Entah berapa juta-juta kali kata-kata cemoohan dan cibiran itu keluar
dari mulut setiap orang yang mengetahui keadaanya. Bahkan yang paling
ekstrim ada yang sampai mengutuk dan memvonisnya sebagai penghuni
neraka. Mereka tak sadar siapa mereka. Mereka manusia, bukanlah Tuhan.
Sama seperti dia. Tapi inilah kelemahan manusia, selalu merasa diri
menjadi paling baik dan paling suci dibanding manusia lainya. Bahkan
yang mengutuk bukan hanya dari kalangan yang main-main. Yang paling
mengerikan adalah kemarin, ketika acara pengajian rutin ibu-ibu setiap
hari selasa. Sang penceramah membawa tema tentang kaum Nabi Luth. Tak
ayal, semua mata tertuju padanya. Sakit, jelas terasa di hati. Tetapi
dia mencoba bersabar. Ini adalah ujian dari Tuhan. Ujian seberapa kuat
kah dia dalam perjuangan ini. seberapa layak kah dia menjadi yang
sekarang ini. Dan dalam ujian itu, dia berharap Tuhan meluluskanya.
Dia bernama Anisa Septiani. Sebelum operasi lima belas tahun yang
lalu, dia bernama Yayan Septiana. Ketika menjadi Yayan, Anisa selalu
merasa dirinya dalah wanita. Tak ayal tingkah lakunya pun seperti
wanita. Walaupun dari kecil sampai tamat SMA Anisa masih memakai pakaian
lelaki, dan rambut dipotong seperti lelaki. Tapi karena kemayu dan
tingkah laku seperti perempuan, maka Anisa sering diolok-olok dengan
sebutan benc*ng. Sakit, tentu saja. Marah, inginya seperti itu. Tapi
Anisa selalu diam memendam rasa sakitnya. Keadaan di dalam keluarganya
pun tak jauh berbeda. Kalaupun ada yang mengerti dirinya, itu hanyalah
sang Ibu. Dia yang membuat Anisa terus bertahan. Beberapa kali Anisa
kedapatan akan bunuh diri. Karena dia merasa tekanan yang luar bisa di
luar dan di dalam dirinya sendiri. Tapi untunglah dia masih selamat. Dan
itu karena Ibunya. Lain Ibu lain Ayah. Seperti keinginan setiap Ayah
terhadap anak laki-lakinya. Ayah Anisa menginginkan anaknya macho,
jagoan, pandai main bola. Bahkan Ayahnya Anisa saking geram melihat
tingkah laku anaknya, pernah dengan sengaja mengadu Anisa dengan anak
tetangganya. Jelas Anisa kalah.
Berbagai cara sang Ayah lakukan untuk bisa merubah Anisa semuanya
gugur tanpa hasil. Diikutkan pelatihan bola malah kabur memilih bermain
bola bekel bersama anak-anak perempuan di kampung itu. Disuruh ikut
mencari rumput buat kambing, malah kabur sembunyi di dapur sambil
menghafal resep masakan sayur asem Ibunya yang menurutnya paling juara
dan wajib dipelajari. Dibentak malah diam seperti orang kesambet.
Dipukul, malah menangis. Serba salah. Hingga suatu saat setelah tamat
SMA, dia membuat keputusan besar dalam hidupnya. Ketika semua berkumpul
untuk makan malam, Anisa dengan penuh keyakinan dan percaya diri berkata
pada semua orang yang ada di situ.
“Sebelumnya Yayan minta maaf pada Ibu, Ayah, De Dadan, De Siska dan De
Farhan. Mungkin apa yang akan Yayan katakan pada kalian akan membuat
kalian semua kecewa. Sangat kecewa. Yayan sudah besar saat ini, sudah
lulus SMA. Yayan bukan lagi anak kecil. Yayan ingin menentukan kehidupan
Yayan sendiri di masa depan. Jangan takut jika suatu saat nanti di
akhirat Ibu dan Ayah dimintai pertanggung jawaban atas kelakuan Yayan.
Yayan akan meminta pada Allah supaya semuanya dilimpahkan pada Yayan
sendiri. Yayan sudah fikirkan resiko kedepan yang harus Yayan hadapi.
Yayan berjanji gak akan menyusahkan kalian semua. Kalian hidup tenang
dan rukun di sini seperti tak terjadi apa-apa. Sebenarnya berat buat
Yayan harus mengatakan ini. Apalagi tanggapan Ayah nanti. Membayangkanya
pun Yayan gak sanggup. Tapi ini harus. Yayan hendak ke kota. Yayan akan
bekerja di sana.” Anisa menarik nafas panjang, kemudian
menghembuskanya.
“Kamu mau kerja apa di kota? lulusan SMA hanya bisa jadi tukang sapu dan
ngepel. Daripada jauh-jauh Cuma jadi tukang sapu, mending kamu ngurus
kambing di sini. Kamu itu anak tertua, Yan. Harus bisa jadi contoh dan
panutan! Adik kamu harus sekolah, bukan cuma kamu saja. Jangan jadi
egois. Yang hanya mementingkan diri sendiri. Cukup kamu buat Ayah kecewa
dengangan sikapmu!” sela Ayahnya.
Anisa menerawang jauh. Menimbang-nimbang lagi apakah dia siap dengan tanggapan keluarganya nanti. Anisa pun memantapkan diri.
“Yayan tidak akan lari dari tanggung jawab. Yayan akan kirim uang untuk
keluarga di sini. Yayan tidak bisa pastikan jumlahnya. Tapi Yayan akan
pastikan itu rutin tiap bulan. Tolong Ayah mengerti keputusan Yayan.
Yayan akan bekerja di.. di salon punya Teh Mei di Bogor!” Anisa
menunduk. Takut menantap mereka. Terlebih Ayahnya.
“Astagfirullah Yan. Eling, inget Allah. Kamu mau bikin Ayah kecewa lagi?
Cukup dengan tingkah kamu yang seperti perempuan, jangan ditambah
aktifitas yang memperparah. Kamu tahu, si Mei itu laki-laki. B*nci.
Tidak bisa menerima kodrat diri. Sesukses suksesnya dia, apa dia bisa
menikmatinya. Dia sekarang sendiri, Ibunya mati pun dia gak ada di
sampingnya. Insyaf Yan… Insyaf! Astagfirullah… salah apa ya Allah, kok
punya anak seperti ini…” Sang Ayah mengelus dada. Ingin rasanya
menggebrak meja atau melempar apa saja pada Anisa yang ada di seberang
meja. Boro-boro menggebrak atau melempar, berdiri saja rasanya gak kuat.
Terlalu syok.
“Ayah, terkadang sesuatu yang terlihat hina belum tentu hina. Kita bukan
Allah yang bisa melihat semua sisi. Keputusan Yayan sudah bulat, Yayan
akan pergi ke kota, lusa. Dijinkan atau tidak, Yayan akan tetap pergi!”.
Hening.
“Baik, jika kamu mau pergi ke kota, pergi sana. Jangan nunggu lusa,
sekarang juga itu lebih baik. Aku muak melihat muka kamu. Dasar anak
durhaka. Bergaul dengan siapa saja yang kamu mau, jadi apa saja yang
kamu mau. Memang, kamu itu banci, dan sampai kapan pun akan tetap banci.
Jangan pernah pulang jika aku masih hidup. Uhuk… uhuk… pergi!” Sang
Ayah berteriak lantang. Membuat suasana hening lagi.
“Sabar Yah… Sabar!” Sang Ibu berusaha menenagkan. Kemudian Anisa pergi
ke kamarnya, membereskan semua barang-barangnya. Tak lama kemudian dia
keluar bermaksud berpamitan.
“Jangan sentuh salah satu pun orang yang ada di sini. Kamu terlalu najis
buat kami!” Anisa pergi meninggalkan rumah dalam tangisan.
Ini adalah tahun ke dua dia bekerja di salon, tapi tidak lagi bersama
Mei. Dia pindah setengah tahun lalu kesini, Keraton Salon mereka
menjulukinya. Tidak sembarangan orang yang bisa bekerja di sini karena
memang pelanggannya pun bukan orang sembarangan. Dari mulai kaum
sosialita, artis sampai para istri pejabat sering singgah ke sini.
Masalah penghasilan, jangan ditanya, jelas besar. Anisa adalah
satu-satunya laki-laki yang bekerja disini. Sang pemilik salon menemukan
Anisa ketika di Mall. Waktu itu mereka sama-sama sedang mengunjungi
pameran alat-alat kecantikan asal Paris. Hanya butuh waktu sebulan untuk
Anisa bisa masuk ke Keraton Salon.
Hidup menjadi setengah pria setengah wanita tidaklah mudah. Cibiran
selalu mampir di telinganya tanpa pernah absen. Pandangan orang yang
menyebut dirinya g*y membuat hatinya begitu sakit. Pernah suatu ketika
ada seorang Om om pengusaha menghampirinya, menyatakan cinta padanya.
Dengan tegas Anisa berucap “Saya tidak seperti apa yang Om lihat.
Munghin semua orang akan sependapat mengatakan saya G*y dengan kondisi
seperti ini. tapi sungguh Saya bukan G*y. Jika Om memang mencintai Saya,
Om akan mengerti. Dan tunggulah sampai saya bisa menjadi wanita
seutuhnya!”
Memang kini setelah penghasilanya tinggi, Anisa berniat operasi kel*min.
Dia ingin menyempurnakan dirinya. Sempurna dalam dan luarnya sebagai
wanita seutuhnya. Sang Om om tertawa terbahak. Dia geleng-geleng kepala.
Seraya mengejek “Kamu itu laki-laki, sayang. Ganti kel*min pun kamu
tetap laki-laki. Sudahlah terima cinta Om, apa bedanya sekarang ataupun
nanti. Ujung-ujungnya kamu juga dit*duri!”
Dengan santai Anisa menjawab “Saya hanya ingin hubungan saya sah. Dengan
pria manapun nantinya. Oh ya, kalau memang Om sudah tidak ada perlu
lagi, Anisa mau pulang!” tanpa menungu persetujuan si Om, Anisa pergi.
Waktu terus bergulir, siang dan malam silih berganti dengan
teraturnya. Tetapi tak ada yang berubah dari senja. Baik dulu maupun
sekarang tetaplah sama. Mungkin sampai nanti pun akan sama. Kini
menginjak tahun ke lima, Anisa telah mendapat posisi yang penting di
Keraton Salon. Dia menjadi Manager di Keraton Salon cabang di daerah
Lippo Karawachi. Di bawah kepemimpinanya, Keranton Salon cabang Lippo
Karawachi berkembang pesat. Omzet perbulanya jauh melampaui target. Dan
ini adalah bulan ke enam dari masa kepemimpinannya. Tahun ini akan
menjadi tahun paling bersejarah dalam hidupnya. Tahun yang paling
dinanti-nanti. Dia akan pergi ke Bangkok untuk melakukan operasi kel*min
dan sedikit mengubah bentuk tubuhnya. Sekedar info, tanpa dipermak pun
dia sudah terlihat cantik. Apalagi dioperasi.
Daun-daun terus berguguran, tunas baru pun bermunculan. Mengganti
warna kuning kecoklatan dengan warna hijau muda. Bunga-bunga di taman
bermekaran. Ulat yang kemarin masih kepompong kini telah berubah anggun
menjadi kupu-kupu. Menari-nari lincah di antara bunga-bunga. Kini hari H
keberangkatanya ke Bangkok semakin dekat. Tinggal tujuh hari lagi.
Sebelum operasi, ia berniat mengunjungi keluarganya yang telah lama ia
tinggalkan. Meminta restu kepada kedua orangtuanya. Sebenarnya ia takut,
tapi rindu mengalahkanya. “Lagipula mungkin Ayah telah memaafkanku.
Bukankah Singapun tidak akan memakan anaknya?” batinnya berusaha
memotivasi diri. Dan akhirnya dia pun berangkat menuju kampung tercinta.
Dia bersyukur pernah hidup disana. Walaupun seringnya dulu ia dicaci.
Paling tidak, melalui cacian itu dia mengetahui siapa jati dirinya itu.
Tok… Tok… “Assalamualaikum!!!” Anisa mengucap salam.
“Waalaikumsalam!!!” seorang remaja yang seumuran anak SMA membukakan pintu.
“Dadan? Ini Dadan?” Anisa pangling melihat adik laki-lakinya itu. Dadan
tumbuh menjadi remaja tampan. Gestur tubuhnya pun tak seperti dirinya.
Jelas lah, Dadan laki-laki. Sementara ia, sebentar lagi akan menjadi
wanita.
“Ia, Saya Dadan. Maaf, kalau boleh tahu Mba siapa ya? Ada perlu apa?”
dalam keheranannya Dadan bertanya. Dia memperhatikan dari ujung kepala
sampai ujung kaki orang yang ada di depanya. Dadan mengerenyitkan
keningnya. Sekilas dadan melihat tahi lalat di hidung sebelah kiri orang
yang mengetuk pintu, membuatmya teringat akan sosok seseorang. Tapi
Dadan enggan menyimpulkan.
“Ini Yayan Dan, kamu sudah besar ya! Tinggi, macho, cakep. Pasti banyak ceweknya!” Anisa menggoda adiknya.
“A Ya… Ya… Yan! Bener ini A Yayan?” dia sanksi. Setahu dia, terakhir
kali Kakaknya pergi masih dalam keadaan laki-laki. Tapi kok… apakah kota
menyihirnya menjadi seperti ini? ah, Dadan pusing, dia menghambur
memeluk Kakaknya.
“Ini memang A Yayan Dan!” Anisa berbicara.
“Dadan kangen, A Yayan kemana aja! Sekarang A Yayan cantik. Rambutnya panjang!” Dadan tertawa.
“Btw, gak dipersilahkan masuk nih?”
“Oh, lupa. Silahkan masuk A. Lagian kalau mau masuk, ya masuk aja. Ini kan rumah Aa juga.”
Anisa mengusap bulir bening di pelupuk matanya. Bulir yang tercipta dari perasan rasa rindu.
“Dan, ngomong-ngomong penghuni rumah pada kemana? Sepi banget!” Anisa celingak celinguk.
“Oh, ya. Aa kesini hendak minta restu sama Ayah dan Ibu. Aa mau operasi
kel*min. Aa tahu, kamu pasti kaget. Aa juga gak ngelarang kamu untuk
benci sama Aa. Tapi asal kamu tahu, Aa akan selalu sayang sama kalian.
Hampir lupa, perkenalkan nama baru Aa. Anisa Septiani. Kamu bisa panggi
Teteh atau panggil nama juga aku gak keberatan!” terlihat Anisa berusaha
tegar.
Dadan menunduk, dia bingung harus berkata apa. Harus memulai dari
mana. Setelah kepergian kakaknya, kehidupan keluarganya runyam. Ibu
meninggal dua tahun setelah kepergian kakaknya. Ayahnya menyusul setahun
kemudian. Kini Dadan lah tulang punggung keluarga. Dia yang menghidupi
adik-adiknya.
“T… Teh, ikut aku ke suatu tempat yuk!” Dadan masih canggung memanggil
kakaknya dengan sebutan Teteh. Walau bagaimana pun kakaknya kan masih
laki-laki.
“Kemana?”
“Teteh ingin tahu Ayah sama Ibu di mana kan? Makanya ayo ikut!” Dadan
berdiri. Menarik tangan kakaknya. Anisa bingung, tapi dia membiarkan
dirinya dituntun sang adik. Berbagai pertanyaan bermunculan di
kepalanya. Tapi tak ada satu pun yang ia keluarkan. Ia lebih menunggu
misteri terungkap sendiri. Setidaknya ada waktu untuk mempersiapkan
mental kalau-kalau sesuatu yang tidak ia harapkan terjadi.
Anisa bingung ketika dia sadar kemana ia dibawa. Pemakaman. Apa
maksudnya. Mereka berhenti di sebuah batu nisan. Lilis Suryani Binti
Karma. Lalu dia melihat ke nisan di samping nisan yang tadi, Ilyas
Abdullah bin Sumarna. Lututnya lemas. Anisa ambruk. Lidahnya kelu. Cukup
air mata yang mewakili perasaanya kini.
“Ibu meninggal karena Demam Berdarah tiga tahun lalu. Sementara Ayah
meninggal karena serangan jantung setahun setelah kepergian Ibu!” Dadan
mencoba menceritakan apa yang selama ini terjadi.
“Kenapa tak ada yang memberi tahuku, kalian menganggap apa aku ini. Aku
tahu aku salah. Tapi… kalian semua tega!” Anisa menangis semakin
menjadi.
“Bukan kami ingin menyembunyikan, tapi Teteh tahu sendiri bagaimana kerasnya Ayah!”
“Aku sudah menjadi anak durhaka. Mereka pergi tanpa memberi kesempatan buatku untuk meminta maaf!”
“Tidak, mereka pergi dalam ketenangan. Sebelum Ayah meninggal, Ayah
berpesan. Beliau minta maaf karena selama ini terlalu keras mendidik
Teteh. Ayah juga bilang, kini Ayah sudah menerima jadi apapun Teteh
nantinya. Makanya tadi pas Teteh bilang mau operasi kel*min aku tidak
kaget. Karena aku, Ayah, Ibu dan adik-adik telah siap dengan kemungkinan
itu. Jika toh Teteh mau operasi, operasilah!” Ada rasa haru dalam diri
Anisa. Terlebih ketika mendengar wasiat dari Ayahnya.
Akhirnya setelah hari menua, mereka pun pulang. Di rumah mereka disambut oleh adik-adiknya.
“A Dadan, itu pacarnya ya?” Siska yang tak tahu siapa wanita di samping
kakaknya akhirnya bertanya. Dengan senyuman, Dadan menjawab “Kenalin,
ini Teh Anisa, kakak kita!” Farhan mengerutkan kening “Sejak kapan kita
punya kakak cewek?” Tanya Farhan. “Calon Kakak ipar mungkin maksudnya!”
sela Siska. “Bukan, ini kakak kandung kita. Dulu dia bernama A Yayan
Septiana!” Siska dan Farhan saling bertatapan. Mereka tak mengerti apa
maksudnya. “Gini lo adik-adiku, A Yayan kini sudah menjadi wanita!”
Anisa menjelaskan. Tapi Farhan dan Siska belum mengerti juga. Akhirnya,
Anisa menceritakan kehidupanya selama lima tahun ini dan niatnya untuk
pergi ke Bangkok. Dan ketiga adiknya pun setuju. Sebelum ke Bangkok,
Anisa membawa adik-adiknya ke Karawachi. Mereka dititipkan pada teman
Anisa untuk diurus masalah sekolah dan kehidupan mereka selama Anisa ke
Bangkok.
Inilah Bangkok, Ibu Kota Negara yang berjuluk Gajah Putih itu.
Thailand bukan hanya terkenal sebagai negara dengan tempat wisata pantai
yang indah. Di balik kemegahan pagoda pagoda yang bertemabar. Ada sisi
lain yang tak bisa dipungkiri dan disangkal dari Thailand. Yakni para
Lady Boy nya. Ya, Thailand surganya G*y di Asia Tenggara. Itu menurut
pendapat pribadi sih. Hehehe. Ada satu hal yang unik di sini. Kalian
akan sangat sulit membedakan mana laki-laki yang menjadi perempuan dan
perempuan asli. Jika di Koerea selatan hal itu terjadi karena operasi
plastik. Maka di Negara Thailand terjadi karena operasi kel*min. Banyak
para turis yang sengaja kesini untuk melakukan operasi. Menurut survei,
orang yang melakukan operasi selalu meningkat tiap tahunya. Salah satu
Rumah Sakit yang paling terkenal dalam hal operasi kel*min adalah Rumah
Sakit Yan Hee. Dan Rumah Sakit inilah yang menjadi tujuan utama Anisa
datang kemari. Tentunya bukan tanpa alasan. Jauh sebelumnya, Anisa telah
mengumpulkan banyak informasi mengenai operasi kel*min. Tentang biaya,
tempat, keaamanan, dll. Dari mulai berselancar di Mbah Google,
bertanya-tanya pada kawan, sampai konsultasi pada Tour Guide. Rencana,
Anisa akan ke Bangkok untuk operasi kel*min plus istirahat pasca operasi
selama satu bulan. Kemudian setelah itu ia akan ke Korea selatan untuk
operasi plastik bagian-bagian tubuh yang memang perlu. Semua dia lakukan
demi bisa menjadi Wanita.
Ini bukanlah awal kebahagiaan. Tetapi adalah awal perjuangan baru.
Setelah operasi, ada tugas lain yang harus dan perlu ia lakukan. Yakni
mendapatkan pengakuan dari Negara bahwasanya dia adalah wanita. Anisa
semakin rajin mencari-cari informasi. Masuk keluar ruang sidang hanya
untuk sebuah status. Lingkungan keluarga dan lingkungan kerja mendukung
penuh usahanya. Tapi lain dengan lingkungan tempat dia tinggal. Cibiran
semakin memanas. Gosip pagi, siang, sore hanyalah tentang dirinya. Para
tetangga berlomba-lomba memvonis dirinya. Mereka bukan lagi manusia,
tetapi mereka kini sudah seperti Tuhan. Yang bisa menentukan siapa masuk
surga siapa masuk neraka. Tetapi bukan Anisa namanya jika ia menyerah.
Dia malah lebih aktif lagi di kegiatan sosial. Dia menjadi Ketua
Persatuan Transgender Indonesia (PTI). Selain memperjuangkan status
dirinya, dia juga memperjuangkan hak rekan-rekanya. Yakni hak
dimanusiakan. Dia juga aktif menggalang dana untuk disumbangkan kepada
Yayasan-yayasan sosil, dari mulai panti, sekolah, dan korban bencana.
Pernah satu ketika aksi demonya diliput di TV. Dia tampil di wawancara
di acara tersebut. Maka hebohlah satu kampung. Kampung tempat dia
dilahirkan. Yang lebih menyakitkan, warga meminta kuburan kedua
orangtuanya dipindahkan. Jika tidak, mereka mengancam akan membongkar.
Gelombang demi gelombang ia lalaui dengan penuh kesabaran dan keyakinan.
Hingga pada 2012 kemarin, dia mendapatkan pengakuan dari negara sebagai
wanita. “Sudah saatnya aku mecari pendamping!” batinya.
Bali, Selasa 11 Juni 2013
“Saya nikahkan engkau Adam Lukmansyah bin Saparudin Subagyo dengan
Ananda Anisa Septiani binti Ilyas Abdullah dengan mas kawin seperangkat
alat sholat dan uang sebesar seribu rupiah dibayar tunai!”
“Saya terima nikahnya Yayan Septiana…”
“Saya ulang kembali. Saya nikahkan engkau Adam Lukmansyah bin Saparudin
Subagyo dengan Ananda Anisa Septiani binti Ilyas Abdullah dengan mas
kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar seribu rupiah dibayar
tunai!”
“Saya terima nikahnya Anisa Septiani binti Ilyas Abdullah dengan mas kawin Saparudin…”
“Coba Mas tenang. Jangan dijadikan beban. Saya ulang sekali lagi, jika
tetap tak bisa, maka mau tak mau pernikahan ini batal. Saya nikahkan
engkau Adam Lukmansyah bin Saparudin Subagyo dengan Ananda Anisa
Septiani binti Ilyas Abdullah dengan mas kawin seperangkat alat sholat
dan uang sebesar seribu rupiah dibayar tunai!”
“Saya terima nikahnya Anisa Septiani binti Ilyas Abdullah dengan mas
kawin seperangkat alat sholat dan uang seribu rupiah dibayar tunai!”
“Sah!!!”
“Sahhh!!!”
Kedua mempelai terlihat bahagia, begitu pun keluarga mereka. Siska
dan Dadan menangis terharu. Sementara Farhan memeluk kakaknya. Mereka
sengaja menikah di Bali demi kelancaran pernikahan. Tak banyak yang
datang kecuali mereka yang benar-benar mengerti akan kondisi Anisa juga
kondisi Adam. Ada yang menarik dari pernikahan ini. Sebenarnya Anisa
mengenal Adam ketika dia belum operasi. Mereka bertemu di Bangkok. Adam
dulunya dalah seorang wanita yang dirinya merasa sebagi laki-laki yang
terperangkap dalam tubuh wanita. Namanya dulu Sinta Widari. Mereka
melakukan operasi di tempat yang sama dan waktu yang sama. Hanya saja
setelah operasi mereka tak pernah bertemu. Mereka baru bertemu lagi
ketika menghadiri acara amal untuk korban banjir. Baik Anisa maupun Adam
tadinya tak pernah mengira siapa pasanganya ini di masa lalu. Tapi
seiring berjalanya waktu semua terungkap. Dan inilah akhir kisahnya.
Mereka menjadi sepasang suami istri Transgender.
End…
Sobat, di dunia ini tak ada manusia yang paling suci. Jadi jangan
merasa lebih suci dari yang lain. Karena kesombongan hanya akan memakan
diri sendiri. Apalagi sampai berani mengatakan si anu itu akan masuk
neraka. Ingat siapa dia siapa kita. Kita sama. Manusia. Jika memang
menurut kita salah, maka luruskan. Jika tidak bisa diluruskan, maka
serahkan semua urusan itu padaNya. Hanya Dia yang mampu membolak balikan
hati. Dan hanya Dia yang berhak menentukan dan memutuskan nasib setiap
makhlukNya akan di mana hidup makhlukNya kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar