Rabu, 18 Maret 2015

ActFor (Anti Conspiration Force)

Ray sangat menyukai novel misteri, cerita detektif dan segala hal yang berbau ‘mengungkap sesuatu yang tersembunyi.’ Jadi… jangan salahkan siapa-siapa kalau sekarang ia masuk penjara.
“Bang*at!” Ray mematikan televisi dan membanting remotenya ke atas sofa.
“Napa loe, Ray, marah-marah sendiri?”
Fery, teman satu kost Ray yang melintas di belakangnya, keheranan. Pemuda itu membawa sepasang cangkir kopi yang masih ngebul. Ia meletakan kedua cngkir kopi itu di atas meja dan mendudukkan dirinya di atas sofa.
“Anj*it! Mereka udah makin keterlaluan aja!” maki Ray, nggak jelas.
“Loe ngomongin siapa sih?”
“Fer, elo tahu nggak dunia pertelevisian kita itu diisi oleh apa?”
Mendengar pertanyaan Ray, Fery tampak berpikir. Ia pun menjawab, “Acara-acara dong, berita, reality show, sinetron, iklan dan lainnya. Memang kenapa sih?”
“Nggak! Ada tiga hal utama yang mengisi dunia pertelevisian kita, yaitu sinetron, berita dan infotaiment. Acara sam*ah doang!”
“Samp*h loe bilang? Mereka tuh hanya cari duit. Menjijikan memang, tapi harap maklum beginilah keadaan broadcasting world kita sekarang,” jawab Fery, menghela nafas.
“Itu, itu maksud gue! Kenapa broadcasting world kita sekarang seperti ini… dulu? Ya, okelah… semasa orde baru memang kita nggak diberi pilihan lain dengan cuma satu stasiun TV doang. Tapi… pada awal-awal reformasi dan awal-awal tahun 2000-an TV kita nggak seperti ini, isinya bull*hit doang. Maksud gue dulu sinetron masih masuk akal ceritanya, infotaiment sehari paling sekali dan media berita pun memberitakan suatu hal dengan lebih netral. Sekarang… elo liat sekarang,” tutur Ray menggebu-gebu.
Fery mengerutkan keningnya, merenungkan semua yang telah dituturkan Ray. Memang sih ia tahu kalau sahabatnya itu pembenci sinetron dan sejenisnya, tapi apa yang dituturkannya juga cukup masuk akal.
“Mungkin… karena perkembangan teknologi informasi kali. Maksud gue semuanya sudah serba cepat sekarang. Sinetron dulu nggak mengenal istilah str*pping. Mungkin karena cepatnya arus informasi tadi, sehingga semua orang berlomba-lomba membuat sesuatu, sebanyak mungkin, sesingkat mungkin dan sefisien mungkin untuk menarik perhatian pemirsa. Dengan begitu uang pun bisa dengan cepat masuk ke kantong mereka. Persaingan menjadi ketat, tapi sayangnya pemirsa kita itu kurang memiliki kecerdasan dalam menentukan apa yang layak ditonton mereka. Jadi beginilah… para produser nggak terlalu mikirin kualitas dari produk mereka. Toh masih banyak aja kok orang yang kecanduan produk mereka.”
“Orang-orang yang mengatakan dirinya sebagai pengamat juga bilang seperti itu. Tapi… menurut gue ada hal yang lebih besar dari itu. Coba elo pikir dengan seksama.”
“Maksud loe?”
“It’s must be some kind of conspiracy,” ucap Ray, agak berdesis.
“What!?”
“Ya, pasti ada semacam konspirasi besar-besaran disini.”
Fery mengerutkan kening. Ia nampak bingung tapi penasaran.
“Coba elo perhatikan, makin kesini masyarakat semakin apatis dan radikal, semakin mudah terpacing emosinya sehingga kericuhan dan tauran pun semakin sering terjadi. Rakyat juga semakin sinis pada pemerintah, dan kenapa semakin banyak aja artis yang jadi pejabat?”
“Loe mau bilang kalau semua ini ada hubungan dengan hal yang kita bicarakan tadi?”
“Ya. Pertama, sinetron… apa coba yang sering diperlihatkan di dalam sinetron?”
“Percintaan? Sebuah teori drama sederhana, orang baik selalu menang diakhir dan orang jahat berkuasa sepanjang season?”
“Yup. Tapi coba elo perhatikan deh. Rata-rata setiap sinetron itu menampilkan tokoh utamanya sebagai orang miskin yang lemah, super tawakal dan selalu disiksa. Sedang antagonisnya selalu orang kaya, jahat dan memandang segalanya berdasarkan uang. Apa coba yang sedang coba lakukan dengan menampilkan hal seperti itu?” tanya Ray.
Fery hanya menggeleng.
“Mereka ingin menunjukkan kalau kaum kaya itu penjahat, orang kejam. Tujuannya untuk memecahkan kesatuan dan persatuan negeri ini. Buktinya, kericuhan dan tauran semakin sering terjadi. Lalu ketika terjadi keributan bukannya mobil-mobil mewah dan bagus yang selalu dibakar, ya kan?”
Fery mengangguk pelan. Mulai terpengaruh ia.
“Lalu berita… semakin kesini pemberitaan media semakin terdengar seperti ‘i hate this government.’ Delapan puluh persen berita tiap harinya berisi kritik terhadap pemerintah. Bahkan sebuah pernyataan penjabat pemerintah yang memiliki arti banyak pun sering mereka artikan buruk. Sebagai contoh, pernyataan Presiden tentang gajinya yang nggak naik-naik beberapa saat lalu, media lebih menyoroti itu sebagai keluhan. Padahal kan Presiden ngomongnya terdengar dengan gaya guyon. Terus soal kasus bom buku, sebelum-sebelumnya media memberitakan itu sebagai aksi pengalihan isu yang dilakukan pemerintah kan? It’s like media itu sedang mencoba memperburuk citra pemerintah yang memang sudah buruk!” tutur Ray lagi.
“Bener juga sih… Menurut loe kenapa mereka melakukan hal itu?”
Ray mendekatkan wajahnya ke wajah Fery dan berbicara dengan suara agak berbisik. “Apa elo tahu beberapa stasiun televisi pemilik saham mayoritasnya adalah politikus. Bahkan ada sebuah stasiun TV yang dijadikan sebagai alat kampanye suatu partai baru. Disajikan dalam berita seperti sebuah liputan atau wawancara tapi si pembaca berita sering menggaungkan visi dan misi partai itu. Tapi hal itu tidak mereka lakukan ketika memberitakan partai lain.”
Fery terperangah. “Jadi maksud loe!?”
“Ya,” angguk Ray. “Someone or some organization sedang secara diam-diam menggunakan media sebagai alat promosi. It’s like liputan di infotaiment tentang artis yang menggunakan suatu produk. Sebuah iklan yang dibuat seolah-olah seperti berita.”
Glek! Fery menelan ludah. Ia semakin terpengaruh semua ucapan Ray. Sudah separah itukah dunia politik negeri ini?
“Lalu tentang infotaiment, ini yang paling gue benci. Meski mereka sering memberitakan keburukan para artis, kasus kawin-cerai, KDRT, penipuan dan lainnya, tapi di saat tertentu mereka juga sering melebih-lebihkan berita baik tentang artis. Segala jenis good deeds sekecil apapun yang dilakukan seorang artis mereka beritakan hal itu seperti sebuah perbuatan agung. Celebs do this, celebs do that, celebs care about the enviroment, celebs mengundang anak yatim-piatu di ulang tahunnya, celebs menyumbang dana, celebs build free school for childrens, celebs etc. And what the hell yang menarik dari liputan tentang celebs pergi ke salon? Mereka tuh seperti berusaha menunjukkan bahwa menjadi seorang artis itu menyenangkan dan dengan menjadi artis kita bisa melakukan banyak good deeds.”
“Te…terus kenapa mereka melakukan hal itu?”
“Elo ingat, setahun sebelum pemilu ada artis yang rajin banget masuk infotaiment. Segala hal kecil tentang dia jadi berita. Dia diberitakan sebegai artis yang murah hati dan punya kepedulian sosial yang tinggi. Acara TV yang dibintanginya pun terus digeber hingga ratingnya tetap di atas. Lalu… setelah pemilu dia kepilih jadi anggota dewan.”
“Maksud loe… infotaiment udah dijadikan alat oleh artis untuk meraih simpati publik?”
“Ya.”
“Oh, man… that’s so… wow!!”
“Ada seseorang yang mendalangi semua ini. Dengan merusak moral masyarakat menengah ke bawah dan menciptakan kerenggangan sosial di antara si kaya dan si miskin melalui sinetron, dengan mencitrakan pemerintahan sekarang sebagai pemerintahan yang buruk melalui pemberitaan media dan dengan menjadikan artis sebagai semacam ‘holy being’ melalui infotaiment, seseorang sedang mencoba mengambil alih kekuasaan.”
“Dan menurut loe seseorang itu siapa?”
“Gue nggak tahu, yang jelas orang itu, atau organisasi itu memiliki dana yang sangat besar, mereka memiliki akses kepada petinggi-petinggi dunia pers di negeri ini dan mereka bisa menggerakkan para artis entah itu secara langsung atau tidak langsung sebagai pion mereka. I think… we have to do something about it….”
“Ha…aah….” Fery menghela nafas. “Jika mereka memang ingin mengambill alih kekuasan, hell i don’t care. Gue juga kurang suka dengan pemerintahan sekarang. Maksud gue pemerintah sekarang juga kurang bisa mensejahterakan rakyat, kan?”
“Ya, tapi… kita juga nggak bisa membiarkan hal ini terjadi. Meski niat mereka mungkin baik, untuk menciptakan sebuah perubahan, tapi cara yang mereka lakukan itu… Maksud gue mereka itu kayak teroris yang melakukan terror mengatasnamakan agama.”
“Ya, tapi apa yang bisa kita lakukan? Kita kan cuma anak muda yang nggak berdaya. Tinggal aja di kostan murah, makan masih suka ngutang, apa bisa kita menghadapi organisasi yang kedengarannya super besar dan teratur itu?”
“Justru karena kita masih muda kita bisa melakukan sesuatu tentang hal ini. Ingat anak muda itu selalu menjadi pelopor sebuah perubahan? Jika mereka menggunakan media sebagai senjata, kita pun bisa melakukannya.
“Menggunakan media? Bukannya media sudah sangat mereka kuasai?” Dahi Fery mengerut.
“Ya, tapi tidak dengan internet. Ini jenis media yang masih belum mereka kuasai sepenuhnya. Mari kita mulai semuanya dengan membuat sebuah website atau sebuah forum online. Kita beritahu dunia tentang temuan kita ini. Gue yakin banyak juga orang lain kayak kita yang telah menyadari tentang hal ini.”
Ray bangkit dan mengulurkan tangannya di hadapan Fery. “Will you join me in this quest, my friend?”
Fery menatap tangan itu dengan muka berpikir. “Oke, let’s stop them together, Bro!” ucap Fery bersemangat. Ia meraih uluran tangan Ray.
Maka sejak hari itu pula kedua anak muda itu memulai rencana mereka untuk menghalau apa yang mereka sebut sebagai sebuah konspirasi terbesar di negeri ini. Dimulai dari sebuah website mereka kemudian membentuk sebuah organisasi yang mereka beri nama sebagai ActFor alias Anti-Conspiration Force. Pada pertemuan tahunan ActFor yang ketiga organisasi ini telah beranggotakan seribu orang anak muda dari berbagai latar belakang.
Hari itu di tempat pertemuan….
“Teman-teman, pemerintah sama sekali tidak mempercayai semua cerita kita. Mereka malah menganggap kita sebagai sekelompok anak muda kurang kerjaan yang terlalu banyak menonton film detektif!” ungkap Ray yang kini menjabat sebagai ketua umum ActFor.
“The hell if they don’t care! Lagipula bukannya pahlawan ya, yang selalu mendapat credits atas apa yang telah mereka lakukan? Maksud gue kalau kita berhasil mencegah usaha konspirasi mereka mungkin lebih baik kita yang mengambil alih kekuasaan. Kita bilang aja pada mereka, Hey, loe pada nggak percaya waktu kita-kita memperingatkan loe pada! Sekarang kita udah menyelamatkan kalian, menyelamatkan negeri ini… so hand over the authority, please…,” usul seorang peserta pertemuan. Beberapa peserta langsung bersorak seperti mendukungnya.
“Saya setuju, tapi itu masih jauh sekali dari sini, kawan. Kita bahkan masih belum melakukan sesuatu untuk mencegah rencana mereka,” ucap peserta yang lain. Beberapa peserta yang hadir mengangguk-angguk seperti setuju.
“Masalahnya kita belum menemukan metode yang tepat untuk menghalau rencana mereka, setidaknya memperlambat kemajuan mereka.” Ray menghela nafas.
“Saya punya rencana ketua!” teriak seorang peserta dari deretan tempat duduk paling belakang. Ia berdiri.
“Dan, apakah rencana itu?” tanya Ray penasaran.
“Jika mereka memaanfatkan media sebagai alat untuk mengasah senajata mereka, yaitu imej, maka yang perlu kita lakukan adalah membalikkan fungsi alat itu. Kita tumpulkan senjata mereka.”
“Dengan cara?”
Si peserta mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kemudian ia mengacungkan sesuatu itu dengan tangan kanannya. Ray tertohok, semua orang menoleh pada peserta tersebut.
“I…itu…!!”
Setahun kemudian….
Seorang pria bertampang seram menggebrak meja di hadapan Ray. Muka pemuda itu pucat dan tangannya terborgol.
“Jadi itu pembelaanmu?”
“Ya… itu adalah satu-satunya cara untuk mencegah rencana mereka. Jika mereka menggunakan citra sebagai modal utama mereka, maka itu adalah cara yang paling tepat,” jawab Ray dengan kepala tertunduk.
Si pria bertampang seram itu bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan mondar-mandir sambil sesekali meremas kepalanya. Anak muda ini sudah gila rupanya! pikirnya.
Pria itu kemudian mengambil sesuatu dari bawah meja, sebuah kardus. “Ini ditemukan rumah seorang artis, apa benda ini perbuatan kelompok kalian?”
Ray hanya melirik sesaat pada kardus itu. “Mungkin,” jawabnya pelan.
Si pria bertampang seram meremas kepalanya lagi. Kemudian dengan sangat emosional dan terburu-buru ia mengeluarkan isi dari kardus tersebut, beberapa bungkusan plastik berisi semacam tepung berwarna putih polos.
“Dengan menggunakan nark*ba?”
Kali ini Ray hanya terdiam.
“Kamu dan teman-temanmu itu benar-benar sinting! Oke, mungkin kalian percaya terhadap adanya semacam konspirasi dan kalian ingin menghentikan hal itu. Oke, mungkin niat kalian baik. Saya sendiri memang benci sinetron, istri saya tidak memberi saya kesempatan untuk menonton pertandingan bola karena jam tayangnya sering berbeturan dengan jam tayang sinetron. Tapi… tetap saja cara yang kalian lakukan salah. Segala jenis kejahatan meski itu demi tujuan baik adalah salah. Melakukan hal itu, kalian sama saja dengan teroris!”
Ray bungkam seribu bahasa. Kepalanya semakin tertunduk dan ia berpikir, Mereka bahkan sudah menguasai pihak kepolisian…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar