Rabu, 18 Maret 2015

Evanity

Saya selalu bercita-cita sebagai pemimpin, dalam segala hal. Tapi sering kali saya menyadari, bahwa saya tidak bisa dikatakan pantas untuk hal itu.
Oleh karena itu, saya punya banyak cita-cita cadangan.
Salah satunya…
‘Penulis?’ Kenapa tidak?
Dan karena kehidupan saya terlalu datar untuk dijadikan cerita, maka saya gunakan sudut pandang orang lain ditambah cerita fiktif di dalamnya.
Inilah..
‘EVANITY’
“Apa kau tahu?”, Evan memulai pembicaraan.
“Soal apa?”, jawab Niti.
“Gurita memangsa hiu…”
“Apa hubungannya dengan kita?”, Niti pun penasaran.
“Tidak ada! Hanya celetukan di tengah ketegangan.”, gurau Evan.
“Bisakah kau bicara lebih serius? Kita sedang dalam perjalanan perang.”
“Justru itu, sedikit gurauan itu akan sangat berguna bagi kita. Kita tidak tau apa yang akan terjadi di depan. Mungkin saja kita akan gugur dan gagal dalam misi ini.”, kilah Evan.
Dengan nada dingin Niti menjawab, “Jika kau tidak tau apa yang akan terjadi di depan, maka BERSIAPLAH!”
“Dan lagi aku tidak sudi mendengar dugaan pesimismu! Kita pasti akan menyelesaikan misi mulia ini dengan baik, sesuai ritme.”, tegas Niti.
Mendapati sorot mata penuh ambisi dan keyakinan itu, Evan hanya menoleh ke arah Niti dan berkata dalam hati, “Seperti biasanya, Ia selalu serius. Tak heran, Ia dikagumi banyak orang.”
Lalu ia berkata pada Niti, “Baiklah, jika kita berhasil dalam misi ini, aku akan traktir kau makan sup sirip ikan hiu..”
“Bukan ‘jika’, tapi ‘pasti’!”, tegas Niti.
“Ya, tentu saja.”, Evan menutup pembicaraan.
Ini kisah tentang pembebasan warga pedalaman Andalusia yang menjadi tawanan negara Polinesia oleh sejumlah tentara militer yang dikirim oleh negara Cresia (induk wilayah Andalusia). Dipimpin oleh, panggil saja Letnan Evan Dimas, pasukan pembebasan yang sudah benar-benar terlatih ini berhasil mengambil alih kembali wilayah Andalusia dalam waktu yang cukup singkat. Dan pada suatu malam di sela kemenangan mereka, terdengar pembicaraan,
“Tidak ku sangka, hari ini kita akan menang mudah.”, ucap Hargi sembari tertawa.
“Iya. Tidak seperti yang dibicarakan, ini terasa mudah sekali.”, Zulfi menambahkan, sambil meminum setenggak bir keberuntungannya.
“Jangan jumawa dulu kawan-kawan. Kita tidak bisa membuang segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.”, Niti mengingatkan.
“Hey, ti.., kau memang pengingat yang baik bagi kami. Tapi, bisakah kau biarkan kami menikmati kemenangan ini sesekali saja.”, tawar Hargi.
“Haaahhh.. baiklah. Aku rasa aku sudah sering menceramahi kalian dan kalian selalu menurut. Mungkin boleh juga kalau sesekali kalian membangkang. Ya sudah, lanjutkan pesta kalian.”, ucap Niti menyerah.
“Hahaha, begitu dong.”, Hargi pun puas.
Hanya sampai tengah malam, perayaan kecil ini pun bubar. Sebagian tentara pergi beristirahat, dan sebagiannya lagi berjaga dari serangan musuh.
Tanpa terasa, tibalah pagi hari di mana warga setempat berencana dievakuasi. Ketika semua persiapan sudah oke, hal yang tidak diinginkan pun benar-benar terjadi. Baku tembak pecah…
Musuh tiba-tiba menyerang tanpa pandang bulu dan karena jumlahnya yang terlalu banyak, pasukan pembebasan pun tak berdaya. Sebagian dari mereka tewas..
Fatal, Niti yang diandalkan sebagai tentara medis pun ikut tertembak di sekitar pinggul kirinya. Walaupun tidak terlalu parah, karena tentara medis selalu memakai baju anti peluru yang lebih baik dari lainnya. Tapi Ia tetap berusaha dengan sekuat tenaga mengobati teman-temannya.
Suasana terhenyak beberapa saat, dan tiba-tiba datang suara langkah kaki seseorang.
Dengan dikawal beberapa orang tentara, Jendral Militer Polinesia yang turun langsung ke medan perang pun angkat bicara.
“Semua, hentikan tembakan kalian.”, seru Jendral agar anak buahnya berhenti menembak.
Setelahnya, Ia pun kembali berbicara,
“Aku telah mendengar semua legendamu, ‘Dewi Penyembuhan Cresia’, Wahyu Niti.”
Seolah tidak mempedulikan, Niti pun tetap berusaha menyembuhkan teman-temannya.
Sambil melangkah Jendral menambahkan, “Wah, hebat sekali! Masih sempat memikirkan orang lain, padahal kau sendiri sedang terluka. Menggunakan 1 tangan untuk menutup lubang luka dengan antibiotik dan 1 tangan lagi untuk menyembuhkan teman-temanmu. Teknikmu sungguh luar biasa. Kau wanita yang amat cekatan. Julukan ‘itu’ memang pantas untukmu.”
Niti tetap tidak mau mendengarkan.
“Sepertinya kau sama sekali tidak tertarik dengan kata-kataku. Baiklah.. Tapi, semua akan berakhir begitu aku menembak salah satu tanganmu.”, ucap Jendral sedikit marah.
Niti pun menoleh ke arahnya dengan sorot mata tajam.
“Tapi tenang saja, aku takkan melakukannya. Sengaja aku turut dalam perang ini untuk memberi penawaran khusus untukmu. Ikutlah kami, dan bergabunglah dengan rencana kami, maka warga Andalusia dan teman-temanmu akan kami bebaskan. Apa kau tertarik?”, tawar Jendral.
Sejenak, rasa dilema hadir di hati Niti. Ia terjebak dalam pilihan-pilihan mengerikan.
Ya.. mengkhianati bangsa sendiri itu tidak mungkin dilakukan, tapi jika menolak penawaran, itu sama saja dengan membunuh warga setempat dan teman-temannya sendiri.
Akhirnya, dengan raut wajah putus asa dan tanpa bisa berpikir sehat lagi, Niti bangkit dari tunduknya dan berkata, “Jika aku menolak?”
“Door!” Jendral dengan cepat menembak salah seorang teman Niti.
Sontak Niti menjerit, “Tidak! Hentikan! Jangan lagi!! Baiklah, aku akan ikut dengan kalian. Tapi lepaskan mereka semua..”
Niti pun ikut dengan tentara Polinesia sebagai tawanan. Ia memang sudah lama diincar, dikarenakan kemampuannya dalam menyembuhkan seseorang, baik itu dengan cara meramu obat ataupun teknik penyembuhan langsung pada pasien. Ia pun dianggap sebagai aset berharga negara Cresia.
Sesuai janji, warga dan teman-teman Niti pun dilepaskan. Situasi perlahan mereda, bantuan dari negara Cresia pun datang. Seluruh warga Andalusia beserta tentara pembebasan (kecuali Niti) dibawa kembali ke Cresia untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut.
Dari tempat tawanan, Niti yang di perjalanan dipukul hingga pingsan pun bangun. Mungkin juga karena rasa sakit di tubuhnya yang masih belum hilang. Lalu, Ia kaget melihat sekitarnya dan berkata dalam hati, “Jadi ini rencana mereka..”
Kesalahan dilakukan tentara Polinesia dengan hanya mengikat kaki dan tangan Niti dengan tali dan membiarkannya sendirian di tempat itu. Mungkin karena mereka berpikir bahwa Niti sedang sekarat dan hanyalah seorang wanita tentara medis yang lemah dan takkan melepaskan diri. Tapi itu salah besar! Niti dengan mudah melepaskan ikatan di tangannya, lalu memeriksa keberadaan ponsel militer di sakunya. Dan beruntung, ponsel itu tidak diambil pihak musuh. Ia lalu menelepon seseorang dengan suara lirih,
“Hallo, Evan.”
“Niti? Apa kamu benar Niti?”, tanya Evan setengah tidak percaya.
“Iya, ini aku, Niti.”
“Bagaimana keadaanmu, kau tidak apa-apa kan?!”, seru Evan khawatir.
“Tenang, aku baik-baik saja kog. Oh ya, aku tidak punya banyak waktu lagi. Akan ku jelaskan rencananya.”
“Rencana? Rencana apa maksudmu? Apa yang terjadi di sana?”, Evan bertanya-tanya.
“Aku ditawan di sebuah gudang dengan banyak senjata perang. Jika dibiarkan, senjata-senjata ini pasti digunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya. Jadi…”
“Tunggu, tunggu, jadi.. apa ti? Apa selanjutnya?”, penasaran.
Niti termenung.. Sejenak Ia berhenti bicara.
“Niti? Niti?! Kau tidak apa-apa, kan? Apa selanjutnya?”, makin penasaran.
Akhirnya Niti membuat keputusan, “Koordinat 0.12.3 arah barat daya Hutan, kirim pasukan udara.., Ledakkan tempat ini….”
“Apa katamu? Lalu bagaimana denganmu?! Tidak, tidak. Aku takkan melakukannya! Kenapa kita tidak kirim pasukan besar untuk menguasai dan mengambil senjata-senjata mereka saja. Aku yakin pimpinan kita pasti setuju.”, rayu Evan.
“Tidak, Van. Terlalu bahaya jika kita menyerang mereka. Aku tidak ingin ada lebih banyak lagi yang terbunuh. Dan kalaupun militer Cresia mendapatkan senjata-senjata itu, mereka pasti menggunakannya untuk hal-hal yang tidak semestinya. Aku lelah, Van.. Aku lelah dengan perang panjang tak berkesudahan ini. Aku ingin kita semua hidup damai tanpa saling menyerang. Kamu juga gak perlu mempedulikanku. Aku punya banyak murid di akademi medis yang pasti akan meneruskan tekadku, dan menjadi bakat-bakat berharga bagi negara kita, Cresia. Tidak cuma aku.. Aku sudah mewariskan semuanya kepada mereka..”
“Tapi, ti.. Bagaimanapun kau adalah teman kami. Kami tidak akan melakukan itu, setelah semua apa yang kau berikan pada kami. Tentang jasa-jasamu..”, sanggah Evan.
“Aku cinta negaraku, Cresia.. Jika kalian melakukan apa yang aku katakan demi Cresia. Itu sudah cukup membuktikan, bahwa kalian memang memang mencintaiku sebagai teman..
“Tapi, ti..”, Evan masih tidak terima.
“Jika aku beruntung, aku pasti bisa keluar dari sini dan menyelamatkan diri. Jadi gak usah peduliin aku.. Waktu kita gak banyak, Van. Lakukan sebelum semuanya terlambat. Selamat tinggal…”
“Ti? Ti? Niti?! Ahhh..!”, Evan kesal karena teleponnya tiba-tiba ditutup.
Evan didesak oleh pilihan-pilihan berat. Ia pun menceritakan rencana yang diusulkan Niti kepada Jendral militer Cresia. Di luar yang direncanakan, Evan juga memerinta beberapa orang tentara untuk menemaninya terjun membebaskan Niti. Sempat berdebat, rencana ini pun disetujui, dan Evan juga mendapatkan pasukan-pasukan pilihannya. Dengan syarat, Ia harus selesai pada waktu yang sudah ditentukan Jendral. Karena jika tidak, Jendral takkan segan-segan untuk menghancurkan gudang senjata itu, dengan tidak peduli, selamat atau tidaknya mereka.
Pasukan ini akhirnya berangkat di pagi hari yang sudah ditentukan.
Beberapa jam setelahnya, dari gudang senjata,
Niti yang sedang sekarat, dengan amat mengejutkan berhasil menumbangkan beberapa orang penjaga dan melarikan diri lewat sisi belakang gudang. Tapi hanya sampai beberapa langkah, Ia mendapati bahwa dirinya sudah dikepung oleh musuh. Kondisinya juga memburuk, ia tiba-tiba roboh di antara kepungan musuh. Tak kuasa Ia menggerakkan tubuhnya untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Ia sekarat..
Dalam keadaan hidup setengah mati, muncul bayangan-bayangan sugesti dalam benaknya..
“Apa aku akan mati di sini? Apa aku gagal?”
“Aku bercita-cita sebagai pemimpin, tapi orang-orang hanya menganggapku seorang wanita yang lemah dan tidak pantas untuk itu.”
“Aku coba buktikan. Aku memilih menjadi seorang militan. Lalu lama kelamaan, orang-orang mulai melupakan kata-kata mereka di masa lalu. Mereka mulai menghormatiku, walaupun aku hanya seorang wanita. Tapi bukan wanita yang lemah”
“Orang-orang lalu menjulukiku ‘Dewi Penyembuhan’, tapi bahkan aku tidak bisa menyelamatkan kedua orangtuaku saat perang dunia dulu. Dibanding keberhasilan orangtuaku dan para pemimpin Cresia di masa lalu, apa yang aku tinggalkan hanyalah sebuah kegagalan.. Tapi aku hidup dengan keyakinan bahwa, kegagalan juga berguna untuk menempa hidupku agar lebih kuat ke depannya. Dan sebagai gantinya, aku akan mendapatkan sebuah prestasi yang hebat di masa depan.”
“Tapi pada akhirnya.., semua harus berakhir dengan cara, mati seperti ini..
Haaahhh.. Mungkin sudah saatnya.. melepaskan semua beban di dunia”
Dorrr! Doorr! Doorrr! Suara tembakan memekakkan telinga datang dari dunia nyata. Tim penyelamat pun datang. Mereka berhasil melumpuhkan musuh yang mengepung Niti. Letnan Evan pun menghampiri Niti,
“Ti, Niti.. Bangun, Ti..”
Dan entah karena suara tembakan yang masih menyeruak atau mungkin karena suara salah seorang yang sepertinya Ia kenal, Niti pun terbangun. “Eh, kau, Evan..”, ucap Niti lemah.
“Kau harus kuat. Kami pasti menyelamatkanmu..”, kata Evan memberi semangat.
Niti tidak bicara lagi, Ia hanya membalasnya dengan senyuman
Evan pun menggendong Niti dan membawanya pergi ke tempat di mana mereka akan dijemput pesawat militer Cresia. Selang beberapan menit, bantuan pun datang. Seluruh pasukan pembebasan naik ke beberapa pesawat yang datang, untuk membawa mereka kembali Cresia. Saat hampir lepas landas, terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dari arah gudang senjata. Ternyata bom berhasil dijatuhkan oleh pasukan udara Cresia ke gudang itu. Dan menghancurkan markas rahasia Polinesia.
Misi pun usai..
Sesampai di Cresia, Niti pun langsung dibawa ke Rumah Sakit Militer Cresia untuk dioperasi. Operasi berjalan lancar, dan beberapa hari setelahnya, Ia pun kembali siuman. Lalu pada suatu malam, Letnan Evan Dimas menjenguknya dengan membawa karangan bunga yang cantik (sesuai dengan wajah Niti) Ia lalu meletakkannya di meja sebelah kamar tidur Niti, duduk, dan mulai bicara,
“Hey, bagaimana keadaanmu, cantik?”, ucap Evan dengan nada setengah merayu.
“Apaan sih kamu ini, Aku baik-baik aja kok.”, jawab Niti meyakinkan.
“Iya, maaf, maaf.. Kamu harus cepat sembuh. Kamu kan ‘Dewi Penyembuhan’ kami.”, sambil memuji.
“Aku tidak suka dipuji.. Terlalu banyak dipuji membuat manusia menjadi sombong.”, kilah Niti.
“Hmm, baiklah.. Oh, ya. Kau ingat sesuatu?”, Evan berusaha mengingatkan.
“Soal apa?”, Niti penasaran.
“Gurita memangsa hiu…”
Niti pun teringat, “Ohh.. Ya, sedikit..”
“Kalau sudah sembuh, akan ku traktir kau makan sup sirip ikan hiu”
Sembari tersenyum, “Hehehe, Iya. Terimakasih..”, tutup Niti.
Keduanya pun tertawa bersama-sama..
Selesai..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar