Kami berenam langsung berlari keluar dari lubang perlindungan menuju
tempat yang direncanakan. Sementara Kapten Ade berlari ke arah lain
untuk memancing perhatian regu tembak dan berhasil, semua tembakan
langsung mengarah padanya. Aku sempat melirik Kapten Ade, sungguh luar
biasa. Dia berlari meliuk-liuk menghindari tembakan seperti sedang
bermain kejar-kejaran dengan anak kecil. Aku jadi penasaran siapa
sebenarnya Kapten Ade ini? Sepertinya dia berbeda dari yang lain. Tapi
sekarang tidak ada waktu untuk memikirkannya, aku harus fokus pada
tugas.
Begitu sampai di tempat yang dimaksud Jaja langsung memberikan instruksi.
“Andi, siapkan senjatamu. Bagitu kuberi aba-aba aku beserta yang lain
akan segera memberikan tembakan ke arah musuh dan kau langsung melakukan
tugasmu. Dan yang paling penting setelah Andi melakukan satu kali
tembakan, mau kena atau tidak kita langsung bersembunyi lagi di sini.
Paham?”
“Ya!!” kami menjawab bersamaan, lalu bersiap mengambil posisi.
“Sekarang!!!” teriak Jaja.
Jaja beserta timnya segara keluar dari tembok memberikan tembakan
beruntun pada musuh. Aku menarik napas panjang, lalu ikut keluar dari
situ. Aku mengambil posisi berlutut satu kaki dan mulai membidik.
Kuyakinkan diri sendiri bahwa sasaranku sudah terkunci, lalu dengan satu
hembusan nafas teratur kutarik pelatuk senjataku dan Tsssiiiuuu
peluruku berhasil mengenai kepala pemegang MG-42 itu. Dia langsung
ambruk dengan darah bercucuran, untuk sementara tembakan maut MG-42
berhenti.
“Kembali ke tembok!!!” perintah Jaja, kami segera bergerak.
“Bagus Andi, kau melakukannya dengan benar” puji Jaja, yang lain menepuk
pundakku. “Sekarang kita akan mengincar yang lain” lanjut Jaja.
“Bukannya tugas kita hanya ini? Tadi kapten bilang sisanya dia yang urus” tuntut Febri.
“Kau percaya kata-kata kapten tadi? Bagaimana cara dia membereskan
sisanya? Sekarang saja tidak terlihat dimana posisinya, mungkin saja
kapten sudah…” Jaja tidak menyelesaikan dugaannya.
“Ya, kau benar” dukung Febri.
“Eh, tunggu sebentar. Apa kalian tidak merasa heran?” kata Ragil tiba-tiba.
“Kenapa?” tanya Jaja heran.
“Aku belum mendengar suara tembakan lagi sejak tadi, bukankah ini aneh.
Memang berapa lama sih untuk menggantikan prajurit yang mati ditembak
Andi tadi. Harusnya sekarang tembakan MG-42 sudah dimulai kembali.” kata
Ragil serius.
Benar apa kata Ragil, harusnya sekarang tembakan sudah dilanjutkan
kembali. Tapi sekarang kenyataannya tidak ada bunyi desingan peluru sama
sekali kecuali di tempat lain. Kami saling pandang lalu bersama-sama
mengintip dari balik tembok dan melihat pemandangan yang membelalakkan
mata.
“Apa aku salah lihat?” gumam Jaja.
“Tidak aku juga melihatnya.” Arip membenarkan.
“Aku juga lihat” kataku ikut mendukung, begitu juga dengan yang lain.
“Bagaimana dia bisa melakukan itu?” Jaja bertanya heran dengan mata tetap melihat pemandangan tersebut.
“Aku tidak tau, tanyakan saja padanya nanti” kataku menyarankan, karena
memang tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semua ini. Menjelaskan
Kapten Ade yang berdiri gagah memunggungi kami di atas sana, di tempat
musuh sebelumnya berada.
“Hei, kalian!!! Kenapa diam saja!!? Cepat suruh semuanya bergerak
maju!!! Musuh kita masih banyak!!!” teriak Kapten Ade dari atas sana.
“Ah.. Iya. Siap kapten!!!” kata Jaja tersadar dari keheranan lalu berteriak kepada prajurit lain di belakang “Semua maju!!!”
Kami kembali merasakan ketegangan perang setelah maju lebih jauh dari
pantai. Kini musuh yang dihadapi makin banyak namun sedikit seimbang
karena banyak lubang pelindung yang bisa digunakan. Baku tembak
terdengar dimana-mana disertai jeritan saat prajurit dari kedua belah
pihak mulai berjatuhan. Lama kelamaan jumlah prajurit di pihak kami
tidak sampai 100 orang. Walau dari pihak musuh juga banyak yang tewas
tapi perbandingan kami tidak seimbang.
“Kapten, apa kita akan terus begini? Kita sudah semakin terdesak!” kataku disela-sela menembak.
“Tidak. Harusnya angkatan udara sudah datang sekarang untuk membantu kita merebut daerah ini.” jelas Kapten Ade.
“Lantas mengapa belum datang juga? Kita sudah terlalu banyak kehilangan prajurit” tuntutku sedikit kesal.
“Sebentar, aku akan hubungi mereka melalui frekuensi radio. Siapapun
tolong gantikan posisiku sebentar di sini, aku mau menghubungi angkatan
udara!!!” perintah Kapten Ade, dengan segara Jaja menggantikan posisi
Kapten Ade menembaki musuh, setelahnya Kapten Ade duduk tenang di dasar
lubang pelindung. Dia mengeluarkan radio, mengotak-atiknya sebentar lalu
berkata keras.
“Untuk angkatan udara Rajawali 26… Untuk angkatan udara Rajawali 26… siapapun yang mendengar pesan ini tolong bicara!!”
“Di sini angkatan udara Rajawali 26… Indentifikasikan dirimu” jawab seseorang dari radio
“Ini Kapten Ade M. W. dari pasukan pendahulu Harimau 47 identifikasi
selesai” kata kapten Ade. Selama beberapa detik tidak ada jawaban, maka
Kapten Ade mengulang perkataannya “Ini Kapten Ade M. W. dari pasukan
pendahulu Harimau 47 identifikasi selesai”
“Oh, Ade toh.. ana apa de? Ini q-ta Yudi” jawab suara di radio. Suasana percakapan tiba-tiba berubah aneh.
“Yudi Wachu tah?”
“Iya, ada apa?”
“Woi, Chu ira ana ning endi?”
“Di kapalnya Rifky di laut lepas de, napa sih?”
“Pantesan bae, Q-ta tungguin ga datang-datang. Masih pada di kapal jadi. Gagian mene Chu, pasukan Q-ta udah terdesak pisan”
“Emange ira lagi dimana sih de? Kayae buru-buru pisan. Qta, Ian, Oky,
Rifky lagi minum kopi sambil bahas buat penyerangan ke pantai besok.”
“Wong edaaaaan!!! Q-ta ning kene dibrondong peluru ira malah enak-enakan ngopi!!! Penyerangan bukan besok tapi sekarang woi!”
“Jih, yang bener ira? Jare Adam besok!”
“Besok ndasmu!! Pokoke ira kudu mene bari Ian sekien! Awas bae sampe
telat teka! Misal Q-ta mati, Qta bakal jadi hantu buat nyamperi
ira-iraan siji-siji!!!”
“Haha.. iya-iya, Q-ta meluncur sekarang haha..”
Percakapan radio yang aneh itu pun terhenti. Aku semakin heran dengan
Kapten Ade dan teman-temannya yaitu Kapten satu skuadron tempur udara
Rajawali 26 Yudi serta wakilnya Ian, juga Kapten satu tempur samudra Hiu
16 Rifky dengan wakilnya Oky. Kudengar sebelum perang ini dimulai
mereka adalah teman sepermainan, bahkan pimpinan perang Adam L. juga
termasuk golongan mereka yang akhirnya masuk ketentaraan karena keadaan
siaga perang. Namun yang membuatku heran, kenapa semuanya bisa menempati
jajaran teratas di masing-masing angkatan? Ada rahasia apa di antara
mereka dengan petinggi pemerintahan? Tapi sudahlah itu tidak terlalu
penting untuk kupikirkan. Sekarang aku harus fokus bagaimana cara untuk
merebut daerah ini dari musuh.
“Hei, jangan melamun saja!!! Tembaki musuhmu!!!” bentak Kapten Ade, aku tersadar dari lamunan.
“Ah.. Iya, maaf kapten!” kataku lalu fokus bertempur kembali.
Pertempuran kini memasuki babak yang makin kritis, jumlah kami makin
sedikit tidak sampai 80 orang. Kami sudah makin kewalahan menahan
gelombang serangan musuh yang bertubi-tubi tanpa henti. Keadaan makin
diperparah dengan mulai habisnya amunisi yang kami pakai sedangkan
suplai amunisi musuh tidak berhenti. Tapi kami tidak menyerah dan terus
berjuang tanpa henti walau mungkin sia-sia saja. Jumlah peluruku sendiri
sepertinya hanya tinggal delapan lagi, setelah ini habis aku tidak akan
bisa menggunakan penembak jarak jauh lagi yang menjadi andalanku. Maka
aku usahakan untuk membidik orang-orang tertentu agar mental musuh
menurun.
Kamera bidikku mulai mencari-cari sasaran yang tepat, setelah
menemukan dan mengunci target, pelatuk langsung kutarik dan musuhku
ambruk seketika. Aku terus melakukan itu hingga jumlah peluruku tinggal
tiga, berarti tiga peluru ini tidak boleh terbuang sia-sia. Sadar akan
hal ini aku semakin memilih-milih target bidikan, aku mencari
kesana-kemari berusaha menemukan musuh yang berpangkat tinggi namun
tidak kutemukan. Aku tidak menyerah dan terus mencari sampai kamera
bidikku menangkap sesuatu yang membuatku menegang seketika. Aku segera
meninggalkan posisi dan berteriak sekencangnya
“Ada tank!!! Cepat keluar dari sini!!!”
Teriakanku langsung membuat semua orang berhamburan keluar dan mundur
ke belakang. Selang beberapa detik setelah teriakanku tadi, lubang
persembunyian hancur meledak oleh serangan tank baja. Kini kami
benar-benar dalam kondisi dititik terakhir tidak tahu harus bagaimana
lagi. Setelah tank datang, semua harapan kemenangan kami musnah terbawa
angin. Kulihat keadaan teman-temanku sesama prajurit, mereka satu
persatu mulai menjatuhkan senjata dan menangis seolah menyesali ini
semua. Begitu juga aku yang mulai marah dengan keadaan ini, bagaimana
mungkin kami yang awalnya berjumlah 500 bisa dipreteli menjadi sekitar
80an orang saja. Ini sungguh tidak adil, kami seolah dijadikan umpan
untuk mengetahui kekuatan musuh, setelahnya petinggi militer akan
mengirim pasukan lagi dengan strategi yang lebih matang. Aku marah,
marah sekali pada semuanya. Namun tidak tahu harus melampiaskan
kemarahan ini pada siapa.
Akhirnya aku ikut menjatuhkan senjata dan menjatuhkan diri ke pasir
yang warnanya sudah berubah merah serta berbau amis menyengat. Aku
menyerah, aku tidak ingin melanjutkan pertempuran sialan ini. Sempat
kulihat hanya Kapten Ade dan beberapa orang yang masih gigih memberikan
perlawanan dengan melemparkan granat ke arah musuh. Lemparannya sangat
jitu hingga mampu membuat musuh tertahan di garisnya tanpa bisa maju
selangkah pun terutama lemparan Kapten Ade. Tapi apa gunanya? Saat tank
itu datang kemari Kapten Ade sekalipun tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Dia tetaplah manusia yang akan hancur berkeping-keping bila terkena bom.
Tanpa kusadari air mataku deras mengalir melewati pipi yang penuh
pasir. Aku kesal, marah, kecewa, dan sakit hati. Aku tidak ingi mati di
sini, aku takut mati, tapi tidak bisa lari dari neraka dunia ini. Aku
memejamkan mata pasrah menunggu kamatian menjemputku. Selamat tinggal
dunia.
“Ngeeeenggg… Siiiaaauuu… Glarrrr…” suara itu mengagetkanku dari
keputusasaan. Suara yang memberikan harapan padaku juga lainnya untuk
tetap hidup dan menyelesaikan misi ini. Suara yang mengalun indah bagai
musik pengiring kemenangan perang. Kubuka mataku dan langsung disuguhi
pemadangan indah dari langit, sekitar 25 pesawat tempur pimpinan Kapten
Yudi telah tiba. Mereka terbang kesana-kemari bagai burung elang dan
tanpa ampun membombardir area musuh dengan rudalnya. Kami berteriak
girang menyaksikan pemandangan yang sebenarnya kejam namun terlihat
indah karena merasa lega bisa lolos dari kematian, tidak terkecuali
diriku. Hanya Kapten Ade yang terlihat biasa-biasa saja, tidak terlihat
senang atau reaksi lainnya, sangat datar dan sulit ditebak.
Setelah sekitar 15 menit serangan udara dihentikan, dan Kapten Ade menyuruh kami semua maju.
“Semuanya, maju!!! Kita tuntaskan misi ini!!!”
Kami langsung merangsek ke depan dengan semangat dan senjata yang ada.
Keadaan sekitar sudah benar-benar hancur lebur berantakan namun masih
menyisakan beberapa prajurit musuh yang selamat. Kami menawan prajurit
itu dan melakukan pembersihan besar-besaran selama sekitar satu jam.
Setelahnya armada angkatan laut Kapten Rifky tiba dan langsung
mengerjakan tugasnya dengan cepat. Pergantian tugas pun dimulai, kami
sebagai regu pendahulu dipersilahkan istirahat melepas lelah dan
ketegangan.
“Sekarang kalian bisa santai, biar angkatan laut yang mengurus sisanya!!!” kata Kapten Ade, kami pun langsung bubar.
Aku lebih memilih berjalan-jalan sebentar ketimbang langsung istirahat
bersama teman-teman lain, lagipula suasana sangat berisik sejak angkatan
laut datang. Aku berjalan menyusuri dinding laut melihat pantai yang
tampak sangat mengerikan karena warna darah dan tubuh hancur
dimana-mana. Sungguh tidak kusangka bahwa untuk menaklukkan daerah
sekecil ini saja bisa memakan korban sangat banyak. Tidakkah ini seperti
pembuangan nyawa sia-sia? Kupikir harusnya para petinggi benar-benar
menyusun strategi yang matang sebelum menerjunkan kami ke neraka ini.
Andai saja mereka melihat dan merasakan apa yang aku dan pastinya semua
parajurit lain lihat dan rasakan saat awal tiba, pastilah mereka tidak
akan mau berada di kapal itu. Tapi sudahlah, seandainya aku menyalahkan
petinggi juga tidak ada gunanya, karena kesalahan utama adalah adanya
perang gila ini.
Aku memejamkan mata sebentar meresapi kembali semua yang telah
kulalui hari ini, lalu kembali menatap pantai dan bersumpah bahwa
kejadian ini akan selalu kukenang dan kuceritakan kepada anak cucuku.
Agar mereka tahu bahwa perang apapun alasannya selalu membawa
penderitaan tersendiri. Bahwa lebih dari 200 orang prajurit yang berada
dalam satu armada pendahulu pimpinan Kapten Ade tewas tanpa sempat
menyelesaikan tarikan nafasnya, dan lebih dari 200 sisanya luka parah
serta cacat bahkan mungkin sudah banyak yang meninggal sekarang di tenda
medis. Sungguh sebuah kejadian yang tidak bisa dibilang kenangan manis.
Aku beranjak dari dinding laut dan duduk di reruntuhan bekas gudang
senjata musuh untuk sejenak duduk beristirahat. Kulihat kesana kemari
tempat itu, sudah tidak berbentuk bangunan lagi, lebih mirip dinding
yang didirikan asal-asalan. Aku hendak menyandarkan diri saat kulihat
sesuatu yang aneh di balik tembok yang rubuh. Kudekati tembok itu dan
menyingkirkannya, ternyata ada mayat musuh di baliknya. Aku memandangi
mayat itu penuh emosi, bahkan setelah mati pun mereka tetap terlihat
mengesalkan. Kutendang mayat itu hingga terguling ke samping, bersamaan
dengan itu tampak sebuah benda yang membuatku kaget setengah mati dari
balik mayat tadi. Aku langsung pucat dan menegang.
“Aaaaaaa…”
Aku membuka mata secara tiba-tiba, nafasku memburu sangat cepat
disertai keringat dingin yang mengalir cukup deras, padahal aku sedang
berada di bawah mercusuar di pinggiran laut. Aku mencoba mengatur
nafasku menenangkan diri. Tidak kusangka bahwa aku akan tewas dalam
hayalanku sendiri. Tewas karena terkena ledakan granat yang berada di
balik mayat musuh itu. Ternyata mayat musuh yang kutemukan berfungsi
untuk menahan pemicu granat yang tentunya akan meledak saat daya
penahannya yang berupa mayat itu hilang. Aku tersenyum lebar hingga
akhirnya tertawa keras seperti orang gila. Sungguh konyol apa yang
barusan kulakukan. Mencoba membayangkan diriku ikut dalam sebuah perang
yang adegannya kuambil dari sebuah film. Walau tentunya tidak sepenuhnya
sama seperti film yang pernah kutonton itu. sayangnya setelah melakukan
apa yang diajarkan guruku pun belum bisa memberikan sebuah jawaban
tentang kematian yang menjadi pertanyaanku.
Dalam hayalan, bisa saja aku menjadi seorang pemberani sejagad raya
atau malah sebaliknya. Dalam hayalan semuanya terasa mudah dan instan
karena sebagian besar dikendalikan oleh otakku sendiri. namun bagaimana
bila di kenyataan? Aku tidak tahu. Mungkin memang harus menunggu sampai
ada kejadian yang mendekatkanku pada kemungkinan kematian yang tinggi,
baru aku bisa menjawab pertanyanku tentang siap dan ikhlaskah bila aku
harus mati lebih cepat dari orang lain? orang lain yang kukenal
tentunya. Kembali aku menghela nafas panjang untuk sekian kalinya dan
bangkit dari tempat dudukku. Kulihat laut untuk terakhir kalinya, lalu
berbalik pulang meninggalkan sebuah misteri di belakang.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar