Rabu, 18 Maret 2015

Alhamdulillah

Kehidupan memang terkadang menyedihkan dan terkadang juga menyakitkan untuk direnungi bahkan dijalani, itulah yang dihadapi Aku saat ini. Aku harus banting tulang demi menghidupi kedua Adikku, walaupun sesungguhnya Aku masih sekolah, tapi semua itu Aku lakukan dengan ikhlas demi kedua Adikku. Kini Aku sudah kelas 11 di SMA BUDI SASTRA, sekolah yang memang terkenal elit. Mengapa Aku bisa masuk ke sekolah itu? Ya karena Anugrah ALLAH SWT. lah Aku dikaruniai otak yang cerdas sehingga bisa masuk dan menimba ilmu disana walau hanya melalui jalur beasiswa, sungguh Aku sangat mensyukuri itu semua.
Setiap hari Aku harus berjualan kue, memang itu adalah dagangan bibiku yang dititipkan untuk dijual oleh ku, keuntungan yang sedikit bukan berarti mematahkan semangatku untuk mencari uang dan menghidupi kedua Adikku yang masih di bangku SD dan SMP kelas 8 itu. Aku membawa daganganku ke sekolah, tanpa rasa malu Aku menjajakan kueku kepada teman-teman dan seluruh warga sekolah disana yang terkadang Aku membuat sebuah tenda kecil untuk mepermudahku menjajakan kuenya. Meski kadang cemoohan mereka menusuk perasaanku, Aku berharap semoga mereka mendapat hidayah oleh ALLAH.
“Hai Den, tumben baru datang?” Tanya Suni, dia adalah teman sekolahku sejak SMP. Dirinya sangat tahu tentangku karena kami yang berhubungan lama, ya bisa dibilang seperti sahabat. Ekonomi kita memang berbeda jauh, jauh sekali. Tapi dia tidak seperti orang lain yang menyombongkan kekayaan mereka, padahal sebenarnya itu kekayaan orang tua mereka.
“Iya Ni, Aku kesiangan tadi, makanya sekarang baru datang. Untung saja tidak telat. Kamu sudah dari tadi datangnya?” Tanya ku kepada Suni yang sedang duduk di mejanya.
“Ya sudah lumayan lama Den, Aku menunggu kamu tak kunjung datang. Malah kukira kau tidak masuk hari ini.” Jawabnya kepadaku.
“Hari ini kan ulangan IPA KIMIA, Aku tak ingin melewatkan satu ulangan pun, demi menjaga prestasiku. Hehe..” Ucapku lagi kepadanya.
“Iya deh, yang cerdas memang beda.” “Tapi Aku bangga Den punya teman sepertimu. Acung jempol deh” tanggapnya terhadapa ucapanku.
“Jempol mulu, bosen tahu.” Ledekku kepadanya.
“Ya sudah nih Aku kasih kelingking, hehe” Jawabnya menanggapi candaanku.

“Eh, ada orang miskin lagi jualan disini, udah laku berapa bang?. Haha..” Kata Tito dan kawan-kawan menghinaku dan kini Aku hanya terdiam karena sudah terlalu terbiasa pada perkataannya. Tito memang orang yang kaya, bahkan Ayahnya adalah donator terbesar untuk sekolahku ini. Kekayaan Ayahnya yang sangat membuat Tito menjadi penguasa di sekolah. Padahal, Ayahnya bukan tipikal yang seperti itu. Beliau baik dan ramah tamah, tapi berbeda sekali dengan Tito yang sangat sombong yang dibalik itu semua ada sifat manja yang sangat melekat dalam dirinya. Sehingga, setiap orang harus berhati-hati terhadapnya.
“Eh, Orang miskin ngapain sih jualan disini. Ngerusak pemandangan gue aja!, iya gak friend”.
“Yoi bro, Lo bener banget, dan seharusnya nih anak gembel gak usah sekolah disini. Dia tuh cocoknya di kolong jembatan tuh sama gembel yang lain, hahahaha.. dasar gembel!!” Ucap mereka semua terhadapku yang sedang duduk menunggu pembeli datang.
“Mau kalian apa sih?. Apa aku pernah mengusik kalian, apa belum puas menghinaku setiap waktu, bisa tidak sehari saja berhenti dan libur untuk menghinaku. Aku tahu orang tua kalian kaya, tapi itu milik orang tua kalian, bukan milik kalian pribadi” jawabku dengan nada mulai kesal. “Wahh, gembel kurang ngajar, berani banget lo nasehatin kita-kita, siapa lo berani begitu. Ahh.. cari ribut nie gembel, friend abisin!”. Jawab Tito pada semua perkataanku, tapi sepertinya dia tidak terima dan akhirnya…
BUKK…!!
Pukulan keras menghantam wajahku, sontak Aku terjatuh dan lemas.
PRAKK…!!
Dipatahkannya kaki meja kueku, yang membuat semuanya berserakan di tanah, Aku yang saat itu sangat-sangat tidak tahan melihat kelakuan mereka dan membuatku kesal, Aku coba bangkit.
BUKK…!!
“Tito, habis sudah semua kesabaran ku padamu, cukup kau berhenti menghina dan mencemooh Aku. Dasar orang kaya sombong.” Nada suaraku mulai keras, Aku sangat kesal dan meninju kembali wajahnya, sehingga terlihat memar dan bahkan berdarah.
Dari kejauhan terlihat Suni sedang berjalan menuju tempat jualanku, melihat kelakuan teman-temannya yang saling adu pukul. Ia pun bergegas melerai kejadian itu.
“Cukup!! Kalian ini apa-apaan sih, tidak sadar ini tempat ramai malu tahu dilihat orang. Ini lagi Tito, dasar lelaki tidak punya hati. Lebih baik kalian pergi, cepat pergi!!” dengan luka memar di wajahnya, akhirnya Tito dan kawan-kawannya pergi meninggalkan Deni dan Suni disana.
“Den, kamu tidak apa-apa? Kenapa mau sih berurusan dengan mereka. Mereka hanya anak manja yang tak tahu arti perjuangan. Maafkan mereka ya.” Ucap Suni sambil merangkul Deni dan membawanya pulang untuk diobati luka memar di wajahnya.

“Ka deni, Dita belum bayar uang SPP bulan ini, ayolah ka nanti dita tidak bisa ikut ujian semester bagaimana?”. Keluh Dita yang merupakan Adiknya yang pertama.
“Kakak lagi berusaha kok dik, buat bayar uang SPP kamu, tapi kakak perlu waktu tolong pahami kakak ya”. Jelas Deni.
“Kak, ALLAH itu tidak adil ya”
“Kamu ngomong apa sih dik, ALLAH itu Maha Adil untuk semua hambanya sayang”
“Kalau ALLAH adil kenapa kita harus hidup seperti ini, melewati kehidupan yang pahit tanpa kedua orang tua, Umi dan Abi sudah tiada, tinggal Aku, Rini dan kak Deni. Mana keadilan ALLAH yang kakak bilang?” Ucap Dita sambil meneteskan air mata. “Aku juga ingin hidup layak kak, punya orang tua, dapat kasih sayang Umi, dapat perhatian Abi, tapi semua itu sirna kak. Mereka sudah tidak di dunia ini lagi, apa kakak masih mau bilang ALLAH itu adil kak”. Tambah dita yang terus saja menyesali tentang keadaan.
“Dik, kamu sayang sama kakak?. Dengarkan kakak, ALLAH akan selalu memberikan jalan untuk para hambanya yang senantiasa selalu beriman kepadanya. Mungkin kamu bilang ini tak adil, dengan keadaan pahit ini tanpa dekapan kasih sayang Umi dan Abi, tapi percayalah pasti ada hikmah dibalik semua ini. Tetap berpegang teguh atas Iman mu ada kakak yang menjaga kamu dan Rini, kamu tidak mau kan mengecewakan kakak?” Jawabku sambil menjelaskan pada Rini tentang semua yang kita alami pasti ada hikmahnya. Walau mungkin pahit untuk diterima Dita saat usianya yang telah menginjak usia remaja tapi aku akan tetap menyakinkannya tentang Kekuasaan ALLAH.
Seiring berjalannya waktu Kekuasaan itu pun memang nyata ALLAH berikan kepada para hamba-Nya yang selalu bersyukur atas nikmatnya. Setelah lulus dari SMA-nya Deni pun mendapatkan beasiswa karena kecerdasaan otaknya yang luar biasa disalah satu Universitas Negeri di kota Surabaya. Kini Deni sudah sukses dalam bisnis wirausahanya yang sudah Ia tekuni semenjak ada di bangku kuliah, walau berbekas keringat yang banyak. Tapi rasa syukur dan ikhlasnyalah yang mengantarkan keberhasilan dari semua jerih payah yang Ia lakukan untuk dunianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar