Senandung angin mengusik celah kayu jendela, menerobos masuk menusuk
tulang renta seorang perempuan yang tebaring di samping anaknya.
Rembulan malam tidak sedang menangis, seakan memandang dua orang itu
dengan penuh iba. Renggekan anak kecil di sisinya membuat perempuan itu
terjaga. Dipaksanya membuka kedua mata yang baru saja dapat terpejam.
Rasa lelah tidak lagi membuatnya terlelap. Tangisan anak perempuan yang
masih berusia 1 tahun itu, menuntutnya untuk terjaga. Diangkatnya tubuh
mungil anak itu, diciumi kedua pipinya. Namun, tetap saja anak itu
menangis dan semakin menjadi-jadi. Terlihat ia sedang menahan sakit di
kepalanya yang mungil.
Mentari memandang deretan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai yang
sudah keruh. Air limbah merasa tak bersalah mengalir begitu saja dari
pabrik tekstil yang berdiri dengan angkuhnya. Padahal orang-orang
sekitar menggantungkan sebagian hidupnya pada sungai itu. Setiap pagi
terlihat ibu-ibu mengambil air dan digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari.
Kini pandangan mentari beralih pada gubuk kayu tepat di bawah
jembatan. Sinarnya mengetuk pintu tua dan tanpa ijin masuk lewat lubang
sebesar koin lima ratusan. Di sapanya perempuan yang sedari tadi malam
tidak tidur karena menjaga anaknya. Tangan perempuan itu mengusap lembut
rambut anaknya. Tampak raut sedih meratapi nasibnya yang tidak
beruntung. Merantau di ibu kota, ditinggal kawin suaminya saat anaknya
masih di kandungan dan tinggal di gubuk reot di bawah jembatan tanpa
saudara.
Lamunan perempuan itu terhenti karena melihat anaknya menangis lagi.
Kali ini ia benar-benar dibuat panik. Dari hidung anaknya mengalir darah
pekat, tubuh mungil anak itu kejang. Karena panik, perempuan itu keluar
dan menggendong anaknya yang berlumuran darah. Tidak diperdulikan lagi
bajunya yang kumal bersimbahan darah anaknya. “Yu Sri! Yu Sri!” Ia
menghampiri tetangganya yang biasa membantunya. “Ada apa to Nas?
Pagi-pagi kok sudah buat panik. Ya Allah, kenapa ini anakmu? Kok bisa
begini” Rupanya Sri juga dibuat kaget setelah melihat keadaan anak
Nasmi.
“Aku juga ndak tahu Yu, aku kesini mau minta tolong antarkan aku ke
puskesmas sekarang, tolong Yu!” Nasmi memohon bantuan Sri. “Ya, tapi..
aku tak ganti baju dulu sebentar” jawab Sri panik dan langsung masuk ke
rumahnya.
Tak lama kemudian Sri keluar. “Ayo ta Sri! Ini kasihan anakku.” Nasmi
dan Sri buru-buru pergi ke puskesmas yang tidak terlalu jauh.
Sampai di puskesmas daerah, Nasmi menyerahkan anaknya pada dokter.
Dokter itu membawa masuk buah hatinya ke dalam ruangan. Tubuh Nasmi
terasa sangat lemas, air matanya tidak dapat dibendung lagi. Ia seakan
tak mampu menahan cobaan hidupnya. Dalam hati ia takut, Siti anak
perempuan satu-satunya yang ia miliki, harta yang paling berharga dalam
hidupnya pergi meninggalkannya. Ia juga merasa sangat bersalah, karena
belum dapat membahagiakan anaknya, walau hanya sekedar membelikan boneka
atau susu untuk Siti. Hanya Siti yang setia menemaninya selama hidup di
ibu kota yang keras ini.
“Sudahlah Nas, yang sabar ya? Kamu jangan lupa berdoa buat Siti.
Percaya saja Allah pasti memberikan jalan.” Kata Sri menghibur Nasmi.
“Iya Sri, makasih. Maaf kalau selama ini aku merepotkan kamu. Entah
kapan, dan bagaimana aku bisa membalas budi baikmu.” Jawab Nasmi yang
kemudian menghapus air matanya. “Nggak apa-apa Nas, kalau aku bisa bantu
pasti tak bantu.” Jawab Sri menenangkan Nasmi.
Sekitar 20 menit menunggu, dokter yang menangani Siti keluar dari
ruangan. Dengan segera Nasmi menghampiri dokter itu dan menanyakan
keadaan anaknya. Dari raut wajah dokter sudah dapat ditebak bahwa
keadaan Siti tidak sebaik yang Nasmi harapkan. Betapa tersayatnya hati
Nasmi ketika mendengar vonis dokter terhadap Siti. Ia tak kuasa menahan
lagi air matanya, di pandangnya Siti dari celah pintu. Nafasnya sesak
mendapati kenyataan pahit yang menimpa anaknya dan dirinya. Tubuh mungil
Siti, yang belum lama melihat dunia harus menderita penyakit komplikasi
kanker otak dan jantung lemah. Nasmi semakin merasa bersalah, Siti
menderita penyakit ini karena ia tidak mendapat asupan gizi sejak dalam
kandungan. Nasmi hanya bekerja sebagai tukang cuci piring di salah satu
warung yang gajinya tak cukup untuk makan. Apalagi untuk membeli makanan
begizi untuk Siti.
Dokter tidak hanya membawa kabar buruk tentang penyakit yang diderita
Siti, tetapi juga kabar lain yang sempat membuat Nasmi terjatuh lemas
yang kemudian ditenangkan oleh Sri. Yaitu kabar bahwa Siti harus dibawa
ke rumah sakit besar karena puskesmas tidak mempunyai peralatan yang
lengkap. Jika tidak segera dipindahkan hidup Siti kemungkinan tidak bisa
tertolong. Dengan bekal kartu Jamkesmas yang dimiliki Nasmi, ia
ditemani Sri mencari rumah sakit untuk merawat Siti. Kerena tidak punya
biaya menyewa ambulan Nasmi terpaksa menggendong Siti yang keadaannya
sudah kritis.
Terik matahari terasa membakar kulit tetapi tak membuat Nasmi patah
semangat mencari rumah sakit untuk Siti. Ia hanya dapat berharap ada
rumah sakit yang mau memberi bantuan kepadanya.
Sesampainya di sebuah rumah sakit swasta, Nasmi langsung menemui
suster dan memohon agar mau segera menangani anaknya. “Sus, tolong anak
saya! Ini anak saya sedang kritis” mohon Nasmi di hadapan seorang
suster. “Anak ibu sakit apa?” Tanya suster itu. “Kanker otak sus.” Jawab
Nasmi sedikit cemas. Suster itu diam sejenak, Nasmi kemudian menyambung
penjelasannya. “Saya punya kartu jamkesmas sus. Tolong anak saya.”
“Sebentar bu, saya tanyakan dulu.”
Suster itu meninggalkan Nasmi kemudian menuju ke suatu ruangan dan
tak lama kemudian suster itu keluar lagi. “Maaf bu, ruangan untuk
perawatan anak sudah penuh.” Kata suster itu. “Masa rumah sakit sebesar
ini bisa sampai penuh?” Tanya Sri yang sedari tadi hanya diam. “Anak
saya dirawat di ruangan apa saja boleh sus, saya mohon!” Nasmi
melanjutkan omongan Sri. “Maaf bu, tidak bisa.” Akhirnya setelah
mendengar jawaban suster, Nasmi dan Sri keluar dan berusaha mencari
rumah sakit yang dapat merawat Siti.
Hari sudah menjelang maghrib. Sang Surya yang seharian menemani Nasmi
dan Sri mulai menyembunyikan diri. Tetapi belum juga mendapat rumah
sakit yang mau menerima Siti. Sudah 9 rumah sakit yang didatangi Nasmi
dan Sri, mulai dari rumah sakit swasta sampai milik pemerintah. Beda
rumah sakit, beda juga alasan penolakkannya. Ada yang bilang tidak ada
ruangan kosong, peralatan rumah sakit untuk menangani kanker otak tidak
lengkap, kartu jamkesmasnya sudah tidak dapat dipakai dan sebagainya.
Yang menurut Nasmi pernyataan dari rumah sakit itu tidak masuk akal.
Mungkin memang benar hanya orang kaya yang boleh berobat dan mendapat
pelayanan kesehatan dengan baik.
Dengan langkah lemas dan sedikit rasa putus asa, Nasmi melangkah
pulang. Siti buah hatinya masih terlelap di gendongannya. “Sri, aku
harus bagaimana lagi? Aku tidak punya uang buat bayar rumah sakit Siti.
Aku memang bukan ibu yang baik, yang tidak bisa menjaga anaknya.” Kata
Nasmi yang kemudian mencium pipi Siti yang pucat. “Aku juga tidak tahu,
aku juga tidak punya uang, kamu jangan menyalahkan dirimu Nas. Mungkin
ini ujian dari Allah, kamu harus ikhlas.” Selama perjalanan pulang
pikiran Nasmi terus tertuju pada bagaimana cara ia mendapatkan uang
untuk Siti berobat.
Tak terasa sudah sampai di depan rumah Sri. Nasmipun menyandarkan
badannya yang sudah lelah di kursi sofa yang usang di depan rumah Sri.
Tiba-tiba Sri dibuat kaget oleh pernyataan Nasmi. “Sri apa aku mel*cur
saja supaya dapat uang untuk biaya Siti? Lagipula suamiku sudah lama
tidak menyentuhku. Mungkin para pria hidung belang itu masih mau bermain
denganku.” Sri melongo mendengar itu. “Asstaghfirullah Nas! Kamu kok
bisa berfikiran seperti itu. Itu tidak baik! Walaupun kamu sedang dalam
kesusahan kamu jangan langsung mengambil tindakan salah. Itu dosa Nas!
Istighfar!” Kata Sri dengan nada agak keras. Mendengar kata-kata Sri
Nsmi menangis dan memeluk siti. “Asstaghfirullah, Ya Allah ampuni hamba,
hamba hanya tidak tahu lagi harus bagaimana.” Kata Nasmi kemudian.
“Nas, sekarang kamu pulang saja, shalat, mohon petunjuk sama Allah.
Terus nanti Siti kamu kompres dengan air hangat. Besok pagi, kita cari
rumah sakit buat Siti.” Kata Sri menenangkan hati Nasmi. Nasmi pamit
pulang dan berjalan menuju gubuknya yang terlihat gelap dari luar.
Maklum Nasmi tidak kuat membayar listrik.
Malam ini rembulan masih seperti kemarin. Bersinar terang, seakan
menjadi saksi pahitnya hidup Nasmi. Malam seakan lama berlalu,
mimpi-mimpi buruk selalu saja terbayang di atas gubuk di bawah jembatan
itu. Hingga mentari menggantikan sang dewi menyinari hari yang cerah
itu. Tetapi tidak seperti hidup nasmi.
Pagi-pagi terlihat orang-orang berkumpul di dekat gubuk Nasmi. Mereka
semua penasaran dengan nasmi yang nekat mengakhiri hidupnya dan anaknya
sendiri. Sri adalah orang pertama yang mengetahui Nasmi tergeletak tak
bernyawa memeluk anaknya. Tak jauh dari tubuh Nasmi ditemukan selembar
kertas dan racun serangga. Sri kaget dan berteriak minta tolong sehingga
banyak orang-orang yang berkumpul di sana. Tak lama kemudian polisi
datang dan beberapa reporter dari berbagai media ikut meliput kejadian
itu.
Orang-orang yang datang semua berargumentasi tentang kejadian yang
menimpa Nasmi dan anaknya. Ada yang menghujat Nasmi yang katanya nekat.
Ada yang prihatin dan berpendapat bahwa Nasmi melakukan itu karena tidak
sanggup dengan cobaan hidupnya. Dan ada yang membawa nama pemerintah
dan pihak rumah sakit yang tidak memberi bantuan kepada rakyat miskin.
Orang-orang itu memang tidak tahu pasti. Mugkin hanya gubuk tua yang
sudah lebih dari 3 tahun ditinggali Nasmi itu dapat menjadi saksi. Saksi
sakit hati saat Nasmi ditinggal pergi suaminya, saksi kesakitan saat
melahirkan Siti buah hatinya dan saksi pahitnya hidup yang menimpa
Nasmi.
“Dunia memang tak adil. Apalagi untuk orang-orang kecil. Orang-orang
dimana hanya dipandag sebelah mata, yang hanya mendapat tolakkan,
hinaan, cacian. Memang benar, pemerintah sudah mengumbar janji kesehatan
gratis, pendidikan gratis, hak yang sama. Tetapi apa kenyataannya? Kami
orang-orang kecil yang tak punya kuasa untuk tetap hidup di dunia yang
keras ini.” Begitulah tulisan terakhir Nasmi. Sri tetangganya yang
selama ini menjadi keluh kesah Nasmi, tak mampu lagi menahan air
matanya. Dalam hati Sri berkata “Dunia ini memang tidak adil!”.
Sekian…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar