Melihat mata polos tanpa dosa selalu membuat ada suatu glenyar aneh
dalam dadanya. Seolah-olah ada yang mendorong hatinya, ia rela
mengorbankan separuh hidupnya demi melihat si mata polos tak berdosa itu
menjadi dewasa. Mata polos itu pulalah yang membuat ia terus berjuang
untuk bertahan hidup.
Ia bernama Ati, dan suaminya bernama Ato. Suaminya hanya sebagai
pedagang jeruk nipis. Setiap hari ia dan suaminya harus mengengkol
sepeda untuk berdagang. Walau lelah, dia selalu mempunyai alasan untuk
terus berjuang. Yaitu si mata polos yang tertidur pulas di rumah.
Setiap malam, Ati selalu berdoa dalam sujudnya. Agar Tuhan
memberikannya kekuatan dan kesabaran. Air mata itu selalu mengalir
menanti titik kehidupan yang lebih indah.
Hingga perjuangannya tak sia-sia. Si suami mempunyai modal untuk
berdagang buah yang lainnya. Sementara si mata polos semakin tumbuh
menjadi balita yang imut. Ati selalu menemaninya bermain lumpur, bermain
petak umpet. Setiap si suami pulang. Ia tak lupa membelikannya sebuah
coklat untuk si mata polos tanpa dosa itu.
Dan tibalah saatnya si Polos untuk sekolah. Ati mendaftarkannya ke
sekolah terdekat. Mengantarnya setiap pagi. Melakukan apapun agar si
polos dapat tersenyum dengan senang. Hal yang sangat menyejukkan hatinya
sebagai seorang ibu. Di sisi lain, Ati selalu khawatir setiap malam
menunggu suaminya yang selalu pulang larut. Hingga suatu hari datanglah
sesuatu itu. Sesuatu yang hanya Tuhan yang tahu.
Si polos kini telah tumbuh, matanya pun kini tidak sepolos dulu lagi.
Ati memandangi wajah anak satu-satunya yang mirip dengan suaminya itu.
Hafa, itulah nama anaknya yang kini kelas 5 SD. Setiap malam, Hafa dan
suaminya selalu berebut untuk dipijat. Namun entah mengapa malam ini Ati
hanya ingin memijati suaminya yang terlihat lelah.
“jangan ganggu Ayahmu, Fa. Ayahmu capek,” ucap Ati sambil memijati kaki suaminya.
Hafa langsung merengut. Wajahnya cemberut di tempat. Ati tak
menghiraukan Hafa yang memang manja. Beberapa menit kemudian Hafa
tertidur di depan TV.
“kenapa aku ngerasa umurku nggak panjang lagi ya, Ma.”
“hus, jangan bilang gitu, Yah.” Ucap hati seketika.
“aku cuma kasian ke Hafa, dia masih belum punya saudara.”
“Ayah apa-apaan sih ngomongnya kok gitu,” Ati mulai tak menyukai topik suaminya.
Hari-hari berikutnya, Ati mempunyai kesibukan baru. Dia sering memandangi foto suaminya setiap hari.
“Mama ngapain sih ngeliatin foto Ayah terus.” Hafa protes, berdiri tepat
di samping mamanya sambil menatap foto sang Ayah yang berdiri gagah di
samping Mama sambil merangkul mamanya.
“waktu foto ini, Hafa kok nggak diajak foto sih, Ma.”
Ati tak menjawab, dia hanya menatap wajah suaminya di sana.
“Ma, kenapa nggak ngajak Hafa waktu foto ini?” tanya Hafa lagi, kali ini sambil mengguncang-guncangkan lengan mamanya.
Bukan menjawab pertanyaan Hafa, Ati tersenyum. “Mama kok kasian ya, Fa, ke ayahmu. Dia kayak anak yatim piatu.”
Hafa memutar bola matanya. “iyalah, Ma. Ayah kan emang udah nggak punya orangtua. Nenek kakek Hafa kan udah meninggal semua.”
Tatapan Ati tetap kosong. Entah mengapa dia memikirkan kata-kata suaminya.
Malam itu, Ati tak bisa tidur. Dia menunggu suaminya yang tak kunjung
pulang. Setelah seminggu di Jakarta, pulang hanya dalam waktu semalam.
Setelah itu suaminya kembali keluar. Berkali-kali Ati keluar masuk ruang
tamu, melihat pintu gerbang dari jendela rumah, lalu kembali ke kamar
melihat Hafa yang tertidur pulas.
Akhirnya karena tak dapat menahan kantuk. Ati memilih untuk tidur.
Namun saat dia mulai terlelap, telinganya mendengar suara gerbang rumah
dibuka. Dan langkah-langkah kaki yang telah dihafalnya. Mendadak Ati
terjaga. Suaminya tiba tepat jam satu pagi.
“besok jalan-jalan ke Jember.” Ucap suaminya saat ia membukakan pintu.
“ngapain?”
“jalan-jalan aja. udah lama nggak jalan-jalan sekeluarga.”
Akhirnya Ati hanya mengangguk menyetujui.
Esok harinya, mereka benar-benar pergi ke Jember. Ada sesuatu yang
aneh yang mendadak dirasakan oleh Ati dan Hafa. Tanpa protes, suaminya
itu menyetujui saat dirinya ingin membeli baju dengan harga mahal. Dan
juga, Hafa heran saat ayahnya itu dengan senang hati membelikannya
sebuah boneka. Walaupun mamanya melarang. Dan saat mereka makan di
restoran elit, ayahnya asik bercanda tawa dengan Hafa. Menyuruh Hafa
menghabiskan ikan ayamnya.
“biar nggak rugi belinya,” ucap sang Ayah saat itu.
Hafa hanya mengangguk senang. Mendadak dia teringat saat dirinya masih
kecil dulu saat ayahnya membelikannya sebuah ayun-ayunan dari besi. Dan
juga saat ayahnya membelikannya sebuah boneka panda berwarna coklat dari
jakarta. Diam-diam Hafa memperhatikan Ayahnya yang sedang mengemudi.
Dia tersenyum di sana.
Namun kebahagaian itu ternyata hanyalah sebuah tanda. Bahwa
kebahagiaan itu akan berakhir beberapa hari kemudian. Saat itu, Hafa
pulang sekolah. Dia kebingungan melihat rumahnya yang sangat sepi. Saat
menghubungi ponsel Ayah dan Mamanya melalui telepon rumah, tak ada yang
mengangkatnya. Hingga akhirnya Hafa bertanya pada kakak sepupunya.
“ibumu sakit gigi, dibawa ke rumah sakit.”
Hafa terkejut. Mendadak air matanya menetes di pipinya. Dia mulai
khawatir terjadi apa-apa dengan sang Mama. Buru-buru Hafa kembali ke
rumahnya. Mencoba menghubungi ponsel mamanya. Seperti yang terjadi
sebelumnya, tak ada yang menjawab panggilannya. Namun saat Hafa kembali
menghubunginya. Ada yang mengangkatnya. Namun dia tak mendengar suara
apa-apa. Yang didengarnya hanya sebuah tangisan yang memilukan di sana.
“udah nggak usah nangis…”
“nggak usah nangis, tahan… sabar…”
Mendadak Hafa menajamkan pendengarannya. Itu suara ayahnya. Ayahnya terlihat menenangkan mamanya yang menangis. “Ayah?”
Tak ada jawaban.
“Ayah?” hafa kembali mengulangi lagi. Namun tetap sama. Tak ada yang
menjawab dari seberang sana. Akhirnya Hafa memutuskan untuk
mengakhirinya. Dia kembali melangkah ke saudara sepupunya itu.
“Mbak, aku barusan denger suaranya Ayah. Kayaknya sakit giginya Mama emang parah ya. Sampe nangis kayak gitu.”
“kamu denger suara Ayahmu?”
Hafa mengangguk. “iya kenapa, Mbak?”
Saudara sepupunya itu hanya menarik napas lega. Namun beberapa saat
kemudian tepat saat dia hendak mengatakan sesuatu pada Hafa. Dua
laki-laki, yang merupakan tetangga mereka datang. Dan langsung memeluk
Hafa.
“Hafa… kamu udah jadi anak yatim, Nak. Ayahmu udah meninggal.”
Terasa ada yang menghantamnya seketika. Tubuh Hafa lemas, matanya
mendadak kosong ke depan. Tangannya lemas terayun saat tetanggnya itu
melepaskan pelukannya.
Dan Hafa seperti kerasukan. Dia berlari ke rumahnya menangis
berteriak, memukul kaca jendela, seperti kesetanan. Dia masih tak
percaya dengan semuanya. Dia masih tak percaya secepat itu dia kan
kehilangan Ayahnya. Padahal baru tadi malam Ayahnya izin keluar untuk
bermain ke rumah teman-temannya. Dan kini, saat dia masih tidak sempat
untuk meminta maaf, untuk membalas segala perjuangannya selama ini, ia
telah pergi. Ke tempat yang bahkan tak ada dalam bayangannya selama ini.
apalagi secepat ini.
Saat mamanya datang dengan wajah sembab dengan ambulan. Hafa masih
tak kuasa untuk keluar. Dia sadar, suara yang didengarnya di telepon
adalah suara Ayahnya yang telah tiada. Dia semakin tak kuasa untuk
melihat tubuh yang terbujur kaku di ruang tamu itu. Dia masih tak kuasa
dan tak percaya dengan semuanya. dan untuk kali pertama saat mamanya
memeluknya, Hafa tertegun mendengar permintaan mamanya dalam bisikan
dengan suara serak.
“jangan manja lagi ya, Fa. Ayahmu udah nggak ada…”
Hafa semakin tertegun, mamanya menangis. Membuat dirinya semakin tak
kuasa. Demi apapun, hanya satu yang ingin dilakukannya saat itu.
Mengambil kristal bening yang mengalir di pipi mamanya, dan ingin
melakukan apapun agar kristal bening itu tak jatuh lagi.
Begitu juga dengan seorang ibu. Saat Hafa mulai sekolah SMP dan
tinggal di asrama. ati rela melakukan apa saja asal sang Anak bahagia di
asrama. walau dia bekerja seorang diri. Tanpa berkata apa-apa pada
anaknya itu. Ati mencari pinjaman uang ke sana kemari untuk sang anak.
Dia hanya ingin anaknya tidak sakit, karena hal itu menjadi beban
baginya begitu melihat sang anak terbaring lemah di atas kasur asrama.
dan saat itulah sekuat tenaga dia berusaha agar kristal beningnya tak
jatuh. Karena tak ingin anaknya semakin sedih melihat dirinya menangis.
Hafa juga mati-matian menabung. Agar suatu saat, saat dia membutuhkan
sesuatu tidak meminta pada sang Mama. Pernah suatu hari dia melihat
mamanya membawa banyak makanan ke asramanya sendirian. Melihat mamanya
kerepotan membawa banyak barang membuat dirinya ingin menangis. Namun
sekuat tenaga dia menahan agar kristal bening itu tidak jatuh dan tidak
membuat sang Mama semakin sedih.
Begitulah mereka. Bagi yang satu, yang lain adalah yang terpenting.
Dan bagi yang lain, yang satu adalah yang terpenting. Hanya satu
tujuannya, agar kristal bening mereka sama-sama tidak jatuh di depan
satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar