Rabu, 18 Maret 2015

Kontes Dangdut Semilyar (Part 1)

“KONTES DANGDUT SEMILYAR Sesion 7!! … datang dan ikutilah kontes dangdut terbesar tahun ini,” Riri membaca keras-keras. Mungkin sebuah brosur online. Ia sangat serius membaca dan memahami isi dari brosur itu. “Mau ikut gak Nit?” tanyanya. Walaupun pandangannya tetap tertuju pada layar monitor laptopnya. “Ni, usia minimal 15 – 27 tahun.”
“Riri aja yang ikut.” Jawabku acuh.
Riri mencengkram bahuku dengan sangat kuat. Ditatapnya dengan lekat kedua bola mataku “Riri gak suka dangdut. Nita ajah, nanti Riri yang anter Ok?”
“Lagi gak pingin ikut kontes dangdut,” karena tak ada jawaban aku pun melanjutkan “…nanti kalau mas Arifin tau, dia gak bakal ngasih suport apapun. Malah bikin semangatku down”
“owh iya…”
“…belum nanti kalau tempatnya jauh dan kita gak ngerti kan” aku menerawang “…ah, udahlah Ri. Riri main facebook aja, aku gak minat.”
Dari aku kecil, orangtuaku sudah mengenalkan aku dengan dangdut. Terlebih Vcd yang berada di ruang tamu juga sering kali ibu nyalakan untuk menemaninya bersih-bersih rumah, dan lagu-lagu Rita Sugiarto-lah yang kerap ianyalakan. Mau tak mau, memang itulah lagu keseharian kami. Bapak yang juga fanatik dengan dangdut sering menyanyi dengan lantang di rumah. Malah terkadang menyanyi duet dengan ibu. Ah, aku Cuma bisa bertepuk tangan dan tersenyum, mungkin kadang juga turut bernanyi bila hafal beberapa bait liriknya. Lama-lama aku juga mulai suka dengan dangdut, saat rumah dalam keadaan sepi dan hanya aku seorang diri, aku iseng menyalakan lagu dangdut dengan volume kecil, ikut bernyanyi jika telah hafal baitnya. Hingga suatu hari, bapak mempergokki aku. Ia malah langsung menaikkan volume, dan membimbingku perlahan. Ibu pun yang memang setuju saja juga pada akhirnya membelikanku Mic, iya.. Mic untuk karaoke di rumah. Kakakku, Arifin yang anti dangdut kadang berontak dengan menyalakan Mp3 dengan lagu metalnya.
Tapi Mas Arifin bener-bener anti sama dangdut. Dia yang saat ini berusia 24 tahun pernah ada pengalaman dengan penyanyi dangdut. Apalagi semenjak mbak Ratih, mantannya, ternyata seorang penyanyi dangdut. Ya, awalnya memang dia suka juga dengan dangdut. Mereka sudah kenal lama dan jauh sebelum Mbak Ratih jadi artis dangdut top seperti ini. Kontes dangdut dari ujung ‘sabang sampai merauke’ pun akan diantarkan oleh Mas, namun aku tak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi setelah mbak Ratih mengikuti “kontes dangdut semiliar sesion 3”. Yang pasti kontes dangdut satu ini memag sudah top, ditayangkan di televisi nasional. Waktu itu di surat kabar saat kontes itu telah menuju babak Top 5, Mbak Ratih digosipkan dekat dengan finalis lainnya. Karena memang tak ada komunikasi yang intens, alhasil Mas harus sabar menanti sampai usainya kontes itu untuk mendengar kebenarannya. Tapi mungkin karena Mbak Ratih sudah sukses, ia sudah tak menghiraukan mas Arifin yang datang bertamu. Begitu pun kedua orangtua Mbak Ratih, dulu mereka baik dan simpati dengan mas. Namun sifat baik itu sudah tidak ada lagi..
“Hayo! Nita ngelamun apa?!” Tiba-tiba saja Riri mendekapku. Walau airmataku sudah menggenang di pelupuk mata, aku tak ingin airmata ini meluncur di pipiku. “Riri tau kok…” ia melepas dekapannya dan menatap mataku. “… Audisinya masih 2 minggu lagi. Cukup kita berdua aja yang tau,” ia mengerlingkan matanya, menjulurkan sebuah jari manis di hadapanku. Aku tersenyum masam. Mas Arifin bisa sangat marah dan tak mau bicara padaku kalau dia tau aku akan ikut kontes yang sama dengan Mbak Ratih. “Oke?” Riri memastikan
“Aku fikir-fikir dulu…”
3 Hari kemudian Riri betandang ke rumahku
“Owh, Mas Arif..” sapanya santun. Aku hanya mendengarkan dari dalam kamar. “…embp, Nita ada?” tanyanya. Lama kutunggu Mas Arif tak kunjung memanggilku.
“….” hening seketika diantara mereka.
“Mas!! Ada yang nyariin aku kok cuek gitu sih..”
“Halah, Wong Riri aja. Gak aku jawab juga dia bakal miscall hape mu..” Mas Arif duduk dari rebahannya di sofa. “…aku ikut ngobrol ya?”
“Loh, gak mau..” aku melirik Riri yang mendadak tersenyum simpul. “…Kalau ada temenmu aku kan gak ngerocekin, si mas?” aku menarik-narik lengan tangannya agar segera bangkit dari sofa dan segera meninggalkan kami berdua. “Maaasss!!” aku menoleh ke arah Riri dan memberi isyarat permintaan izin untuk Mas Arifin, Riri mengangguk.
Kami mengobrol berdua. Mas Arifin tetap asik dengan film robotnya. Feelingku berkata sebetulnya Riri ingin menanyakan tentang kepastian ku tentang kontes itu. Namun, pasti harus berbelok-belok karena ada Mas Arifin.
“Dek! Ririnya diambilin minum dong… masa keringan gini, ya gak Ri? kalau haus kamu bilang aja ya…”
“Ahh…” jawabku malas. Kakiku melangkah menjauh dari ruang tamu. Sesaat aku nguping dari balik tirai pemisah antara ruang tamu dengan ruangan lainnya mereka tak bersuara. Aku pun segera bergegas kedapur. “kalau Cuma bikin dua gelas pasti punyaku diminum habis” Aku segera kembali ke ruang tamu dengan nampan berisi minuman dan beberapa makanan ringan. “Mas!!” Aku menendang kakinya yang bertupu di atas meja. “Gak sopan! aku bilang bapak lo.”
Seketika itu juga kakinya turun, sambil mulutnya menggerutu “Mau kapan bilangnya? Bapak sama Ibu lagi gak ada di rumah.”
“ya kalau pulanglah…”
“owh, memang pak de sama bude kemana mas?” tanya Riri. Sontak membuatku merengut. Kok tanyanya ke masku?
“ke rumahnya Haji Sodikin…” jawab Mas Arifin sambil meneguk minumannya.
“owh…”
“gak sopan, tamunya belum minum malah kamu minum duluan”
Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti audisi itu. Sebelumnya aku sudah meminta izin kepada ibu dan Bapak, dan meminta agar hal ini dirahasiakan dari Mas Arifin. Bapak Menyuportku. Ia lebih sering mendengarkan aku bernanyi, Ibu juga. Tapi itu sembunyi-sembunyi hanya bila Mas Arifin sedang pergi bekerja atau sedang tidak ada di rumah. Jelang satu minggu dari hari H, Riri sudah menyiapkan semuanya.
Hingga tiba saat untuk audisi pun tiba. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, dan sekarang waktunya beraksi. Audisi dibuka tepat pukul 9 pagi di pusat kota. Kami berangkat pukul 7, agar tidak mendahului mas Arifin berangkat Kerja. Maklum, saat ini aku dan Riri sebagai 2 pasang pengangguran. Setelah dirasa aman, Aku berpamitan kepada ibu dan bapak, lalu bergegas ke rumah Riri. Orangtua Riri juga tahu kemana kita akan pergi. Riri anak semata wayang di keluarganya hingga ia diperlakukan sangat istimewa. Kami berangkat menaiki sepeda motor milik Riri, tentu saja dia yang bonceng. Aku selalu siap sedia sebagai penumpang.
Tiba di tempat audisi kami cukup panik, karena banyak dari mereka yang mengenakan kostum, baju panggung yang ‘waah’ dan make up tentunya. “Ri…” tanyaku gusar.
“Udah gak papa… PD!” ia mengepalkan tangannya untuk menandakan harus semangat. “Aku udah print formulirnya, jadi 2 rangkap.”
“kamu ikut?”
“hihihi… aku juga pengen ketemu artis kali, Nit.” Benar saja. Riri pernah memperlihatkan brosur itu padaku, dan nama juri yang tertera disana adalah pedangdut yang lagunya sering aku dengarkan di rumah.
Setelah kami mengantri untuk mendapatkan nomor peserta kami duduk lesehan di ruang tunggu. Setelah semakin dekat, kami berpindah ke ruangan yang memiliki kursi. Saat itu jantungku sudah berdebur kencang. 2 buah lagu yang masing-masih slow dan beat pilihan bapak yang seusai dengan vocalku telah aku persiapkan dengan matang. “sebenernya kamu gak cocok nyanyi beat, tapi usaha yah!” pesan bapak
“Silakan…” petugas mempersilahkanku untuk memasuki ruang audisi. Dan ketika pintu terbuka… nampaklah 3 orang juri yang telah menanti. Jantungku semakin berdebur tak karuan. Aku jatuh pingsan.
Remang-remang kulihat sekitar. Riri menopang kepalaku. Rupanya aku masih berada di dalam ruang audisi. Riri yang beda satu angka di belakangku mencoba membangunkan. Setelah aku siuman, Riri diminta untuk menyanyi terlebih dahulu. Alhasil, kami diaudisi disaat yang bersamaan. Ya, karena Riri memang sebenarnya hanya mengantarku ia hanya bernyanyi lagu Terajana. Tiba giliranku. Setelah aku diinterview tentang formulir yang kuisi aku mulai menyanyikan lagu pertamaku. Mata Hati’nya Iis Dahlia.
Entah apa yang sedang dibicarakna oleh juri itu “kalian siap mendengarnya…” begitu kata salah satu dari mereka. Aku dan Riri saling berpandangan dan bergenggaman tangan, lalu mengangguk penuh keyakinan. “Maaf… karena salah satu dari kalian harus tetap tinggal. Riri..” Aku dan Riri saling berpandangan. Belum paham. Lalu Riri menarikku dalam pelukannya. “Kamu lolos Nit!!” kami berpelukan dalam melompat-lompat kegirangan. Setelah bersalaman dengan para juri kami hengkang dari tempat audisi dan kembali pulang.
Sesampainya aku di rumah, aku buru-buru mencari ibu. Memberitahu bahwa aku lolos seleksi 30 besar perwakilan kota. Esok hari aku harus kembali untuk tahap selanjutnya. Tahap demi berhasil aku lalui. Hilir mudik aku kesana kemari bersama Riri. Untungnya, dia selalu membimbingku. Hingga akhirnya aku sukses menjadi satu-satunya perwakilan kota. Tapi masalah kemudian datang. Mas Arifin belum tahu tentang kontes dan kelolosanku. Aku tak tahu bagaimana harus mengucapkannya. Dan, beberapa waktu yang lalu, ketika ada berita tentang Mbak Ratih di televisi mas tak sengaja mencurahkan isi hatinya pada ku. “bukan aku gak mau kamu jadi penyanyi dangdut. Mas cuma gak mau kamu jadi artis terus lupa siapa dan dari mana kamu sebelumnya.” Setelah berkata demikian, ia mematikan televisi dan berlalu. Aku dan ibu saling berpandangan.
“Gimana bu, aku udah pasti ke Jakarta. Tapi mas Arif belum tau apa-apa”
“Kabur.” Kata bapak “…bapak akan bantu bilang ke Arifin. Kamu harus mencapai cita-citamu.”
“Makasih pak.”
2 hari kemudian aku berangkat ke Jakarta untuk Karantina selama 3 bulan. Sebelum akhirnya harus on air di televisi selama beberapa waktu ke depan. Bapak, ibu, Riri dan kedua orangtuanya turut mengantarkanku sampai ke bandara setempat. Ini adalah kali pertama aku bepergian jauh tanpa orangtua, naik pesawat pula. “titip pesan untuk mas Arif..” aku menyeka airmataku yang mendadak mengalir “…ini.” aku mengulurkan sebuah amplop.
Tak berapa lama kemudian, pesawatku lepas landas dan meninggalkan kota ku tercinta. “Jakarta…” aku menyandarkan tubuhku pada kursi empuk. Fikiranku masih belum tenang dan tetap memikirkan mas Arif.
Sesampainya aku di bandara, dari pintu keluar terlihat sebuah kertas yang bertuliskan nama dan asal kotaku “SELVYA QANITA, SURABAYA” dengan background bertuliskan KONTES DANGDUR SEMILYAR sesion 7. Aku tersenyum simpul. Agak ragu, namun akhirnya kulambaikan tanganku padanya. Ia membalas lambaian tanganku. Seorang pria berpakaian seragam stasiun televisi “Ayo. Kumpul dulu ya,” ia membimbingku untuk menemui kawan-kawan dari kota lain. Agaknya aku akan bertemu dengan banyak orang baru. Satu persatu kujabat tangannya dengan memperkenalkan namaku. Dengan logat daerah masing-masing aku mencoba seakrab mungkin.
Ketika seluruh kontestan telah tiba, akhirnya kami diangkut ke tempat tinggal baru kami. 7 laki-laki dan 8 perempuan. “Nita, Surabaya mana?” tanya seorang dari mereka. Aku saja belum hafal namanya, tapi ia sudah hafal namaku.
“Surabaya tapi ndak asli Surabaya juga sih.” Jawabku agak risih. Tapi lama kelamaan teman-teman yang lain ikut nimbrung dan pecahlah rasa canggung di antara kami. Saat itu, aku melafalkan nama mereka sembari berjabat tangan sekali lagi “Wisnu, Desta, Okta, Tya, Nadine, Septi, Ira, Devi, Galih, Dandy… embp.. Farhan” yang pertama mebuka topik “…Lukman, Heni, Noni!” aku tersenyum bangga karena hampir hafal. Dengan serentak mereka menyebut namaku dengan lantang. Hingga aku merasa malu.
Rombongan telah sampai ke suatu rumah. Kami masuk, kru yang tadi menghampiri ku memberi tata tertib dan jadwal kami selama karantina. Pembagian kamar pun kami dahulukan. Selebihnya kami akan berada dalam rutinitas 2 hari kemudian.
Selang waktu berlalu, kini hanya tinggal kami bertujuh. Lukman, Okta, Tya, Farhan, Devi, Ira dan aku. Kami mulai merasakan sepi. Dahulu kami ber-lima belas hingga sekarang hanya tersisa tujuh. Sabtu depan akan ada yang harus pulang kembali. Untuk itu, sekarang kami memilih lagu. Kami berbondong-bondong menuju aula. Sesampainya disana telah menunggu seorang vocal coach kami, kak Lia. “Hallo! Selamat Pagi!!” teriakknya lantang. “Oke. Untuk pemilihan lagu kali ini..” ia berkeliling memberi kami secarik kertas dan bolpoint. “… tulis judul lagu yang paling kalian sukai. Sertakan nama kalian” Kita berpandangan, tersenyum bangga. Agaknya beberapa dari kami sudah mulai merasa bangga. Bukankah jika menyanyikan lagu favorit harusnya mudah? karena kita sering menyanyikannya? mendadak Tya membisikiku..
“Feelingku kayaknya ada jebakan lagi loh” kata Tya, perwakilan Bandung. Pernah juga ia mengatakan feelingnya padaku. Dan memang terbukti bahwa pemilihan lagu kala itu cukup membuat di antara kami menjadi payah.
“Oke cukup. Masukan kemari” Kak Lia menyodorkan fishball. Kami besorak penuh derita. “Apa ku bilang?” Kata Tya lesu.
Secara bergiliran kami memasukkan kertas ajaib kami ke dalam sana. Sembari berdo’a agar tak mendapat lagu yang susah. “Nah, nanti giliran lagi ya, diambil kertasnya, kalian baca dan itulah lagu kalian. Oke?”
“Siap! Oke!” antara penasaran dan was-was aku dan Tya mencoba relaks. Farhan memanggut kepalanya. Terlihat ia tak yakin dengan keberuntungannya kali ini, seperti sebelum-sebelumnya. Farhan sebaya dengan kakakku, mas Arif. Ah, apa kabar kakakku yang ganteng itu? Sudah memaafkan ku kah atas kelancangan ini. atau justru semakin murka dengan dangdut. Karena aku tak pernah juara dalam beberapa lomba yang diadakan dengan hadiah dapat menghubugi sanak saudara, alhasil aku tak tau kabar mereka. “Hayo!” Kak Lia memandang lurus tatapan mataku. “Owh…” saat aku tahu bahwa tanpa sengaja lamunanku mengarah ke arah Farhan “gak kak!” aku mengelak. Namun kalah telak, teman-teman yang memergokiku juga. “ada hati ni,” goda Ira.
“Gini dech, biar Nita duluan yang ambil kertas ajaibnya ya… eghm” Kak Lia memberiku fishball itu. Aku memejamkan mata, berusaha agar mendapatkan lagu yang mudah dan tak terlalu ada story denganku. Aku mengambil sana dengan hembusan nafas lega. Jantung berdebur. Aku berdiri dan kubuka kertas ajaib itu.
“Yank-Rhoma Irama. (Farhan)” aku tertegun. Agak malu, dan sedikit janggal dalam hatiku.
“Cieeee… Nita feeling banget sama kertas ajibnya Farhan.” Komen Okta mendadak. Kulirik Farhan di seberang pandang, yang tengah juga memandangku. Aku tersenyum simpul. Hingga tiba seluruh finalis telah mendapatkan kertas ajaib.
Lukman dengan lagu Keramat dari Okta
Okta dengan lagu Cinta Hitam dari Tya
Tya dengan lagu Khusus Malam ini Devi
Farhan dengan lagu Kehilangan dari Ira
Devi dengan lagu Terguncang dariku
Ira dengan lagu Hubungan dari Lukman
aku dengan lagu Yank dari Farhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar