Aku berjalan di antara bebatuan ini. Bebatuan yang berfungsi menahan
deburan ganasnya ombak yang bisa mengikis pantai. Angin laut berteriak
ribut di telingaku seolah tidak menginginkanku datang ke wilayah khusus
mereka. Tapi aku tidak memperdulikannya, aku tetap berjalan hingga ujung
terjauh dari bebatuan ini. Sampai ke tempat mercusuar berada, begitu
tiba aku duduk di bawahnya dan menatap jauh lautan biru.
Kegiatan itu sering kulakukan jika pikiran sedang suntuk, atau bisa
juga karena perasaan yang tidak dapat kumengerti. Namun kali ini aku
datang bukan karena kedua alasan tersebut. Aku datang karena sedang
ingin merenung, memikirkan sesuatu yang bisa terjadi padaku kapan saja
yaitu kematian. Ya, kematian. Sesuatu yang bisa datang kapan saja tanpa
permisi atau pemberitahuan. Sesuatu yang pasti akan dialami oleh setiap
insan bernyawa, dan sesuatu yang akan membuat sebagian dari kita
merasakan kecemasan yang luar biasa karena tidak ingin mengalaminya.
Tapi bagaimanapun kita menolak kematian, dia akan tetap mendatangi kita
tanpa pandang bulu. Pertanyaannya adalah, apakah kita siap dan
benar-benar ikhlas saat kematian datang? Sebuah pertanyaan yang sulit
untuk dijawab secara pasti.
Aku menghela napas panjang, berusaha menyegarkan pikiran. Kusandarkan
badanku pada tiang mercusuar dan memandang langit biru. Ada sekitar 10
ekor burung camar di sana, sedang terbang kesana-kemari seolah tanpa
tujuan. Seandainya bisa aku ingin bertanya pada kawanan camar itu
tentang bagaimana mereka memandang dan menjalani hidup. Pernahkan mereka
merasa stres karena takut kehabisan ikan di laut? Bisa juga karena
rekan atau pasangannya mati dimangsa hewan yang lebih kuat? Apa yang
mereka rasakan saat sesuatu yang tidak mengenakkan menimpa mereka?
Bisakah mereka ikhlas menerimanya? Atau menuntut pada keadaan dan
menyesalkan mengapa Sang Pencipta tidak memberikan kemampuan yang lebih
kuat agar hidup mereka terjamin? Entahlah, semua pertanyaan itu mungkin
tidak akan pernah terjawab, karena bagaimana mungkin aku bisa mengerti
bahasa mereka yang di telingaku hanya terdengar seperti “Koak… koak…”
saja. Kembali kuhela napas panjang dan memandang jauh ke laut biru.
Aku masih berusaha memecahkan masalah kematian ini. Otakku terus
kupekerjakan agar solusi bisa keluar dengan segera, namun ternyata tidak
semudah perkiraan. Untuk menghasilkan sebuah solusi diperlukan
pengolahan data secara berkala dan bisa saja memakan waktu yang cukup
lama, akhirnya aku menyerah. Mungkin saat ini masih terlalu berat bagiku
untuk bisa memahaminya secara langsung. Segera kupikirkan cara lain dan
kutemukan. Aku akan mencoba cara itu, cara yang diajarkan guruku untuk
bisa mengerti jalan pikiran orang lain tanpa harus mengalaminya, cukup
membayangkan secara nyata apa yang ingin kurasakan. Walau aku tidak tahu
apa ini akan berhasil atau tidak, tapi tidak ada salahnya kucoba.
Kupejamkan mata beberapa menit untuk meresapi diri, lalu kembali
memandang laut biru sejauh mungkin. Aku melompat terjun ke laut dan
berlari cepat di atas air menjauhi tempatku berada tadi. Aku terus
berlari hingga tanpa terasa makin jauh dari garis pantai. Aku berlari
makin jauh, jauh, dan terus menjauh sampai aku berada di sebuah kapal.
“Semua bersiap!!! Kita akan segera tiba di garis pantai!!!” teriak kapten Ade M. W. Dari kapal terdepan melalui pengeras suara.
Hatiku terasa makin kecut mendengarnya. Entah mengapa rasanya aku tidak
ingin segera sampai di pantai. Bila perlu aku tidak usah berada di atas
kapal ini, tapi tidak mungkin. Aku seorang prajurit yang berarti harus
menuruti semua perintah atasan tanpa boleh melawan. Jika itu terjadi
nyawaku sudah dipastikan akan segera hilang, karena dianggap
pemberontak. Maka di sinilah aku berada sekarang, di atas kapal nomor 12
bersama para prajurit lain yang mungkin juga merasakan ketegangan
mencekam ini.
“Kita hampir sampai!!! Siapkan diri kalian!!! Tuhan menyertai kita!!!” Suara kapten Ade M. W. kembali terdengar.
Ketegangan makin terasa begitu menusuk. Bayangan setiap prajurit seperti
menyatu membentuk sebuah atmosfir kematian yang menaungi kami. Deburan
ombak yang ganas makin membuat perasaan tak menentu. Apa yang akan
terjadi di pantai nanti? Mungkinkah kami akan selamat begitu tiba di
garis pantai? Dari informasi yang kami dapat, tentara musuh memasang
banyak senjata untuk menghalau setiap kapal yang datang, dan tugas kami
adalah memusnahkan mereka agar pasukan selanjutnya dapat membangun
sebuah pangkalan di sana. Ini terasa sedikit tidak adil bagiku, mungkin
juga bagi semua. Bila memang kenyataannya banyak senjata yang menyambut
kita begitu tiba nanti, mengapa pimpinan perang Adam L. tidak mengirim
angkatan udara saja untuk melakukan pembersihan? Mangapa malah mengirim
kami angkatan darat? Padahal kemungkinan keberhasilan misi ini lebih
tepat jika dilakukan angkatan udara dibanding kami yang memiliki
keterbatasan ruang gerak. Tapi tidak ada gunanya lagi menyesalinya
sekarang, karena di sinilah aku saat ini bersama prajurit lain yang
mungkin saja hanya akan menghantarkan nyawa begitu sampai.
Sssuuusss… duaaaarrr…!!! aku tersadar dari lamunan saat mendengar
suara itu. Suara meriam yang diarahkan musuh kepada kami secara
bertubi-tubi. Dengan ini sudah jelas, kami sampai di pantai dan akan
segera bertempur. Aku memegang senjataku dengan erat, berusaha
mempersiapkan semuanya dari sekarang. Kutingkatkan konsentrasi dan
kewaspadaan sampai titik maksimal hingga tidak memperdulikan muntahan
teman di sebelah dan belakang yang mengenai bajuku. Secara perlahan
namun pasti kapal mulai berhenti melaju, lalu dengan cepat pintu dibuka
dan… Ratatatatatatattt… Ribuan peluru langsung menghujani kami, bahkan
sebelum kami sempat menarik napas penuh untuk mengisi paru-paru.
Seketika aku merasa pening dan menegang. Rasa dingin tiba-tiba menusuk
hingga membuatku merasa melayang hilang kesadaran. Bahkan kini kulihat
segalanya tiba-tiba melambat. Aku bisa melihat teman-temanku jatuh satu
persatu karena badannya tertembus peluru, dan aku juga bisa melihat
desingan peluru itu yang beterbangan dimana-mana seolah mencari
mangsanya. Sudah kuduga, inilah yang akan terjadi. Kami datang ke sini
hanya untuk menghantarkan nyawa, tanpa bisa melakukan perlawanan.
Kulihat dengan samar tubuh teman-temanku yang tergeletak kaku, mereka
sudah tidak bernyawa. Begitu juga aku, pasti telah tertembak juga dan
akan segera menyusul semuanya. Selamat tinggal ayah, ibu, dan
teman-teman. Aku tidak akan bertemu kalian lagi. Aku tidak akan bisa
melihat lagi semua yang kuingin lihat. Sampai di sini saja kehidupanku
berjalan. Aku mati. Kupejamkan mata dan melemaskan semua anggota tubuhku
untuk jatuh tenang berkumpul bersama mayat teman-teman lain. Namun saat
tubuhku hampir menyentuh dasar kapal, tiba-tiba kurasakan tangan kuat
yang menarik kerah bajuku dengan cepat. Aku tidak melakukan reaksi
apa-apa saat kurasakan tubuhku tertarik melayang entah kemana, karena
pastilah itu tangan malaikat maut. Aku sudah mati dan tidak perlu
memikirkan apa-apa lagi.
Byuuurrrsss…!!! Aku sadar dan tersentak kaget saat merasakan air asin
ada dimana-mana. Apa ini? Apakah aku tenggelam? Bukankah aku sudah
mati? Mengapa masih bisa merasakan air laut? Seketika paru-paruku terasa
sesak butuh udara, aku gelagapan tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Otakku terasa beku hingga tidak mampu mencerna semua ini dengan cepat,
tapi instingku mengatakan bahwa aku harus berenang menuju permukaan.
Maka segera kulakukan itu, begitu kepalaku muncul dari dalam air,
paru-paruku langsung menyedot oksigen sebanyak mungkin dan saat itulah
segalanya kembali normal. Ternyata aku masih hidup!
“Hei kau, mengapa tadi diam saja di kapal dan tidak segera keluar?
Merepotkan aku saja!” kata suara itu sambil memukul keras punggungku.
Aku menoleh ke sumber suara, ternyata kapten Ade M. W.
“M.. maaf kapten, kupikir tadi aku sudah mati. Aku merasakan semuanya
seolah hilang.” Aku berusaha menggambarkan singkat yang kurasakan tadi.
“Kau hanya mengalami trauma kematian. Itu akibat ketakutan yang berlebihan.” Jelas kapten Ade.
“Ya, aku memang sangat takut dan tegang tadi. Oh iya, apakah anda yang
menarikku dari kapal? Bukannya anda berada di kapal 1 di depan sana?
Mengapa bisa ada di tengah sini, di kapal 12?” tanyaku heran saat
menyadari kejanggalan ini. Jarak dari kapal 1 dan 12 sekitar 100 meter.
“Kau salah satu penembak jitu, aku memerlukanmu untuk misi ini. Penembak
jitu yang lain hampir semuanya tewas. Jadi kau sangat penting!” kata
kapten Ade. Tapi bukan itu maksud dari pertanyaanku.
“Maaf kapten, bukan itu maksudku. Aku heran bagaimana anda bisa berada
di area kapal 12 ini dengan cepat sedangkan anda memimpin di depan sana
sebe…”
“Sudahlah jangan bahas itu sekarang!” kapten Ade memotong pembicaraanku,
lalu meneriakkan perintah “Kita harus maju ke depan! Semuanya maju ke
depan cari perlindungan di antara palang besi!!! Cepat!!! Cepaat!!!”
Kami segera bergerak secepat mungkin menuju palang-palang besi yang
sudah ada di pantai ini jauh hari sebelum kami datang. Teriakan,
jeritan, erangan, serta hawa kematian mewarnai perjuangan kami menuju
tempat yang diperintahkan tadi. Hujan bom dan peluru juga seolah menjadi
teman setia yang tidak pernah berhenti menghampiri walau sesaat.
Sesekali peluru itu melewati kepala kami dengan ganasnya, atau bagi yang
tidak beruntung bisa saja menembus bagian tubuhnya hingga tewas.
Semakin kami melangkah semakin berkurang jumlah kami, seolah di setiap
langkah itu ada kematian yang sudah menunggu. Saat kami tiba di palang
besi, jumlah kami tidak lebih dari setengah prajurit keseluruhan. Kami
berlindung berhimpitan di antara palang besi yang tersebar sepanjang
pantai sambil menunggu perintah selanjutnya.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku pada rekan di sebelah. Sempat kulirik nama di bajunya, Jaja J.
“Aku tidak tau, tunggu perintah kapten Ade!” kata Jaja.
“Lantas dimana dia sekarang? Kapten kita tidak tertembak kan?” tanyaku
lagi, lalu melihat sekeliling mencari kapten Ade dan kutemukan berada
tidak jauh dari tempatku. Sekitar 10 meter arah kanan. Dia berlindung
sendirian. “Itu, Kapten Ade sedang berlindung di sana” aku memberi tahu
Jaja, dia langsung melihat ke arah yang kutunjuk.
“Baik, aku akan bertanya padanya” kata Jaja mantap. Tadinya kupikir Jaja
akan menuju tempat kapten Ade berlindung, ternyata bukan. Dia berteriak
sekencangnya untuk menanyakan perintah selanjutnya. Tapi itu wajar, 10
meter adalah jarak yang cukup jauh dalam keadaan dihujani peluru seperti
ini.
“Kapteeen!!! Kapten Ade!!! ” Jaja berteriak sekuat tenaga. Kulihat
Kapten Ade tidak menoleh sedikitpun. Harusnya dia bisa mendengar
teriakan Jaja walau keadaan sangat bising.
“Kaaaapteeeennn!!!” Jaja kembali berteriak menggunakan seluruh tenaganya
tapi Kapten Ade tidak juga menoleh. Mungkinkah dia tuli karena
kebisingan ini? Sedangkan prajurit yang berjarak 15 meter dari tempat
kami saja mendengar teriakan Jaja dan menoleh ke arah kami. Sungguh
aneh.
“Sial, ternyata memang harus menggunakan cara yang disarankan oleh Kapten Yudi dan wakilnya Ian” Jaja bergumam sendiri.
“Hah? Apa maksudmu?” aku tidak mengerti maksud Jaja.
“Nanti saja kujelaskan. Sekarang tolong ambilkan rumah keong yang ada di dekatmu itu. Berikan padaku!” pinta Jaja.
“Untuk apa?” aku makin heran.
“Sudahlah ambil saja, cepat!!” desak Jaja. Aku tidak bertanya lagi dan
segera mengambilnya. Rumah keong ini cukup besar, sebesar batu bata.
“Nih..” aku memberikan rumah keong itu pada Jaja.
“Geser sedikit!” kata Jaja. Aku menurut.
Kuperhatikan teman seperjuanganku itu. Dia menggenggam erat rumah keong
tersebut, menciumnya, lalu melemparnya sekuat tenaga ke arah Kapten Ade
dan tepat mengenai tubuhnya. Lalu ajaib, Kapten Ade langsung menoleh ke
arah kami seketika itu juga. Padahal aku yakin, sekuat apapun lemparan
Jaja, tidak akan begitu terasa dibanding teriakan kerasnya sebelum ini.
“Aku diberi tau oleh Kapten Yudi dan wakilnya Ian bahwa Kapten Ade
seringkali melamun tanpa sebab. Jadi bila sudah tiga kali dipanggil dia
tidak menoleh juga, harus dilempar dengan benda apa saja. Ternyata itu
benar!” jelas Jaja panjang. Aku tersenyum singkat mendengar itu. Sungguh
konyol.
“Kapteenn!!! Perintah, Kapten!!! Sekarang kita kemana!!?” Jaja kembali berteriak.
“Kalian lihat lubang pasir dekat kawat berduri di sana!!? Itu tujuan
kita sekarang!!! Dari sana kita akan menyerang mereka!!! Cepat
bergerak!!! Sampaikan perintahku pada semua!!!” perintah Kapten Ade.
Kami kembali bergerak menantang peluru setelah mendapat perintah itu.
Jarak lubang pasir yang dimaksud sekitar 50 meter dari kumpulan palang
besi tempat kami berlindung tadi. Cukup jauh, namun dengan usaha gigih
akhirnya kami satu persatu sampai di tempat itu. Jumlah kami kini tidak
sampai 150 orang dari 500 prajurit awal. Sungguh mengenaskan, ini
seperti misi bunuh diri.
“Dengar semuanya, sekarang kita sudah ada pada jarak tembak!!! Cepat
siapkan senjata kalian!!!” perintah Kapten Ade, dan kami semua segera
mempersiapkan senjata masing-masing. “Tetap waspada!!! Walau di sini
sudah lebih aman, bukan berarti tidak akan ada senjata yang sampai
kemari!!!” lanjut Kapten Ade.
“Kapan kita akan menyerang, kapten?” tanya seorang prajurit.
“Sebentar aku sedang memantau situasi” kata Kapten Ade, kami diam
sebentar. Peluru serta bom masih menderu-deru membelah angin di atas
kepala kami. “Oke, kalian lihat tembok di sana itu? Jika kita berhasil
menembak musuh di sebelah kiri, kita akan mendapatkan tempat aman.”
Kami memperhatikan tempat yang dimaksud Kapten Ade. Memang benar disana
aman jika regu tembak di kiri itu dimusnahkan. Tapi bagaimana caranya?
Untuk bisa menyerang mereka maka kami harus maju lagi dari tempat ini,
dan itu sama saja membuang nyawa bila gagal. Namun berdiam diri saja di
lubang ini tidak akan menghasilkan apa-apa, hanya akan memperburuk
keadaan.
“Lalu, bagaimana cara kita memusnahkan regu tembak di kiri itu kapten?” aku bertanya memberanikan diri.
“Caranya adalah kau!” jawab Kapten Ade singkat. Aku terkejut setengah
mati, apa maksudnya caranya adalah aku. “Ya, kau adalah penembak jitu.
Lebih efektif mengeluarkan satu tembakan tepat daripada seribu tembakan
tidak bermakna. Kau akan membidik dari sudut kiri dekat tembok itu,
ditemani oleh lima orang prajurit yang akan memberikan tembakan
perlindungan. Kau harus menembak cepat dan tepat atau kita tidak akan
pernah menyelesaikan misi ini.” jelas Kapten Ade panjang.
Aku terdiam mendengar penjelasan kapten. Berbagai bayangan tidak
beralasan berkecambuk dalam benakku. Bagaimana mungkin aku bisa membidik
cepat jika diburu oleh waktu dan kematian yang mengintai. Tidak perlu
menunggu sampai aku mendekati sudut kiri dekat tembok itu, begitu keluar
dari lubang ini saja peluru yang haus nyawa itu akan segera
mengincarku. Tapi benar apa yang dikatakan Kapten Ade, bila regu tembak
di kiri itu tidak segera dibereskan, maka kami akan semakin terdesak.
“Kau siap?” Kapten Ade memastikan. Aku segera tersadar dari lamunan.
“Y..ya siap kapten” kataku memberanikan diri.
“Jangan gugup, tenang saja! kau pasti bisa!!” kapten menyemangatiku, aku
mengangguk mantap “Baiklah. Jaja, Febri, Tresno, Arip dan Ragil kalian
akan membantu Andi membereskan regu tembak itu. Sekarang dengar
rencananya! Aku akan keluar dari lubang ini untuk menarik perhatian
mereka. Saat itu kalian berenam segera menuju tembok di sana. Setelahnya
Tim Jaja akan keluar dari balik tembok memberikan tebakan perlindungan
untuk Andi, lalu Andi akan menembak musuh yang membawa senjata MG-42.
Paham?” jelas Kapten Ade panjang, kami mengangguk takzim.
Aku sebanarnya sedikit kaget mendengar rencananya, terutama di bagian
Kapten Ade akan menarik perhatian regu tembak. Tidak kusangka Kapten
Ade orang yang sangat berani mengambil resiko.
“Oke, kalian siap?” tanya Kapten Ade.
“Sebentar kapten, ada yang ingin kutanyakan” Jaja menyela.
“Apa? Cepatlah kita tidak banyak waktu” kata Kapten Ade.
“Begini kapten, ada yang kurang dari rencana anda. Seandainya Andi
berhasil menembak musuh yang memegang MG-42, di situ masih ada orang
lain yang bisa menggantikannya. Percuma jika hanya menembak satu orang
sedangkan yang lain masih hidup. Iya kan?” Jaja berusaha kritis.
“Tidak usah risaukan itu, tugas kalian hanya untuk memberhentikan tembakan sesaat. Sisanya aku yang urus” Kapten Ade meyakinkan.
“Tapi kapten bagai…”
“Sudah, lakukan saja perintahku!!!” potong Kapten Ade. Jaja menurut.
“Sekarang kalian bersiap, dalam hitungan tiga. Kita langsung bergerak”
lanjut Kapten Ade. Kami berenam langsung ambil posisi. “1… 2… 3… Yak”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar