Hari ini, masuk sekolah di tahun ajaran baru. Aku yang baru saja
masuk di MTs. Nurul Huda Masih Terasa begitu kaku. Benar saja, sekolah
Baru, Dunia pun baru, Hari hari Pertama kami Mengikuti MOS Lalu Perkaju
(Perkemahan Kamis Malam Jum’at) Mungkin Asing Di Telinga Kalian, Aku pun
Begitu
“Perkenalkan namaku Silvina Ayuni, biasa di Panggil Fina, Cita-cita
Menjadi Dokter dan Hal yang aku senangi yaitu yang menyangkut IPA dan
Kedokteran dan hal yang aku benci adalah berternak ayam. No Other…!!!”
Ucapku setelah disuruh wali kelasku, Pak Nuruddin untuk bergilir
memperkenalkan diri.
Di rumah, aku hanya tinggal bersama ibuku yang sedang sakit-sakitan.
Ayahku meninggal karena kecelakaan bersama kakakku, 4 tahun yang lalu.
Dan aku tak punya adik. Saudaraku beberapa ada yang tinggal di kota, ada
pula yang tinggal di daerah pesisir. Sedangkan aku sendiri tinggal di
pegunungan, tepatnya di lembah. Hidupku dan ibuku hanya bertumpu pada
gaji pensiun ayah ketika menjadi guru negeri, dagangan ibuku yang setiap
hari aku bawa ke pasar sebelum sekolah dan sebagiannya juga aku
titipkan pada toko-toko dan aku bawa ke sekolah untuk aku titipkan Bu
Ami, langgananku, orang yang bersimpati pada kami.
Jalankan mobil, sepeda onthel pun kami tak punya, rumah pun lebih
bisa dikatakan “gubuk tua”. Tapi tak apa, yang penting aku masih punya
ibu walaupun sakit-sakitan.
Sejak kecil, aku selalu diajari ayah beberapa hal tentang alam,
manusia, ilmu kedokteran dan semua yang berhubungan dengan IPA. Maklum,
meskipun ayahku sudah tua, tapi beliau adalah dosen di sebuah Fakultas
Kedokteran. Bahkan sebelum ayahku meninggal, ayah menghadiahkan sebuah
buku besar berisi hal-hal tentang kesehatan yang saat ini masih aku
simpan. Ayah selalu memberi motivasi untukku agar aku dapat menjadi
seorang dokter. Itulah sebabnya sampai saat ini aku memiliki cita-cita
ingin menjadi dokter.
Sedangkan ibuku adalah ibu rumah tangga yang selalu mengurus rapi
urusan rumah. Dulu, sebelum ibu sakit-sakitan karena jantungnya kumat
mendengar kabar bahwa ayah telah meninggal, ibu menjadi pedagang
keliling, dan sepulang sekolah pun aku ikut membantunya menjajakan
dagangan. Hitung-hitung buat tambahan biaya untuk aku dan kakakku
sekolah, dulu.
Ibuku adalah pecinta binatang, terutama ayam. Hewan yang paling aku
benci dan aku takuti. Entah kenapa aku begitu takut dengan ayam, tapi
itulah diriku. Sebelum ibu sakit-sakitan, ibu berternak ayam, didukung
ayahku yang tau bagaimana merawat hewan bulat itu, dengan baik. sampai
saat ayahku meninggal, satu persatu ayamnya pun mati, karena tak ada
perawatan yang baik. Ibu pun bersedih.
Beberapa hari yang lalu, ketika aku sedang menyuapi ibu makan malam,
tetanggaku datang dengan membawa seekor anak ayam berumur sekitar satu
bulan untuk diberikan pada ibu, dengan alasan ayam jantan milik ibu,
dulu pernah mengawini ayam tetanggaku, hingga sekarang tetanggaku pun
menjadi peternak besar. Betapa senangnya ibu, setelah itu Bu Sri,
tetanggaku balik.
“Lihat Fin, kita bisa berternak lagi, coba pegang ayam ini” ucap ibu
sumringah, lalu menyuruhku memegang ayam, binatang paling aku benci dan
takuti.
“Kan ibu tau aku takut ayam…” ucapku perlahan dan membuat ibu kaget mandengar pernyataanku.
“wah… bagaimanan ini, siapa yang akan mewujudkan cita-cita ibu menjadi
peternak ayam? Kakakmu yang ibu harapkan sudah tidak ada lagi.” Jawab
ibu lesu dan sedih.
“Bu… sebenarnya aku juga ingin mewujudkan cita-cita ibu, tapi hatiku sudah terlanjur ingin menjadi dokter bu” ucapku dalam hati.
“ya sudah, ibu istirahat dulu ya. Sini biar ayamnya aku bawa ke
belakang” jawabku lalu menidurkan ibu kemudian mengambil anak ayam
dengan perasaan was-was. Hampir saja aku ingin pingsan gara-gara ayam
itu. Untunglah itu tidak terjadi.
Hingga seminggu aku menguji nyaliku untuk merawat anak ayam itu. Demi
impian ibu yang hampir pupus. Ibu mengajariku banyak hal tentang ayam.
Walaupun samasekali aku tak mengerti. Hingga pada akhirnya, sepulang
sekolah, aku dipanggil ibu ke kamar. Segera aku menghampirinya.
“ibu kenapa? Ibu mau makan? Atau mau sholat?” tanyaku setelah sampai dikamar.
“ibu mau sholat nak. Bantu ibu wudlu ya” jawab ibu yang mulai lemas.
Dengan sabar aku membantu ibuku berwudlu. Setelah itu memakaikan rukuh
untuk ibuku. Sebelum sholat, ibu berpesan kepadaku.
“dengar ibu ya nak, sebentar lagi ibu akan menyusul ayah dan kakakmu.
Ibu berpesan jadilah anak yang baik dan ayam itu, ibu mohon rawatlah
dengan baik seperti kamu merawat dirimu sendiri dan ibumu ini. Ibu harap
ia akan menjadi bekembang lebih banyak, dan kamu pun menjadi peternak
hebat” ucap ibu membuat aku menangis tersedu lalu segera memeluk ibu.
“ibu janga berkata begitu, aku pasti akan menyembuhkan ibu. Dan aku
janji akan merawat anak ayam itu dengan baik seperti aku merawat ibu dan
diriku sendiri” jawabku masih dalam pelukan ibu dan terisak. Setelah
itu ibu pun melakukan sholat dengan seadanya. Setelah salam ibu bedo’a,
lalu menatapku penuh harapan.
“Ibu berharap kamu mewujudkan impian ibu” lalu ibu memelukku dan tak bergerak lagi. Ibu meninggal. Ibu…!!!
“Ibu…!!!” teriakku sembari menggoncangkan tubuh ibu, dengan berharap
agar ibu bangun lalu tersenyum dan memelukku. Tapi ini tidak. Ibu
benar-benar pergi. Meniggalkanku sendirian dan menyusul ayah serta
kakakku. Baru 13 tahun, aku sudah menjadi yatim piatu dan hidup
sebatangkara.
Seminggu kemudian, setelah kematian ibuku, sepulang sekolah aku
mencoba menengok anak ayam warisan ibu, dan apa yang terjadi? Anak ayam
itu terkulai lemas. Aku lupa, kemarin aku belum memberinya makan. Aku
teringat ibu, lalu membayangkan ibu menangis dan kecewa denganku karena
tak mampu menjaga anak ayam satu-satunya peninggalan ibuku. Bergegas aku
mengambil beras seadanya dan tanpa aku sadari aku mengambil anak ayam
itu lalu aku letakkan di atas telapak tanganku yang telah aku buka dan
aku isi sedikit beras itu.
“sudah seminggu aku begini, kalau terus begini apakah aku bisa
melanjutkan sekolah? Makan saja seadanya. Apa aku harus buang jauh-jauh
harapanku ingin menjadi dokter? Lalu beternak ayam saja? Ibu-ayah,
bagaimana ini? Ah.. jika aku berternak, tak mungkin. Ayam saja aku ta…”
ucapku sambil merenungi anak ayam iu makan dengan lahap, namun terpotong
sendiri ketika aku sadar di atas telapak tanganku ada seekor anak ayam
yang bertengger disana.
“Hei!! Aku berani memegang anak ayam? Aku berani…!!! Ibu.. aku berani
bu..!!!” lanjutku kegirangan lalu berlari menuju kamar untuk memberi
tahu ibu. Tapi tak ada ibu. Aku baru ingat ibu telah pergi. Dengan lemas
aku duduk di kasur meratapi nasib.
“nak… kamu sudah berani? Berarti kamu bisa melanjutkan impian ibu nak…” Akku membayangkan betapa senangnya ibu jika melihat ini.
“dengan satu anak ayam ini, kamu pasti bisa menjadi dokter” bayangan ayah terlihat penuh harap
“ayo dek… kamu pasti bisa bertahan!!!” lagi-lagi ada bayanngan kakak
begitu antusias menyemangatiku. Airmataku pun bercucuran keluar. Dengan
meratapi anak ayam itu, ku elus bulunya, yang ternyata begitu halus.
“mungkin benar, aku harus terus jalan! Tak ada kata mundur disini! Iya kan anak ayam lucu?” ucapku masih terisak.
“Ibu, Ayah, kakak. Lihat aku! Aku pasti berhasil! aku janji itu!” tekadku
Hari-hari pun berjalan mulus, setiap pulang sekolah, aku selalu
menengok anak ayam itu. Pagi-siang-malam selalu aku beri makan. Aku
rawat dia seperti aku merawat ibuku dahulu. Jika aku berangkat, aku
keluarkan dia dari sarangnya untuk bermain dengan teman-temannya, lalu
sepulang sekolah aku mencarinya untuk sekedar memberi makan, karena aku
tidak mau anak ayam itu makan sembarangan, awalnya aku dibimbing Bu Sri
untuk merawatnya, tapi lama kelamaan aku pun terbiasa saking sayangnya,
aku terkadang tertidur di kursi yang sengaja aku letakkan di dekat
kandang ayam itu
Tak terasa, hampir dua tahun aku merawat anak ayam ini hingga
sekarang dia telah berubah menjadi ayam betina yang kuat, dan tak
kusangka kini dari anak ayam berusia satu bulan itu menjadi ayam besar
yang telah berkali-kali bertelur dan beranak hampir 10 ekor per menetas.
Tak jarang juga ada pedagang ayam yang bersedia membeli ayamku langsung
memborongnya. Meskipun begitu aku tak ada niat untuk menjual anak ayam
besar itu, pemberian ibuku. Biarlah dia mati dengan sendirinya dan
menemui ibu untuk memberitahukan bahwa aku telah berhasil berternak
ayam.
Sebentar lagi aku UN, karena merasa tak sanggup merawat ayam-ayam
itu, aku meminta bu Mina, kawan dekat ibu untuk ikut merawatnya dengan
bayaran seadanya. Dengan senang, Bu Mina membantuku namun tak pernah mau
menerima uang dariku. Katanya untuk biaya sekolah saja.
Hampir 3 bulan aku menunggu, pengumuman kelulusan pun akkhirnya
terjadi. Dan Alhamdulillah aku lulus dengan peringkat pertama
sekabupaten. Usahaku selama ini tak sia-sia.
Sebagai bentuk syukurku, akkupun mengadakan syukuran untuk ibu, ayah dan
kakak. Lalu aku memberikan kesempatan orang-orang untuk menjadi
karyawanku.
Setahun sudah telah berlalu. Kini aku berhasil menjadi peternak yang
sukses. Aku putuskan untuk melanjutkan sekolah, setelah setahun aku
berhenti sekolah dahulu untuk pekerjaan ini.
Suatu malam, aku teringat sesuatu. Sebuah buku besar pemberian ayah
dan dokter, Cita-citaku, Aku tak pernah lupa itu. Cuma aku kubur,
sementara untuk ayam-ayam kesayanganku itu. Dengan segala tekad aku
berfikir untuk melanjutkan ke MA Darus Salam dan mengambil jurusan IPA,
dengan biaya hasil berternak.
3 tahun lamanya, akhirnya akupun berhasil lulus dengan gelar ‘siswi
teladan’ sekabupaten. Aku bersyukur, dan tak lupa aku menziarahi makam
ibu, ayah dan kakaku yang terletak berdampingan itu. Lalu aku pun
diterima di Universitas Indonesia dan mengambil jurusan kedokteran.
Ketika KKN aku berlatih alias praktek di rumah sakit Karyadi Semarang
sebagai dokter umum. Meskipun masih berlatih, aku tetap bersyukur. Tak
pernah aku melupakan peternakan yang kini telah banyak karyawannya.
Setelah hampir 4 tahun akhirnya aku berhasil manyandang gelar ‘Dokter’
dan diterima di RS. Karyadi Semarang, sebagai dokter umum. Walau begitu
tak jarang aku berkunjung ke Temanggung untuk melihat dan menengok
peternakanku kini yang semakun maju dan berkembang
“ibu, ayah, kakak. Lihat aku sekarang sudah sukses menjadi seorang
dokter. Dan aku bu, sudah jadi peternak sukses, seperti harapan ibu.
Makasih sudah mau menyemangatiku. Aku menyayangi kalian” ucapku terisak
lalu meletakkan seikat bunga d iatas setiap makam keluargaku.
Dari sini aku bisa tau, bahwa walaupun sebatang kara, atau apapun
itu, kita harus bersyukur. Dan dengan semangat yang tinggi, kita mampu
menjadi orang yang berhasil! SEMANGAT!!!
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar