Orangtua merupakan tumpuan bagi setiap anak, memiliki orangtua yang
lengkap adalah keinginan setiap anak di muka bumi ini, tak terkecuali
dengan ku. Namun, takdir berkata lain bagiku. Lah Peristiwa 16 tahun
yang silam telah merubah kehidupan menjadi sosok anak yang tumbuh tanpa
peranan seorang Ayah. Memang semua terbayang sangatlah berat namun kini
telah ku lalui semua hingga aku tumbuh menjadi seorang remaja yang kuat
dan tegar dalam menghadapi persoalan hidup. Tanpa kehadiran sosok ayah
yang mendampingi ku tentu ada sosok lain yang menggantikannya tidak lain
dan tidak bukan adalah ibu. Ibu bagi ku adalah sosok luar biasa yang
memiliki peran ganda oleh keadaan, ia menjadi sosok ibu yang penuh kasih
sayang dalam merawat anaknya hingga menjadi sosok perkasa mencari
nafkah untuk membiayai kehidupan kedua anaknya.
Mengingat kembali memori 16 tahun yang lalu saat kisah getir itu
terjadi pada diriku dan keluargaku sudah tentu berdampak pada psikologis
ku. Sering terlintas di bayang ku saat pertengkaran itu, hal ini sering
membuat ku seperti orang bodoh yang kehilangan akal sehat namun berkat
orang-orang yang berada di samping ku membuat ku tegar dan kuat. Memang
aku tak pernah kekurangan kasih sayang karena ibu telah memberikan
sayang yang lebih kepada ku namun tak bisa dipungkiri kehadiran sosok
ayah sangat ku rindukan.
Pernah suatu ketika disaat aku masih berada di bangku SD aku
mengalami pergejolakan yang begitu dahsyat, aku tidak tahu apa dan siapa
itu sosok ayah sehingga membuat aku bertanya dan terus bertanya. Hal
ini berawal ketika masih kelas 1 SD yang setiap harinya sering bernyanyi
bersama saat hendak pulang sekolah dan disaat itu yang dinyanyikan
adalah lagu yang sangat identik dengan anak-anak, karena sangat senang
aku pun ikut bernyanyi bersama-sama.
“satu-satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang ayah, tiga-tiga sayang adik kakak, satu dua tiga sayang semuanya”
Nah, yang mengganjal di benak ku siapakah sosok ayah yang ada pada lirik lagu ini.
Sesampainya di rumah sambil mengerjakan PR yang didampingi ibu aku bertanya padanya.
“bu, teman ku roni setiap hari diantar jemput ayahnya sekolah, aku kok
enggak bu?, ayah ku mana bu? Kok aku gak pernah jumpa ayah” Tanya ku
polos.
“ayah kamu lagi kerja nak” jawab ibu sambil meneteskan air matanya.
“kok gak pulang-pulang sih bu? Terus ibu kok menangis” Tanya ku kembali
“ayah kamu lama pulang sayang, mungkin dia lagi sibuk. Kamu jangan Tanya-tanya ayah lagi” jawab ibu.
“ia bu, tapi ibu jangan nangis lagi ya” ujar ku. Ibu hanya tersenyum menjawab perkataan ku sembari menghapus air matanya.
Sejak saat itu tidak pernah menanyakan ayah lagi kepada ibu karena
aku takut ibu menangis lagi. Namun semua pertanyaan ku terjawab sudah
setelah aku beranikan diri bertanya kepada pamanku dimana ayah, sejak
saat itu aku tahu semua tentang ayah dan aku sangat kecewa kepada ayah,
hingga peristiwa itu terjadi, saat aku kelas 3 SD nenek ku meninggal
dunia dan disitulah untuk yang pertama kalinya aku bertemu dengan sosok
yang sering disebut ayah tersebut, namun tidak tahu kenapa aku tidak
memiliki rasa apapun kepada ayah yang ada malah rasa marah ku kepada
ayah yang telah menelantarkan kami.
Kebencian ku kepada ayah makin menjadi disaat ibu harus menjadi TKW
di Negeri tetangga, semua dilakukan ibu semata-mata untuk menghidupi
kami anak-anaknya, disini aku mulai mengerti betapa perjuangan seorang
ibu yang sangat luar biasa, namun dimana sosok yang harusnya bertanggung
jawab akan nafkah keluarga tersebut? semua hanya omong kosong belaka.
Kepergian ibu menjadi TKW mengharuskan kami tinggal bersama tante dan
nenek, mereka sangat menyayangi kami karena semenjak perceraian ayah dan
ibu mereka turut serta merawat ku dan adikku, walaupun kasih sayang
yang diberikan tante dan nenek sangat besar dan tidak membuat kami
kekurangan kasih sayang namun tentu saja aku sangat sedih harus berpisah
dengan ibu terlebih adikku yang masih kecil dan masih sangat
membutuhkan perhatian lebih dari ibu namun kini ia harus berpisah dari
ibu, hal ini tentu saja membuat kebencianku terhadap ayah tumbuh dengan
subur.
Rasa kebencianku terhadap ayah pun semakin terpupuk disaat aku
menginjak bangku SMA karena disini aku merasa begitu besar perjuangan
seorang ibu untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, walau keadaan
ekonomi sangatlah memprihatinkan. Biaya sekolah yang mahal ditambah
dengan harga buku pegangan yang selangit membuatku hampir putus asa
untuk melanjutkan sekolah. Namun semangat dan kemauan membuat ku
bertahan melihat besarnya perjuangan ibu, betapa kecewanya ia jika aku
putus sekolah. Lagi-dan lagi hal ini membuat ku makin membenci ayah di
balik perjuangan ibu yang begitu besar kemana sosok ayah tersebut?
Namun, keadaan ini memotivasi diriku agar aku belajar segiat mungkin
untuk membahagiakan ibu dan membuat perjuangannya selama ini tidak
sia-sia.
Kini aku telah beranjak dewasa dan tetesan keringat ibu ku telah
terjawab semua, berkat perjuangannya yang selalu menjadi motivasi bagiku
telah membawa ku meraih beasiswa untuk duduk di bangku perguruan tinggi
negeri ternama di kota Medan ini. Semua ini kupersembahkan sebagai
ucapan terimakasih ku kepada ibu yang telah membesarkan ku dan telah
memberikan yang terbaik kepada ku. Dan aku berjanji kelak jika aku telah
selesai dari pendidikan ku, aku akan bekerja dan membahagikan ibu ku
yang telah berjuang untuk ku. Masalah ayahku kini meninggalkan pertanyan
besar di benakku “boleh kah aku membenci ayah?”. Namun semua itu
hanyalah penggalan masa lalu yang harus ku simpan baik-baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar