Cinta, sebuah kata yang dapat bermakna ganda. Kadang cinta akan
memberikanmu kebahagiaan sehingga kau dapat melupakan segala masalah,
tertawa dan lepas dari beban. Namun, tak jarang cinta akan membawa
petaka dan kesedihan bagimu. Tak bisa dipungkiri, rasa kecewa dan air
mata akan ikut mengalir bersamaan dengan datangnya cinta. Ah, aku tak
pernah mengerti cinta. Beberapa teman sebayaku telah beberapa kali jatuh
cinta dan bergonta-ganti pasangan. Sementara aku masih betah sendiri.
Bukan berarti aku tak menginginkan cinta. Aku ingin dan percaya akan
cinta, tapi apalah artinya jika aku tak bisa bersama dengan orang yang
kucintai?
Aku sudah terlanjur pasrah. Biarkan cinta sendiri yang menentukan
sendiri, mau berpihak padaku ataupun tidak. Ungkapan “Jodoh Pasti
Bertemu” merupakan pedoman bagiku. Jodoh pasti akan bertemu karena telah
ditakdirkan. Yang jadi masalah adalah kita tidak tahu siapa dan kapan
jodoh itu datang. Dalam kamus keseharianku, aku percaya setiap putri
akan bertemu dengan pangerannya. Satu putri ditakdirkan dengan satu
pangeran seperti cerita ala negeri dongeng yang selalu mama ceritakan
padaku saat kecil. Walaupun aku tahu kadang kenyataan tidak segampang
yang dipikirkan.
Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Jam dua belas siang. Berarti
sudah satu jam aku duduk sendiri di pojok salah satu restoran bernama
“Love”. Aku meminum jus alpukat yang telah lama aku pesan. Di restoran
bergaya barat itu aku hanya duduk termenung seorang diri. Kuperhatikan
seisi restoran penuh dengan pasangan yang sedang mabuk cinta atau
orang-orang yang sedang asyik berbincang-bincang dengan teman mereka.
Rasanya benar-benar menyedihkan! Padahal ini hari ulang tahunku dan aku
telah mengundang lima teman dekatku untuk merayakan bersama. Setidaknya
aku ingin ulang tahunku dapat berlangsung meriah dan romantis seperti
sinetron di film-film. Dimana aku seharusnya dapat merayakan dengan
teman-teman dan seorang cowok yang kusukai dapat membawa sebucket bunga
mawar kesukaanku dan menembakku di hari spesialku ini. Ya, aku memang
sangat pemimpi!
Aku langsung meminum jus alpukat itu dengan cepat. Aku tak peduli
dengan kondisi sekitarku. Sesekali aku memainkan handphoneku untuk
melihat ucapan-ucapan yang diberikan teman-temanku.
“Maaf ya Vin, gak bisa datang. Happy birthday ya,” kata seorang dari temanku.
Sekitar enam puluh orang yang memberikanku ucapan selamat ulang tahun.
Dari teman dekat hingga teman sekelas. Sayangnya tak ada satu pun ucapan
dari orang itu! Padahal aku sudah lama menginginkannya, ucapan ulang
tahun dari seorang bernama Romeo. Aku tak akan pernah lupa akan wajah
dan cara bicaranya yang khas. Belum lagi senyum lesung pipitnya itu
membuatku semakin berdebar.
Pertemuanku dengan Romeo terjadi enam tahun yang lalu. Dari tahun
pertama aku sudah tertarik akan sosok konyolnya itu. Oh ya, namaku Vina.
Nama yang singkat dan sederhana seperti diriku. Aku masih tak percaya
kalau dulu aku sangat culun. Rambutku selalu kubiarkan acak-acakan
dengan potongan gaya bob tahun 80. Belum lagi kacamataku yang tebal
seperti kaca spion mobil. Saat itu aku masih belum berpikir soal
penampilan maupun dandan. Ibarat burung dalam sangkar. Aku dari dulu
selalu dipaksa untuk berprestasi. Yang aku tahu bukanlah cara memegang
alat-alat kecantikan tetapi bagaimana rumus-rumus pelajaran yang selalu
kupelajari.
SMP Maratha, tempat dimana aku dan Romeo pertama kali bertemu. SMP
Maratha terkenal dengan murid-murid yang elit dan berprestasi. Begitulah
kesan orang ketika mendengar nama sekolah di Palembang ini. Memasuki
lingkungan baru membuat bertekad baja hanya untuk berjuang meraih
prestasi. Saat pertama kali aku masuk ke sekolah ini tak ada satu pun
orang yang aku kenal. Aku bukan berasal dari sekolah dasar yang elit.
Sekolah dasarku hanya sekolah biasa yang terletak di pinggiran Kota
Palembang. Aku juga tidak kenal dengan satu pun orang dari sekolah lain.
Aku terpaksa mengakui kalau dulu aku juga seorang yang kurang pergaulan
dan tak punya teman.
Aku bisa mengenal Romeo karena kami tergabung di kelas yang sama.
Seperti kebetulan bukan? Romeo sosok yang sangat berbeda denganku. Aku
orang yang kurang pergaulan sementara itu, ia memiliki pergaulan yang
sangat luas. Yang kutahu hampir setiap orang diangkatan kami yang
mengenalnya. Aku selalu dipaksa untuk juara kelas sementara, ia bebas
untuk melakukan apa yang ia suka. Seperti langit dan bumi. Aku dan ia
berbeda seratus delapan puluh derajat. Namun saat itu aku masih percaya
pasti ada kemungkinan, masih ada harapan.
“Minjam penghapusnya ya,” perkataan Romeo pertama kepadaku.
Aku pendiam, bahkan aku tak pernah berbicara yang tak perlu. Dari
insiden penghapus aku tahu bahwa Romeo adalah orang pelupa. Buktinya
setiap hari ia tak pernah absen meminjam penghapusku. Tapi, aku
bersyukur karena penghapus ini aku bisa selalu memandangi wajahnya.
Walaupun hanya sebentar.
Hari-hari pun berlalu. Aku sadar bahwa sebentar lagi aku dan Romeo
tak akan sekelas lagi. Otomatis aku berencana melakukan pendekatan
kilat. Aku sudah punya teman dekat, Maria dan Vena. Kami selalu bersama
di sekolah. Tanggal 12 Februari 2008, di kantin sekolah aku pertama kali
aku bercerita kepada Maria dan Vena kalau aku menyukai Romeo.
Kebiasaanku menulis kegiatan di buku harian membuatku tak pernah lupa
akan hal-hal penting dalam hidupku.
“Hah. Kamu suka sama Romeo?,” kata Maria dan Vena berbarengan.
“Iya. Pelanin dong suaranya. Aku takut ada temennya yang denger,” kataku.
Mereka langsung menutup mulut mereka dengan raut wajah tak percaya dan
kaget. Aku tahu bahwa perbedaan aku dan Romeo seperti langit dan bumi
sehingga menjadi wajar jika mereka seolah tak percaya.
“Hah. Kenapa bisa?,” tanya Vena.
“Gak tahu juga,” kataku sambil tersenyum.
“Tapi, hati-hati aja ya. Yang aku tahu dia play boy. Di sekitarnya banyak cewek-cewek cantik,” kata Maria.
Perkataan Maria membuatku tersadar akan mimpiku. Benar juga, di
sekitarnya banyak cewek yang lebih berkilau dibandingkanku. Mereka lebih
cantik, modis, dan sesuai dengan level Romeo. Sedangkan aku? Aku selalu
memakai baju yang biasa. Bahkan, nyaris asal! Aku tak mengerti cara
berpenampilan modis.
“Kamu harus berubah Vin. Maksudku penampilanmu lo,” Saran mereka.
“PENAMPILAN?,” teriakku dengan kaget.
“Bagaimana cara mengubah diriku yang tampak seperti Betty La Fea ini?,” kataku dalam hati.
Setelah percakapan di kantin, aku langsung pulang dengan membawa
majalah-majalah remaja terbitan baru. Mendapatkan gambaran pakaian
termodis sekarang, itulah keinginanku ketika membeli majalah-majalah
ini. Aku langsung membuka dan membaca majalah pertama. Aku memperhatikan
isi-isi majalah itu dengan penuh harap. Setiap lembar dihiasi dengan
gambar perempuan cantik yang mungkin seumuran denganku. Bedanya mereka
bisa tampil modis dan feminim. Sangat berbeda bukan denganku? Belum lagi
model rambut mereka yang merupakan tren saat itu sedangkan aku selalu
memotong rambutku dengan model bob tahun 80. Aku langsung memandangi
diriku di kaca dan kubandingkan dengan sosok model di cover majalah itu.
Kami tampak jauh.
“Model ini selevel dengan Romeo. Ya, aku harus menjadi seperti model itu,” kataku dengan tekad bulat saat itu.
“Seorang pangeran hanya akan melirik putri yang cantik,” lanjutku sambil
melihat poster princess yang terpajang di dinding kamar.
Beberapa hari kemudian. Aku menunggu paketku datang di teras rumah
rumah. Seorang kurir dari jasa ekspedisi tiba di rumahku. Ya, paket itu
berisi alat-alat kecantikan yang telah kupesan dari salah satu toko
online. Aku langsung menghampiri kurir tersebut dan mengambil paketku.
Akhirnya, perjuanganku untuk menjadi cantik dapat dimulai. Aku membuka
paket itu dengan tak sabar. Saat itu yang aku pikirkan hanya bagaimana
secepat mungkin menggunakan alat-alat kecantikan itu.
Paket itu terbuka. Aku langsung mengeluarkan isi-isi yang ada dalam
paket itu. Ada lotion untuk memutihkan kulit, sabun untuk kulit bersih
dan obat untuk menguruskan badan. Sesuai keinginanku! Aku membawa
barang-barang itu masuk diam-diam ke kamarku, tak ingin mamaku tahu
kalau aku membeli barang-barang itu. Apalagi, kalau alasannya adalah
karena cowok. Aku pasti jadi tertawaan habis-habisan oleh seluruh
anggota keluargaku.
Aku membaca petunjuk pemakaian obat pengurus badan itu dengan serius.
“Semoga obat ini dapat mengecilkan pipi tembemku ini,” harapanku.
Kemudian aku meminum obat pengurus itu. Rasanya sangat pahit seperti
jamu. Belum lagi baunya sangat menyengat. Aku sangat menderita, pikirku
saat meminum obat pahit itu. Akhirnya, obat itu baru dapat kuhabiskan
setelah berjuang selama dua puluh menit. Peribahasa “Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian” membesarkan hatiku. Bayangan Romeo
membuatku tak mengeluh lagi.
Efek obat itu benar-benar luas biasa! Dua puluh menit setelah meminum
obat itu aku langsung bolak-balik ke kamar mandi. Aku pun menjadi tak
nafsu makan. Kebiasaan memakan makanan dua porsiku berkurang menjadi
setengah porsi. Bahkan untuk makanan seafood kesukaanku pun tak
kuhabiskan seorang diri seperti kebiasaanku.
“Kalau gini aku bisa turun dua sampai tiga kilo dalam seminggu!,” kataku girang dalam hati.
Perubahan pola dan cara makananku membuat mama dan papa sempat heran.
Lucunya pada saat itu mama dan papa mengira aku sedang sakit sehingga
tak nafsu makan. Mereka bahkan memasakkan hidangan-hidangan kesukaanku
setiap hari. Namun, tekadku sangat bulat saat itu. Aku ingin kurus! Ya,
hanya dengan kurus aku bisa menjadi cantik seperti putri-putri negeri
dongeng.
Hari itu, tanggal 2 Mei 2008. Aku meminjam timbangan di ruangan
kesehatanku. Beratku tinggal empat puluh lima kilogram! Berarti aku
telah menurunkan lima belas kilo dari berat awalku selama satu bulan.
Aku sangat senang saat itu.
“Turun lima belas kilo,” kataku girang pada dua sahabatku, Maria dan Vena.
Kedua sahabatku ikut girang. Perjuanganku ternyata tidak sia-sia. Pipiku
mulai terlihat tirus, badanku juga terlihat lebih ideal. Setelah itu
kami bertiga kembali dengan kelas. Di depan pintu aku melihat Romeo
bersama dengan seorang cewek.
“Itu namanya Arin,” bisik Vena padaku.
Arin dan Romeo terlihat akrab. Beberapa kali kulihat Arin memegang
tangan Romeo tanpa sungkan. Romeo juga tak canggung merangkul Arin
dengan hangat. Gerak-gerik mereka memperlihatkan bahwa mereka tak
sekedar teman. Aku cukup peka untuk mengetahuinya. Maria dan Vena
mengajakku ke toilet. Aku tahu maksud mereka sebenarnya, mereka hanya
tak ingin aku melihat pemandangan itu lama-lama. Kami bertiga pergi ke
toilet.
Sesampainya di toilet, tiba-tiba aku menangis. Aku memang tidak bisa
membohongi hatiku kalau aku terluka. Aku tak akan bisa lupa tanggal 2
Mei 2008. Ungkapan cinta memiliki dua sisi mulai terbukti bagiku, orang
yang baru pertama kali mengenal cinta. Maria dan Vena mencoba
menghiburku. Saat itu aku hanya berpikir menangis akan menyelesaikan
masalah. Setidaknya biarkan aku menangis untuk menutup luka di hatiku
Sesampai di rumah aku terus mengurung diri dalam kamar. Tak ada
keinginan sekalipun untuk keluar dari kamar. Bisa dibayangkan bukan
bagaimana perasaanku saat itu? Aku belum dewasa dalam cinta dan tengah
patah hati. Saat itu aku hanya tahu menangis. Bahkan, aku tak membaca
buku seperti kebiasaanku setiap hari. Aku jadi orang yang sangat
melankolis dan cengeng. Bahkan makanan hanya kusentuh sedikit. Mama dan
Papa sangat mencemaskan keadaanku. Mereka terus memperingatiku untuk
makan, walaupun hanya sedikit. Namun, sifatku yang keras kepala memang
sulit untuk terpatahkan.
Aku tak tahu bahwa dengan bertindak bodoh seperti itu akan
mendatangkan bencana untukku. Benar-benar tidak tahu, sampai aku
dilarikan ke rumah sakit. Tanggal 9 Mei 2008, dokter menvonisku
menderita penyakit maag akut. Aku pun terpaksa dirawat di rumah sakit
selama seminggu penuh. Setelah menjalani rawat inap aku juga tetap harus
dirawat jalan demi mempercepat kesembuhan lambungku. Menghabiskan
jutaan rupiah karena alasan cinta, membuatku tampak seorang yang bodoh
bukan? Tapi, itulah kenyataannya. Cinta dapat membuat orang menjadi
berubah seratus delapan puluh derajat.
Beberapa hari kemudian, aku mengikuti ujian semester. Momentum itu
kugunakan untuk selalu belajar dan mencoba menghadapi kenyataan. Setelah
seminggu ujian, aku menghabiskan waktu liburan di Pagar Alam. Pagar
Alam terkenal akan kondisi alamnya yang indah dan sejuk. Saat itu, aku
hanya ingin untuk melakukan refreshing dan sejenak melupakan akan Romeo.
Walaupun, aku tak yakin aku dapat melakukannya.
“Mbak..,” kata seorang pelayan kepadaku.
Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata sudah jam satu siang. Astaga, aku
baru tersadar kalau aku menghabiskan waktu satu jam hanya untuk
mengingat masa laluku itu. Aku langsung cepat-cepat mengambil tas
selempang berwarna merahku dan hendak membayar. Aku lalu berjalan ke
tempat sebuah kasir. Di sampingku, ada laki-laki yang juga sedang
membayar. Ah, itu Romeo! Aku tak tahu harus berbuat apa. Memanggilnya
atau tidak? Setelah kami sekelas di tahun pertama sekolah menengah
pertama, kami tak pernah sekelas lagi sampai sekarang. Walaupun kami
masuk di SMA yang sama aku bahkan nyaris tak pernah bertegur sapa lagi
dengannya.
Di tengah pergulatan batin itu, aku mencoba untuk menuruti kata hatiku untuk menyapanya.
“Rom.. Romeo,” kataku dengan suara pelan.
Dia menoleh dan tersenyum padaku. Aku tak tahu apakah ia sudah lupa atau
tidak masa-masa ketika sekelas denganku. Setelah selesai membayar, ia
pun pergi. Aku tahu bahwa aku tak ada lagi harapan, tapi mengapa aku
masih berharap?
“Dua puluh dua ribu rupiah,” kata petugas kasir.
Aku lalu mengeluarkan lembaran uang dari dompetku. Kemudian aku langsung
pergi dan ingin pulang. Dalam perjalananku ke tempat parkiran,
tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. Dan aku tak percaya!
Ternyata, yang memanggilku itu Romeo.
“Mau jalan bareng?,” katanya kepadaku.
Aku pun menyetujui.
Kami berdua berjalan-jalan di mall seperti layaknya pasangan kekasih
yang tengah dimabuk asmara. Menghabiskan waktu bersama dengan orang yang
disukai, kadang terasa cepat. Aku merasa hanya berputar-putar dan
bermain sebentar. Namun, jam di pergelangan tanganku sudah berada di
angka lima.
“Aku pulang dulu ya,” kataku padanya.
Dia menemaniku ke tempat parkir. Dalam perjalanan tiba-tiba terjadi keheningan di antara kami.
“Selamat ulang tahun ya,” kata Romeo kepadaku.
“Makasih,” kataku sambil tersenyum.
Tiba-tiba ia menyerahkan sebuah bingkisan kado kepadaku. Ia memintaku
untuk membukanya. Setelah kubuka, ternyata isinya sebuah boneka beruang
berwarna pink dengan simbol hati. Pada simbol hati itu tertulis “ I Love
You”. Aku sedikit besar kepala, tapi aku dibuat tersadar. Aku yang
sekarang masih belum ada apa-apanya dibandingkan sosok Arin.
“Boneka lucu.. ini buat aku?,” tanyaku padanya.
“Iya. Sekalian aku mau ngomong kalau aku juga cinta kamu,” katanya sambil tersipu.
“Hah, apa?,” kataku seolah tak percaya.
“Aku cinta kamu sejak enam tahun lalu,” katanya kepadaku.
“Hah? Bukannya dulu kamu jadian sama Arin?,” tanyaku padanya.
“Arin? Dia itu sepupuku tahu,” katanya sambil tertawa.
Aku ikut tertawa. Ternyata dulu yang membuatku sakit dan patah hati
hanyalah kesalahpahaman. Dulu, aku sendiri yang tak mencoba untuk
memastikan. Sejak kejadian itu aku mencoba terus menghindar dari Romeo.
Bahkan, aku tak berani lagi menatapnya.
“Jadi apa jawabannya? Kamu mau jadi pacarku?,” tanyanya padaku.
Aku tersenyum geli. Enam tahun yang lalu berarti saat itu aku masih
menjadi seperti Betty La Fea. Tapi tunggu, bagaimana bisa? Saat itu aku
bahkan merasa kalau kami seperti langit dan bumi.
“Enam tahun yang lalu berarti saat itu aku masih culun banget ya,” kataku padanya.
Dia mengangguk dan tersenyum. Aku juga semakin geli melihatnya.
“Aku juga suka sama kamu sejak enam tahun lalu,” kataku kepadanya.
Kami tertawa bersamaan ketika menyadari perasaan kami satu sama lain.
Apa yang menurutku jauh tetapi kenyataannya sangat dekat. Aku pun
teringat akan buku astronomi yang baru kubaca semalam. Sebuah buku yang
menerangkan akan Alpha Century. Alpha Century, bintang yang paling dekat
dengan bumi. Kita merasa alpha century sangat jauh karena kita tak
pernah merasa pernah menjangkaunya. Tetapi, pada kenyataannya bintang
itu sangat dekat dan selalu dapat terlihat pada malam hari.
“Jadi apa jawabannya?,” tanya Romeo lagi kepadaku.
“Bukan lagi langit dan bumi,” kataku.
“Hah?,” tanya Romeo kebingungan.
“Tapi sekarang jadi bagaikan bumi dan bintang alpha century,” kataku.
“Aku mau menjadi pacarmu,” kataku sambil tersenyum.
Penantian selama enam tahun berujung manis. Akhirnya, aku dapat
menemukan pangeran yang kuinginkan. Walaupun mengalami perjuangan dan
membutuhkan waktu yang lama, tetapi lebih menyenangkan daripada tidak
sama sekali. Sama seperti cerita dongeng kebanyakan, aku berharap aku
dan Romeo dapat hidup bahagia selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar