Kehidupan yang keras seolah menjadi tantangan dalam hidup Rina dan
kakaknya Rani. Tinggal di tengah hutan dan jauh dari keramaian dan hiruk
pikuk kehidupan masyarakat. Kehidupannya hanya bergantung dari apa yang
ada di sekeliling tempat tinggalnya. Untuk bisa mendapatkan beras ia
harus rela berjalan sejauh kurang lebih 3 km. Itu pun kalau mereka mampu
membeli beras.
Semangat belajarnya sungguh luar biasa. Kehidupan yang sederhana dan
serba pas-pasan, begitu besar dan berat perjuangan orangtuanya demi
menyekolahkan anak-anaknya. Rina dan kakaknya bertekad ingin bangkit
dari kehidupan yang serba sulit. Ia ingin seperti teman-temannya, hidup
dalam keramaian dan banyak teman. Bukan malah menyendiri di tengah hutan
Setiap pagi ia menyusuri jalan nan panjang dan penuh tantangan, agar
ia sampai ke sekolahnya. Sebuah sepeda mini bekas yang di belikan oleh
ayahnya lah yang menjadi teman setia mereka. Saat musim hujan tiba,
jalanan selalu becek dan banyak lumpur yang menjerat sepeda kesayangan
mereka. Sepeda berwarna merah kusam dengan warna yang memudar, tak
pernah mengeluh tatkala harus bermandikan lumpur.
Pagi ini, Rina dan Rani siap berangkat sekolah. Hujan semalam, pasti
akan menyisakan tantangan tersendiri dalam perjalan ke sekolah nanti.
“Kak, kalau bajuku kotor, nanti teman-teman pasti akan menertawakanku.”
Kata Rina dengan wajah cemberut kebingungan. Rani kakaknya hanya
tersenyum. “Sudahlah.. adikku yang manis ini tetap cantik kok..” Rani
mencoba menghibur adiknya, agar ia semangat ke sekolah hari ini.
“Rina, Rani cepetan berangkat nanti telat…” Teriak emak mereka dari
luar. “Iya, Mak..” Jawab Rani. ”Ayo.., hujan semalam tidak membuatmu
patah semangat, kan?” Tanya Rani sembari tersenyum. “Baiklah..”
Akhirnya Rina beranjak dari tempat duduknya dan mengaitkan tasnya yang
sudah tak layak pakai di punggungnya. “Semangat..!” Rani menepuk bahu
adiknya yang masih terleihat lemas tidak bersemangat.
“Hati-hati..” Kata emak mereka. “Rani berangkat dulu, Mak..” Rani
menjabat tangan emaknya. Kemudian disusul oleh Rini. “Jangan lupa,
belajar yang baik. Jangan kecewakan bapak dan emak yang sudah susah
payah mencari uang demi menyekolahkan kalian!” Pesan emaknya. “Iya,
Mak..” Jawab Rani. Kata emakya begitu lekat dalam hatinya. Segera
tertanam dalam benaknya dan menjadi pengingatnya agar ia tetap istiqomah
untuk belajar dengan baik demi kehidupan yang layak di masa yang akan
datang.
Rani terus mengingat pesan dari ibunya. Kata-kata itu terus
terngiang-ngiang dan terus melecutinya agar semangat terus membara dan
berkobar. Entah apa yang ada di pikirkan Rina. Sepertinya, kata-kata ibu
hanya berjalan melintas di telinganya. Pikirannya hanya tertuju pada
tantangan yang akan ia hadapi di jalan nanti. Ia tidak ingin diolok-olok
temannya, karena rok dan sepatunya kotor terkena lumpur.
Hujan semalam benar-benar telah menguji kesabaran dan kepiawaian
mereka dalam menyusuri jalan yang licin dan penuh dengan lumpur. Jalan
setapak dengan semak-semak di tepian jalan, membuat mereka merinding
tatkala dedaunan bergoyang dan menimbulkan bunyi-bunyian mengerikan.
Udara dingin menerpa tubuh mereka, dan tetesan air bekas hujan semalam
menetes membasahi tubuh mereka. Seketika rasa dingin menyergapi
tubuhnya.
Mereka hanya terdiam membisu menyusuri jalan. Pandangan mereka fokus
ke depan melihat genangan air yang penuh dengan lumpur berwarna merah
kecokelatan. Otak terus berfikir bagaimana ia bisa melewatinya, tanpa
harus terkena cipratan air kotor itu. Jika tidak, baju mereka akan kotor
dan ocehan teman-teman di sekolah akan berkicauan di gedung sekolahan
dan mengalahkan kicauan burung yang bertengger di tower.
Selain melewati jalan setapak yang licin dan penuh dengan lumpur, ia
juga harus melewati sungai dengan bebatuan yang besar dan tajam. Selain
itu, lumut hijau yang tumbuh di bebatuan terkadang membuat mereka
terpeleset. Belum lagi, mereka harus menggandeng sepeda mini tuanya.
Rani tahu, adiknya pasti sudah lelah dengan hari-hari yang sulit
menyusuri jalan itu. Tapi. Ia terus memberi semangat pada adiknya.
Sesampainya memasuki pemukiman penduduk, hati Rina dan Rani terasa
lega. Kakinya terasa pegal setelah berjalan menyusuri jalan setapak di
hutan. Kini, ia bisa menaiki sepedanya. Tetapi, kaki Rani masih harus
mengayuh sepeda mini tua itu hingga mereka berdua sampai di sekolah.
Rani tidak mungkin membiarkan adiknya memboncengnya hingga ke sekolah.
Rani tak tega melihatnya kelelahan. Keringat sudah membasahi wajahnya.
Mau tidak mau, Rani lah yang harus mengayuh sepeda mini tua itu.
Saat berada di boncengan kakaknya, Rina terus mengamati sepatu dan
rok panjangnya (karena ia sekolah di MTS negeri) yang kotor terkena air
berwarna cokelat dan bercampur dengan lumpur. Tiba-tiba, bayangan Rina
sampai dulu di sekolahan. Ia membayangkan teman-temannya yang akan
mengolok-oloknya di sekolahan. Dan saat ban sepeda mereka melintas di
atas jalan yang berbatu, Rina pun kaget dan sadar dari lamunannya.
“Mbak, mau kemana?” Tanya seorang wanita yang duduk di samping Rani,
saat naik kereta. Seketika, lamunan Rani di masa kecilnya menghilang
dari pikirannya. “Saya mau ke Jakarta, Mbak. Mau cari kerja, untuk
membantu emak, bapak dan juga adik saya di desa. Biar hidup kita tidak
di hutan terus. Saya ingin membeli rumah dan tanah di dekat pemukiman
warga, agar kami punya tetangga.” Jawab Rani dengan jelas. “Oh…,” Wanita
itu meng-Oo, dengan mulut sedikit di kumpulkan di tengah, dengan wajah
manggut-manggut.
Rani, terlihat sederhana dengan baju panjang, rok panjang, dan sebuah
jilbab berwarna biru telur asin yang sudah kusam. Sikapnya sangat
kalem. Melihat wanita itu, ia teringat dengan kata orang tentang
kejahatan di dalam kendaraan, misalnya hipnotis. Apalagi, melihat
percakapannya dengan penumpang yang lain, wanita itu sangat berani, dan
beringas, sikapnya terlihat keras. Rani pun, sedikit deg-degan. “Jaga
dirimu baik-baik, di jakarta banyak kejahatan. Macamnya banyak juga.
Hanya itu yang mbak pesankan sama kamu.” Setelah wanita itu
menasehatinya, Hati Rani sedikit lega. Sepertinya dia wanita yang baik.
Setelah mereka sampai di stasiun, Rani pun mengejar wanita itu. “Mbak
kerja dimana?” Tanya Rani. “Mbak kerja dari suster, ngurus anak.” Jawab
wanita itu sambil berjalan meneteng tasnya. “Bolehkah saya ikut dengan
mbak. Saya kan belum punya pengalaman kerja, saya kan hanya lulusan MAN.
Saya juga tidak tahu Jakarta.” Kata Rani. “Lebih baik, kamu cari
pekerjaan yang lebih baik dari saya. Ijasahmu dari Man mungkin bisa
mengantarkan kamu kerja di toko. Tidak seperti mbak, SD saja tidak
tamat.” Jawab wanita itu. Rani hanya diam saja. Dan wanita itu pun, tak
tega melihat wanita yang terlihat kalem dan cantik itu luntang-lantung
sendirian.
“Baiklah, kamu boleh ikut dengan saya. Tapi, kamu harus sabar, ya.
Majikannya sangat galak. Anaknya juga nakal, susah diurus.” Wanita itu
menjelaskan. Rani pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian
mereka berdua naik angkot menuju rumah majikan wanita itu.
Sampai di rumah majikan wanita itu, Rani sudah dikenalkan dengan
tugas-tugasnya. Ia juga sudah bekerja, menyapu, mencuci, ngepel dan
mengurus taman. Dan ditambah mengurus anak majikannya, yang gendut, dan
nakalnya minta ampun. Malamnya, Rani langsung membaringkan tubuhnya di
kasur yang langsung di gelar di atas lantai. Kamarnya sempit, pengap,
plapon yang dipasang terlalu rendah membuat ia sulit untuk bernapas.
Rani pun melamun masa kecilnya dulu. Baru tiba di Jakarta, ia sudah
diliputi rasa kangen dengan emak, babak, dan adiknya. “Rumput ilalang,
kamu menjadi saksi di sepanjang jalan setapak ini. Saksi akan
perjuanganku demi membahagiakan emak dan bapak. Perjuanganku berangkat
sekolah, hingga adikku diolok-olok temannya” Kata Rani, yang kemudian ia
mencabut bunga rumput ilalang itu dan membawanya pulang ke rumah saat
ia pulang sekolah. “Ran, Kamu sedang melamun apa?” Tanya Yuli. “Baru
tiba di Jakarta, saya sudah kangen dengan keluarga di rumah.” Jawabnya.
“Kamu harus sabar, kangen itu pasti ada. Katanya, kamu ingin
membahagiakan emak sama bapakmu, kan?” Tanya Yuli. “Iya, mbak” Jawab
Rani.
“Kamu sebaiknya cepetan tidur, jangan melamun. Besok, majikan kita mau
pergi ke pantai dan kamu harus ikut untuk mengasuh Dimas. Ini, tadi mbak
sudah beli roti. Kamu bawa bekal buat besuk.” Yuli memberikannya pada
Rani. “Jangan mbak. Itu kan Roti mbak Yuli” Rani menolaknya. “Ran,
majikan kita tidak akan memberimu makan. Tugasmu menyuapi anaknya. Besok
pasti kamu kelaparan. Mbak itu sudah pengalaman, Ran. Memang majikan
kita itu orangnya tidak punya perasaan. Sudahlah, kamu masukkan ke dalam
tas saja.” Yuli menyuruhnya memasukkan ke dalam tas.
“Mbak kan kerja berat, sedangkan makan juga di pasti. Terkadangkan kita
juga lapar, saat ada tugas berat dan banyak. Sedangkan buah-buahan di
kulkas, kan mbak tidak berani makan. Terpaksa, sisa makanan Dimas mbak
makan. Kamu yang sabar, ya. Mbak Cuma bisa bantu kasih pekerjaan seperti
ini.” Kata Yuli. “Iya mbak. Malahan, saya sangat berterima kasih dengan
mbak Yuli.” Kata Rani. Mereka pun akhirnya berbaring di atas kasur, dan
perlahan-lahan memejamkan mata. Sedikit dipaksakan memang. Karena, rasa
pegal di sekujur tubuh enggan hilang.
Rani menatap Yuli dengan mata sayup. Yuli tertidur begitu pulas
karena kecapekkan. Hari itu, Yuli memang tinggal di rumah. Sedangkan,
Rani dan majikannya pergi ke pantai. Meskipun Yuli di rumah, dan tidak
ada majikan yang mengawasi pekerjaannya, tapi Yuli tidak bisa leha-leha.
Karena, majikan mereka orangnya sangat disiplin, dan selalu mengecek
tugas-tugas pembantunya. Rani pun juga sangat kelelahan, ia tidak bisa
menikmati suasana pantai yang didapatnya secara gratis tanpa harus
mengeluarkan ongkos. Tapi, Dimas sangat rewel dan nakal. Dia juga sering
ngerjain Rani.
“Ternyata benar kata mbak Yuli. Kalau aku tidak membawa Roti ini, aku
tadi pasti sudah kelaparan. Belum lagi, sikap Dimas yang bikin aku
jengkel dan mangkel. Dimas yang salah, katanya aku yang salah. Ah,
sudahlah… namanya juga anak kecil.” Rani berbicara sendiri, sembari
meringkasi rotinya yang masih sisa, dan mengeluarkannya dari tas.
“Kenapa aku rindu sekali dengan emak, ya?!” kata Rani yang tertegun.
“Tidak biasanya aku begitu merindukannya. Semoga saja, tidak terjadi
apa-apa dengan mereka.” Kata rani yang menyakinkan dirinya sendiri, agar
tidak berpikiran yang macam-macam.
Rani pun berbaring di samping Yuli. Rasa ngantuk yang tak kunjung
datang membuatnya melamuni kehidupannya di desa, saat ia mencuci di
kali. “Ternyata, rumahmu masih di daun jati itu. Laba-laba yang malang,
seperti aku. Hidup dengan rumah yang rapuh dan tidak kuat. Ketakutan
saat hujan turun dan angin yang berhembus kencang. Bahkan, tetesan embun
yang besar dapat merusak rumahmu.” Kata Rani sembari menggelengkan
kepalanya. “Aku akan buktikan, bahwa aku tidak akan hidup sepertimu. Aku
berjanji sama emak, kalau aku sudah lulus dan bekerja nanti, aku akan
membelikan rumah untuk emak, bapak dan Rina. Rumah yang jauh lebih baik
dari yang kami tempati sekarang.” Kata Rani menambahkan.
“Ah.., kenapa aku jadi teringat laba-laba itu, ya!” pikir Rani.
Kemudian, Rani memejamkan matanya agar ia bisa lekas tidur. Karena,
pekerjaan sudah menantinya esok hari. Ia berusaha menahan kerinduan
dengan keluarganya. Semua ia lakukan dengan sabar, meski majikan Rani
orangnya keras. Dan momongannya (Dimas) sangat bandel. Ia pun harus
sabar dengan sikap Dimas yang masih kecil.
Mungkin, pekerjaannya jauh lebih ringan dibandingkan pekerjaan kedua
orangtuanya. Membuat arang, dengan proses yang sangat panjang. Menebang
pohon, kemudian membakar dan harus menunggu beberapa hari, setelah itu
di angkat dengan dicelupkan ke dalam air (Sangat panas berhadapan dengan
bara api), tapi mereka tetap sabar. Belum lagi, mereka harus menjualnya
ke warga yang rumahnya sangat jauh. Berjalan kaki dengan memikul arang
yang dimasukkan ke dalam sak (Wadah beras).
Rani memang merindukan kedua orangtuanya, dan ingin segera bertemu
dengan mereka. Tapi, ia harus bekerja demi keinginannya ingin memberikan
rumah pada kedua orangtua dan adiknya. Tapi, ia lebih menginginkan
tinggal bersama majikannya yang berwatak keras dan mengurus Dimas
anaknya yang bandel, dari pada ia harus pulang bertemu dengan
keluarganya tidak dengan perasaan bahagia, melainkan kesediahan yang
teramat dalam yang ia terima.
Sebelum keinginannya terwujud, keluarganya sudah pergi diambil oleh
Sang Maha Kuasa. Sedih menyayat hati, dan akan menjadi beban dalam
hidupnya, bahkan menjadi bayang-bayang yang menghantuinya. Andaikan ia
bisa segera memberikan rumah bagi mereka, semua ini pasti tidak akan
terjadi. Bencana banjir telah memporak porandakan rumah, dan menyeret
emak, bapak dan juga adiknya. Rani merasa bersalah. Sedih yang teramat
dalam. Kini, siapa yang akan menjadi tumpuan harapan dan penghiburnya.
Bagaimanakah ia bisa membahagiakan mereka semua, dengan apa? Rumah
yang ia idam-idamkan seolah hilang. Untuk siapakah rumah yang ia beli di
jakarta? Rumah yang memang kecil dan sederhana. Tak berarti apa-apa
dalam hidupnya, jika ia hanya tinggal sendiri tanpa keluarganya. Semua
tak berarti apa-apa. Ia berniat pulang untuk memberikan kejutan bagi
keluarganya, ternyata, keluarganya sudah menyiapkan kejutan yang
sejatinya keluarganya sendiri juga tidak tahu. Bahkan mereka sendiri
juga terkejut, kenapa ia pergi dengan cepat sebelum bertemu dengan Rani.
Ilalang dan laba-laba mengingatkan Rani kepada keluarganya,
perjuangan dan semangatnya. Ilalang yang tumbuh di tepi jalan setapak,
telah menjadi saksi perjuangan ia dan adiknya dalam menuntut ilmu, saksi
perjuangan kedua orangtuanya mencari uang, dengan membawa beban arang
di kedua pundaknya, berjalan jauh menyusuri jalan itu. Kini, keluarganya
telah tiada, ilalang hanya menjadi pengingat, dan membawa kesedihan
yang dalam baginya. Kesedihan tatkala ia mengingat akan beratnya hidup
yang ia jalani. Hingga keluarganya pergi meninggalkannya.
“Ternyata, rumah laba-laba itu masih ada. Tidak seperti rumahku yang
ada di bawahnya, yang hilang entah kemana. Laba-laba itu pergi entah
kemana, atau bahkan sudah mati dipatuk oleh burung. Rumah yang rapuh dan
mudah runtuh.” Kata Rani saat ia pergi ke hutan. Sekarang, bekas
rumahnya menjadi pemondokan bagi pengunjung yang ingin melihat air
terjun. Entah siapa yang membangunnya di sana. Ia sama sekali tak
menyangka jika ia sedang duduk di pemondokan itu. Bekas rumahnya dahulu.
Tiba-tiba keramaian dan candanya bersama keluarga terdengar di
telinganya. Air mata pun menetes, teringat akan masa-masa bahagia
bersama keluarga.
“Ma, mbak Rani nggak nyuapi aku.” Dimas mengadu pada mamanya. “Rani,
Dimas kenapa kamu biarkan. Malah enak-enak melamun.” Bentak majikannya.
Rani pun menghapus air matanya, dan menyuapkan sesendok nasi dengan
telor ke mulut Dimas. Perutnya sudah mulai lapar, majikan tidak
menyediakan makanan untuknya, barang roti secuil pun. Mereka pikir,
mereka bisa masak dan bawa bekal sendiri. Tapi, di kulkas tak ada
makanan. kalau ia masak, besok pagi saat majikannya terburu-buru ke
kantor dan tak memberi uang belanja, bisa-bisa ia disalahkan. Semua
memang serba salah.
“Ran, saya mau lihat air terjun. Kamu disini saja jaga barang-barang.
Hati-hati, jangan kemana-mana.” Perintah majikannnya. “Iya, bu” Jawab
Rani dengan nada patuh dan muka sedikit takut dan hormat yang susah
untuk dibedakan. Rani hanya terdiam di tempat duduk yang terbuat dari
bambu. Perutnya mulai sakit karena lapar. Ia mengambil roti yang Yuli
berikan padanya semalam. Dengan pelan ia mulai membuka bungkus
plastiknya, dan mengunyahnya pelan. Tiba-tiba, gerak mulutnya mulai
berhenti seiring dengan air mata yang keluar dari kedua matanya. “Emak,
bapak, Rina, Rani kangen kalian semua.” Kata Rani merintih dan air
matanya semakin deras mengucur.
Andaikan ia memiliki foto keluarganya, rindu itu tak sedalam yang ia
rasakan. Kehidupan miskin yang ia jalani, membuat ia tak berpikir untuk
foto. Untuk makan saja susah. Kini, ia hanya bekerja dengan sabar demi
melanjutkan kehidupannya ke depan agar lebih baik. Ia berharap rasa
rindu itu selalu ada, sehingga ia akan ingat dengan masa-masa bersama
keluarganya. Agar ia tak lupa dengan wajah-wajah mereka. Wajah
orang-orang yang sangat ia sayangi dan kasihi.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar