Saya selalu bercita-cita sebagai pemimpin, dalam segala hal. Tapi
sering kali saya menyadari, bahwa saya tidak bisa dikatakan pantas untuk
hal itu.
Oleh karena itu, saya punya banyak cita-cita cadangan.
Salah satunya…
‘Penulis?’ Kenapa tidak?
Dan karena kehidupan saya terlalu datar untuk dijadikan cerita, maka
saya gunakan sudut pandang orang lain ditambah cerita fiktif di
dalamnya.
Inilah..
‘EVANITY’
“Apa kau tahu?”, Evan memulai pembicaraan.
“Soal apa?”, jawab Niti.
“Gurita memangsa hiu…”
“Apa hubungannya dengan kita?”, Niti pun penasaran.
“Tidak ada! Hanya celetukan di tengah ketegangan.”, gurau Evan.
“Bisakah kau bicara lebih serius? Kita sedang dalam perjalanan perang.”
“Justru itu, sedikit gurauan itu akan sangat berguna bagi kita. Kita
tidak tau apa yang akan terjadi di depan. Mungkin saja kita akan gugur
dan gagal dalam misi ini.”, kilah Evan.
Dengan nada dingin Niti menjawab, “Jika kau tidak tau apa yang akan terjadi di depan, maka BERSIAPLAH!”
“Dan lagi aku tidak sudi mendengar dugaan pesimismu! Kita pasti akan
menyelesaikan misi mulia ini dengan baik, sesuai ritme.”, tegas Niti.
Mendapati sorot mata penuh ambisi dan keyakinan itu, Evan hanya menoleh
ke arah Niti dan berkata dalam hati, “Seperti biasanya, Ia selalu
serius. Tak heran, Ia dikagumi banyak orang.”
Lalu ia berkata pada Niti, “Baiklah, jika kita berhasil dalam misi ini, aku akan traktir kau makan sup sirip ikan hiu..”
“Bukan ‘jika’, tapi ‘pasti’!”, tegas Niti.
“Ya, tentu saja.”, Evan menutup pembicaraan.
Ini kisah tentang pembebasan warga pedalaman Andalusia yang menjadi
tawanan negara Polinesia oleh sejumlah tentara militer yang dikirim oleh
negara Cresia (induk wilayah Andalusia). Dipimpin oleh, panggil saja
Letnan Evan Dimas, pasukan pembebasan yang sudah benar-benar terlatih
ini berhasil mengambil alih kembali wilayah Andalusia dalam waktu yang
cukup singkat. Dan pada suatu malam di sela kemenangan mereka, terdengar
pembicaraan,
“Tidak ku sangka, hari ini kita akan menang mudah.”, ucap Hargi sembari tertawa.
“Iya. Tidak seperti yang dibicarakan, ini terasa mudah sekali.”, Zulfi
menambahkan, sambil meminum setenggak bir keberuntungannya.
“Jangan jumawa dulu kawan-kawan. Kita tidak bisa membuang segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.”, Niti mengingatkan.
“Hey, ti.., kau memang pengingat yang baik bagi kami. Tapi, bisakah kau
biarkan kami menikmati kemenangan ini sesekali saja.”, tawar Hargi.
“Haaahhh.. baiklah. Aku rasa aku sudah sering menceramahi kalian dan
kalian selalu menurut. Mungkin boleh juga kalau sesekali kalian
membangkang. Ya sudah, lanjutkan pesta kalian.”, ucap Niti menyerah.
“Hahaha, begitu dong.”, Hargi pun puas.
Hanya sampai tengah malam, perayaan kecil ini pun bubar. Sebagian
tentara pergi beristirahat, dan sebagiannya lagi berjaga dari serangan
musuh.
Tanpa terasa, tibalah pagi hari di mana warga setempat berencana
dievakuasi. Ketika semua persiapan sudah oke, hal yang tidak diinginkan
pun benar-benar terjadi. Baku tembak pecah…
Musuh tiba-tiba menyerang tanpa pandang bulu dan karena jumlahnya yang
terlalu banyak, pasukan pembebasan pun tak berdaya. Sebagian dari mereka
tewas..
Fatal, Niti yang diandalkan sebagai tentara medis pun ikut tertembak di
sekitar pinggul kirinya. Walaupun tidak terlalu parah, karena tentara
medis selalu memakai baju anti peluru yang lebih baik dari lainnya. Tapi
Ia tetap berusaha dengan sekuat tenaga mengobati teman-temannya.
Suasana terhenyak beberapa saat, dan tiba-tiba datang suara langkah kaki seseorang.
Dengan dikawal beberapa orang tentara, Jendral Militer Polinesia yang turun langsung ke medan perang pun angkat bicara.
“Semua, hentikan tembakan kalian.”, seru Jendral agar anak buahnya berhenti menembak.
Setelahnya, Ia pun kembali berbicara,
“Aku telah mendengar semua legendamu, ‘Dewi Penyembuhan Cresia’, Wahyu Niti.”
Seolah tidak mempedulikan, Niti pun tetap berusaha menyembuhkan teman-temannya.
Sambil melangkah Jendral menambahkan, “Wah, hebat sekali! Masih sempat
memikirkan orang lain, padahal kau sendiri sedang terluka. Menggunakan 1
tangan untuk menutup lubang luka dengan antibiotik dan 1 tangan lagi
untuk menyembuhkan teman-temanmu. Teknikmu sungguh luar biasa. Kau
wanita yang amat cekatan. Julukan ‘itu’ memang pantas untukmu.”
Niti tetap tidak mau mendengarkan.
“Sepertinya kau sama sekali tidak tertarik dengan kata-kataku. Baiklah..
Tapi, semua akan berakhir begitu aku menembak salah satu tanganmu.”,
ucap Jendral sedikit marah.
Niti pun menoleh ke arahnya dengan sorot mata tajam.
“Tapi tenang saja, aku takkan melakukannya. Sengaja aku turut dalam
perang ini untuk memberi penawaran khusus untukmu. Ikutlah kami, dan
bergabunglah dengan rencana kami, maka warga Andalusia dan teman-temanmu
akan kami bebaskan. Apa kau tertarik?”, tawar Jendral.
Sejenak, rasa dilema hadir di hati Niti. Ia terjebak dalam pilihan-pilihan mengerikan.
Ya.. mengkhianati bangsa sendiri itu tidak mungkin dilakukan, tapi jika
menolak penawaran, itu sama saja dengan membunuh warga setempat dan
teman-temannya sendiri.
Akhirnya, dengan raut wajah putus asa dan tanpa bisa berpikir sehat
lagi, Niti bangkit dari tunduknya dan berkata, “Jika aku menolak?”
“Door!” Jendral dengan cepat menembak salah seorang teman Niti.
Sontak Niti menjerit, “Tidak! Hentikan! Jangan lagi!! Baiklah, aku akan ikut dengan kalian. Tapi lepaskan mereka semua..”
Niti pun ikut dengan tentara Polinesia sebagai tawanan. Ia memang sudah
lama diincar, dikarenakan kemampuannya dalam menyembuhkan seseorang,
baik itu dengan cara meramu obat ataupun teknik penyembuhan langsung
pada pasien. Ia pun dianggap sebagai aset berharga negara Cresia.
Sesuai janji, warga dan teman-teman Niti pun dilepaskan. Situasi
perlahan mereda, bantuan dari negara Cresia pun datang. Seluruh warga
Andalusia beserta tentara pembebasan (kecuali Niti) dibawa kembali ke
Cresia untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut.
Dari tempat tawanan, Niti yang di perjalanan dipukul hingga pingsan
pun bangun. Mungkin juga karena rasa sakit di tubuhnya yang masih belum
hilang. Lalu, Ia kaget melihat sekitarnya dan berkata dalam hati, “Jadi
ini rencana mereka..”
Kesalahan dilakukan tentara Polinesia dengan hanya mengikat kaki dan
tangan Niti dengan tali dan membiarkannya sendirian di tempat itu.
Mungkin karena mereka berpikir bahwa Niti sedang sekarat dan hanyalah
seorang wanita tentara medis yang lemah dan takkan melepaskan diri. Tapi
itu salah besar! Niti dengan mudah melepaskan ikatan di tangannya, lalu
memeriksa keberadaan ponsel militer di sakunya. Dan beruntung, ponsel
itu tidak diambil pihak musuh. Ia lalu menelepon seseorang dengan suara
lirih,
“Hallo, Evan.”
“Niti? Apa kamu benar Niti?”, tanya Evan setengah tidak percaya.
“Iya, ini aku, Niti.”
“Bagaimana keadaanmu, kau tidak apa-apa kan?!”, seru Evan khawatir.
“Tenang, aku baik-baik saja kog. Oh ya, aku tidak punya banyak waktu lagi. Akan ku jelaskan rencananya.”
“Rencana? Rencana apa maksudmu? Apa yang terjadi di sana?”, Evan bertanya-tanya.
“Aku ditawan di sebuah gudang dengan banyak senjata perang. Jika
dibiarkan, senjata-senjata ini pasti digunakan untuk hal-hal yang tidak
semestinya. Jadi…”
“Tunggu, tunggu, jadi.. apa ti? Apa selanjutnya?”, penasaran.
Niti termenung.. Sejenak Ia berhenti bicara.
“Niti? Niti?! Kau tidak apa-apa, kan? Apa selanjutnya?”, makin penasaran.
Akhirnya Niti membuat keputusan, “Koordinat 0.12.3 arah barat daya Hutan, kirim pasukan udara.., Ledakkan tempat ini….”
“Apa katamu? Lalu bagaimana denganmu?! Tidak, tidak. Aku takkan
melakukannya! Kenapa kita tidak kirim pasukan besar untuk menguasai dan
mengambil senjata-senjata mereka saja. Aku yakin pimpinan kita pasti
setuju.”, rayu Evan.
“Tidak, Van. Terlalu bahaya jika kita menyerang mereka. Aku tidak ingin
ada lebih banyak lagi yang terbunuh. Dan kalaupun militer Cresia
mendapatkan senjata-senjata itu, mereka pasti menggunakannya untuk
hal-hal yang tidak semestinya. Aku lelah, Van.. Aku lelah dengan perang
panjang tak berkesudahan ini. Aku ingin kita semua hidup damai tanpa
saling menyerang. Kamu juga gak perlu mempedulikanku. Aku punya banyak
murid di akademi medis yang pasti akan meneruskan tekadku, dan menjadi
bakat-bakat berharga bagi negara kita, Cresia. Tidak cuma aku.. Aku
sudah mewariskan semuanya kepada mereka..”
“Tapi, ti.. Bagaimanapun kau adalah teman kami. Kami tidak akan
melakukan itu, setelah semua apa yang kau berikan pada kami. Tentang
jasa-jasamu..”, sanggah Evan.
“Aku cinta negaraku, Cresia.. Jika kalian melakukan apa yang aku katakan
demi Cresia. Itu sudah cukup membuktikan, bahwa kalian memang memang
mencintaiku sebagai teman..
“Tapi, ti..”, Evan masih tidak terima.
“Jika aku beruntung, aku pasti bisa keluar dari sini dan menyelamatkan
diri. Jadi gak usah peduliin aku.. Waktu kita gak banyak, Van. Lakukan
sebelum semuanya terlambat. Selamat tinggal…”
“Ti? Ti? Niti?! Ahhh..!”, Evan kesal karena teleponnya tiba-tiba ditutup.
Evan didesak oleh pilihan-pilihan berat. Ia pun menceritakan rencana
yang diusulkan Niti kepada Jendral militer Cresia. Di luar yang
direncanakan, Evan juga memerinta beberapa orang tentara untuk
menemaninya terjun membebaskan Niti. Sempat berdebat, rencana ini pun
disetujui, dan Evan juga mendapatkan pasukan-pasukan pilihannya. Dengan
syarat, Ia harus selesai pada waktu yang sudah ditentukan Jendral.
Karena jika tidak, Jendral takkan segan-segan untuk menghancurkan gudang
senjata itu, dengan tidak peduli, selamat atau tidaknya mereka.
Pasukan ini akhirnya berangkat di pagi hari yang sudah ditentukan.
Beberapa jam setelahnya, dari gudang senjata,
Niti yang sedang sekarat, dengan amat mengejutkan berhasil menumbangkan
beberapa orang penjaga dan melarikan diri lewat sisi belakang gudang.
Tapi hanya sampai beberapa langkah, Ia mendapati bahwa dirinya sudah
dikepung oleh musuh. Kondisinya juga memburuk, ia tiba-tiba roboh di
antara kepungan musuh. Tak kuasa Ia menggerakkan tubuhnya untuk
menyembuhkan dirinya sendiri. Ia sekarat..
Dalam keadaan hidup setengah mati, muncul bayangan-bayangan sugesti dalam benaknya..
“Apa aku akan mati di sini? Apa aku gagal?”
“Aku bercita-cita sebagai pemimpin, tapi orang-orang hanya menganggapku seorang wanita yang lemah dan tidak pantas untuk itu.”
“Aku coba buktikan. Aku memilih menjadi seorang militan. Lalu lama
kelamaan, orang-orang mulai melupakan kata-kata mereka di masa lalu.
Mereka mulai menghormatiku, walaupun aku hanya seorang wanita. Tapi
bukan wanita yang lemah”
“Orang-orang lalu menjulukiku ‘Dewi Penyembuhan’, tapi bahkan aku tidak
bisa menyelamatkan kedua orangtuaku saat perang dunia dulu. Dibanding
keberhasilan orangtuaku dan para pemimpin Cresia di masa lalu, apa yang
aku tinggalkan hanyalah sebuah kegagalan.. Tapi aku hidup dengan
keyakinan bahwa, kegagalan juga berguna untuk menempa hidupku agar lebih
kuat ke depannya. Dan sebagai gantinya, aku akan mendapatkan sebuah
prestasi yang hebat di masa depan.”
“Tapi pada akhirnya.., semua harus berakhir dengan cara, mati seperti ini..
Haaahhh.. Mungkin sudah saatnya.. melepaskan semua beban di dunia”
Dorrr! Doorr! Doorrr! Suara tembakan memekakkan telinga datang dari
dunia nyata. Tim penyelamat pun datang. Mereka berhasil melumpuhkan
musuh yang mengepung Niti. Letnan Evan pun menghampiri Niti,
“Ti, Niti.. Bangun, Ti..”
Dan entah karena suara tembakan yang masih menyeruak atau mungkin karena
suara salah seorang yang sepertinya Ia kenal, Niti pun terbangun. “Eh,
kau, Evan..”, ucap Niti lemah.
“Kau harus kuat. Kami pasti menyelamatkanmu..”, kata Evan memberi semangat.
Niti tidak bicara lagi, Ia hanya membalasnya dengan senyuman
Evan pun menggendong Niti dan membawanya pergi ke tempat di mana
mereka akan dijemput pesawat militer Cresia. Selang beberapan menit,
bantuan pun datang. Seluruh pasukan pembebasan naik ke beberapa pesawat
yang datang, untuk membawa mereka kembali Cresia. Saat hampir lepas
landas, terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dari arah gudang
senjata. Ternyata bom berhasil dijatuhkan oleh pasukan udara Cresia ke
gudang itu. Dan menghancurkan markas rahasia Polinesia.
Misi pun usai..
Sesampai di Cresia, Niti pun langsung dibawa ke Rumah Sakit Militer
Cresia untuk dioperasi. Operasi berjalan lancar, dan beberapa hari
setelahnya, Ia pun kembali siuman. Lalu pada suatu malam, Letnan Evan
Dimas menjenguknya dengan membawa karangan bunga yang cantik (sesuai
dengan wajah Niti) Ia lalu meletakkannya di meja sebelah kamar tidur
Niti, duduk, dan mulai bicara,
“Hey, bagaimana keadaanmu, cantik?”, ucap Evan dengan nada setengah merayu.
“Apaan sih kamu ini, Aku baik-baik aja kok.”, jawab Niti meyakinkan.
“Iya, maaf, maaf.. Kamu harus cepat sembuh. Kamu kan ‘Dewi Penyembuhan’ kami.”, sambil memuji.
“Aku tidak suka dipuji.. Terlalu banyak dipuji membuat manusia menjadi sombong.”, kilah Niti.
“Hmm, baiklah.. Oh, ya. Kau ingat sesuatu?”, Evan berusaha mengingatkan.
“Soal apa?”, Niti penasaran.
“Gurita memangsa hiu…”
Niti pun teringat, “Ohh.. Ya, sedikit..”
“Kalau sudah sembuh, akan ku traktir kau makan sup sirip ikan hiu”
Sembari tersenyum, “Hehehe, Iya. Terimakasih..”, tutup Niti.
Keduanya pun tertawa bersama-sama..
Selesai..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar