Rabu, 18 Maret 2015

Mati Dalam Angan (Part 1)

Aku berjalan di antara bebatuan ini. Bebatuan yang berfungsi menahan deburan ganasnya ombak yang bisa mengikis pantai. Angin laut berteriak ribut di telingaku seolah tidak menginginkanku datang ke wilayah khusus mereka. Tapi aku tidak memperdulikannya, aku tetap berjalan hingga ujung terjauh dari bebatuan ini. Sampai ke tempat mercusuar berada, begitu tiba aku duduk di bawahnya dan menatap jauh lautan biru.
Kegiatan itu sering kulakukan jika pikiran sedang suntuk, atau bisa juga karena perasaan yang tidak dapat kumengerti. Namun kali ini aku datang bukan karena kedua alasan tersebut. Aku datang karena sedang ingin merenung, memikirkan sesuatu yang bisa terjadi padaku kapan saja yaitu kematian. Ya, kematian. Sesuatu yang bisa datang kapan saja tanpa permisi atau pemberitahuan. Sesuatu yang pasti akan dialami oleh setiap insan bernyawa, dan sesuatu yang akan membuat sebagian dari kita merasakan kecemasan yang luar biasa karena tidak ingin mengalaminya. Tapi bagaimanapun kita menolak kematian, dia akan tetap mendatangi kita tanpa pandang bulu. Pertanyaannya adalah, apakah kita siap dan benar-benar ikhlas saat kematian datang? Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab secara pasti.
Aku menghela napas panjang, berusaha menyegarkan pikiran. Kusandarkan badanku pada tiang mercusuar dan memandang langit biru. Ada sekitar 10 ekor burung camar di sana, sedang terbang kesana-kemari seolah tanpa tujuan. Seandainya bisa aku ingin bertanya pada kawanan camar itu tentang bagaimana mereka memandang dan menjalani hidup. Pernahkan mereka merasa stres karena takut kehabisan ikan di laut? Bisa juga karena rekan atau pasangannya mati dimangsa hewan yang lebih kuat? Apa yang mereka rasakan saat sesuatu yang tidak mengenakkan menimpa mereka? Bisakah mereka ikhlas menerimanya? Atau menuntut pada keadaan dan menyesalkan mengapa Sang Pencipta tidak memberikan kemampuan yang lebih kuat agar hidup mereka terjamin? Entahlah, semua pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah terjawab, karena bagaimana mungkin aku bisa mengerti bahasa mereka yang di telingaku hanya terdengar seperti “Koak… koak…” saja. Kembali kuhela napas panjang dan memandang jauh ke laut biru.
Aku masih berusaha memecahkan masalah kematian ini. Otakku terus kupekerjakan agar solusi bisa keluar dengan segera, namun ternyata tidak semudah perkiraan. Untuk menghasilkan sebuah solusi diperlukan pengolahan data secara berkala dan bisa saja memakan waktu yang cukup lama, akhirnya aku menyerah. Mungkin saat ini masih terlalu berat bagiku untuk bisa memahaminya secara langsung. Segera kupikirkan cara lain dan kutemukan. Aku akan mencoba cara itu, cara yang diajarkan guruku untuk bisa mengerti jalan pikiran orang lain tanpa harus mengalaminya, cukup membayangkan secara nyata apa yang ingin kurasakan. Walau aku tidak tahu apa ini akan berhasil atau tidak, tapi tidak ada salahnya kucoba. Kupejamkan mata beberapa menit untuk meresapi diri, lalu kembali memandang laut biru sejauh mungkin. Aku melompat terjun ke laut dan berlari cepat di atas air menjauhi tempatku berada tadi. Aku terus berlari hingga tanpa terasa makin jauh dari garis pantai. Aku berlari makin jauh, jauh, dan terus menjauh sampai aku berada di sebuah kapal.
“Semua bersiap!!! Kita akan segera tiba di garis pantai!!!” teriak kapten Ade M. W. Dari kapal terdepan melalui pengeras suara.
Hatiku terasa makin kecut mendengarnya. Entah mengapa rasanya aku tidak ingin segera sampai di pantai. Bila perlu aku tidak usah berada di atas kapal ini, tapi tidak mungkin. Aku seorang prajurit yang berarti harus menuruti semua perintah atasan tanpa boleh melawan. Jika itu terjadi nyawaku sudah dipastikan akan segera hilang, karena dianggap pemberontak. Maka di sinilah aku berada sekarang, di atas kapal nomor 12 bersama para prajurit lain yang mungkin juga merasakan ketegangan mencekam ini.
“Kita hampir sampai!!! Siapkan diri kalian!!! Tuhan menyertai kita!!!” Suara kapten Ade M. W. kembali terdengar.
Ketegangan makin terasa begitu menusuk. Bayangan setiap prajurit seperti menyatu membentuk sebuah atmosfir kematian yang menaungi kami. Deburan ombak yang ganas makin membuat perasaan tak menentu. Apa yang akan terjadi di pantai nanti? Mungkinkah kami akan selamat begitu tiba di garis pantai? Dari informasi yang kami dapat, tentara musuh memasang banyak senjata untuk menghalau setiap kapal yang datang, dan tugas kami adalah memusnahkan mereka agar pasukan selanjutnya dapat membangun sebuah pangkalan di sana. Ini terasa sedikit tidak adil bagiku, mungkin juga bagi semua. Bila memang kenyataannya banyak senjata yang menyambut kita begitu tiba nanti, mengapa pimpinan perang Adam L. tidak mengirim angkatan udara saja untuk melakukan pembersihan? Mangapa malah mengirim kami angkatan darat? Padahal kemungkinan keberhasilan misi ini lebih tepat jika dilakukan angkatan udara dibanding kami yang memiliki keterbatasan ruang gerak. Tapi tidak ada gunanya lagi menyesalinya sekarang, karena di sinilah aku saat ini bersama prajurit lain yang mungkin saja hanya akan menghantarkan nyawa begitu sampai.
Sssuuusss… duaaaarrr…!!! aku tersadar dari lamunan saat mendengar suara itu. Suara meriam yang diarahkan musuh kepada kami secara bertubi-tubi. Dengan ini sudah jelas, kami sampai di pantai dan akan segera bertempur. Aku memegang senjataku dengan erat, berusaha mempersiapkan semuanya dari sekarang. Kutingkatkan konsentrasi dan kewaspadaan sampai titik maksimal hingga tidak memperdulikan muntahan teman di sebelah dan belakang yang mengenai bajuku. Secara perlahan namun pasti kapal mulai berhenti melaju, lalu dengan cepat pintu dibuka dan… Ratatatatatatattt… Ribuan peluru langsung menghujani kami, bahkan sebelum kami sempat menarik napas penuh untuk mengisi paru-paru. Seketika aku merasa pening dan menegang. Rasa dingin tiba-tiba menusuk hingga membuatku merasa melayang hilang kesadaran. Bahkan kini kulihat segalanya tiba-tiba melambat. Aku bisa melihat teman-temanku jatuh satu persatu karena badannya tertembus peluru, dan aku juga bisa melihat desingan peluru itu yang beterbangan dimana-mana seolah mencari mangsanya. Sudah kuduga, inilah yang akan terjadi. Kami datang ke sini hanya untuk menghantarkan nyawa, tanpa bisa melakukan perlawanan. Kulihat dengan samar tubuh teman-temanku yang tergeletak kaku, mereka sudah tidak bernyawa. Begitu juga aku, pasti telah tertembak juga dan akan segera menyusul semuanya. Selamat tinggal ayah, ibu, dan teman-teman. Aku tidak akan bertemu kalian lagi. Aku tidak akan bisa melihat lagi semua yang kuingin lihat. Sampai di sini saja kehidupanku berjalan. Aku mati. Kupejamkan mata dan melemaskan semua anggota tubuhku untuk jatuh tenang berkumpul bersama mayat teman-teman lain. Namun saat tubuhku hampir menyentuh dasar kapal, tiba-tiba kurasakan tangan kuat yang menarik kerah bajuku dengan cepat. Aku tidak melakukan reaksi apa-apa saat kurasakan tubuhku tertarik melayang entah kemana, karena pastilah itu tangan malaikat maut. Aku sudah mati dan tidak perlu memikirkan apa-apa lagi.
Byuuurrrsss…!!! Aku sadar dan tersentak kaget saat merasakan air asin ada dimana-mana. Apa ini? Apakah aku tenggelam? Bukankah aku sudah mati? Mengapa masih bisa merasakan air laut? Seketika paru-paruku terasa sesak butuh udara, aku gelagapan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Otakku terasa beku hingga tidak mampu mencerna semua ini dengan cepat, tapi instingku mengatakan bahwa aku harus berenang menuju permukaan. Maka segera kulakukan itu, begitu kepalaku muncul dari dalam air, paru-paruku langsung menyedot oksigen sebanyak mungkin dan saat itulah segalanya kembali normal. Ternyata aku masih hidup!
“Hei kau, mengapa tadi diam saja di kapal dan tidak segera keluar? Merepotkan aku saja!” kata suara itu sambil memukul keras punggungku. Aku menoleh ke sumber suara, ternyata kapten Ade M. W.
“M.. maaf kapten, kupikir tadi aku sudah mati. Aku merasakan semuanya seolah hilang.” Aku berusaha menggambarkan singkat yang kurasakan tadi.
“Kau hanya mengalami trauma kematian. Itu akibat ketakutan yang berlebihan.” Jelas kapten Ade.
“Ya, aku memang sangat takut dan tegang tadi. Oh iya, apakah anda yang menarikku dari kapal? Bukannya anda berada di kapal 1 di depan sana? Mengapa bisa ada di tengah sini, di kapal 12?” tanyaku heran saat menyadari kejanggalan ini. Jarak dari kapal 1 dan 12 sekitar 100 meter.
“Kau salah satu penembak jitu, aku memerlukanmu untuk misi ini. Penembak jitu yang lain hampir semuanya tewas. Jadi kau sangat penting!” kata kapten Ade. Tapi bukan itu maksud dari pertanyaanku.
“Maaf kapten, bukan itu maksudku. Aku heran bagaimana anda bisa berada di area kapal 12 ini dengan cepat sedangkan anda memimpin di depan sana sebe…”
“Sudahlah jangan bahas itu sekarang!” kapten Ade memotong pembicaraanku, lalu meneriakkan perintah “Kita harus maju ke depan! Semuanya maju ke depan cari perlindungan di antara palang besi!!! Cepat!!! Cepaat!!!”
Kami segera bergerak secepat mungkin menuju palang-palang besi yang sudah ada di pantai ini jauh hari sebelum kami datang. Teriakan, jeritan, erangan, serta hawa kematian mewarnai perjuangan kami menuju tempat yang diperintahkan tadi. Hujan bom dan peluru juga seolah menjadi teman setia yang tidak pernah berhenti menghampiri walau sesaat. Sesekali peluru itu melewati kepala kami dengan ganasnya, atau bagi yang tidak beruntung bisa saja menembus bagian tubuhnya hingga tewas. Semakin kami melangkah semakin berkurang jumlah kami, seolah di setiap langkah itu ada kematian yang sudah menunggu. Saat kami tiba di palang besi, jumlah kami tidak lebih dari setengah prajurit keseluruhan. Kami berlindung berhimpitan di antara palang besi yang tersebar sepanjang pantai sambil menunggu perintah selanjutnya.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku pada rekan di sebelah. Sempat kulirik nama di bajunya, Jaja J.
“Aku tidak tau, tunggu perintah kapten Ade!” kata Jaja.
“Lantas dimana dia sekarang? Kapten kita tidak tertembak kan?” tanyaku lagi, lalu melihat sekeliling mencari kapten Ade dan kutemukan berada tidak jauh dari tempatku. Sekitar 10 meter arah kanan. Dia berlindung sendirian. “Itu, Kapten Ade sedang berlindung di sana” aku memberi tahu Jaja, dia langsung melihat ke arah yang kutunjuk.
“Baik, aku akan bertanya padanya” kata Jaja mantap. Tadinya kupikir Jaja akan menuju tempat kapten Ade berlindung, ternyata bukan. Dia berteriak sekencangnya untuk menanyakan perintah selanjutnya. Tapi itu wajar, 10 meter adalah jarak yang cukup jauh dalam keadaan dihujani peluru seperti ini.
“Kapteeen!!! Kapten Ade!!! ” Jaja berteriak sekuat tenaga. Kulihat Kapten Ade tidak menoleh sedikitpun. Harusnya dia bisa mendengar teriakan Jaja walau keadaan sangat bising.
“Kaaaapteeeennn!!!” Jaja kembali berteriak menggunakan seluruh tenaganya tapi Kapten Ade tidak juga menoleh. Mungkinkah dia tuli karena kebisingan ini? Sedangkan prajurit yang berjarak 15 meter dari tempat kami saja mendengar teriakan Jaja dan menoleh ke arah kami. Sungguh aneh.
“Sial, ternyata memang harus menggunakan cara yang disarankan oleh Kapten Yudi dan wakilnya Ian” Jaja bergumam sendiri.
“Hah? Apa maksudmu?” aku tidak mengerti maksud Jaja.
“Nanti saja kujelaskan. Sekarang tolong ambilkan rumah keong yang ada di dekatmu itu. Berikan padaku!” pinta Jaja.
“Untuk apa?” aku makin heran.
“Sudahlah ambil saja, cepat!!” desak Jaja. Aku tidak bertanya lagi dan segera mengambilnya. Rumah keong ini cukup besar, sebesar batu bata.
“Nih..” aku memberikan rumah keong itu pada Jaja.
“Geser sedikit!” kata Jaja. Aku menurut.
Kuperhatikan teman seperjuanganku itu. Dia menggenggam erat rumah keong tersebut, menciumnya, lalu melemparnya sekuat tenaga ke arah Kapten Ade dan tepat mengenai tubuhnya. Lalu ajaib, Kapten Ade langsung menoleh ke arah kami seketika itu juga. Padahal aku yakin, sekuat apapun lemparan Jaja, tidak akan begitu terasa dibanding teriakan kerasnya sebelum ini.
“Aku diberi tau oleh Kapten Yudi dan wakilnya Ian bahwa Kapten Ade seringkali melamun tanpa sebab. Jadi bila sudah tiga kali dipanggil dia tidak menoleh juga, harus dilempar dengan benda apa saja. Ternyata itu benar!” jelas Jaja panjang. Aku tersenyum singkat mendengar itu. Sungguh konyol.
“Kapteenn!!! Perintah, Kapten!!! Sekarang kita kemana!!?” Jaja kembali berteriak.
“Kalian lihat lubang pasir dekat kawat berduri di sana!!? Itu tujuan kita sekarang!!! Dari sana kita akan menyerang mereka!!! Cepat bergerak!!! Sampaikan perintahku pada semua!!!” perintah Kapten Ade.
Kami kembali bergerak menantang peluru setelah mendapat perintah itu. Jarak lubang pasir yang dimaksud sekitar 50 meter dari kumpulan palang besi tempat kami berlindung tadi. Cukup jauh, namun dengan usaha gigih akhirnya kami satu persatu sampai di tempat itu. Jumlah kami kini tidak sampai 150 orang dari 500 prajurit awal. Sungguh mengenaskan, ini seperti misi bunuh diri.
“Dengar semuanya, sekarang kita sudah ada pada jarak tembak!!! Cepat siapkan senjata kalian!!!” perintah Kapten Ade, dan kami semua segera mempersiapkan senjata masing-masing. “Tetap waspada!!! Walau di sini sudah lebih aman, bukan berarti tidak akan ada senjata yang sampai kemari!!!” lanjut Kapten Ade.
“Kapan kita akan menyerang, kapten?” tanya seorang prajurit.
“Sebentar aku sedang memantau situasi” kata Kapten Ade, kami diam sebentar. Peluru serta bom masih menderu-deru membelah angin di atas kepala kami. “Oke, kalian lihat tembok di sana itu? Jika kita berhasil menembak musuh di sebelah kiri, kita akan mendapatkan tempat aman.”
Kami memperhatikan tempat yang dimaksud Kapten Ade. Memang benar disana aman jika regu tembak di kiri itu dimusnahkan. Tapi bagaimana caranya? Untuk bisa menyerang mereka maka kami harus maju lagi dari tempat ini, dan itu sama saja membuang nyawa bila gagal. Namun berdiam diri saja di lubang ini tidak akan menghasilkan apa-apa, hanya akan memperburuk keadaan.
“Lalu, bagaimana cara kita memusnahkan regu tembak di kiri itu kapten?” aku bertanya memberanikan diri.
“Caranya adalah kau!” jawab Kapten Ade singkat. Aku terkejut setengah mati, apa maksudnya caranya adalah aku. “Ya, kau adalah penembak jitu. Lebih efektif mengeluarkan satu tembakan tepat daripada seribu tembakan tidak bermakna. Kau akan membidik dari sudut kiri dekat tembok itu, ditemani oleh lima orang prajurit yang akan memberikan tembakan perlindungan. Kau harus menembak cepat dan tepat atau kita tidak akan pernah menyelesaikan misi ini.” jelas Kapten Ade panjang.
Aku terdiam mendengar penjelasan kapten. Berbagai bayangan tidak beralasan berkecambuk dalam benakku. Bagaimana mungkin aku bisa membidik cepat jika diburu oleh waktu dan kematian yang mengintai. Tidak perlu menunggu sampai aku mendekati sudut kiri dekat tembok itu, begitu keluar dari lubang ini saja peluru yang haus nyawa itu akan segera mengincarku. Tapi benar apa yang dikatakan Kapten Ade, bila regu tembak di kiri itu tidak segera dibereskan, maka kami akan semakin terdesak.
“Kau siap?” Kapten Ade memastikan. Aku segera tersadar dari lamunan.
“Y..ya siap kapten” kataku memberanikan diri.
“Jangan gugup, tenang saja! kau pasti bisa!!” kapten menyemangatiku, aku mengangguk mantap “Baiklah. Jaja, Febri, Tresno, Arip dan Ragil kalian akan membantu Andi membereskan regu tembak itu. Sekarang dengar rencananya! Aku akan keluar dari lubang ini untuk menarik perhatian mereka. Saat itu kalian berenam segera menuju tembok di sana. Setelahnya Tim Jaja akan keluar dari balik tembok memberikan tebakan perlindungan untuk Andi, lalu Andi akan menembak musuh yang membawa senjata MG-42. Paham?” jelas Kapten Ade panjang, kami mengangguk takzim.
Aku sebanarnya sedikit kaget mendengar rencananya, terutama di bagian Kapten Ade akan menarik perhatian regu tembak. Tidak kusangka Kapten Ade orang yang sangat berani mengambil resiko.
“Oke, kalian siap?” tanya Kapten Ade.
“Sebentar kapten, ada yang ingin kutanyakan” Jaja menyela.
“Apa? Cepatlah kita tidak banyak waktu” kata Kapten Ade.
“Begini kapten, ada yang kurang dari rencana anda. Seandainya Andi berhasil menembak musuh yang memegang MG-42, di situ masih ada orang lain yang bisa menggantikannya. Percuma jika hanya menembak satu orang sedangkan yang lain masih hidup. Iya kan?” Jaja berusaha kritis.
“Tidak usah risaukan itu, tugas kalian hanya untuk memberhentikan tembakan sesaat. Sisanya aku yang urus” Kapten Ade meyakinkan.
“Tapi kapten bagai…”
“Sudah, lakukan saja perintahku!!!” potong Kapten Ade. Jaja menurut. “Sekarang kalian bersiap, dalam hitungan tiga. Kita langsung bergerak” lanjut Kapten Ade. Kami berenam langsung ambil posisi. “1… 2… 3… Yak”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar