Rabu, 18 Maret 2015

Kolase

Lukisan ini keren. Pelukisnya memang piawai dalam menata artistik sehingga menjadi karya yang hebat. Tempelan berupa kertas, kain dan kayu itu memang ditempatkan tak beraturan, tapi tetap saja mengandung nilai seni yang bagus. Menarik! Dan lukisan inilah yang paling bagus di antara koleksi barang seni Papa Kei. Sebenarnya Kei juga juga sedikit tertarik, hanya saja karena lukisan itu karya Papanya, jadi tak menarik lagi. Ia selalu merasa kesal karena dituntut menjadi penerus Papanya dalam melukis.
Senyumnya lebih mengembang ketika melihatku daripada lukisan itu.
Hem, ia benar-benar jatuh cinta padaku, gumamku lirih.
Terus saja ia berjalan menuju kamarnya bersamaku. Meninggalkan lukisan super hebat itu dapat dihargai puluhan juta kalau pun dijual. Hanya saja Papanya tidak mau menjualnya, kenangan itu sangat berarti baginya. Untuk itu, ia menekan Kei agar mengambil kuliah di jurusan seni lukis. Menyebalkan! Seperti anak kecil saja, Kei harus dipaksa tanpa ada minat untuk masuk ke dunia itu.
Wajah Kei sedikit kesal ketika mulai membuka pintu kamar itu. Tas yang ia bawa itu langsung dilemparkannya ke tempat tidurnya. Lalu, ia merapatkan langkahnya pada meja belajarnya, memperhatikan jajaran komik yang berjejer rapi. Beberapa alat membuat komik seperti maru pen, penggaris, tinta, kertas sudah terlihat di tempat itu, masih berserakan.
Awalnya sih, ia masih senang membuat foto story untuk menyatukan gambar dan cerita, selain menggambar. Dari langkah itu, ia akan lebih piawai dalam mengemas cerita atas pembuatan komik nantinya. Seperti saat ini, ia mulai memotong gambar-gambar dari majalah ataupun koran. Potongan gambar itu kemudian ia tempel pada sehelai kertas layaknya sebuah halaman komik. Nah, biasanya Kei dalam sehari semalam, dapat menghasilkan empat halaman dari potongan gambar itu yang telah berurutan meski masih ada ceritanya. Namun ia telah mengetahui alur cerita dari masing-masing gambar yang berurutan itu.
“Kei, istirahat dulu lah! Aku takut kamu sakit,” ujarku merasa sedih melihatnya yang selalu tak meluangkan waktunya untuk istirahat.
Ia masih saja terus bekerja. Selain membuat foto story, ia juga terus belajar menggambar demi kecintaannya pada komik, bukan lukisan. Sampai larut malam ini, ia tetap setia menemani meja belajarnya meski mulutnya sudah menguap-nguap.
“Kei.” Suaraku muncul kembali.
Kei tetap saja diam, tak menghiraukan.
Kei datang bersamaku Auditorium Seni ini dalam acara anugerah Festival Film Pendek Kampus (FFPK) yang di ikuti oleh semua mahasiswa. Acara ini cukup meriah, dan sungguh mendebarkan bagi semua peserta. Di panggung yang cukup lebar itulah acara penganugerahan dilakukan dengan berbagai macam kategori. Dari film terbaik, aktor/aktris terbaik, ide cerita terbaik, sutradara terbaik, dan lainnya. Dan, pada akhir acara biasanya dilaksanakan nonton bareng film yang masuk tiga besar.
Judul film “Warm Dream” garapan Mek, yang aktor utamanya adalah Kei. Moora sebagai penggagas cerita mampu menyulap penonton karena terinspirasi dari kehidupan Kei yang berjuang mempertahankan keinginannya sebagai komikus. Arrangements musiknya dipegang Aru, mahasiswa musik sahabat Kei juga. Meski kandas di urutan kedua dalam hal kualitas, tapi film cukup menginspirasi banyak orang atas pesan yang disampaikan.
Benar-benar mengagumkan, meski si Mek tak mendapat posisi sutradara terbaik, tapi Kei mendapatkan aktris terbaik. Kei tak percaya saja, termasuk ketiga sahabatnya itu.
“Aku tidak menyangka saja!” kata Kei pada ketiga sahabatnya.
“Pokoknya tunggu saja besok, pasti kamu mendadak jadi artis di kampus ini.”
“Hah! Artis? Tak berminat tahu!”
“Lihat saja, Kei, apa yang terjadi mulai besok.” Moora menutup perkataannya seraya mulai fokus pada layar lebar.
Aku hanya bertanya-tanya mengenai kualitas film itu. Sebab aku tak pernah ikut saat proses shooting. Kei selalu meninggalkanku di kamarnya. Tenang saja, sebentar lagi aku akan tahu bagaimana aksi Kei dalam film itu. Pasti keren, pikirku.
Bosan aku menunggu Kei di tempat ini. Menghabiskan hari-harinya hanya untuk memandangiku, tersenyum, bahkan cekakak-cekikik menertawaiku. Memang sih, apa yang dikatakan Moora, ia sekarang telah mendadak jadi artis. Seluruh kampus pasti tahu tentang nya gara-gara film itu. Tapi mereka tak tahu sebenarnya yang terjadi pada Kei. Ia sekarang dibenci Papanya dan juga Deno, pacar sejak SMA-nya itu yang tidak setuju mengambil pilihan menjadi komikus. Parahnya lagi, naskah komik setahun ini yang ia buat tak tembus di penerbit. Meskipun melalui Aru, anak seseorang yang punya penerbit itu, tetap saja tak bisa diandalkan.
“Sabar ya, Kei!” ujarku lirih.
Di tempat ini, aku menemaninya setiap hari. Mencari buku-buku komik yang terpajang di lemari-lemari yang mengkilat. Mewah! Dan mungkin inilah toko buku terbesar di negeri ini. Kei hanya terus saja memilah-milah komik, diteruskan dengan membaca. Bahkan ada penjaga yang selalu memperhatikan, mungkin karena saking sering ia mengunjungi tempat ini hanya untuk membaca komik. Di sini kan, bukan taman bacaan? Tapi toko buku.
“Cari apa, Dek?”
“Komik Jepang.”
“Setiap hari ya, baca-baca komiknya?”
“Iya, cari yang bagus. Tidak apa-apa kan, Mas?”
“Silahkan saja,” ucap orang itu kemudian membelokkan langkahnya ke arah lain.
Kei tampak malu. Tanpa basa-basi lagi, ia meletakkan buku komik itu di tempatnya dan pergi sekencang mungkin. Air matanya sedikit ditahan. Untuk beberapa minggu ini, ia sudah tidak lagi mendapat uang saku dari Papanya. Hanya Mamanya saja yang menyempatkan menyelipkan uang di tasnya. Meski tak seberapa, karena Papanya melarang keras. Uang itu hanya cukup untuk keperluan transport pulang pergi. Sedangkan untuk belanja komik itu belum cukup. Alasan inilah yang menjadi latar belakang ia sering sekali ke tempat ini hanya untuk membaca komik terbaru.
Kepergian Kei dari toko buku itu, tak cukup lama sampai di kontrakan Moora. Ia langsung menemui Moora yang masih sibuk di depan komputernya. Menghamburkan air matanya yang sudah tak kuat lagi untuk di tahan.
Aku hanya diam memperhatikannya.
“Eh, kenapa kamu, Kei? Jangan cengeng begitu! Sebentar lagi, si Mek juga akan datang ke sini.” Moora menyapanya dan merasa sedikit terheran atas sikap Kei. “Kata Aru kamu baru putus dengan pacarmu. Karena itu kamu menangis seperti ini?”
Ia hanya diam, yang pasti bukan itu alasannya. “Aku malu, Ra! Pada petugas di toko buku tadi. Masak dia bisa menebakku membaca komik setiap hari di sana! Aneh kan? Kamu tahu kan, keadaanku sekarang?”
“Si Takumi, sudah habis kamu baca?”
“Sudah, sampai bosan mengulanginya terus. Sebagai kecintaanku pada komik, maka aku membawanya ke mana-mana.”
“Santai saja dulu, Kei. Kalau punya uang, nanti beli lagi.”
Aku mengerti maksud Kei. Hanya saja aku tidak suka jika dibilang bosan. Memang sih, aku cuma hanya tokoh dalam komik My Sweet Kaichou, miliknya. Ke mana pun ia pergi, pasti aku selalu mengikutinya. Jadi, aku banyak tahu tentangnya.
Dari pintu, Mek dan Aru terlihat mendekatiku. “Hei, kenapa sedih begitu, Kei?” Aru langsung menyapa Kei yang masih terisak-isak. “Ayahku bilang, jika kamu tertarik menulis buku anak-anak, masih ada peluang. Soalnya kamu juga bisa belajar menggambar. Itu demi kebaikan kualitas gambarmu sebagai jalan untuk membuat komik nantinya.”
“Kurasa itu kesempatan baik, Kei. Kamu bisa membeli komik lagi kalau sudah menyelesaikan buku-buku anak-anak,” sambung Moora.
“Kalian harusnya mengerti aku!” kata Kei ketus.
“Kei, idealisme itu memang penting sih, untuk menunjang kualitas karya. Tapi kamu harus tahu! Kapan mengedepankan idealisme dan tidaknya.” Mek mulai berbasa-basi untuk memberi solusi yang terbaik pada Kei. Selain itu, ia juga paling menarik perhatian Kei. “Aku yakin semua yang ada di sini ini, pasti mencari peluang jika benar-benar terdesak. Ingat, Kei! Sebagian instansi itu tak membutuhkan idealisme, yang mereka butuhkan adalah karya yang produktif dan laku di pasar. Itu saja, kok!”
Kei masih terdiam. Kepalanya hampir pecah, pusing memikirkan itu semua. Ia tak tahu harus memutuskan mengambil jalan yang telah dikatakan ketiga sahabatnya itu.
Aku juga ikut merasa sedih. Aku hanya berkata dalam hati, Kasihan, Kei! Maaf, aku tak bisa membantu.
“Kebetulan beberapa bulan ke depan ini, ada lomba animasi tingkat nasional. Meski aku bukan mahasiswa animasi, setidaknya mengetahuinya cara buatnya. Kesulitannya hanya satu, aku belum bisa menggambar bagus. Kuharap nanti kamu bisa bantu menggambarkan dalam bentuk storyboard, kalau tidak keberatan.” Mek menambahkan pendapatnya sekedar ingin memberikan solusi pada Kei.
Tak rumit-rumit berpikir lagi bagi Kei. Lelaki yang parasnya mirip orang Jepang itu, drastis membuat Kei menyetujui atas usulnya.
“Setelah jadi artis kampus, kini ingin menenarkan nama lagi. Dasar kamu, Kei!” ujar Aru cekikikan dengan Moora.
“Nah, kalau yang ini tidak boleh dilewatkan!” jawabnya.
“Masih pentingkah idealisme itu?” Moora memulai candanya dengan Kei dan Mek yang tertunduk malu. “Hanya asmara yang mampu mengalahkan idealisme. Padahal, kamu baru saja putus dengan pacarnya, dasar!”
“Makan tuh, cinta!” sambung Aru.
Kali ini pertama kali aku muncul dalam komik karya pertama Kei. Menyandang sosok yang pemberani dalam mengambil keputusan. Meski pahit, tetap aku jalani karena inilah proses meraih impian. Kebahagiaanku, nanti akan di kupas lengkap di bagian ending.
“Kamu boleh berkata hebat. Tapi ingat, siapa tahu kehebatan itu berubah gara-gara salah menentukan jalan hidup,” ucap gadis itu pada salah satu temannya yang masih berseragam putih abu-abu. “Keren sekali!”
Kei hanya tersenyum lirih yang tak jauh dari kedua gadis itu bersama Moora. Ia mendengarkan ucapan kedua gadis itu yang terkesan membaca komik berjudul “Renai Kinshi Jourei” itu.
“Hebat kamu, Kei!” Moora sedikit terharu melihat mata Kei berlinang. Sambil memilah sederet novel J-Pop yang berada di depannya.
“Ini hanya kebetulan saja.”
“Bukan! Tapi kerja keras,” tegas Moora.
Keadaan hening sejenak. Kei masih melihat kedua gadis itu, dan Moora sedang membuka novel-novel Jepang.
“Tapi jangan pernah lupa, sore ini kan kamu mau ke Tokyo. Apa sudah lupa dengan janji, Mek?” tambah Moora.
Kei mengumbar segaris senyum yang menawan.
“Tokyo!” ucapnya pendek.
Kei, kau pasti jadi komikus yang hebat, ucapku terus saja memperhatikan Kei yang mulai beranjak dari rak buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar