Rabu, 18 Maret 2015

Teater Nahkoda

Nesya: Errrggghhh… gerahnya minta ampun deh! Neraka bocor kali ya.. erggghhh…
kami telah menunggu selama 7 jam disini, namun aula belum juga dibuka.
Lio: Sabar sya, kita semua juga kepanasan. Aku udah ngabisin 3 botol air es dan perutku juga lapar.. huft..
Andi: so, sekarang kita mesti gimana? Mau lanjut atau pulang? Kalau lanjut, kita mesti nunggu berapa lama lagi?
Sutris: Kalau pulang usaha kita sia-sia. Dan… malu sama bapak, ibu dan warga kampung.
Andi: ah… gara-gara Lio sih pamit ke orang-orang kampung dan bilang kita mau jadi artis.. aduhhh…
Lio: lho kok aku? Kan kamu yang bilang kalo kita ke jakarta buat jadi artis.
Sutris: saya gak mau pulang! Apa kata orang kalu kita pulang belum ada hasilnya
Nesya : heiii.. sudah sudah sudah… Gue gak bakal nyerah.. kita mesti bertemu pak Roni atau kita tidak bisa tampil di ajang ini. Ayolah kawan, gue udah lama menunggu ajang ini, ini mimpi gue. Kita sudah lebih dari 5 tahun bersama dalam teater ini, Teater nakhoda.
Sutris: saya setuju sama Nesya, walaupun kita berasal dari daerah terpencil, desa dan kumuh namun kita memiliki potensi yang belum tersalurkan bahkan belum diketahui oleh masyarakat negeri ini. Kalian mau lanjut?
Hening sejenak..
Lio : ya lanjut donk… kalau kamu ndi?
Andi: yaaa saya ikut lanjut deh…
Alhamdulillah… Lio, Andi dan Nesya mengucapkan hamdalah serentak.
Nesya: tapi kok gak ada tanda-tanda aulanya mau dibuka ya? Apalagi kita udah nunggu 7 jam.
Andi: eh, eh.. korannya mana? Mana korannya? Itu.. itu.. tanggal, hari dan jam nya
Lio: ya ampun ndik, kan udah aku bilang hari ini, jam 10 pagi
Sutris: yakin???
Nesya: Lio, coba aku lihat korannya!
Sutris pun menyodorkan koran ke Nesya. Nesya membuka-buka koran
Nesya: Astaghfirullahalazdim!!! dan akan diadakan 3 hari kemudian
Andi, Lio dan Sutris: kenapa sya?
Nesya: aaarrrggghhh…
Kami menyusuri jalan jakarta, bundaran di depan Hotel Indonesia yang sangat megah buat kami yang baru pertama kali datang ke jakarta. Gedung-gedung yang tinggi, pusat perbelanjaan yang sangat besar dan mewah. Ahhh… tidak akan cukup uang kami bila masuk kesana. Mobil-mobil mulai dari yang terjelek hingga terbagus ada disini, yang sedari tadi menjalar sangat panjang di jalanan dan hanya bergerak beberapa meter setelah itu berhenti lagi. Klakson motor yang sangat bising di telinga kami, ada bajaj pula yang asapnya hitam mengepul di depan kami. Lalu banyak anak-anak kecil yang meminta-minta dan ini yang bikin kami merasa ngeri, pengamen yang memakai kaos hitam, celana hitam yang ngepres, rambutnya berdiri tajam-tajam, kuping yang ditinding, hidung bahkan alis pun juga ditinding. Ahhh… sungguh susahnya mendapatkan sesuap nasi di kota ini.
“Woiii… berhentilah sebentar, aku capek. Kita cari makan yok! Aku lapar…” ujar Lio. Dan kami semua pun mengiyakan. Kami mencari warung makan yang murah. Nah, mata kami pun langsung tertuju pada warung makan bertuliskan “WARTEG”. Wah… menu nya banyak ya, kami pun langsung memilih menu masing-masing dan memakannya dengan lahap.
Setelah selesai makan kami menyiapkan uang untuk membayar. “Uuummm… berapa bu semuanya?” “Totalnya jadi 52 ribu..” kami pun terdiam. Ibu penjual kembali berkata, “semuanya 52 ribu..” “ohhh eee i..iya ya.. 52 ribu. Tunggu sebentar ya bu, kita hitung uangnya” ujar Sutris. Oh… kami kira makanan ini hanya menghabiskan 20 ribu, ternyata diluar dugaan. Hehe… “ini bu uangnya, teriamakasih..” “iya, sama-sama” balas si ibu penjual.
“Huh! Lio sih makannya kebanyakkan! Coba kalo elo makannya gak banyak kayak gunung meletus tadi, gak mungkin kita bakal semahal ini..” nesya, “udah deh kamu gak usah marahin Lio. Ya maklum aja dia kelaperan., bukan Lio aja yang lapar kita semua juga laper kok”. “Tapi Ndi, gak mesti sebanyak itu juga…” “Nesya, Andi, Sutris maafkan saya ya.. saya memang salah”. “Sudah sudah! Disini semuanya memang lebih mahal dari kampung kita, lebih baik sekarang kita berpikir bagaimana supaya kita bisa bertahan hidup disisni. Dan kamu Nesya, nggak usah pake kata-kata “elo-gue” gak pantes! Baru sampai jakarta udah belagu” ujar Sutris. Nesya pun menjulurkan lidahnya ke arah Sutris dengan rasa kesal. “Yuk kita cari penginapan yang murah, kost-kostan yang murah…” ajak Andi.
“Eh, lihat air di sungai itu.. kenapa warnanya hitam?” Kata Andi. “Eh, lihat juga deh di pinggir sungai itu juga banyak rumah-rumah dari plywood, kain terpal dan berdinding kardus” kata Lio. “Oh begitu banyak sampah di sungai itu dan baunya uuuggghhh!” kata Sutris. “dan itu, disebelah sana malah ada mall besar dan perumahan untuk orang-orang kaya. Ahhhh… aku jadi ingat kampung, huhuhu…” Nesya menangis dan sambil berkata, “kita masih bersyukur ya tinggal di kampung. Lihatlah rumah-rumah di pinggir sungai yang hitam itu, mereka lebih susah daripada kita. Walaupun susah kita masih dapat menghirup udara yang segar, air yang jernih dan berlimpah ruah, dan orang-orang kampung yang masih peduli dengan keadaan sekitarnya. Aku takut disini… aku takut sendirian disini”. “Nesya, disini kita bersama-sama dan kamu tidak akan sendirian” ujar Andik. “Ingat mimpi kita Nes!” Sutris menambahi. “Iya, jadi artis…” kata Lio dengan pose telunjuk disilangkan ke pipi sambil tersenyum lebar dan kami semua tertawa. Hahahahaha…
Setelah ngluntang-nglantung selama tiga hari, akhirnya hari yang mereka tunggu-tunggu pun tiba. Mereka optimis pasti bisa masuk ke Teater Nusantara. Teater Nusantara, adalah teater tersohor di negeri ini. Apabila para peserta bisa lolos seleksi, maka mereka berhak untuk mendapatkan pelatihan Seni Peran selama 18 bulan secara gratis, tinggal di asrama plus makan, diajar oleh para pengajar yang professional dan mendapatkan uang saku setiap bulannya. Setelah 18 bulan berakhir, mereka akan langsung diterima oleh home production alias rumah produksi film yang sudah bekerja sama dengan Teater Nusantara.
“Penampilan selanjutnya adalah Teater Nakhoda..”
Cring.. cring.. cring… di awali dengan puisi “DOA” karya Chairil Anwar yang dibacakan oleh Andi. Setelah Andi selesai membacakannya, mereka berlari memutari panggung. Seolah-olah mereka berada di panggung yang megah, diiringi musik orkestra yang entah siapa penggubahnya dan dilanjutkan dengan dialog-dialog yang tak kalah mencengangkan jua. Semua mata tertuju pada mereka tanpa bergeming sedikitpun. Inilah opera! Mereka memberikan pertunjukan opera. penampilan mereka pun selesai. Mereka menunduk seraya memberikan salam dan tepuk tangan bergemuruh memberi pujian atas penampilan mereka. Hingga turun dari panggung suara tepuk tangan semakin pelan, pelan hingga hingga tidak ada suaranya.
Di balik panggung, mereka semua mengucapkan hamdalah. Perasaan lega mengalir di hati mereka dan ada seseorang yang menghampiri mereka. Ia berkata “wow… kalian keren banget! Saya suka sekali penampilan kalian. Semoga kalian terpilih untuk bergabung di teater Nusantara”. “Amin, terimakasih pak… terimakasih pak”, ucap mereka bersahut-sahutan.
Dari raut wajahnya, perasaan Nesya menjadi gusar. Ada banyak peserta-peserta lain yang menampilakan pertunjukan memukau. Dia berkeringat, tegang, takut kalau mereka akan kalah di kompetisi ini. Karena tingkah laku Nesya yang gelisah dan bengong, Lio menepuk pundak kiri nya. Nesya terkaget, “kamu kenapa Nes?” “Aku gak pa-pa”, jawab Nesya. “Walah Nes… yang namanya kompetisi rasa gugup harus ada, itu normal. Karena kita akan memberikan penampilan terbaik kita, makanya gugup. Dan sekarang kita tinggal menunggu hasilnya, memang tegang rasanya. Tapi inilah kompetisi”. Mendengar percakapan Nesya dan Lio, Andi dan sutris pun ikut nimbrung juga. “Woy… gileee… gue deg-deg’an men! Hahaha…” ujar Sutris. “Saya juga deg-deg’an, perut saya serasa mules! Yang penting kita sudah berlatih semaksimal mungkin dan telah memberikan pertunjukan yang terbaik” ujar Andi. “Iya, betul sekali saudara Andi! Haha..” Sutris menyetujui.
Mereka bercerita dan terus bercerita, hingga mereka tak sadar bahwa pembawa acara memangil-manggil nama teater mereka.
“TEATER NAHKODA…!”
“TEEEAAATERRR NAAAAHHHKKKOODAAA…!”
“Stttt… sttt… eh! Diam… diam Lio, Andik, Sutris, sssttt!” ujar Nesya. Mereka diam.
“TEATER NAHKODA SILAHKAN NAIK KE ATAS PANGGUNG…!”
Entah sudah berapa kali mereka dipanggil sang pembawa acara. Mereka langsung bergegas menuju panggung. Orang-orang bertepuk tangan
Setiba mereka di panggung, pembawa acara berkata “selamat kepada kelompok yang telah bergabung dengan Teater Nusantara”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar