Usiaku masih sekitar 14 tahun, ketika aku pertama kali melihat ayahku
marah besar. Bukan, ia bukan marah kepada kami, keluarganya. Tapi, ia
mendamprat habis seorang tamu yang sedang berkunjung. Sebagai orang
Batak, tentu saja hal-hal semacam itu dianggap biasa di tengah
masyarakat kami yang bertemperamen keras. Namun tetap saja, orang-orang
di sekitar kediaman kami berlomba-lomba melihat kejadian langka
tersebut. Entah kenapa, kemarahan ayahku membuat mereka rela menunda
berbagai aktivitas yang sedang dilakukan. Bahkan, astaga, aku sangat
yakin jika saat itu aku juga melihat seorang bapak tergopoh-gopoh
menutupi tubuhnya dengan handuk demi menyaksikan adegan tersebut secara
live.
Aku tidak tahu pasti alasan yang membuat mereka bergegas meninggalkan
makanan yang sedang disantap, televisi yang sedang ditonton, bahkan
sabun yang baru saja disiapkan untuk mandi. Sungguh, itu bukan
hiperbola. Itu semua adalah kenyataan karena aku ada disana ketika
fenomena ‘langka’ tersebut terjadi. Dan aku berusaha menebak mengapa
massa berbondong-bondong berkumpul demi melihat kemarahan ayahku. Semua
kemungkinan coba kuanalisa dengan otakku yang masih ‘hijau’ ini. Sampai
aku teringat jika penyebab dari kumpulan manusia ini mungkin saja
berasal dari sosok ayahku yang lembut, jauh dari watak orang-orang
pemarah. Hingga aku menyadari sebuah kenyataan lain, dan itu membuatku
tertegun cukup lama ketika itu. Aku baru ingat kalau ayahku bukan orang
biasa. Pantas saja begitu banyak manusia yang berusaha melihat kejadiaan
ini. Ayahku seorang kyai!!!
Kejadian itu berlangsung saat semua masyarakat Indonesia seharusnya
bersukacita menyambut hari kemerdekaan yang 2 minggu lagi akan datang.
Hari yang seharusnya memiliki makna lebih bagi sosok ayahku. Karena ia
turut memiliki andil dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Ya, ayahku
dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan. Bahkan ia adalah seorang
pemimpin pasukan khusus. Pasukannya terdiri atas santri pilihan dari
pondok pesantren yang ayahku kelola ketika itu. Kenapa kusebut ‘santri
pilihan’? Karena hanya santri yang benar-benar berkualitas sajalah yang
diizinkan untuk bergabung ke dalam pasukan ini. Tidak hanya semangat
juang dan ketahanan fisik saja yang menjadi syarat dari laskar ‘elit’
santri itu, tapi kualitas iman mereka selama berada di pondok pesantren
dan kesiapan mereka dalam menyongsong bahaya maut juga menjadi tolak
ukur utama dalam penyaringan pasukan yang dilakukan oleh ayahku sendiri
pada saat itu.
Ia masih begitu muda dan gagah ketika memimpin orang-orang semacam
itu untuk bergerilya melawan kelaliman penjajahan Jepang. Bersama
mereka, ia berusaha mengusir kaum yang mengaku sebagai ‘saudara tua
Indonesia’ itu dari bumi Sumatera Utara dengan senjata seadanya. Pada
akhirnya, usaha itu bisa dikatakan berhasil berkat strategi yang matang
dan kerjasama yang baik dengan satuan-satuan pejuang lainnya di berbagai
wilayah Sumatera. Meskipun untuk itu, ayahku harus kehilangan seluruh
santrinya. Bukan, mereka bukan dieksekusi oleh tentara Nippon. Tapi
mereka terpaksa berlindung ke daerah lain karena pondok pesantren yang
dikelola oleh ayahku dibumi hanguskan oleh pasukan Nippon ketika itu.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan ayahku ketika itu. Namun berdasar
cerita yang kudapatkan dari paman-pamanku, aku tahu kalau ayahku merasa
begitu sedih dengan hal tersebut. Ia merasa gagal melindungi
santri-santri yang sudah dianggap anaknya sendiri padahal ketika itu ia
memiliki anak buah cukup banyak.
Ketika membayangkan hal ini aku jadi teringat dengan salah seorang
raja di Kerajaan Singosari yang masyhur itu. Ia mengirimkan ekspedisi
pasukan ke wilayah Sumatera demi mewujudkan ambisinya untuk menyatukan
Nusantara. Sayang, ia melupakan keamanan di pusat pemerintahannya di
Jawa Timur sana sehingga dengan begitu mudah dapat ditaklukkan oleh
kerajaan lain. Hei, apa gunanya memperoleh banyak kemenangan di berbagai
tempat, tapi ternyata engkau sendiri tak sangup melindungi kediamanmu?
Latar belakang ayahku yang merupakan pejuang kemerdekaan itulah yang
membuat tamu tadi datang berkunjung ke rumah kami untuk kesekian kalinya
dalam beberapa tahun terakhir. Ya, tamu ayahku itu memang pernah
beberapa kali bertamu ke tempat tinggal kami, meskipun untuk hal
tersebut ia harus rela menempuh jarak yang lumayan jauh dari pusat kota
Medan. Wajar saja, saat itu kami sekeluarga masih tinggal bersama di
salah satu desa di pelosok Sumatera Utara. Ia selalu datang dengan
tujuan yang sama. Yaitu menawarkan tunjangan tahunan yang disediakan
oleh Kementerian Dalam Negeri bagi para veteran perang seperti ayahku.
Dan jawaban ayahku dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya pun
selalu sama pula, yaitu menolaknya dengan tegas.
Awalnya, kunjungan tamu tadi berjalan seperti biasa. Namun semuanya
mulai berubah ketika tamu tadi mulai tak sabaran. Sepertinya ia kesal
dengan sifat ayahku yang begitu keras kepala dalam hal ini. Bayangkan
saja, berkali-kali ia datang kemari dengan menempuh perjalanan yang
cukup melelahkan dan jawaban yang diperolehnya selalu saja sama, yaitu
kata: TIDAK. Manusia mana yang tidak frustasi dengan hal semacam itu?
Tentunya tamu tersebut bukan seseorang yang begitu sabar layaknya
junjungan semesta alam ini kan?
Dan genap habis sudah amunisi argumen tamu tersebut. Ia tetap saja
tak mampu mengubah pendirian ayahku itu, meski mulutnya sudah
berbusa-busa menyampaikan tujuan dan manfaat dari program tunjangan ini.
Hingga di tengah keputus asaannya ia mencoba mengeluarkan jurus
pamungkasnya. Dan, astaga, inilah yang menjadi sebab kemarahan besar
ayahku ketika itu.
Anda pasti tahu jika ayahku merupakan seorang kyai kan? Tapi tahukah
Anda kenapa ia dipanggil begitu? Itu karena ia merupakan seorang
direktur pondok pesantren yang ia rintis bersama sejumlah koleganya
beberapa tahun yang lalu. Nah, tamu tersebut berusaha menyindir kondisi
pesantren yang, kuakui, lumayan memprihatinkan dengan kondisi keluarga
kami yang, lagi-lagi kuakui, hidup pas-pasan. Dari situ ia berusaha
mempengaruhi ayahku jika tunjangan tersebut dapat digunakan untuk
membantu biaya operasional pondok pesantren tiap tahunnya. Namun ia
salah besar. Ayahku merasa begitu tersinggung dengan ucapan tamu itu
tadi sehingga ia merasa perlu untuk mengusir tamu tersebut sesaat
setelah meluapakan seluruh amarahnya. Entah seberapa hebat kemarahannya
ketika itu, yang pasti setelah kejadian tersebut aku tidak pernah
melihat tamu itu berkunjung kembali ke rumah ini. Sungguh, itu adalah
kemarahan terhebat yang pernah kulihat dari sosok ayahku hingga ia wafat
sewindu yang lalu.
Meskipun kejadian itu telah berlalu hingga 21 tahun, tetap saja aku
masih belum bisa menyimpulkan dengan pasti alasan mengapa ayahku menolak
program tunjangan itu. Karena tentu saja, aku tidak pernah berusaha
mengungkit-ungkit kejadian tersebut. Tapi setidaknya biarkan aku
menyampaikan analisaku sejenak, karena bagaimanapun juga Sang Khalik
telah memberiku waktu yang amat lama untuk memikirkannya sekaligus
mengambil pelajaran dari peristiwa itu.
Mengapa ayahku menolak program yang diprakasai oleh Kementerin Dalam
Negeri itu? Pasti alasannya bukan karena keberatan dengan biaya
registrasi program tersebut yang mencapai setengah juta lebih. Aku yakin
itu. Mungkin alasan mengapa ayahku menolaknya ketika itu karena beliau
merasa tidak pantas menerima tunjangan tersebut. Dari percakapan yang
sering aku curi dengar ketika mereka mengobrol dalam beberapa pertemuan,
aku paham jika ayahku berjuang melawan Jepang bukan untuk karena ia
ingin dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan. Akan tetapi ia memimpin
gerilya melawan Jepang karena ia tidak tahan melihat penderitaan rakyat
kecil akibat penindasan dari tentara Jepang. Ia muak dengan berbagai
kesewenang-wenangan mereka. Karena itulah ayahku memilih untuk
mengangkat senjata melawan mereka. Dan yang menjadi harapan ayahku
ketika itu hanyalah keridhoan dari Sang Khalik dan ganjaran dari
sisi-Nya. Bahkan menurutku, hal ini pula yang menjadi harapan ayahku
ketika jatuh bangun merintis pondok pesantren bersama koleganya dulu.
Dan satu hal yang membuatku tambah percaya dengan analisaku ini ialah
headline yang kubaca di salah satu media cetak nasional pagi ini.
Bahkan, berita heboh ini turut membantuku dalam membuat hipotesaku tadi.
Tahukah Anda berita apa yang kumaksud? Tentu saja tentang korupsi. Tapi
yang membuat berita ini begitu spesial di mataku ialah wajah seseorang
yang diekspos dengan begitu jelas di halaman muka surat kabar tersebut.
Disitu ia disebutkan sebagai pelaku utama dalam kasus korupsi yang
terjadi di tubuh Kementerian Dalam Negeri. Hebatnya lagi kasus tersebut
diduga melibatkan beberapa anggota DPR RI dan petinggi Kementerian Dalam
Negeri. Tahukan Anda siapa yang aku maksud? Ya, ia adalah tamu ayahku
21 tahun yang lalu. Ia diduga merugikan negara sebesar 20,1 triliun
melalui praktek korupsi di beberapa proyek Kementerian. Entahlah, aku
tidak tahu pasti kasus yang menjeratnya. Yang kutahu, uang registrasi
pengajuan tunjangan veteran itu pun termasuk hasil rekayasanya. Aku
hanya dapat mengelus dada sambil bersyukur ayahku bukan termasuk
orang-orang yang terjerat dengan tipu dayanya. Bayangkan, berapa
keuntungan yang ia peroleh dari biaya registrasi sebesar setengah juta
lebih selama puluhan tahun itu? Aku tidak tahu pasti, tapi tentu Allah
Maha Tahu atas segalanya, kan?
Anda boleh percaya atau tidak dengan berita tersebut. Tapi kalau Anda
ingin membuktikannya, kutantang diri Anda untuk datang kemari, ke
sebuah pondok yang kini kujalankan bersama adik laki-lakiku. Tapi
kuingatkan, jangan bersusah payah mencariku di Sumatera Utara. Karena
tentu saja, kami sekeluarga telah pindah ke Jawa beberapa tahun setelah
peristiwa pemberontakan PKI. Baiklah, kuberi Anda sedikit bantuan.
Carilah aku di derah Jawa Tengah, dan bawa selalu baju hangat ketika
Anda berkunjung kesini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar