Ray sangat menyukai novel misteri, cerita detektif dan segala hal
yang berbau ‘mengungkap sesuatu yang tersembunyi.’ Jadi… jangan salahkan
siapa-siapa kalau sekarang ia masuk penjara.
“Bang*at!” Ray mematikan televisi dan membanting remotenya ke atas sofa.
“Napa loe, Ray, marah-marah sendiri?”
Fery, teman satu kost Ray yang melintas di belakangnya, keheranan.
Pemuda itu membawa sepasang cangkir kopi yang masih ngebul. Ia meletakan
kedua cngkir kopi itu di atas meja dan mendudukkan dirinya di atas
sofa.
“Anj*it! Mereka udah makin keterlaluan aja!” maki Ray, nggak jelas.
“Loe ngomongin siapa sih?”
“Fer, elo tahu nggak dunia pertelevisian kita itu diisi oleh apa?”
Mendengar pertanyaan Ray, Fery tampak berpikir. Ia pun menjawab,
“Acara-acara dong, berita, reality show, sinetron, iklan dan lainnya.
Memang kenapa sih?”
“Nggak! Ada tiga hal utama yang mengisi dunia pertelevisian kita, yaitu sinetron, berita dan infotaiment. Acara sam*ah doang!”
“Samp*h loe bilang? Mereka tuh hanya cari duit. Menjijikan memang, tapi
harap maklum beginilah keadaan broadcasting world kita sekarang,” jawab
Fery, menghela nafas.
“Itu, itu maksud gue! Kenapa broadcasting world kita sekarang seperti
ini… dulu? Ya, okelah… semasa orde baru memang kita nggak diberi pilihan
lain dengan cuma satu stasiun TV doang. Tapi… pada awal-awal reformasi
dan awal-awal tahun 2000-an TV kita nggak seperti ini, isinya bull*hit
doang. Maksud gue dulu sinetron masih masuk akal ceritanya, infotaiment
sehari paling sekali dan media berita pun memberitakan suatu hal dengan
lebih netral. Sekarang… elo liat sekarang,” tutur Ray menggebu-gebu.
Fery mengerutkan keningnya, merenungkan semua yang telah dituturkan Ray.
Memang sih ia tahu kalau sahabatnya itu pembenci sinetron dan
sejenisnya, tapi apa yang dituturkannya juga cukup masuk akal.
“Mungkin… karena perkembangan teknologi informasi kali. Maksud gue
semuanya sudah serba cepat sekarang. Sinetron dulu nggak mengenal
istilah str*pping. Mungkin karena cepatnya arus informasi tadi, sehingga
semua orang berlomba-lomba membuat sesuatu, sebanyak mungkin, sesingkat
mungkin dan sefisien mungkin untuk menarik perhatian pemirsa. Dengan
begitu uang pun bisa dengan cepat masuk ke kantong mereka. Persaingan
menjadi ketat, tapi sayangnya pemirsa kita itu kurang memiliki
kecerdasan dalam menentukan apa yang layak ditonton mereka. Jadi
beginilah… para produser nggak terlalu mikirin kualitas dari produk
mereka. Toh masih banyak aja kok orang yang kecanduan produk mereka.”
“Orang-orang yang mengatakan dirinya sebagai pengamat juga bilang
seperti itu. Tapi… menurut gue ada hal yang lebih besar dari itu. Coba
elo pikir dengan seksama.”
“Maksud loe?”
“It’s must be some kind of conspiracy,” ucap Ray, agak berdesis.
“What!?”
“Ya, pasti ada semacam konspirasi besar-besaran disini.”
Fery mengerutkan kening. Ia nampak bingung tapi penasaran.
“Coba elo perhatikan, makin kesini masyarakat semakin apatis dan
radikal, semakin mudah terpacing emosinya sehingga kericuhan dan tauran
pun semakin sering terjadi. Rakyat juga semakin sinis pada pemerintah,
dan kenapa semakin banyak aja artis yang jadi pejabat?”
“Loe mau bilang kalau semua ini ada hubungan dengan hal yang kita bicarakan tadi?”
“Ya. Pertama, sinetron… apa coba yang sering diperlihatkan di dalam sinetron?”
“Percintaan? Sebuah teori drama sederhana, orang baik selalu menang diakhir dan orang jahat berkuasa sepanjang season?”
“Yup. Tapi coba elo perhatikan deh. Rata-rata setiap sinetron itu
menampilkan tokoh utamanya sebagai orang miskin yang lemah, super
tawakal dan selalu disiksa. Sedang antagonisnya selalu orang kaya, jahat
dan memandang segalanya berdasarkan uang. Apa coba yang sedang coba
lakukan dengan menampilkan hal seperti itu?” tanya Ray.
Fery hanya menggeleng.
“Mereka ingin menunjukkan kalau kaum kaya itu penjahat, orang kejam.
Tujuannya untuk memecahkan kesatuan dan persatuan negeri ini. Buktinya,
kericuhan dan tauran semakin sering terjadi. Lalu ketika terjadi
keributan bukannya mobil-mobil mewah dan bagus yang selalu dibakar, ya
kan?”
Fery mengangguk pelan. Mulai terpengaruh ia.
“Lalu berita… semakin kesini pemberitaan media semakin terdengar seperti
‘i hate this government.’ Delapan puluh persen berita tiap harinya
berisi kritik terhadap pemerintah. Bahkan sebuah pernyataan penjabat
pemerintah yang memiliki arti banyak pun sering mereka artikan buruk.
Sebagai contoh, pernyataan Presiden tentang gajinya yang nggak naik-naik
beberapa saat lalu, media lebih menyoroti itu sebagai keluhan. Padahal
kan Presiden ngomongnya terdengar dengan gaya guyon. Terus soal kasus
bom buku, sebelum-sebelumnya media memberitakan itu sebagai aksi
pengalihan isu yang dilakukan pemerintah kan? It’s like media itu sedang
mencoba memperburuk citra pemerintah yang memang sudah buruk!” tutur
Ray lagi.
“Bener juga sih… Menurut loe kenapa mereka melakukan hal itu?”
Ray mendekatkan wajahnya ke wajah Fery dan berbicara dengan suara agak
berbisik. “Apa elo tahu beberapa stasiun televisi pemilik saham
mayoritasnya adalah politikus. Bahkan ada sebuah stasiun TV yang
dijadikan sebagai alat kampanye suatu partai baru. Disajikan dalam
berita seperti sebuah liputan atau wawancara tapi si pembaca berita
sering menggaungkan visi dan misi partai itu. Tapi hal itu tidak mereka
lakukan ketika memberitakan partai lain.”
Fery terperangah. “Jadi maksud loe!?”
“Ya,” angguk Ray. “Someone or some organization sedang secara diam-diam
menggunakan media sebagai alat promosi. It’s like liputan di infotaiment
tentang artis yang menggunakan suatu produk. Sebuah iklan yang dibuat
seolah-olah seperti berita.”
Glek! Fery menelan ludah. Ia semakin terpengaruh semua ucapan Ray. Sudah separah itukah dunia politik negeri ini?
“Lalu tentang infotaiment, ini yang paling gue benci. Meski mereka
sering memberitakan keburukan para artis, kasus kawin-cerai, KDRT,
penipuan dan lainnya, tapi di saat tertentu mereka juga sering
melebih-lebihkan berita baik tentang artis. Segala jenis good deeds
sekecil apapun yang dilakukan seorang artis mereka beritakan hal itu
seperti sebuah perbuatan agung. Celebs do this, celebs do that, celebs
care about the enviroment, celebs mengundang anak yatim-piatu di ulang
tahunnya, celebs menyumbang dana, celebs build free school for
childrens, celebs etc. And what the hell yang menarik dari liputan
tentang celebs pergi ke salon? Mereka tuh seperti berusaha menunjukkan
bahwa menjadi seorang artis itu menyenangkan dan dengan menjadi artis
kita bisa melakukan banyak good deeds.”
“Te…terus kenapa mereka melakukan hal itu?”
“Elo ingat, setahun sebelum pemilu ada artis yang rajin banget masuk
infotaiment. Segala hal kecil tentang dia jadi berita. Dia diberitakan
sebegai artis yang murah hati dan punya kepedulian sosial yang tinggi.
Acara TV yang dibintanginya pun terus digeber hingga ratingnya tetap di
atas. Lalu… setelah pemilu dia kepilih jadi anggota dewan.”
“Maksud loe… infotaiment udah dijadikan alat oleh artis untuk meraih simpati publik?”
“Ya.”
“Oh, man… that’s so… wow!!”
“Ada seseorang yang mendalangi semua ini. Dengan merusak moral
masyarakat menengah ke bawah dan menciptakan kerenggangan sosial di
antara si kaya dan si miskin melalui sinetron, dengan mencitrakan
pemerintahan sekarang sebagai pemerintahan yang buruk melalui
pemberitaan media dan dengan menjadikan artis sebagai semacam ‘holy
being’ melalui infotaiment, seseorang sedang mencoba mengambil alih
kekuasaan.”
“Dan menurut loe seseorang itu siapa?”
“Gue nggak tahu, yang jelas orang itu, atau organisasi itu memiliki dana
yang sangat besar, mereka memiliki akses kepada petinggi-petinggi dunia
pers di negeri ini dan mereka bisa menggerakkan para artis entah itu
secara langsung atau tidak langsung sebagai pion mereka. I think… we
have to do something about it….”
“Ha…aah….” Fery menghela nafas. “Jika mereka memang ingin mengambill
alih kekuasan, hell i don’t care. Gue juga kurang suka dengan
pemerintahan sekarang. Maksud gue pemerintah sekarang juga kurang bisa
mensejahterakan rakyat, kan?”
“Ya, tapi… kita juga nggak bisa membiarkan hal ini terjadi. Meski niat
mereka mungkin baik, untuk menciptakan sebuah perubahan, tapi cara yang
mereka lakukan itu… Maksud gue mereka itu kayak teroris yang melakukan
terror mengatasnamakan agama.”
“Ya, tapi apa yang bisa kita lakukan? Kita kan cuma anak muda yang nggak
berdaya. Tinggal aja di kostan murah, makan masih suka ngutang, apa
bisa kita menghadapi organisasi yang kedengarannya super besar dan
teratur itu?”
“Justru karena kita masih muda kita bisa melakukan sesuatu tentang hal
ini. Ingat anak muda itu selalu menjadi pelopor sebuah perubahan? Jika
mereka menggunakan media sebagai senjata, kita pun bisa melakukannya.
“Menggunakan media? Bukannya media sudah sangat mereka kuasai?” Dahi Fery mengerut.
“Ya, tapi tidak dengan internet. Ini jenis media yang masih belum mereka
kuasai sepenuhnya. Mari kita mulai semuanya dengan membuat sebuah
website atau sebuah forum online. Kita beritahu dunia tentang temuan
kita ini. Gue yakin banyak juga orang lain kayak kita yang telah
menyadari tentang hal ini.”
Ray bangkit dan mengulurkan tangannya di hadapan Fery. “Will you join me in this quest, my friend?”
Fery menatap tangan itu dengan muka berpikir. “Oke, let’s stop them
together, Bro!” ucap Fery bersemangat. Ia meraih uluran tangan Ray.
Maka sejak hari itu pula kedua anak muda itu memulai rencana mereka
untuk menghalau apa yang mereka sebut sebagai sebuah konspirasi terbesar
di negeri ini. Dimulai dari sebuah website mereka kemudian membentuk
sebuah organisasi yang mereka beri nama sebagai ActFor alias
Anti-Conspiration Force. Pada pertemuan tahunan ActFor yang ketiga
organisasi ini telah beranggotakan seribu orang anak muda dari berbagai
latar belakang.
Hari itu di tempat pertemuan….
“Teman-teman, pemerintah sama sekali tidak mempercayai semua cerita
kita. Mereka malah menganggap kita sebagai sekelompok anak muda kurang
kerjaan yang terlalu banyak menonton film detektif!” ungkap Ray yang
kini menjabat sebagai ketua umum ActFor.
“The hell if they don’t care! Lagipula bukannya pahlawan ya, yang selalu
mendapat credits atas apa yang telah mereka lakukan? Maksud gue kalau
kita berhasil mencegah usaha konspirasi mereka mungkin lebih baik kita
yang mengambil alih kekuasaan. Kita bilang aja pada mereka, Hey, loe
pada nggak percaya waktu kita-kita memperingatkan loe pada! Sekarang
kita udah menyelamatkan kalian, menyelamatkan negeri ini… so hand over
the authority, please…,” usul seorang peserta pertemuan. Beberapa
peserta langsung bersorak seperti mendukungnya.
“Saya setuju, tapi itu masih jauh sekali dari sini, kawan. Kita bahkan
masih belum melakukan sesuatu untuk mencegah rencana mereka,” ucap
peserta yang lain. Beberapa peserta yang hadir mengangguk-angguk seperti
setuju.
“Masalahnya kita belum menemukan metode yang tepat untuk menghalau
rencana mereka, setidaknya memperlambat kemajuan mereka.” Ray menghela
nafas.
“Saya punya rencana ketua!” teriak seorang peserta dari deretan tempat duduk paling belakang. Ia berdiri.
“Dan, apakah rencana itu?” tanya Ray penasaran.
“Jika mereka memaanfatkan media sebagai alat untuk mengasah senajata
mereka, yaitu imej, maka yang perlu kita lakukan adalah membalikkan
fungsi alat itu. Kita tumpulkan senjata mereka.”
“Dengan cara?”
Si peserta mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kemudian ia
mengacungkan sesuatu itu dengan tangan kanannya. Ray tertohok, semua
orang menoleh pada peserta tersebut.
“I…itu…!!”
Setahun kemudian….
Seorang pria bertampang seram menggebrak meja di hadapan Ray. Muka pemuda itu pucat dan tangannya terborgol.
“Jadi itu pembelaanmu?”
“Ya… itu adalah satu-satunya cara untuk mencegah rencana mereka. Jika
mereka menggunakan citra sebagai modal utama mereka, maka itu adalah
cara yang paling tepat,” jawab Ray dengan kepala tertunduk.
Si pria bertampang seram itu bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan
mondar-mandir sambil sesekali meremas kepalanya. Anak muda ini sudah
gila rupanya! pikirnya.
Pria itu kemudian mengambil sesuatu dari bawah meja, sebuah kardus. “Ini
ditemukan rumah seorang artis, apa benda ini perbuatan kelompok
kalian?”
Ray hanya melirik sesaat pada kardus itu. “Mungkin,” jawabnya pelan.
Si pria bertampang seram meremas kepalanya lagi. Kemudian dengan sangat
emosional dan terburu-buru ia mengeluarkan isi dari kardus tersebut,
beberapa bungkusan plastik berisi semacam tepung berwarna putih polos.
“Dengan menggunakan nark*ba?”
Kali ini Ray hanya terdiam.
“Kamu dan teman-temanmu itu benar-benar sinting! Oke, mungkin kalian
percaya terhadap adanya semacam konspirasi dan kalian ingin menghentikan
hal itu. Oke, mungkin niat kalian baik. Saya sendiri memang benci
sinetron, istri saya tidak memberi saya kesempatan untuk menonton
pertandingan bola karena jam tayangnya sering berbeturan dengan jam
tayang sinetron. Tapi… tetap saja cara yang kalian lakukan salah. Segala
jenis kejahatan meski itu demi tujuan baik adalah salah. Melakukan hal
itu, kalian sama saja dengan teroris!”
Ray bungkam seribu bahasa. Kepalanya semakin tertunduk dan ia berpikir, Mereka bahkan sudah menguasai pihak kepolisian…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar