Rabu, 18 Maret 2015

Zawia

Mungkin lima hari sudah tank-tank merkava itu berjejer rapi di ujung jalan Ash-shabah, tetap berdiri angkuh di antara terik matahari yang begitu panas dan sentuhan dingin saat malam menjelang.
Pagi ini, di balik kaca jendela rumahku yang masih nampak berembun, kembali aku perhatikan dengan seksama tank-tank itu berlagak sombong dengan corongnya yang digerakkan ke kanan dan ke kiri oleh orang-orang hitam berbaju loreng.
Akhir-akhir ini, aku begitu leluasa untuk melihat dengan jelas semua itu. Karena memang, rumahku ini berada tepat di pinggir jalan Ash-shabah, lima ratus meter dari persimpangan jalan Ash-shabah dan Arafat, tempat tank-tank itu berjejer menantang hari.
Di rumahku kini, aku hanya hidup berdua dengan kakakku, Emir namanya. Dan ketika kutanya perihal Abi dan Umi, ia selalu menjawab dengan jawaban yang sulit aku mengerti, “Abi dan Umi sedang ada janji dengan malaikat, dek…” begitu, selalu jawaban kak Emir di setiap kali ku tanya tentang Abi dan Umi yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana sejak dua tahun lalu, sejak usiaku masih menginjak tahun kelima.
Hampir di setiap pagi, kak emir mengernyitkan dahi, manahan amarah di antara siaran televisi yang mengabarkan tentang mayat-mayat penuh anyir darah yang terus bertambah setiap hari. Lalu nampak kemudian seseorang berambut ikal berkata dengan tangan menepuk dada, “Aku berkuasa empat puluh satu tahun di sini. Dan apabila negara-negara barat masih mengusik hak kekuasaanku, maka aku bearjanji negeri ini akan banjir darah.” ucapnya mantap.
Hendak aku bertanya semua itu kepada kak Emir saat terdengar suara itu,
“Assalamualikum Emir…, assalamualaikum…” orang di balik pintu mengucapkan salam tergesa.
Kak Emir beranjak dari depan televisi, membuka pintu perlahan sembari menjawab salam.
“Apakah kau lihat televisi pagi ini?” orang itu tergesa bertanya.
“Ya.” Jawab kak Emir singkat.
“Ini tidak bisa dibiarkan Emir, sudah terlalu banyak saudara kita yang menjadi korban,” keringat mengucur di antara kulitnya yang hitam “dua jam lagi pihak oposisi akan turun jalan untuk merebut kota ini, aku harap kau juga ikut di dalamnya, agar kepergian orangtuamu dulu tidak berakhir sia-sia, juga demi Zawia, kota yang selama ini kita jaga.” Ucap orang itu berharap.
Kak Emir mengangguk singkat, dari raut wajahnya cukup nampak galau membebaninya.
09.00 waktu Zawia, Libya
Mentari semakin menyengat kulit. Di luar rumah, kerumunan orang mulai berdatangan dan berteriak tak karuan, sedangkan di ujung jalan sana orang-orang berbaju loreng bebaris rapi di depan tank-tank mereka.
“Turunkan Kadafi…, turunkan Kadafi…, turunkan Kadafi…” teriak orang-orang semakin beringas
Hari semakin memanas. Mencekam. satu persatu dari kerumunan itu melempar batu sekuat tenaga ke arah pasukan berbaju loreng, sebagian yang lain membakar dan menginjak-nginjak foto orang yang persis sama dengan orang berambut ikal yang kulihat di televisi pagi tadi. Dan akhirnya bentrokan pun terjadi. Massa berdesakan menyerbu barisan berbaju loreng di depan tank dengan beringas diikuti pekik takbir yang menggema kemudian.
“Awas…!!! Gas air mata, mundur…!!!” teriak seseorang di antara kerumunan saat melihat gas berwarna putih menjurus ke arah bentrokan.
Massa pun pecah, sebagian mundur, sebagian lagi maju dengan beringas, sementara itu pekik takbir semakin menggema.
Aku bingung, tak mengerti semua ini. Mungkin karena aku terlalu dini untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tentang kerusuhan ini, hilangnya Abi dan Umi, juga tentang orang berambut ikal yang kulihat di televisi pagi tadi.
Aku alihkan pandangan pada kak Emir yang sejak tadi mondar-mandir tak menentu. Sejenak tatapan kami beradu, lalu perlahan kak Emir menghampiriku.
“Ehad, kak keluar dulu ya dek, kamu tetap disini saja.” ucap kak Emir
“Ehad takut kak, Ehad takut…” aku memandang kak Emir sayu.
“Takut kenapa Ehad?”
“Ehad takut kak Emir seperti orang-orang di televisi pagi tadi.” Air mataku mengalir.
“Oh tidak Ehad, tidak! Kakak janji akan kembali lagi nanti” kak mengelus rambutku, aku tertunduk terisak.
“Kakak janji Ehad, kakak janji. Ini semua demi Zawia, kota kita, juga demi Abi dan Umi kita.” kak Emir juga tertunduk terisak.
Aku peluk kak Emir erat sebelum ia membuka pintu untuk melangkah menuju kerumunan. Di tengah kerumunan kak Emir membalikkan wajah, kembali menatapku lekat di antara terik panas matahari juga pekik takbir yang terus saja menjadi.
Cukup lama tatapan kami beradu sebelum terdengar suara seseorang di antara kerumunan menjerit keras.
“Awas!!! Tank akan menembak!!!”
Wusy…
Benar, tank itu benar-benar mengeluarkan pelurunya. Suasana seketika menjadi hening dan entah mengapa seluruh orang itu tiba-tiba saja menatapku dengan rasa cemas dikuti teriak kak Emir kemudian,
“Oh tidak…!!! Ehad…!!!” teriak kak Emir berlari menujuku.
*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah, serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar