Mungkin lima hari sudah tank-tank merkava itu berjejer rapi di ujung
jalan Ash-shabah, tetap berdiri angkuh di antara terik matahari yang
begitu panas dan sentuhan dingin saat malam menjelang.
Pagi ini, di balik kaca jendela rumahku yang masih nampak berembun,
kembali aku perhatikan dengan seksama tank-tank itu berlagak sombong
dengan corongnya yang digerakkan ke kanan dan ke kiri oleh orang-orang
hitam berbaju loreng.
Akhir-akhir ini, aku begitu leluasa untuk melihat dengan jelas semua
itu. Karena memang, rumahku ini berada tepat di pinggir jalan
Ash-shabah, lima ratus meter dari persimpangan jalan Ash-shabah dan
Arafat, tempat tank-tank itu berjejer menantang hari.
Di rumahku kini, aku hanya hidup berdua dengan kakakku, Emir namanya.
Dan ketika kutanya perihal Abi dan Umi, ia selalu menjawab dengan
jawaban yang sulit aku mengerti, “Abi dan Umi sedang ada janji dengan
malaikat, dek…” begitu, selalu jawaban kak Emir di setiap kali ku tanya
tentang Abi dan Umi yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana sejak
dua tahun lalu, sejak usiaku masih menginjak tahun kelima.
Hampir di setiap pagi, kak emir mengernyitkan dahi, manahan amarah di
antara siaran televisi yang mengabarkan tentang mayat-mayat penuh anyir
darah yang terus bertambah setiap hari. Lalu nampak kemudian seseorang
berambut ikal berkata dengan tangan menepuk dada, “Aku berkuasa empat
puluh satu tahun di sini. Dan apabila negara-negara barat masih mengusik
hak kekuasaanku, maka aku bearjanji negeri ini akan banjir darah.”
ucapnya mantap.
Hendak aku bertanya semua itu kepada kak Emir saat terdengar suara itu,
“Assalamualikum Emir…, assalamualaikum…” orang di balik pintu mengucapkan salam tergesa.
Kak Emir beranjak dari depan televisi, membuka pintu perlahan sembari menjawab salam.
“Apakah kau lihat televisi pagi ini?” orang itu tergesa bertanya.
“Ya.” Jawab kak Emir singkat.
“Ini tidak bisa dibiarkan Emir, sudah terlalu banyak saudara kita yang
menjadi korban,” keringat mengucur di antara kulitnya yang hitam “dua
jam lagi pihak oposisi akan turun jalan untuk merebut kota ini, aku
harap kau juga ikut di dalamnya, agar kepergian orangtuamu dulu tidak
berakhir sia-sia, juga demi Zawia, kota yang selama ini kita jaga.” Ucap
orang itu berharap.
Kak Emir mengangguk singkat, dari raut wajahnya cukup nampak galau membebaninya.
09.00 waktu Zawia, Libya
Mentari semakin menyengat kulit. Di luar rumah, kerumunan orang mulai
berdatangan dan berteriak tak karuan, sedangkan di ujung jalan sana
orang-orang berbaju loreng bebaris rapi di depan tank-tank mereka.
“Turunkan Kadafi…, turunkan Kadafi…, turunkan Kadafi…” teriak orang-orang semakin beringas
Hari semakin memanas. Mencekam. satu persatu dari kerumunan itu melempar
batu sekuat tenaga ke arah pasukan berbaju loreng, sebagian yang lain
membakar dan menginjak-nginjak foto orang yang persis sama dengan orang
berambut ikal yang kulihat di televisi pagi tadi. Dan akhirnya
bentrokan pun terjadi. Massa berdesakan menyerbu barisan berbaju loreng
di depan tank dengan beringas diikuti pekik takbir yang menggema
kemudian.
“Awas…!!! Gas air mata, mundur…!!!” teriak seseorang di antara
kerumunan saat melihat gas berwarna putih menjurus ke arah bentrokan.
Massa pun pecah, sebagian mundur, sebagian lagi maju dengan beringas, sementara itu pekik takbir semakin menggema.
Aku bingung, tak mengerti semua ini. Mungkin karena aku terlalu dini
untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tentang kerusuhan ini,
hilangnya Abi dan Umi, juga tentang orang berambut ikal yang kulihat di
televisi pagi tadi.
Aku alihkan pandangan pada kak Emir yang sejak tadi mondar-mandir tak
menentu. Sejenak tatapan kami beradu, lalu perlahan kak Emir
menghampiriku.
“Ehad, kak keluar dulu ya dek, kamu tetap disini saja.” ucap kak Emir
“Ehad takut kak, Ehad takut…” aku memandang kak Emir sayu.
“Takut kenapa Ehad?”
“Ehad takut kak Emir seperti orang-orang di televisi pagi tadi.” Air mataku mengalir.
“Oh tidak Ehad, tidak! Kakak janji akan kembali lagi nanti” kak mengelus rambutku, aku tertunduk terisak.
“Kakak janji Ehad, kakak janji. Ini semua demi Zawia, kota kita, juga demi Abi dan Umi kita.” kak Emir juga tertunduk terisak.
Aku peluk kak Emir erat sebelum ia membuka pintu untuk melangkah menuju
kerumunan. Di tengah kerumunan kak Emir membalikkan wajah, kembali
menatapku lekat di antara terik panas matahari juga pekik takbir yang
terus saja menjadi.
Cukup lama tatapan kami beradu sebelum terdengar suara seseorang di antara kerumunan menjerit keras.
“Awas!!! Tank akan menembak!!!”
Wusy…
Benar, tank itu benar-benar mengeluarkan pelurunya. Suasana seketika
menjadi hening dan entah mengapa seluruh orang itu tiba-tiba saja
menatapku dengan rasa cemas dikuti teriak kak Emir kemudian,
“Oh tidak…!!! Ehad…!!!” teriak kak Emir berlari menujuku.
*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah,
serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar