Rabu, 18 Maret 2015

Gubuk

Senandung angin mengusik celah kayu jendela, menerobos masuk menusuk tulang renta seorang perempuan yang tebaring di samping anaknya. Rembulan malam tidak sedang menangis, seakan memandang dua orang itu dengan penuh iba. Renggekan anak kecil di sisinya membuat perempuan itu terjaga. Dipaksanya membuka kedua mata yang baru saja dapat terpejam. Rasa lelah tidak lagi membuatnya terlelap. Tangisan anak perempuan yang masih berusia 1 tahun itu, menuntutnya untuk terjaga. Diangkatnya tubuh mungil anak itu, diciumi kedua pipinya. Namun, tetap saja anak itu menangis dan semakin menjadi-jadi. Terlihat ia sedang menahan sakit di kepalanya yang mungil.
Mentari memandang deretan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai yang sudah keruh. Air limbah merasa tak bersalah mengalir begitu saja dari pabrik tekstil yang berdiri dengan angkuhnya. Padahal orang-orang sekitar menggantungkan sebagian hidupnya pada sungai itu. Setiap pagi terlihat ibu-ibu mengambil air dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Kini pandangan mentari beralih pada gubuk kayu tepat di bawah jembatan. Sinarnya mengetuk pintu tua dan tanpa ijin masuk lewat lubang sebesar koin lima ratusan. Di sapanya perempuan yang sedari tadi malam tidak tidur karena menjaga anaknya. Tangan perempuan itu mengusap lembut rambut anaknya. Tampak raut sedih meratapi nasibnya yang tidak beruntung. Merantau di ibu kota, ditinggal kawin suaminya saat anaknya masih di kandungan dan tinggal di gubuk reot di bawah jembatan tanpa saudara.
Lamunan perempuan itu terhenti karena melihat anaknya menangis lagi. Kali ini ia benar-benar dibuat panik. Dari hidung anaknya mengalir darah pekat, tubuh mungil anak itu kejang. Karena panik, perempuan itu keluar dan menggendong anaknya yang berlumuran darah. Tidak diperdulikan lagi bajunya yang kumal bersimbahan darah anaknya. “Yu Sri! Yu Sri!” Ia menghampiri tetangganya yang biasa membantunya. “Ada apa to Nas? Pagi-pagi kok sudah buat panik. Ya Allah, kenapa ini anakmu? Kok bisa begini” Rupanya Sri juga dibuat kaget setelah melihat keadaan anak Nasmi.
“Aku juga ndak tahu Yu, aku kesini mau minta tolong antarkan aku ke puskesmas sekarang, tolong Yu!” Nasmi memohon bantuan Sri. “Ya, tapi.. aku tak ganti baju dulu sebentar” jawab Sri panik dan langsung masuk ke rumahnya.
Tak lama kemudian Sri keluar. “Ayo ta Sri! Ini kasihan anakku.” Nasmi dan Sri buru-buru pergi ke puskesmas yang tidak terlalu jauh.
Sampai di puskesmas daerah, Nasmi menyerahkan anaknya pada dokter. Dokter itu membawa masuk buah hatinya ke dalam ruangan. Tubuh Nasmi terasa sangat lemas, air matanya tidak dapat dibendung lagi. Ia seakan tak mampu menahan cobaan hidupnya. Dalam hati ia takut, Siti anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harta yang paling berharga dalam hidupnya pergi meninggalkannya. Ia juga merasa sangat bersalah, karena belum dapat membahagiakan anaknya, walau hanya sekedar membelikan boneka atau susu untuk Siti. Hanya Siti yang setia menemaninya selama hidup di ibu kota yang keras ini.
“Sudahlah Nas, yang sabar ya? Kamu jangan lupa berdoa buat Siti. Percaya saja Allah pasti memberikan jalan.” Kata Sri menghibur Nasmi. “Iya Sri, makasih. Maaf kalau selama ini aku merepotkan kamu. Entah kapan, dan bagaimana aku bisa membalas budi baikmu.” Jawab Nasmi yang kemudian menghapus air matanya. “Nggak apa-apa Nas, kalau aku bisa bantu pasti tak bantu.” Jawab Sri menenangkan Nasmi.
Sekitar 20 menit menunggu, dokter yang menangani Siti keluar dari ruangan. Dengan segera Nasmi menghampiri dokter itu dan menanyakan keadaan anaknya. Dari raut wajah dokter sudah dapat ditebak bahwa keadaan Siti tidak sebaik yang Nasmi harapkan. Betapa tersayatnya hati Nasmi ketika mendengar vonis dokter terhadap Siti. Ia tak kuasa menahan lagi air matanya, di pandangnya Siti dari celah pintu. Nafasnya sesak mendapati kenyataan pahit yang menimpa anaknya dan dirinya. Tubuh mungil Siti, yang belum lama melihat dunia harus menderita penyakit komplikasi kanker otak dan jantung lemah. Nasmi semakin merasa bersalah, Siti menderita penyakit ini karena ia tidak mendapat asupan gizi sejak dalam kandungan. Nasmi hanya bekerja sebagai tukang cuci piring di salah satu warung yang gajinya tak cukup untuk makan. Apalagi untuk membeli makanan begizi untuk Siti.
Dokter tidak hanya membawa kabar buruk tentang penyakit yang diderita Siti, tetapi juga kabar lain yang sempat membuat Nasmi terjatuh lemas yang kemudian ditenangkan oleh Sri. Yaitu kabar bahwa Siti harus dibawa ke rumah sakit besar karena puskesmas tidak mempunyai peralatan yang lengkap. Jika tidak segera dipindahkan hidup Siti kemungkinan tidak bisa tertolong. Dengan bekal kartu Jamkesmas yang dimiliki Nasmi, ia ditemani Sri mencari rumah sakit untuk merawat Siti. Kerena tidak punya biaya menyewa ambulan Nasmi terpaksa menggendong Siti yang keadaannya sudah kritis.
Terik matahari terasa membakar kulit tetapi tak membuat Nasmi patah semangat mencari rumah sakit untuk Siti. Ia hanya dapat berharap ada rumah sakit yang mau memberi bantuan kepadanya.
Sesampainya di sebuah rumah sakit swasta, Nasmi langsung menemui suster dan memohon agar mau segera menangani anaknya. “Sus, tolong anak saya! Ini anak saya sedang kritis” mohon Nasmi di hadapan seorang suster. “Anak ibu sakit apa?” Tanya suster itu. “Kanker otak sus.” Jawab Nasmi sedikit cemas. Suster itu diam sejenak, Nasmi kemudian menyambung penjelasannya. “Saya punya kartu jamkesmas sus. Tolong anak saya.” “Sebentar bu, saya tanyakan dulu.”
Suster itu meninggalkan Nasmi kemudian menuju ke suatu ruangan dan tak lama kemudian suster itu keluar lagi. “Maaf bu, ruangan untuk perawatan anak sudah penuh.” Kata suster itu. “Masa rumah sakit sebesar ini bisa sampai penuh?” Tanya Sri yang sedari tadi hanya diam. “Anak saya dirawat di ruangan apa saja boleh sus, saya mohon!” Nasmi melanjutkan omongan Sri. “Maaf bu, tidak bisa.” Akhirnya setelah mendengar jawaban suster, Nasmi dan Sri keluar dan berusaha mencari rumah sakit yang dapat merawat Siti.
Hari sudah menjelang maghrib. Sang Surya yang seharian menemani Nasmi dan Sri mulai menyembunyikan diri. Tetapi belum juga mendapat rumah sakit yang mau menerima Siti. Sudah 9 rumah sakit yang didatangi Nasmi dan Sri, mulai dari rumah sakit swasta sampai milik pemerintah. Beda rumah sakit, beda juga alasan penolakkannya. Ada yang bilang tidak ada ruangan kosong, peralatan rumah sakit untuk menangani kanker otak tidak lengkap, kartu jamkesmasnya sudah tidak dapat dipakai dan sebagainya. Yang menurut Nasmi pernyataan dari rumah sakit itu tidak masuk akal. Mungkin memang benar hanya orang kaya yang boleh berobat dan mendapat pelayanan kesehatan dengan baik.
Dengan langkah lemas dan sedikit rasa putus asa, Nasmi melangkah pulang. Siti buah hatinya masih terlelap di gendongannya. “Sri, aku harus bagaimana lagi? Aku tidak punya uang buat bayar rumah sakit Siti. Aku memang bukan ibu yang baik, yang tidak bisa menjaga anaknya.” Kata Nasmi yang kemudian mencium pipi Siti yang pucat. “Aku juga tidak tahu, aku juga tidak punya uang, kamu jangan menyalahkan dirimu Nas. Mungkin ini ujian dari Allah, kamu harus ikhlas.” Selama perjalanan pulang pikiran Nasmi terus tertuju pada bagaimana cara ia mendapatkan uang untuk Siti berobat.
Tak terasa sudah sampai di depan rumah Sri. Nasmipun menyandarkan badannya yang sudah lelah di kursi sofa yang usang di depan rumah Sri. Tiba-tiba Sri dibuat kaget oleh pernyataan Nasmi. “Sri apa aku mel*cur saja supaya dapat uang untuk biaya Siti? Lagipula suamiku sudah lama tidak menyentuhku. Mungkin para pria hidung belang itu masih mau bermain denganku.” Sri melongo mendengar itu. “Asstaghfirullah Nas! Kamu kok bisa berfikiran seperti itu. Itu tidak baik! Walaupun kamu sedang dalam kesusahan kamu jangan langsung mengambil tindakan salah. Itu dosa Nas! Istighfar!” Kata Sri dengan nada agak keras. Mendengar kata-kata Sri Nsmi menangis dan memeluk siti. “Asstaghfirullah, Ya Allah ampuni hamba, hamba hanya tidak tahu lagi harus bagaimana.” Kata Nasmi kemudian. “Nas, sekarang kamu pulang saja, shalat, mohon petunjuk sama Allah. Terus nanti Siti kamu kompres dengan air hangat. Besok pagi, kita cari rumah sakit buat Siti.” Kata Sri menenangkan hati Nasmi. Nasmi pamit pulang dan berjalan menuju gubuknya yang terlihat gelap dari luar. Maklum Nasmi tidak kuat membayar listrik.
Malam ini rembulan masih seperti kemarin. Bersinar terang, seakan menjadi saksi pahitnya hidup Nasmi. Malam seakan lama berlalu, mimpi-mimpi buruk selalu saja terbayang di atas gubuk di bawah jembatan itu. Hingga mentari menggantikan sang dewi menyinari hari yang cerah itu. Tetapi tidak seperti hidup nasmi.
Pagi-pagi terlihat orang-orang berkumpul di dekat gubuk Nasmi. Mereka semua penasaran dengan nasmi yang nekat mengakhiri hidupnya dan anaknya sendiri. Sri adalah orang pertama yang mengetahui Nasmi tergeletak tak bernyawa memeluk anaknya. Tak jauh dari tubuh Nasmi ditemukan selembar kertas dan racun serangga. Sri kaget dan berteriak minta tolong sehingga banyak orang-orang yang berkumpul di sana. Tak lama kemudian polisi datang dan beberapa reporter dari berbagai media ikut meliput kejadian itu.
Orang-orang yang datang semua berargumentasi tentang kejadian yang menimpa Nasmi dan anaknya. Ada yang menghujat Nasmi yang katanya nekat. Ada yang prihatin dan berpendapat bahwa Nasmi melakukan itu karena tidak sanggup dengan cobaan hidupnya. Dan ada yang membawa nama pemerintah dan pihak rumah sakit yang tidak memberi bantuan kepada rakyat miskin. Orang-orang itu memang tidak tahu pasti. Mugkin hanya gubuk tua yang sudah lebih dari 3 tahun ditinggali Nasmi itu dapat menjadi saksi. Saksi sakit hati saat Nasmi ditinggal pergi suaminya, saksi kesakitan saat melahirkan Siti buah hatinya dan saksi pahitnya hidup yang menimpa Nasmi.
“Dunia memang tak adil. Apalagi untuk orang-orang kecil. Orang-orang dimana hanya dipandag sebelah mata, yang hanya mendapat tolakkan, hinaan, cacian. Memang benar, pemerintah sudah mengumbar janji kesehatan gratis, pendidikan gratis, hak yang sama. Tetapi apa kenyataannya? Kami orang-orang kecil yang tak punya kuasa untuk tetap hidup di dunia yang keras ini.” Begitulah tulisan terakhir Nasmi. Sri tetangganya yang selama ini menjadi keluh kesah Nasmi, tak mampu lagi menahan air matanya. Dalam hati Sri berkata “Dunia ini memang tidak adil!”.
Sekian…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar