Entah sudah berapa lama aku meninggalkan tanah kelahiranku ini,
rasanya seperti mimpi bisa kembali melihatnya. Bangga rasanya melihat
apa yang sudah terjadi disini, banyak yang berubah. Yak, semua karena
dia. Dia adalah anugrah yang diberikan Tuhan untuk kami, untuk kami
semua yang tinggal di dalam keterpurukan, untuk kami yang menganggap ini
semua mustahil tapi baginya ini adalah tantangan yang harus dilakukan
untuk menjadi mungkin. Ya, bagiku dan bagi semua orang dia benar-benar
anugrah Tuhan yang begitu besar.
—
Tuhan apakah ini adil untuk ku? Apakah ini adil untuk kami? Apakah
ini adil untuk semua orang yang hidup di dunia? Mengapa cobaan begitu
berat untuk makhluk-makhluk lemah seperti kami ini? Mengapa selalu yang
lemah yang tertindas? Mengapa orang-orang sepeti mereka yang harus
berkuasa? Apa salah ku? Apa salah kami sehingga hidup ini terasa berat
untuk dilewati? Huft.. andai aku bisa memutar waktu akan aku putar ke
masa depan agar aku tak melewati hari-hari yang begitu melelahkan dan
terpuruk dalam hidup ini. Tuhan jika Engkau berbaik hati kirimkan lah
malaikat-Mu untuk membantu ku…
Ya, itulah yang aku ucapkan dalam hati, mungkin itu adalah doa kepada
Tuhan atau mungkin juga itu adalah curahan hati. Curahan hati yang
selalu aku lakukan di waktu sore dengan duduk sambil melempar batu ke
danau yang berair jernih, inilah tempat favoritku yang selalu aku
kunjungi di bawah pohon besar yang rindang dengan posisi menghadap utara
danau ini. Tempat yang begitu damai, indah dan tenang yang mampu
menghipnotis mata semua orang yang datang dengan pemandangannya dan
mampu mengilangkan segala kepenatan dari aktifitas sehari-hari. Yaaahhh
beginilah kehidupanku, hidup dalam kampung terpencil di salah satu pulau
yang ada di Negeri yang menurut orang-orang adalah Negeri yang kaya.
“kak Arin..”. seru seseorang sambil menepuk pundakku.
“ahh iya ada apa ya?.” Jawabku kaget.
“kak, kita udah selesai ngerjain tugasnya nih. Sekarang kami mau main sama kak Arin.” Jawabnya.
“hmmm, emangnya kalian mau main apa?”. Seruku lembut sambil membelai rambut adik asuhku yang imut ini.
“gimana kalau kita main petak umpet, terus nanti Andi yang jaga kak.” Jawabnya riang.
“boleh kalau begitu, ayo kita mulai sekarang.” Seru ku sambil beranjak bangkit dari tempat dudukku.
“ayok kak.” Seru mereka serempak. Dibarengi dengan Andi yang megubah posisi badannya membelakangi kami.
“emmm yang ini?”. Tebak Andi.
“bukan weeeekkk.”. jawab anak yang lainnya.
“yang ini ya, benerkan yang ini. Udah sih yang ini aja. Yang ini
yayayaya, hehhehe.” Jawab Andi merengek dengan gaya yang super duper
manis.
“ya bener, Andi bener. Hitung mundur ya Ndi. Semuanya lariiii.” Seru mereka serempak.
“50… 49… 48…”. seru Andi dengan keras.
Ketika semuanya sudah mendapatkan tempat persembunyian masing-masing,
aku hanya mematung berdiri kurang lebih 5 meter tak jauh dari tempat
Andi berdiri. Entah apa yang sedang aku pikirkan, aku hanya ingin
seperti mereka yang merasa begitu bahagia menjalankan hidup tanpa
memikirkan masalah yang sedang terjadi pada mereka, hanya senyuman tawa
riang dan kecerian yang terpancar dari wajah mereka. Apakah mereka akan
tetap seperti ini jika mereka tau yang sebenarnya akan terjadi dengan
mereka? Tuhan andaikan aku seperti mereka, aku tidak perlu memikirkan
hal-hal yang harus dipikrkan oleh orang dewa–
Ploookkk…! Seketika itu aku tersadar dari lamunanku karena merasa ada
seseorang yang memukul tangan ku dari belakang. Oh Tuhan siapa ini.. aku
hanya berharap ini bukan sesosok makhluk aneh yang iseng menjahiliku
hantu kah misalnya atau kah makhluk luar angkasa yang keluar sore-sore
begini ataukah hiiiyyy pikiranku kacau dan tidak karuan akhirnya aku
putuskan untuk menoleh ke arah datangnya pukulan itu dan saat aku
menoleh ternyata…
Huhft itu hanyalah Andi.
“ah, iya Andi ada apa?.” Tanya ku
“hahah, kakak ngapain ngelamun sambil berdiri kayak gini. Kan kita lagi
main petak umpet, hahah. Kak Arin jaga.”. seru Andi dengan tawa yang
begitu semangat.
ah, bodohnya diriku ini, aku lupa kalau aku sedang bermain dengan
anak-anak ini. Haha, hanya tawa pasrah dan penuh kekecewaan yang
terlukis di wajahku.
“hahha, iya iya kakak lupa. Ya udah sekarang gantian kakak yang jaga
deh.” Seru ku sambil beranjak menuju pohon dimana Andi tadi berada.
ya aku melakukan apa yang tadi Andi lakukan, balik badan terus memilih
jari jemari yang menyentuh tubuh ku tadi. Dan akhrinya tebakkan ku
benar, jari manis. Hahah dan akhirnya 20 hitungan mundur pun aku mulai.
Mulai terdengar suara langkah kaki mereka yang bergemuruh kesana kemari
dan pada saat hitungan terakhir telah selesai aku pun membalikkan badan
dan mulai mencari mereka, karena hari sudah mulai gelap ku percepat
pencarian mereka. Kurang lebih lima belas menit, jika aku tidak salah
menghitung akhirnya mereka semua aku temukan dan kami pun mengakhiri
permainan ini agar mereka cepat kembali ke rumah.
—
“kami sudah mengatakan ini baik-baik dengan kalian, tapi mengapa
kalian masih membandel dan tidak mengerti juga. Kampung ini akan kami
gusur dan akan kami jadikan sebuah pusat pembelanjaan yang sangat besar
dan mewah.” Seru seseorang yang mengenakan pakaian berdasi dan berjas
itu. “kami berikan waktu 20 hari untuk kalian pergi dari sini, ingat
itu.!!”. sambungnya.
“tidak!! apapun yang terjadi kami tidak akan pergi dari sini.” Seru
ibu-ibu yang ada dalam kerumunan itu dan diikuti oleh suara-suara
lainnya yang menyerukan bahwa mereka tidak akan pergi dari sini bahkan
banyak suara merongrong, aku hanya mampu menangis dari tempatku berdiri
entah apa yang sedang benar-benar terjadi disana aku tak bisa melihat
terlalu jelas karena jarakku cukup jauh dengan tempat dimana kerumunan
itu berada dan yang mampu aku tangkap hanyalah suara-suara mereka, tapi
tunggu aku melihat seorang pemuda yang mendatangi kerumunan itu dengan
rasa penuh percaya diri dan arah datangnya dari sebelah barat tepat
matahari meninggalkan singgasananya dan dia berbicara kepada orang kaya
itu, aku tak tau apa yang dia katakan yang aku lihat adalah orang kaya
itu berlalu begitu saja dari sini dan penuh sorak sorai gembira dari
para orang-orang yang bergerombol disana. Tuhan apakah ini jawaban dari
doa ku di tepi danau itu? Apakah dia adalah malaikat-Mu yang Engkau
kirim untuk membantu kami? Engkau sungguh berbaik hati kepada kami,
terima kasih Tuhan. Yups, hanya itu yang sekarang aku panjatkan atas
karunia sang pencipta yang begitu baik kepada kami, dan aku segera
bergegas menuju tempat dimana seharusnya aku berada sekarang. Ya, di
dekat danau tempat aku mengajarkan semua ilmu yang aku punya kepada
anak-anak kecil yang ada di kampung ini.
Tak butuh waktu yang lama untuk sampai di tempatku mengajar,
kira-kira hanya butuh waktu sepuluh menit tapi ada yang aneh, mengapa
sampai sekarang tempat ini masih sepi bukankah ini sudah pukul empat
sore dan seharusnya mereka sudah datang dan mengapa ada seorang pemuda
yang duduk di tempat itu.
“maaf, permisi anda siapa ya? Mengapa anda ada disini dan apakah anda melihat anak-anak kecil disini?.” Tanya ku bertubi-tubi.
“mereka sudah saya suruh pulang.” Jawabnya datar.
“tapi kenapa anda menyuruh mereka pulang? Siapa anda? Apa hak anda
disini?.” Seru ku ketus dengan penuh tanda tanya besara dalam hatiku.
“huh, baiklah perkenalkan nama saya Nathan. Saya kesini karena saya
dengar tempat ini akan digusur dalam waktu 20 hari kedepan dan saya
tidak akan biarkan itu terjadi daa–”.
“tunggu, apa? 20 hari yang benar saja, apa mau orang-orang itu mengapa
mereka harus menindas orang-orang lemah? Apa ini kerjaan para
orang-orang yang berdasi? Iya? Apa ini yang mereka lakukan?”. Seru ku
memotong pembicaraannya.
‘iya 20 hari, mereka akan menggusur tempat ini jika kita tetap menolak
untuk pergi dan yang harus kita lakukan adalah mencari jalan untuk tetap
mempertahankan tempat ini dan itu akan mudah jika kita bekerjasama. Ok,
kita ketemu lagi besok disini dengan waktu yang sama.” Serunya.
aku hanya diam dan memikirkan apa yang dia katakan, ‘mencari jalan untuk
mempertahankan tempat ini’ siapa sebenarnya pemuda ini? Apa yang akan
dia lakukan untuk tempat ini?
“tap–”. Belum sempat aku mengatakannya dia sudah menghilang di balik
langit senja yang memancarkan warna dan suasana yang begitu lembut.
Akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah.
—
Tercengang, itulah yang aku lakukan saat mendengar bahwa aku harus
mewakili sekolahku dalam rangka perwakilan Indonesia ke kancah nasional
di salah satu kota yang jauh dari tempat tinggal ku.
“saya tau kamu pintar dan cerdas. Saya yakin kamu bisa membawa nama
sekolah kita ke kancah Internasional apabila lulus dalam seleksi
Nasional nanti. tapi mengapa kamu menolak kesempatan itu? Semua orang
berlomba untuk dapat kesempatan itu, tapi kamu. Ah saya nggak ngerti
dengan pikiran kamu.” Bentak seseorang dengan bertubuh gemuk yang ada di
depanku.
“tapi pak, ada urusan yang lebih penting yang harus saya urus.” Seru ku lemas.
“urusan penting apa, hah? Kalau kamu ambil kesempatan ini, kamu bisa ke
kancah Internasional dan kamu bisa ngelanjutin sekolah kamu tanpa biaya
sepeserpun disana. Itu kan yang kamu cita-citakan.” Jelasnya.
memang benar itu adalah cita-cita yang selama ini aku idam-idam kan.
Tapi, sekarang semua sudah tidak begitu berpengaruh terhadapku, karena
yang aku pikirkan sekarang dan yang lebih penting adalah nasib
orang-orang yang tinggal di kampung ku, nasib anak-anak asuhku.
“jadi apapun yang terjadi sepenting apapun urusan yang kamu punya, saya
tidak mau tau yang harus kamu lakukan sekarang adalah menerima
kesempatan itu untuk berkompetisi di Nasional dan bawa nama sekolah kita
ke Internasional. 3 jam lagi kamu berangkat, semua sudah diurus.
Sekarang kamu boleh keluar dari ruangan ini.”. perintahnya.
Dengan langkah gontai akhirnya aku keluar dari ruangan ini. Sekarang
aku hanya punya waktu 3 jam. Apa yang harus aku lakukan? Nathan? Iya
Nathan tiba-tiba aku ingat nama itu. Akhirnya dengan kecepatan super
sonic aku berlari menuju ke tempat dimana aku mengajar. Setelah sampai
disana suasana sepi tak ada satu orang pun, dan akhirnya karena dikejar
waktu aku pun hanya menulis sebuah surat untuk Nathan.
Aku nggak tau sebenarnya kamu siapa dan dari mana kamu berasal tapi
aku yakin kamu bisa membantu ku dan membantu semua orang yang ada
disini.
Setelah menulis surat itu aku pun segera pergi ke bandara.
—
“kami sudah urus semuanya dan ini adalah bukti bahwa kalian hanya
memanfaatkan kami untuk mendapatkan tanah ini. Kalian anggap kami bodoh?
Cihh tidak semudah itu kalian bisa mengambil tanah ini dan
menghancurkan semuanya yang telah kami bangun disini.”. bentakku.
“hey anak kecil, siapa kau? Tau apa kau? Kau mau mati apa?.” Teriak seseorang dari atas buldozer.
“kalau aku harus mati demi mereka kenapa tidak, ini sudah terbukti. Kita
sudah mengadakan sidang, dan kami yang menang atas segala bukti kenapa
aku harus takut mati?. Mungkin kalian yang takut mati? Ini adalah bukti
yang menyatakan bahwa kami menang dalam sidang dan kalian harus hentikan
pekerjaan ini bahkan kalian harus pergi.” Seru ku sambil memperlihatkan
map cokelat yang berisi berkas-berkas. Dan akhirnya setelah membaca isi
dari map itu mereka menyerah tanpa perlawanan pada hari terakhir
setelah bentrok selama berminggu-minggu bahkan sempat terjadi baku
hantam dan akhirnya kami pun menang dengan bukti kuat.
Arin, andai kamu ada disini mungkin kamu akan merasakan kebahagiaan
yang begitu besar di sore ini seperti orang-orang yang ada disini dengan
senyuman yang terlukis di wajah mereka, sore yang begitu indah yang
seakan-akan memperlihatkan kekuatannya untuk memihak kita.
tapi semua tidak ada yang mulus, tidak semua terlihat seperti kertas
putih tanpa noda. Ternyata tanah ini sudah berbalik tangan dari orang
yang satu ke orang yang lain. Tuhan, cobaan apalagi ini. Berhari-hari
aku harus mengurus semuanya bolak-balik ke kantor pemerintahan untuk
mengurus surat tanah dengan izin yang resmi agar mendapatkan kembali
tanah yang menjadi hak orang-orang yang tinggal di kampung ini. Bukan
Cuma itu saja, setelah masalah tanah sudah selesai muncul masalah lain.
Para penduduk diserang penyakit langka dan obat untuk penawarnya hanya
dijual di kota yang jaraknya lumayan jauh, kampung ini diserang
sekumpulan preman dengan batu dan bom rakitan, bahkan sampai masalah
besar yang hampir membuatku putus asa. Ya aku difitnah mendoktrin
anak-anak mereka dengan mengajarkan ajaran yang tidak baik sampai-sampai
aku hampir dipukuli oleh orang-orang kampung ini, tapi setelah adanya
pertemuan dengan semua warga dan aku menjelaskan apa yang sebenarnya aku
lakukan untuk anak-anak mereka dan yang aku lakukan untuk kampung ini
akhirnya mereka mengerti dan mau membantuku untuk memperbaiki semua yang
ada disini.
Cukup sulit memulai semuanya dari nol tapi aku yakin aku pasti bisa
merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Semuanya aku awali dengan
mengajarkan mereka baca tulis, maklum saja disini hanya beberapa orang
saja yang dapat menuntut ilmu. Kemudian aku mengajak mereka untuk
berwirausaha dari membuat kerajinan tangan yang mempunyai nilai jual,
mengajak mereka untuk hidup yang lebih baik dan mengajari mereka banyak
hal.
—
Sungguh istimewa kampung ini, ada danau yang indah di tengah-tengah
kampung yang terpuruk seperti ini. Apa terpuruk? itu salah besar,
mungkin diperadabannya dulu ini adalah kampung terpuruk di Negeri ini,
tapi sekarang semuanya sudah berubah. Kampung ini telah menjadi kampung
yang makmur, kampung yang memiliki sejuta keindahan, kampung yang
memiliki sejuta cerita. Haha, bangga melihat semuanya telah berubah
disini, mulai dari rumah-rumah penduduknya telah berubah menjadi rumah
bergaya modern minimalis seperti perumahan yang ada di kota-kota besar
dan tidak lagi menggunakan kayu dengan beratapkan daun kelapa kering,
para pemuda kini menjalani usaha yang mereka tekuni, sekarang banyak
anak-anak yang sudah mengerti arti pentingnya pendidikan dan masih
banyak lagi yang berubah disini. Ternyata sudah cukup lama aku disini,
sudah lebih dari dua tahun dan inilah yang mampu aku lakukan untuk
mereka semua, untuk mereka yang tinggal di kampung ini. Semoga semua
yang aku lakukan ini tidak sia-sia dan sekarang giliran mereka yang
menentukan hidup mereka sendiri, itu ucapku dalam hati sambil beranjak
pergi meninggalkan kampung ini dengan diiringi sang surya yang juga
pergi menuju tempat persembunyiannya.
—
Ah tanpa aku sadari, aku sudah sampai di tempat tujuanku. Ya, tempat
dimana aku mengajarkan anak-anak asuhku dulu. Melihat semua perubahan
yang terjadi disini benar-benar membuatku takjub dan tak henti-hentinya
berdecak kagum dengan apa yang dia lakukan selama ini. Ternyata aku
benar, dia mampu membuat semuanya berubah dia mampu membuat orang-orang
disini melewati masa-masa sulit mereka. Mungkin dari semua yang aku
lihat, hanya tempat ini yang tidak berubah. Tetap dengan dekorasi yang
aku buat dulu, berdindingkan geribik dengan beratapkan daun kelapa yang
sudah kering dengan dua buah kayu yang menyerupai tongkat dengan
ukiran-ukiran khas kampung ini untuk menopang bagian atapnya. Saat aku
memasuki ruangan ternyata semua masih tetap sama. Lukisan dinding dari
gambar yang anak-anak buat masih terpampang disana dan ada secarik
kertas lusuh yang ikut terpampang di antarnya.
Tidak ada sesuatu yang sempurna, sempurna dalam arti tanpa hambatan
dan rintangan. Kamu tak tau kapan semua itu terjadi, karena mereka
datang seperti kilat yang dapat menyambar dengan begitu cepat. Tapi
percayalah bahwa semua itu ada jalan, jika kamu mau berusaha untuk
merubah semuanya dan percayalah bahwa senja pun memiliki kekuatan
sebagai pahlawan untuk membantu kita –N-
N? Nathan? ya pemuda yang mampu mengubah semuanya, seorang pemuda
yang datang dan pergi berasal dari mentari senja. Mungkin bukan hanya
senja yang memiliki kekuatan sebagai pahlawan, tapi dirimulah pahlawan
yang sesungguhnya. Ya pahlawan senja…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar