JANGAN BENCI DIA
Prilly berlari sambil menangis. Air matanya meronai sepatu putihnya. Dia
terus berlari menerabas angin. Berulang kali punggung telapak tangannya
menghapus anak sungai di pipinya. Tak peduli kepada para siswa yang
menatap dia penuh tanda tanya. Dia tetap berlari menunduk, menatap
lantai yang akan diinjaknya.
Kemana rasa kecewa, malu amarah, dan seabrek perasaan abstrak ini dilarikan.
“Prilly, kamu mau kemana?” Farida kepayahan mengejar sosok berwajah melayu itu.
“Prilly jangan lari! Berhenti, kumohon. Aku akan memahamimu. Aku sahabatmu. Kamu takkan kuat menyimpan semua itu sendirian. Aku ingin mengerti kamu,”
Kemana rasa kecewa, malu amarah, dan seabrek perasaan abstrak ini dilarikan.
“Prilly, kamu mau kemana?” Farida kepayahan mengejar sosok berwajah melayu itu.
“Prilly jangan lari! Berhenti, kumohon. Aku akan memahamimu. Aku sahabatmu. Kamu takkan kuat menyimpan semua itu sendirian. Aku ingin mengerti kamu,”
Jangan Benci Dia - Cerpen Persahabatan |
“Duduklah! Nabi mengajarkan kita untuk duduk saat amarah hadir di diri kita,” Farida menepuk bangku itu.
Dua gadis kelas 9 itu duduk. Mata Prilly tetap merah sembab dan ingusnya mencair. Farida mengelus-elus punggung Prilly dengan tersenyum ramah. Senyum yang selalu dipersembahkan Farida tiap Prilly sedih.
“Aku punya harga diri. Pak Hamzah tak berhak menginjak-injak aku. Semut pun tak mau diinjak-injak kan. Kalau aku lemah, dia makin merasa jagoan.”
“Jadi kamu benci dia?” Farida bertanya. Prilly mengangguk lesu.
“Susah memang memaafkan orang yang telah menghancurkan perasaan kita. Tapi aku beri tahu Prill, semakin banyak orang yang kamu benci, pergaulan dan duniamua akan semakin sempit. Pergerakanmu akan semakin terbatas,” Farida mendekatkan wajahnya. Berharap Prilly akan melihat senyumnya yang selalu menenangkan hati yang bergejolak. Sayangnya Prilly tetap menunduk.
“Aku harus lawan, Farida. Kalahin. Supaya dia nggak sombong lagi. Dia bakal makin angkuh kalau aku drop.”
“Prilly.....kamu......”
“Kamu berkata seperti itu karena kamu tidak merasakan langsung. Kamu tidak tahu perasaanku!” Prilly meninggikan suara. Wajahnya masih merah padam tak karuan. Farida mengeluarkan teh kotak dari kantongnya dan mencoblos dengan sedotan
“Buat kamu Prilly, supaya tenang. Kalau udah kamu wudhu supaya amarahmu terhapus,” Farida menghela napas yang terasa menyangkut. Lalu dia melanjutkan,”Aku tahu perasaanmu, sangat tahu. Karena aku sahabamu. Kamu adalah jiwa yang lembut. Tapi mengapa kamu....” Farida menggantungkan kata-kata.
“Farida! Ini terlalu perih. Dia tidak menghargai karyaku. Berkarya itu tidak mudah. Dan karyaku itu benar-benar kubuat dengan hati dan perasaan. Dia terlalu angkuh. Mentang-mentang puisi dia tiap tahun selalu masuk antalogi puisi terbaik se-provinsi.”
Farida menggeleng. Tingkah pak Hamzah memang sudah keterlaluan. “Prilly, ingatlah, Rasulullah memaafkan orang yang pernah mencoba membunuh beliau bahkan sebelum dia meminta maaf kepada Rasulullah,”
*
Beberapa menit sebelumnya, Prilly meleleh karena direbus oleh amarah pak Hamzah.
“Jangan merasa hebat kamu! Kamu tidak menghargai pelajaran saya!” Teriakannya seperti pecutan iblis. Dia gebrak meja hingga jantung siswa berlompatan.
“Prilly, kamu kira kamu sudah pintar? Saya lelah mengajari kamu!”
Butiran mutiara mulai berlinang di pipi Prilly. Pak hamzah memungut puisi Prilly.
“Apa ini? Tak karuan! Tanpa rima, baitnya acak-acakan. Kata-katanya terlalu biasa. Dan isinya? Cengeng! Tak bermutu! Dasar remaja sekarang. Cuma bisa buat puisi galau, “ darah pak Hamzah mendidih hingga ke ubun-ubun.
“Buat apa kamu saya ajari rima dan majas sampai mulut saya kering? Payah kamu!”
“JANGAN SOMBONG!” Pak Hamzah meremas-remas dan membanting puisi itu seperti rudal. Tepat di depan kelas, di depan teman-teman Prilly. Saat itulah hati prilly luluh sempurna, menjadi remahan tak berwujud.
Jutaan sembilu melukai hati Prilly. Bukan kali ini saja sebenarnya. Sudah sering pak Hamzah merendahkan karya Prilly. Bisa dikatakan Prilly menciptakan karya hanya sebagai bahan bakar hinaan berikutnya. Biasanya Prilly selalu sabar dengan hinaan itu. Keinginan yang kuat untuk menjadi penulis besar justru menganggap tiap cibiran pedas pak Hamzah sebagai masukkan dan bahan evaluasi bagi karyanya. Ya jika tidak dikritik, kita tak tahu kan letak kekurangan kita.
Dan tentu saja, yang membuat Prilly selalu tersenyum adalah Farida. Seorang sahabat yang bagi Prilly ebih indah dari mutiara surga. Lebih berarti dari ratusan puisinya. Bagi Prilly, sahabat bagai puisi yang tak berujung. Tiada karya seni atau sastra yang bisa menjelaskan sejuknya persahabatan seperti yang dirasakan Prilly terhadap Farida. Tiada satu pun kata di kamus umat manusia yang bisa menggambarkan untaian perasaan ini. Semua bagai awan yang selalu abstrak, selalu berubah wujud. Tapi selalu indah dan sedap dipandang.
Saat Prilly bertanya,”Farida, kenapa sih pak Hamzah benci banget sama aku?”
“Mungkin pak Hamzah sebenarnya nyari perhatian sama kamu kali. Kali aja sebenarnya dia ngefans sama kamu, haha”
“Ih, nggak lucu! Beneran ah,” jawab Prilly dengan mendorong pundak Farida.
“Hmm, kenapa ya. Dia itu iri kali. Gengsi. Takut kemampuan puisinya dikalahin sama siswanya sendiri. Jadi dia berusaha bikin kamu drop.
“Memang begitu. Tidak semua orang bisa merasa menyukai dan menghargai kita. Adaaa aja satu dua yang sirik. Tinggal bagaimana kita menyingkapinya sih.”
“Tapi aku tahu kamu pintar, kamu bisa berpikir jernih. Kamu bisa menahan diri untuk tidak buru-buru membenci orang.”
*
Sejak peristiwa pembantingan puisi itu, Prilly selalu terlihat tak bergairah di pelajaran bahasa Indonesia. Dia hanya menempelkan pipinya ke meja dan mengayun-ayunkan kaki. Lemas seperti orang kena anemia.
Kasihan, Prilly yang selalu paling antusias di pelajaran bahasa, sekarang malah paling lemas kalau belajar bahasa, Farida membatin. Ternyata selama ini memang Prilly selalu menahan emosinya, tapi benteng kesabaran itu akhirnya jebol juga. Yang Farida inginkan senyuman itu bisa kembali terpampang di wajah sahabatnya.
“Prilly, angkat kepalamu!” Pak Hamzah mulai mengaum. Membuat jantung Prilly melompat.
“Masih sombong kamu? Ha? Tak mau dengarkan saya?! Kamu kira saya ini mengoceh?”
“Kalau kamu masuk kelas saya, kamu harus ikuti pelajaran saya dengan baik! Kalau tak mau, keluar saja sana!” Pak Hamzah membanting penggaris kayu. Prilly tertunduk. Dalam sekian detik, otaknya terus berputar mencari jalan. Seisi kelas membisu. Perlahan Prilly berdiri, dan mengankat kepalanya dengan mantap. Tatapan matanya setajam sembilu, dia beradu pandang dengan pak Hamzah. Belum pernah tatapan Prilly begitu tajam. Dahinya berkerut. Seluruh pandangan jatuh kepada Prilly.
“Prilly, apa yang kamu lakukan?” Farida menarik tangan Prilly agar duduk kembali.
“Saya akan keluar!” Jawaban itu menampar setiap sudut kelas. Belum pernah ada siswa yang berani pada pak Hamzah yang buas.
“Prilly, kamu nekat! Salah mengambil keputusan membuatmu bersalah selamanya,”Farida berbisik. Tapi Prilly terlanjur berlalu dan membanting pintu kelas.
*
Saat bel istirahat, Farida segera mencari Prilly di perpustakaan.
“Prilly, apa yang kamu lakukan? Berpikirlah jernih, please. Kamu bukan anak kecil”
“Justru karena aku berpikir jernih, aku memilih keluar dan mempelajari bahasa sendiri. Memilih mencelupkan diri dalam minyak panas hanyalah pilihan bodoh.”
“Kemarahan dibalas kemarahan. Seperti batu diadu dengan batu. Keduanya akan hancur menjadi pasir. Lagipula kita tak tahu apa yang dipikirkan pak Hamzah. Belum tentu dia membencimu. Mungkin dia menunjukkan sikap seolah membencimu karena ada sesuatu yang sengaja dia sembunyikan. Dan dia ingin kamu menemukan yang dia sembunyikan itu.
Dia kan orang sastra, kamu juga orang sastra. Setahuku orang sastra memang suka menggunakan kiasan dalam berkomunikasi dan berperilaku. Coba perhatikan, dia hanya melakukan ini padamu. Mungkin dia tahu, kamu orang sastra, jadi dia yakin kamu akan menemukan arti dari sikap dia padamu,”
“Sudahlah, Farida. Aku bahkan tak mau mendengar namanya lagi,”
“Ok, lalu selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku punya rencana. Aku ingat, pak Hamzah selalu mengirimkan puisinya dan selalu masuk antalogi. Aku akan menyainginya. Aku akan mengirimkan puisiku juga. Jika puisiku jadi satu antalogi dengan dia, artinya puisiku sudah menyaingi puisi dia. Bila itu terjadi, kita yang akan menyenyumi dia. Akan kutunjukkan, aku bisa membuat puisi bagus tanpa mengikuti pelajaran dia,”
“Prilly, aku hanya berusaha membuat semuanya terasa lebih baik. Berpikirlah lebih luas dan lebih jauh. Jangan sempitkan pikiranmu. Apa menurutmu ini akan berhasil?”
“Kumohon Farida, tinggalkan aku! Aku bisa urus diriku sendiri!” Suara Prilly yang meninggi membuat Farida perlahan mundur dan berlalu.
*
Sudah hampir sebulan terlewat. Artinya sudah tujuh kali Prilly dialfakan di pelajaran bahasa Indonesia. Prilly terlalu kuat dengan pilihannya.
Hari ini secara tiba-tiba pak Hamzah mengumumkan bahwa beberapa minggu lagi dirinya tidak mengajar di sekolah itu lagi. Sebagian besar siswa pasti bersorak dalam hatinya. Tapi tidak dengan Farida.
“Prilly, pak Hamzah mau keluar,”
“Benarkah? Yes, makhluk pengacau itu akhirnya pergi juga,”
“Aku justru mengkhawatirkanmu. Apakah kau tidak mau saling maaf dan memaafkan di detik-detik akhirnya?”
“Apa pentingnya itu? Maksudku, seharusnya dia yang meminta maaf padaku.”
“Kamu yakin kamu sendiri tidak punya salah pada beliau? Dan menurutku, apa tidak sebaiknya kamu yang memaafkan dia? Sebelum terlambat, lakukan itu. Atau kamu akan membawa luka dan gelisah itu selamanya. Prilly, tatap mataku!” Farida menyejajarkan wajahnya dengan wajah Prily.
“Aku sahabatmu. Aku yang bertanggung jawab membantu sahabatku keluar dari masalahnya dengan cara yang benar. Aku juga yang harus menjaga perasaan seorang sahabat agar terus sejuk,” Farida menatap Prilly dalam-dalam.
Farida memelankan suara,“Lagipula Prilly, jika kamu membuat puisi untuk menyaingi pak Hamzah, artinya kamu menulis puisi dengan ditenagai kebencian. Kamu gunakan rasa tidak suka sebagai energi menulis puisi. Itukah puisi yang bagus? Bukankah semua penyair tahu, puisi yang indah dibuat sepenuh hati dengan mengandalkan segenap perasaan. Barkan nurani yang bicara. Lalu biarkan tanganmu yang menari, menumpahkan luapan hati itu ke kertas. Bukan didasarkan pada rasa ingin mengalahkan dan menghancurkan,” bibir Farida bergetar. Prilly menelan kata-kata itu. Dia menunduk, wajahnya melukiskan perasaan yang sulit digambarkan. Ada penyesalan, rasa bersalah, dan keraguan.
Beberapa hari kemudiah Prilly kembali tampak di pelajaran bahasa Indonesia. Bahkan dia hadir dengan senyum lebar dan memercikkan keceriaan. Tampak begitu enerjik dan antusias mengikuti pelajaran. Semua amarah dan rasa tidak sukanya sudah dia buang bersama lukanya, dia larutkan bersama angin. Pagi ini Prilly dengan senang hati membantu pak Hamzah menghapus papan tulis dengan senyum simpul yang hiasi wajahnya. Belum pernah Prilly tersenyum begitu lembut dan tulus kepada pak Hamzah. Prilly juga yang pertama mengacungkan tangan untuk menjelaskan definisi pidato. Prilly memandang wajah pak Hamzah dengan penuh rasa hormat. Dalam tatapan matanya, Prilly mengisyaratkan, pak Hamzah, maafkan Prilly ya. Saya juga sudah sepenuh hati memaafkan Bapak. Saya ingin kita terus menjalin hubungan baik, sebelum semua terlambat.
*
Farida tergopoh-gopoh menyambar kelas sepagi ini. Masih sangat pagi. Kabut masih mengambang di cakrawala. Ketika Farida sampai kelas, seperti biasa, Prilly selalu menjadi siswa yang pertama sampai di kelas.
“Prilly, coba lihat ini,” Farida amat terburu-buru.
“Ada apa? Tenanglah, Far. Apa ini sangat penting?”
Farida lalu menyodorkan sebuah buku yang nampak masih sangat baru. Lalu secepat kedipan mata dia membuka-buka halamannya. Hingga berhenti di halaman 27.
“Ini Puisimu Prilly! Masuk antalogi! Kamu berhasil!”
“Hah, Subhanallah. Ini kah puisiku?” Prilly menjatuhkan buku itu lalu memeluk Farida.
“Puisi ini kamu buat dengan hati kan?”
“Iya, puisi ini kutulis malam ketika aku memutuskan untuk memaafkan pak Hamzah,”
“Eh, kita lihat, apakah karya pak Hamzah juga ada di antalogi puisi ini,”
Farida dan Prilly membalik-balik halamanya. Tapi mereka tak menemukan satu pun puisi yang tertulis,”Karya Hamzah Irawan.”
“Far, karya pak Hamzah tidak ada! Aneh. Padalah selama empat tahun berturu-turut karya beliau selalu masuk,”
“Wah, artinya kamu sudah benar-benar mengalahkan beliau.”
“Aku malah merasa sebaliknya. Aku merasa tidak enak dengan beliau. Aku meras tidak rela jika puisiku masuk antalogi, tapi karya beliau tidak,” perasaan tidak nyaman langsung mempermainkan Prilly. Selama beberapa saat tidak ada suara. Sementara Farida membuka-buka kembali buku itu, dia membaca halaman pertama.
“Hmm, buku Antalogi Puisi Tingkat Provinsi tahun 2013 diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Puisi-puisi di sini adalah puisi terbaik yang dipilih oleh tim juri. Tahun ini tim juri diketuai oleh Hamzah Irawan....,” Farida menggantungkan kata-kata. Farida dan Prilly beratatapan.
“Prilly, kamu tahu apa artinya?”
“Pantas puisi pak Hamzah tak ada. Beliau adalah ketua tim juri. Dan pak Hamzah yang memilih puisiku untuk masuk antalogi ini,”
“Artinya pak Hamzah menghargaimu. Pak Hamzah pasti menyayangimu. Kamu harus mengucapkan terima kasih,” Farida berkata cepat. Prilly mengangguk.
Tapi seharian ini mereka sama sekali tidak melihat wajah pak Hamzah. Teh di mejanya di kantor tetap penuh. Tasnya pun tidak ada. Akhirnya mereka ingat, kemarin adalah hari terakhir pak Hamzah mengajar. Hari ini pak Hamzah sudah tidak di sini lagi.
Bu Sulvian, wali kelas mereka mendatangi Prilly dengan sepucuk surat.
“Kemarin pak Hamzah menitipkan surat ini untuk Prilly,”
Dengan segera Prilly membuka surat itu. Prilly dan Farida membacanya bersama-sama.
Bapak tidak pernah membenci Prilly. Justru bapak sangat bangga dengan Prilly yang sangat semangat menjadi penulis dan penyair. Bapak lakukan ini semua untuk menunjukkan pada Prilly bahwa memang untuk menjadi penulis kamu akan menemukan banyak cobaan , kekecewaan, dan kepedihan. Jika kamu sudah bersungguh-sungguh menjadi penulis, cobaan yang Prilly dapat akan jauh lebih banyak dan lebih dahsyat dari yang bapak lakukan pada Prilly. Dan ternyata Prilly memang bisa melalui cobaan yang bapak berikan. Bapak yakin Prilly bisa menghadapi cobaan yang lain dan Prilly bisa menjadi penulis besar seperti yang Prilly inginkan. Prilly adalah siswi terbaik.
Salam untuk Farida. Mudah-mudahan kalian tetap menjadi teman yang baik.
Jadi Prilly kapan akan menerbitkan buku pertama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar