Kehidupan memang terkadang menyedihkan dan terkadang juga menyakitkan
untuk direnungi bahkan dijalani, itulah yang dihadapi Aku saat ini. Aku
harus banting tulang demi menghidupi kedua Adikku, walaupun
sesungguhnya Aku masih sekolah, tapi semua itu Aku lakukan dengan ikhlas
demi kedua Adikku. Kini Aku sudah kelas 11 di SMA BUDI SASTRA, sekolah
yang memang terkenal elit. Mengapa Aku bisa masuk ke sekolah itu? Ya
karena Anugrah ALLAH SWT. lah Aku dikaruniai otak yang cerdas sehingga
bisa masuk dan menimba ilmu disana walau hanya melalui jalur beasiswa,
sungguh Aku sangat mensyukuri itu semua.
Setiap hari Aku harus berjualan kue, memang itu adalah dagangan
bibiku yang dititipkan untuk dijual oleh ku, keuntungan yang sedikit
bukan berarti mematahkan semangatku untuk mencari uang dan menghidupi
kedua Adikku yang masih di bangku SD dan SMP kelas 8 itu. Aku membawa
daganganku ke sekolah, tanpa rasa malu Aku menjajakan kueku kepada
teman-teman dan seluruh warga sekolah disana yang terkadang Aku membuat
sebuah tenda kecil untuk mepermudahku menjajakan kuenya. Meski kadang
cemoohan mereka menusuk perasaanku, Aku berharap semoga mereka mendapat
hidayah oleh ALLAH.
“Hai Den, tumben baru datang?” Tanya Suni, dia adalah teman sekolahku
sejak SMP. Dirinya sangat tahu tentangku karena kami yang berhubungan
lama, ya bisa dibilang seperti sahabat. Ekonomi kita memang berbeda
jauh, jauh sekali. Tapi dia tidak seperti orang lain yang menyombongkan
kekayaan mereka, padahal sebenarnya itu kekayaan orang tua mereka.
“Iya Ni, Aku kesiangan tadi, makanya sekarang baru datang. Untung saja
tidak telat. Kamu sudah dari tadi datangnya?” Tanya ku kepada Suni yang
sedang duduk di mejanya.
“Ya sudah lumayan lama Den, Aku menunggu kamu tak kunjung datang. Malah kukira kau tidak masuk hari ini.” Jawabnya kepadaku.
“Hari ini kan ulangan IPA KIMIA, Aku tak ingin melewatkan satu ulangan
pun, demi menjaga prestasiku. Hehe..” Ucapku lagi kepadanya.
“Iya deh, yang cerdas memang beda.” “Tapi Aku bangga Den punya teman sepertimu. Acung jempol deh” tanggapnya terhadapa ucapanku.
“Jempol mulu, bosen tahu.” Ledekku kepadanya.
“Ya sudah nih Aku kasih kelingking, hehe” Jawabnya menanggapi candaanku.
—
“Eh, ada orang miskin lagi jualan disini, udah laku berapa bang?.
Haha..” Kata Tito dan kawan-kawan menghinaku dan kini Aku hanya terdiam
karena sudah terlalu terbiasa pada perkataannya. Tito memang orang yang
kaya, bahkan Ayahnya adalah donator terbesar untuk sekolahku ini.
Kekayaan Ayahnya yang sangat membuat Tito menjadi penguasa di sekolah.
Padahal, Ayahnya bukan tipikal yang seperti itu. Beliau baik dan ramah
tamah, tapi berbeda sekali dengan Tito yang sangat sombong yang dibalik
itu semua ada sifat manja yang sangat melekat dalam dirinya. Sehingga,
setiap orang harus berhati-hati terhadapnya.
“Eh, Orang miskin ngapain sih jualan disini. Ngerusak pemandangan gue aja!, iya gak friend”.
“Yoi bro, Lo bener banget, dan seharusnya nih anak gembel gak usah
sekolah disini. Dia tuh cocoknya di kolong jembatan tuh sama gembel yang
lain, hahahaha.. dasar gembel!!” Ucap mereka semua terhadapku yang
sedang duduk menunggu pembeli datang.
“Mau kalian apa sih?. Apa aku pernah mengusik kalian, apa belum puas
menghinaku setiap waktu, bisa tidak sehari saja berhenti dan libur untuk
menghinaku. Aku tahu orang tua kalian kaya, tapi itu milik orang tua
kalian, bukan milik kalian pribadi” jawabku dengan nada mulai kesal.
“Wahh, gembel kurang ngajar, berani banget lo nasehatin kita-kita, siapa
lo berani begitu. Ahh.. cari ribut nie gembel, friend abisin!”. Jawab
Tito pada semua perkataanku, tapi sepertinya dia tidak terima dan
akhirnya…
BUKK…!!
Pukulan keras menghantam wajahku, sontak Aku terjatuh dan lemas.
PRAKK…!!
Dipatahkannya kaki meja kueku, yang membuat semuanya berserakan di
tanah, Aku yang saat itu sangat-sangat tidak tahan melihat kelakuan
mereka dan membuatku kesal, Aku coba bangkit.
BUKK…!!
“Tito, habis sudah semua kesabaran ku padamu, cukup kau berhenti
menghina dan mencemooh Aku. Dasar orang kaya sombong.” Nada suaraku
mulai keras, Aku sangat kesal dan meninju kembali wajahnya, sehingga
terlihat memar dan bahkan berdarah.
Dari kejauhan terlihat Suni sedang berjalan menuju tempat jualanku,
melihat kelakuan teman-temannya yang saling adu pukul. Ia pun bergegas
melerai kejadian itu.
“Cukup!! Kalian ini apa-apaan sih, tidak sadar ini tempat ramai malu
tahu dilihat orang. Ini lagi Tito, dasar lelaki tidak punya hati. Lebih
baik kalian pergi, cepat pergi!!” dengan luka memar di wajahnya,
akhirnya Tito dan kawan-kawannya pergi meninggalkan Deni dan Suni
disana.
“Den, kamu tidak apa-apa? Kenapa mau sih berurusan dengan mereka. Mereka
hanya anak manja yang tak tahu arti perjuangan. Maafkan mereka ya.”
Ucap Suni sambil merangkul Deni dan membawanya pulang untuk diobati luka
memar di wajahnya.
—
“Ka deni, Dita belum bayar uang SPP bulan ini, ayolah ka nanti dita
tidak bisa ikut ujian semester bagaimana?”. Keluh Dita yang merupakan
Adiknya yang pertama.
“Kakak lagi berusaha kok dik, buat bayar uang SPP kamu, tapi kakak perlu waktu tolong pahami kakak ya”. Jelas Deni.
“Kak, ALLAH itu tidak adil ya”
“Kamu ngomong apa sih dik, ALLAH itu Maha Adil untuk semua hambanya sayang”
“Kalau ALLAH adil kenapa kita harus hidup seperti ini, melewati
kehidupan yang pahit tanpa kedua orang tua, Umi dan Abi sudah tiada,
tinggal Aku, Rini dan kak Deni. Mana keadilan ALLAH yang kakak bilang?”
Ucap Dita sambil meneteskan air mata. “Aku juga ingin hidup layak kak,
punya orang tua, dapat kasih sayang Umi, dapat perhatian Abi, tapi semua
itu sirna kak. Mereka sudah tidak di dunia ini lagi, apa kakak masih
mau bilang ALLAH itu adil kak”. Tambah dita yang terus saja menyesali
tentang keadaan.
“Dik, kamu sayang sama kakak?. Dengarkan kakak, ALLAH akan selalu
memberikan jalan untuk para hambanya yang senantiasa selalu beriman
kepadanya. Mungkin kamu bilang ini tak adil, dengan keadaan pahit ini
tanpa dekapan kasih sayang Umi dan Abi, tapi percayalah pasti ada hikmah
dibalik semua ini. Tetap berpegang teguh atas Iman mu ada kakak yang
menjaga kamu dan Rini, kamu tidak mau kan mengecewakan kakak?” Jawabku
sambil menjelaskan pada Rini tentang semua yang kita alami pasti ada
hikmahnya. Walau mungkin pahit untuk diterima Dita saat usianya yang
telah menginjak usia remaja tapi aku akan tetap menyakinkannya tentang
Kekuasaan ALLAH.
Seiring berjalannya waktu Kekuasaan itu pun memang nyata ALLAH
berikan kepada para hamba-Nya yang selalu bersyukur atas nikmatnya.
Setelah lulus dari SMA-nya Deni pun mendapatkan beasiswa karena
kecerdasaan otaknya yang luar biasa disalah satu Universitas Negeri di
kota Surabaya. Kini Deni sudah sukses dalam bisnis wirausahanya yang
sudah Ia tekuni semenjak ada di bangku kuliah, walau berbekas keringat
yang banyak. Tapi rasa syukur dan ikhlasnyalah yang mengantarkan
keberhasilan dari semua jerih payah yang Ia lakukan untuk dunianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar