain kepada Shita, ia juga tak jarang menceritakan keluh kesahnya
kepada Ferdi.
“Aku gak mau ngecewain Mama lagi, Fer. Aku juga gak mau Mama bakalan
lebih marah dari kemarin kalau akhirnya Mama tahu kalau aku pacaran”
tambahnya.
“Iya Ra, aku ngerti. Aku bisa ngomong apa? Itu keputusan kamu. Bagi aku
masalah status hubungan gak terlalu aku permasalahkan. Yang penting kita
sama-sama saling sayang. Aku sayang kamu Ra. Aku terima keputusan
kamu.”
“Makasih Fer.” Mereka saling memandang dan tersenyum.
Hari-hari berikutnya kembali Ara jalani dengan normal. Kurikulum di
kelas XI hampir selesai. Hingga akhirnya ia dan teman-temannya sampai di
kelas XII. Di kelas XII inilah para siswa dituntut untuk belajar lebih
serius lagi. Mereka dituntut untuk siap menghadapi Ujian Nasional dan
lulus dengan nilai yang baik. Ujian Nasional pun di depan mata.
Sebelum Ujian Nasional tiba ternyata Ara telebih dahulu dihadapkan
oleh suatu ujian dalam keluarganya. Sang ibu bertengkar hebat dengan
suaminya, ayah tiri Ara. Ia menyaksikan pertengkaran itu. Bukan hanya
adu kata, ternyata sang ayah tiri tega manyakiti fisik ibunya. Ara tak
bisa berbuat apa-apa, ia ingin sekali mengajak ibunya lari bersamanya.
“Tuhan, ujian apa lagi ini?” keluhnya.
Ara menjadi tidak konsentrasi belajar. Ara sempat putus asa. Dua hari
kemudian, setelah pertengkaran itu, sang ibu menghampiri Ara.
“Ra, Mama gak kuat. Mama pengen pergi saja dari rumah. Kita tinggalin
laki-laki itu Ra. Mama sudah gak sanggup hidup serumah dengan dia lagi”
ucap sang ibu dalam tangis.
“Ara ikut apa kata Mama aja. Ara sayang Mama” jawab Ara juga dalam tangis.
Tapi ternyata bukan mereka yang pergi dari rumah, melainkan ayah tiri Aralah yang terlebih dahulu meninggalkan mereka.
Seminggu kemudian, Ara tersentak mendengar pernyataan ibunya.
“Ra, Mama mau ke Saudi. Surat-surat keberangkatan dan sebagainya udah diurus sponsor.” ucap sang ibu.
“Mama lagi bercanda kan?”
“Gak Ra. Mama serius. Mama pengen kamu kuliah. Mama gak punya keahlian
lain selain menjahit. Di Saudi, Mama akan ditempatkan kerja menjadi
penjahit. Ara izinin Mama ya!”
“Tapi Ma, Ara gimana?”
“Ara akan baik-baik aja. Kamu bisa tinggal dengan Tantemu, biar rumah
kita dikontrakkan. Uang hasil kontrakkannya bisa buat keperluan kamu
sehari-hari.”
“Mama tega tinggalin Ara?”
“Tega gak tega Ra. Mama harus pergi demi masa depan kamu.”
Dengan berat hati akhirnya Ara pun berkata, “Ara gak bisa melarang Mama. Yang penting Mama jaga diri ya kalau udah di sana!”
“Pasti Ra.”
Dua hari berikutnya sang ibu berangkat ke penampungan, di daerah
Jatiasih, Bekasi. Ujian Nasional sudah semakin di depan mata, empat hari
sebelum ujian, Ara memutuskan mendatangi ibunya di penampungan untuk
meminta doa restu. Dan pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir mereka
untuk sementara. Hari ketiga Ujian Nasional, disaat Ara harus berjuang
menjawab soal-soal, pada hari yang sama sang ibu berangkat ke Saudi.
Sekali lagi Ara tegar. Ia tak mau mengecewakan ibunya. Ujian Nasional
pun selesai. Setelah lama menanti hasil ujian Nasional, akhirnya hari
itu tiba. Dimana hasil Ujian Nasional akan segera diketahui. Ara dan
teman-teman satu sekolahnya, dinyatakan seratus persen lulus.
“Alkhamdulillah aku lulus!!!” teriak Ara, “Mama, aku lulus!” teriaknya lagi.
Semua siswa bersorak sorai, mereka bahagia, mereka lega.
—
“Ra, gimana? Udah daftar?” Tanya Shita kepada Ara.
“Untuk tahun sekarang di UPI untuk jurusan PGSD gak ada ujian tertulis Ta. Jadi aku daftar ke UNY. Doain ya..!”
“Siip… doain aku juga ya! Besok aku mau melamar kerja.”
“Pasti. Melamar kerja di mana Ta?”
“Di Hotel, temanku bilang ada lowongan resepsionis. Hotel baru sih,
hotelnya juga gak gede-gede amat, masih bintang dua. Tapi aku berharap
banget bisa diterima Ra.”
“pokoknya aku selalu doain kamu, Ta. Good luck ya!”
“Thanks Ra, kamu juga ya… good luck!”
Satu minggu kemudian Ara mengikuti SNMPTN di UNY. Dua minggu
setelahnya, Ara mengetahui hasilnya. Ara terpukul, ia gagal. Sementara
Shita diterima kerja sebagai Resepsionis di hotel tersebut.
Setelah gagal di UNY, Ara memutuskan untuk menunda satu tahun
kuliahnya. Ia berkeputusan untuk bekerja terlebih dahulu, yang membuat
ia semangat ialah kesempatannya untuk mengikuti SNMPTN jurusan PGSD di
UPI tahun depan. Karena ternyata informasi yang dulu ia dapat, salah.
Seharusnya waktu itu ia bisa daftar SNMPTN UPI PGSD, hanya saja missed
komunikasi yang membuat ia kehilangan kesempatan itu.
“Pokoknya tahun depan aku harus diterima di UPI. Aku harus bikin mama
bangga. Aku akan jadi guru, seperti harapan Mama” gumamnya penuh
semangat.
Ia tak lantas lost contact dengan sang ibu begitu saja. Satu bulan sekali sang ibu pasti menghubunginya.
“Ma, aku gagal masuk UNY. Maafin Ara Ma!” ujar Ara.
“Ya udah gak apa-apa, masih ada kesempatan kok. Kerja aja dulu, tahun depan ikut Tes lagi! Mama selalu mendoakan kamu.”
“Makasih Ma.”
“Kamu di sana hati-hati ya. Gak ada Mama, bukan berarti Mama gak
ngawasin kamu. Kamu harus mawas diri, jangan neko-neko. jadilah yang
Mama banggakan!”
“Insya Allah Ma. Mama juga hati-hati ya di sana. Ara sayang Mama.”
Satu bulan kemudian Ara diterima kerja di salah satu Perusahaan
Elaktronik. Tidak genap satu tahun bekerja, Ara memutuskan keluar dari
perusahaan itu. Alasannya satu, ia ingin mengejar cita-citanya. Ya, satu
bulan lagi ia harus mengikuti SNMPTN jurusan PGSD di UPI. Untuk itu ia
harus fokus. Agar ia tidak mengecewakan ibunya lagi. Hasilnya? Benar
saja, Ara kali ini berhasil. Semua itu berkat kerja keras dan
kesungguhannya. Ia langsung mengabari ibunya.
“Ma, alkhamdulillah Ara diterima di UPI” ucapnya senang.
“Makasih sayang, makasih. Mama seneng dengarnya” ucap sang ibu.
“Ara yang makasih ke Mama. Ini semua berkat doa Mama. Ara gak mau
ngecewain Mama lagi. Cuma ini yang bisa Ara lakuin, Ara pengen wujudin
harapan Mama untuk melihat Ara sukses jadi guru. Ara gak akan pernah
bisa membalas kerja keras serta kasih sayang Mama ke Ara. Makaihs Ma!”
“Mama ikhlas sayang. Mama gak peduli Mama harus kerja keras kayak gini
asalkan kelak Mama bisa lihat kamu sukses dengan gelar Sarjana. Kamu
harapan Mama satu-satunya Ra.”
“Iya Ma, Ara janji akan wujudin itu. Mama akan lihat Ara sukses. Mama
akan lihat Ara mendapat gelar Sarjana. Mohon doanya ya Ma. Karena dengan
doa Mamalah Ara bisa lewatin apapun.”
“Pasti Mama akan selalu mendoakan kamu.”
Beberapa tahun kemudian Ara wisuda. Sang ibu yang telah pulang tiga
tahun sebelum hari wisuda Ara, turut menyaksikan hari bersejarah itu.
Hari itulah yang ia tunggu-tunggu. Hari dimana ia melihat anaknya
memakai Toga pertanda sebentar lagi anaknya resmi menjadi Sarjana. Ya,
ia sangat bahagia. Penuh haru ia manyaksikan wisuda Ara. Rasa syukur
kepada Tuhan tak henti-hentinya ia ucapkan. Kerja kerasnya selama ini
berbuah manis. Kehidupannya yang terjal berakhir mulus. Puteri
kebanggaannya telah benar-benar membuat dia bangga. Ia kini merasa
terbangun dari mimpi. Dimana anaknya akan mewujudkan mimpi-mimpi itu,
mengubah kehidupannya yang gelap menjadi terang, itulah harapannya.
Beberapa saat kemudian Ara menghampiri ibunya.
“Mama…!” teriak Ara. Ia langsung mencium tangan ibunya, berlutut serta
mencium kaki ibunya. Keduanya berada dalam peluk dan isakan tangis yang
tak henti-hentinya. Isakan tangis itu bukanlah isakan tangis beberapa
tahun yang lau, dimana saat itu adalah isakan yang penuh kegetiran, kali
ini isakan tangis itu penuh kebahagiaan.
“Makasih sayang, makasih” ucap Mama.
“Makasih Ma” sahut Ara, mereka masih saling berpeluk.
“Mama bangga sama kamu. Kamu sudah berhasil mewujudkan impian Mama. Tapi
ini bukan akhir Ra, kamu masih harus jauh melangkah ke depan untuk bisa
mengeluarkan kehidupan kita dari gelap. Kamu yang Mama harapkan Ra.
Dengan ini, mudah-mudahan sedikit demi sedikit kehidupan kita akan
menjadi lebih baik. Kamu gak boleh mempunyai nasib seperti Mama. Kamu
harus lebih terang dari bintang. Kamu harus lebih harum dari mawar. Mama
yakin anak Mama pasti bisa. Jadilah orang yang berguna sayang, yang
amanah serta bertanggung jawab! Lakukanlah yang seharusnya kamu lakukan!
Sebagai orangtua, Mama hanya bisa mendoakan. Doa Mama akan selalu
tercurah buat kamu sampai Mama menutup mata untuk selama-lamanya.”
“Makasih Ma, Ara akan sukses buat Mama. Wisuda hari ini, juga kerja
keras Ara ke depannya atau bahkan jika Ara benar-benar sukses nanti,
semua itu persembahan buat Mama.”
Setelah itu mereka pun pulang. Sungguh perjalanan yang indah walau
terjal. Keindahan itu tercipta karena adanya ketabahan, keyakinanan,
kerja keras dan ketaatan kepada Tuhan. Ara dan ibunya telah membuktikan
mengubah kesulitan mereka menjadi mudah dan ketidakberadyaan itu menjadi
kekuatan yang luar biasa. Kesulitan-kesulitan yang ada serta tempaan
hidup yang bertubi-tubi justru membuat mereka kuat. Kebahagiaan tak
bergantung pada kekayaan materi. Tetapi kekayaan hati serta keyakinan
terhadap diri sendiri dan terhadap Tuhanlah yang menghantarkan mereka
pada kebahagiaan abadi. Keep fighting.
- The End -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar