Kota Kecil Fergcon, dibangun atas pegunungan dan hutan yang
mengelilingi. Tepat dari arah utara jauh berkilo-kilometer jaraknya, kau
dapat mendengar debur ombak yang dahsyat menghantam tebing bebatuan
curam bertutupkan kabut tebal.
Kota yang tak terjamah dunia luar, berkutat dalam sempitnya pengetahuan
di tengah revolusi besar-besaran bidang ekonomi dan teknologi di luar
sana. Sebuah negeri yang terisolasi.
Ketika itu, masyarakat tengah gencar mendengar berita tentang sebuah
buku ilmu pengetahuan yang katanya hanya omong kosong. Buku tentang
keberadaan sebuah jamur mematikan yang dapat mengancam Negeri Fergcon
suatu saat, mendapat kritikan pedas dari masyarakat. Cercaan dan
cemoohan pun menghiasi terbitnya buku kontroversial itu. Dewan dalam
Negeri tersebut akhirnya mengumumkan untuk melarang peredaran,
kepemilikan dan meperjual belikannya karena hanya berisi mitos belaka
yang menakut-nakuti masyarakat.
5 tahun kemudian..
Siang ini, Qei, Fei, dan aku tengah sibuk mencari buku yang berisikan informasi tentang sebuah jamur mematikan.
Mr. Gene, kepala Dewan Keamanan Negeri Fregcon menyuruh kami mencari
buku itu di perpustakaan kota. Kurasa ia bermaksud menghukum kami karena
telah mengacaukan upacara pemakaman Pak Walikota. Qei tampaknya sudah
tak kuat untuk mencari di tumpukan buku tua nan lapuk dan berdebu di rak
dekat pintu masuk. Sedari tadi ia terus menerus bersin. Sering sekali,
kurasa hampir lima menit sekali.
“Ada warga yang berprasangka bahwa kita pelaku dibalik kematian Pak
Walikota.” Fei berkata, tangannya sibuk memilah-milah buku tua sambil
melihat setiap judul buku yang dipegangnya.
“Mana mungkin kita yang membunuhnya, itu kan tindakan kriminal.” Qei
menimpali. Tak berselang lama, ia kembali bersin. “Bagaimanapun, di mata
masyarakat kita tetaplah tiga anak yatim-piatu yang sering mengacaukan
kota” ucapku.
“O, ya kenapa Mr. Gene menyuruh kita mencari buku itu?” Tanya Qei. Aku
dan Fei serempak menggeleng. “Padahal dahulu buku ini dimusnahkan” Qei
menambahkan
Tiba-tiba pintu perpustakaan terbuka, seseorang bertubuh besar
berdiri di ambang pintu. Kami bertiga sudah dapat menebak, itu Mr. Gene.
Mr. Gene kemudian mendekat, wajahnya terlihat pucat. “Apa kalian sudah
menemukan buku itu?” tanyanya, kami menggeleng. Kini wajahnya terlihat
putus asa. “Apa kalian mengetahui apa yang menyebabkan Pak Walikota
wafat saat makan siang di kantor nya?” Nada Mr.Gene tak seperti
bertanya, tapi lebih seperti mencari kepastian.
Kini aku menjawab dengan lantang, “Yang pasti bukan kami”.
“Aku percaya bukan kalian yang melakukannya, tapi jamur itu. Miselium
Fungida. Jika kalian memperhatikan sejenak jasad Pak Walikota, kalian
akan mengetahui betapa berbahayanya jamur itu”. Kami hanya mendengarkan
cerita Mr.Gene, selanjutnya kami terdiam tak berkomentar apapun.
Dari luar perpustakaan terdengar suara orang terbatuk-batuk. Kami
termasuk Mr. Gene menoleh ke arah pintu masuk. Profesor Albus, ia tengah
berdiri di ambang pintu dengan tubuh gemetaran. Wajahnya yang keriput,
tertutupi masker dan hanya menyisakan kedua matanya yang tajam memandang
kami. Kedua tangannya memegang sebuah buku beserta setoples jamur
berwarna hijau. Dalam sekejap tubuhnya ambruk, terjatuh ke lantai. Kami
segera menghampirinya. “Profesor! Anda baik-baik saja?!” Suara Mr. Gene
terdengar khawatir. Dengan perlahan, tangan profesor teracung dengan
buku di tangannya. Ya! Buku yang kami cari.
Upacara pemakaman Profesor Albus berlangsung khidmat, meski aku, Fei
dan Qei mengikutinya dengan mata terbelalak. Pertama, karena Jasad
Profesor menghijau dan di beberapa bagian tubuhnya ditumbuhi jamur
hijau. Kedua, jasadnya tak dikubur melainkan ditenggelamkan ke Danau
Ferst. Kurasa jasad Pak Walikota bernasib sama, saat mengacaukan
pemakaman kami bertiga langsung diamankan Mr. Char dan melewatkan sesi
penenggelamannya.
Kini kami bertiga mengalihkan perhatian pada buku tentang jamur
mematikan itu. Kami membaca buku itu di perpustakaan kota. Saat dibuka,
terlihat sepucuk surat terselip di halaman pertama buku yang berisi
wasiat sang Profesor.
“Miselium Fungida, sebuah jamur yang kutemukan dekat Lembah Hitam
enam tahun yang lalu. Aku mengira jamur itu akan banyak membantu dalam
ilmu pengetahuan. Selama penelitian berlangsung aku tak menyadari betapa
berbahanya semua yang kulakukan. Tanpa sadar, jamur itu berkembang biak
dengan cepat. Memenuhi ruang kerjaku. Dan saat aku memutuskan pindah ke
ruang kerja yang baru, tanpa sadar telah mengirup spora jamur yang
tengah berkembang biak. Awalnya terasa sesak, dan menghujam. Aku memakan
sejumput bubuk tanaman washabi kering yang ku bawa sepulang merantau
dari negeri luar. Meski aku yakin, ajal akan datang menjemput. Aku
membuat penelitian untuk mematikan jamur yang tumbuh di ruang kerjaku.
Dengan menimbunnya menggunakan tanah dari Hutan Hitam, kemudian aku
menulis secara lengkap hasil penelitianku. Sayangnya, masyarakat
memberiksan respon negatif…
Jadi, kumohon untuk memberitakan sebuah kebenaran”
Setelah diselidiki, ternyata jamur dalam toples yang dibawa oleh
Profesor Albus adalah bibit terakhir jamur Miselium Fungida. Mr. Gene
pun memutuskan untuk memusnahkan jamur mematikan itu. Dan siapa lagi
yang ditugaskan untuk itu, pastilah kami!
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa kami memang pantas untuk
memusnahkannya. Sebagai penebus kenakalan kami yang katanya sih, sudah
melebihi batas kenakalan anak seusia kami. Tahukah mereka, bahwa yang
kami inginkan adalah sebuah pengakuan. Seringkali, banyak orang
meremehkan kami. Atau sama sekali tidak menganggap kami ada. mereka
selalu memandang kami dengan tatapan sebal dan jijik.
“Sudahlah, Arletta. Anggap saja ini adalah jasa yang kita berikan untuk mereka semua” Ujar Qei bijak. Aku hanya menghela napas.
Mr. Gene menjelaskan cara memusnahkannya. Seperti yang tertera pada
buku yang tempo lalu kami cari. Mudah, sih. Hanya menanamnya di Lembah
Hitam. Dan jamur itu akan mati perlahan, tanpa sempat berkembang biak.
Hanya saja, rute menuju Lembah Hitam yang sangat jauh. Tentunya, kami
harus masuk ke hutan.
Mr. Gene memberi kami perbekalan, kompas dan peta. Tak lupa kami membawa buku serta Setoples jamur Miselium Fungida.
Kami pun pergi meninggalkan kota, tanpa ada satu orang pun sedih akan
kepergian kami. Hanya terdengar hinaan serta cibiran dari warga kota.
“Aku harap kalian tak kembali kemari. Agar hidup kami tenang, tanpa
gangguan kalian bertiga” ujar seorang wanita yang berdiri dekat Mr.
Gene. Ia tampak jengkel, karena sebulan yang lalu kami menghancurkan
Tenda dagang miliknya.
Tak terasa, malam menjelang. Kami memutuskan untuk bermalam dan membuat api unggun. Kami pun memakan perbekalan.
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di semak-semak belakang Qei. Kami langsung terdiam. Beruang, kah?
Kami bertiga saling berpandangan dengan wajah tegang.
“Hmm… aku rasa ada makanan! Dan asap dari api unggun!” jerit sesorang dari balik semak-semak. Nadanya terdengar girang.
Seorang pria dengan wajah lusuh, kotor dan acak-acakan. Janggutnya
tumbuh liar, agak menakutkan jika melihatnya. Namun, sebuah senyuman
ramah meruntuhkan kesan pertama.
“Namaku Walter, aku berasal dari Negeri sebrang” ia memperkenalkan diri. Kami hanya tersenyum menyambutnya.
“Kalian sedang apa, di tengah hutan seperti ini?” tanyanya. “Kau sendiri?” aku balik bertanya.
“Aku adalah seorang pengembara amatir” jawabnya kemudian terkekeh.
Seperti ada yang memegang kakiku dan menariknya. Aku langsung
terbangun dari tidur. Ternyata itu Walter, tergeletak tak berdaya dengan
tangan yang menggapai-gapai ke sekelilingnya. Wajahnya pucat. Matanya
memerah, nafasnya terputus-putus. Buru-buru aku membangunkan Qei dan Fei
yang masih tertidur.
“Oh tidak!” pekik Fei. Kami terkejut saat melihat toples, Jamurnya tinggal sedikit. Tutup toplesnya terbuka.
“Walter! Apa yang kau lakukan pada jamur itu?” Tanya Fei. Dengan susah payah, Walter menjawab.
“Sa..Ssaat k-kalian te..tertidur. Aku kelaparan.. t-ter..paksa aku me..makan jamur itu dan perbekalan k..kalian”
Qei dan Fei tertegun. Aku langsung membolak-balik halaman buku Miselium Fungida. Aku terbelalak membaca tulisan yang tertera.
Terpaksa kami membuang jasad Walter ke sungai. Kami memutuskan untuk segera bergegas ke Lembah Hitam.
Di tengah perjalanan, Fei terus mengeluh sesak nafas. Qei terus batuk.
Dan aku, merasa sangat lelah. Kakiku lemas seketika. Pikiranku melayang
pada tulisan di buku itu.
‘Jika membiarkan jamur itu terkena sedikit oksigen saja, jamur itu dapat melepaskan spora mematikannya’
Itu berarti, selama tutup toples itu terbuka, kami telah menghirup sporanya.
Kami sampai di Lembah Hitam. Tempatnya gersang, bau tak sedap
menguar. Tanahnya lembab, dan hitam pekat. Aku pernah mendengar bahwa
kawasan Lembah Hitam dahulunya area industri yang tercemar akibat
revolusi industri besar-besaran.
Buru-buru Qei mengeluarkan jamur dari toplesnya. Aku dan Fei mengais-ngais tanah. Menggalinya.
Tiba-tiba aku merasakan sakit di dada. Aku batuk, tenggorokanku sakit
sekali. Seketika, Fei berhenti menggali tanah. Ia menatapku nanar.
Begitu pun dengan Qei.
“Kenapa?” aku bertanya penasaran. Mereka menggeleng, kemudian mengubur jamur mematikan itu.
“Arletta, ada darah keluar saat tadi kau batuk” ujar Fei. Suaranya bergetar.
“Tak apa, yang penting kita berhasil! Kita pahlawan!” kataku. Mencoba
tersenyum. Tiba-tiba Qei bersin. Seketika aku terdiam. Dari hidungnya,
mengalir darah segar. Aku terduduk lemas. Kejadian yang kutakutkan
akhirnya terjadi.
“kita semua akan mati!” kataku. Aku kembali batuk. Darah keluar dari mulutku.
Fei hanya menangis, seketika ia tergolek lemas. Aku memegang tangan Qei dan Fei.
“Meski kita akan mati, kita tetap sahabat, kan?” Aku menangisi kata-kataku sendiri. Qei memelukku.
Aku menatap langit yang gelap. Biarlah warga kota membenci kami, tapi
satu hal yang harus mereka ingat. Kami berjasa! Aku tau, pasti tanah
ini, langit dan angin mengakui keberadaan kami! Ya.. aku mati dengan
damai di lembah ini. Bersama Qei dan Fei, akhirnya menjadi orang yang
berguna di akhir hayat.
—
“APA?!!”
“Iya, jamur itu tumbuh di rumah-rumah penduduk” ujar Mr. Char. Mr. Gene terduduk lemas di kursinya.
“Saya rasa, jamur itu berkembang biak lebih lambat. Namun tetap saja, mematikan” tambah Mr. Char lagi.
“Char, musnahkan kota ini segera! Bakar rumah-rumah warga. Jangan
sisakan sedikitpun kehidupan di sini” perintah Mr. Gene. Mr. Char
mengangguk dan segera memerintahkan bawahannya untuk membakar semuanya.
Dengan cepat, kota itu musnah. Semua orang mati, tak tersisa. Hangus,
terbakar oleh kepicikan. Dan terjebak oleh sempitnya pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar