Sabtu, 27 September 2014

Peristiwa Bandung Lautan Api

BANDUNG- Peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) bukan hanya populer di Bandung, tetapi bagi masyarakat Indonesia umumnya. Dari istilahnya, peristiwa ini terdengar dramatik, tetapi kenyataannya memang banyak tokoh dan peristiwa yang berpengaruh terlibat dalam peristiwa 24 Maret 1946 itu. Lalu kenapa Bandung dibakar?

Dalam buku “Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan” karya tim penulis Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung, mengupas secara dalam mengenai peristiwa BLA.

Berikut ringkasan buku setebal 164 halaman yang diterbitkan Penerbit Bunaya, Maret 2002:

Suatu hari, Perdana Menteri (PM) RI, Sutan Sjahrir menerima kunjungan Komandan Divisi III (kini Kodam III Siliwangi) Kolonel AH Nasution di Jakarta. Nasution menuturkan hasil perundingan mereka dengan pihak Inggris yang melakukan ultimatum kepada Indonesia, khususnya memerintahkan TKR dan pejuang untuk meninggalkan Bandung.

Dengan berbagai pertimbangan strategis, diplomatis, dan teknis, akhirnya PM Sjahril memutuskan bahwa TKR dan pejuang harus pergi dari Bandung. “Kerjakan saja,” kata Sjahril dalam salah satu tulisan di buku tersebut.

Lanjut Sjahril, TRI adalah modal yang harus dipelihara dan dibangun untuk melawan musuh yang sebenarnya, bukan Inggris tetapi Belanda/ Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Jika TRI mempertahankan Bandung dengan melawan Inggris, lambat laun Bandung tetap akan diduduki. Sebab, dari segi persenjataan dan jumlah personel, Inggris bukanlah lawan yang seimbang bagi TRI meskipun dibantu pejuang atau laskar.

Saat itu, TRI Bandung hanya memiliki 100 pucuk senjata, kebanyakan memakai bambu runcing dan senjata tajam lainnya. Sedangkan Inggris memiliki 12 ribu pasukan yang bersenjata lengkap dan modern, belum lagi dibantu pasukan bayaran Gurkha dan NICA.

“Jangan sampai hancur dahulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA,” kata Sjahril. Selain itu, dia juga memerintahkan meski TKR meninggalkan Bandung, pemerintah sipil supaya tetap di posnya masing-masing. Alasannya, jika mereka pergi NICA akan mengisi pos atau kantor-kantor mereka.

Nasution kembali ke Bandung. Pada 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB, para petinggi TRI mengadakan rapat untuk menyikapi perintah PM Sjahril di Markas Divisi III TKR. Rapat ini dihadiri para pemimpin pasukan Komandan Divisi III Kolonel Nasution, Komandan Resimen 8 Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon II Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, Ketua MP3 Letkol Soetoko, Komandan Polisi Tentara Rukana, dan perwakilan tokoh masyarakat dan pejuang Bandung.

Dalam menyikapi ultimatum Inggris, sikap para pejuang terbelah. Ada yang menginginkan bertahan di Bandung sambil melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan, ada juga yang memilih meninggalkan Bandung sambil mengatur strategi gerilya ketika berada di luar Bandung. Meski begitu, tujuan mereka sama yakni menolak keras upaya penjajahan kembali oleh Belanda.

Rapat pun berlangsung alot dan panas. Berbagai usulan perlawanan disampaikan peserta rapat, salah satu usul adalah meledakkan terowongan Sungai Citarum di Rajamandala sehingga airnya merendam Bandung. Usul ini disampaikan Rukana. Namun saking emosinya, Rukana menyebut usulnya agar Bandung menjadi “lautan api”, padahal maksudnya “lautan air”. Diduga, dari rapat inilah muncul istilah Bandung Lautan Api.

Usul lain muncul dari tokoh Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT), Soetoko, yang tidak setuju jika hanya TRI saja yang meninggalkan Bandung. Menurutnya, rakyat harus bersama TKR mengosongkan kota Bandung.

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam militer di Bandung, Nasution akhirnya memutuskan untuk mentaati keputusan pemerintah RI. Keputusan ini berisi beberapa poin, di antaranya TRI akan mundur sambil melakukan melakukan infiltrasi atau bumi hangus, hingga Bandung diserahkan dalam keadaan tidak utuh.

Lalu rakyat akan diajak mengungsi bersama TRI. Selama pengungsian, TRI dan pejuang akan melakukan perlawanan dengan taktik gerilya ke Bandung Utara dan Selatan yang dikuasai musuh.

Melalui siaran RRI pada pukul 14.00, Nasution mengumumkan: bahwa semua pegawai dan rakyat harus keluar sebelum pukul 24.00, tentara melakukan bumi hangus terhadap objek vital di Bandung agar tidak dipakai Inggris dan NICA.

Saat malam tiba, TRI akan menyerang Bandung. TRI juga mempersiapkan sejumlah titik pengungsian bagi Keresidenan Priangan, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Jawatan KA, Jawatan PTT, rumah sakit, dan lain-lain.

Rakyat sebagian ada yang menerima informasi tersebut, sebagian lagi hanya mendengar desas-desus bahwa Bandung akan dibakar dan penduduknya harus ngungsi segera menyebar, tetapi banyak juga yang tidak mengetahui sama sekali. Namun situasi umum waktu itu mencekam, kepanikan di mana-mana.

Salah satu saksi yang menjadi sumber buku “Saya Pilih Mengungsi”, Ruswan, menuturkan, berita pengosongan Bandung diterimanya secara mendadak. Dia mendengar informasi tersebut dari radio, namun tidak mengetahui bakal ada pembakaran.

Meski panik, secara umum rakyat mematuhi keputusan pemerintah. Banyak rakyat yang mengungsi. “Meski berat hati harus meninggalkan rumah yang sudah ditinggali sejak kecil,” katanya.

Ruswan berjalan kaki dengan tetangganya ke daerah selatan. Mereka berbondong-bondong menuju tempat pengungsian. Ruswan baru mengetahui ada pembakaran Bandung ketika sampai di Dayeuhkolot, kira-kira 15 kilometer dari pusat kota. Tempat tujuan pengungsi menyebar, mulai dari Cililin, Ciparay dan Majalaya, Tasikmalaya, Cianjur, Ciwidey, Garut, Sukabumi, bahkan adaya yeng mengikuti hingga Jogjakarta.

“Saya sendiri ke Ciparay, terus ke Garut dan Tasik. Umumnya rakyat panik dan pergi tanpa tujuan.”

Pengungsian dimulai pukul 15.00, meski dalam jumlah yang kecil. Sebagian penduduk belum mengetahui perintah mengosongkan Bandung. Baru pada pukul 17.00 setelah para hansip, RT, RW, dan pejuang gencar menginformasikan tentang keharusan mengosongkan Bandung, gelombang pengungsi yang berjalan kaki makin banyak.

Saksi lain, Momoh Salamah, menuturkan, saat mengungsi dirinya bersama suami dan tiga anaknya hanya membawa barang seadanya menuju pengungsian di Majalaya. Kebanyakan pengungsi membawa barang seadanya.

Di sisi lain, sore itu juga para pejuang masih sibuk melakukan persiapan.para pejuang yang bertugas membumihanguskan Bandung. Mereka dibekali bahan peledak, bom molotov, minyak tanah dan bensin.

Mereka harus meledakkan gedung-gedung strategis yang kemungkinan digunakan Belanda. TRI menjadwalkan peledakan pertama dimulai pukul 24.00 WIB di Gedung Regentsweg, selatan Alun-alun Bandung yaitu Gedung Indische Restaurant (sekarang Gedung BRI), sebagai aba-aba untuk meledakan semua gedung.

Di tengah persiapan itu tiba-tiba terjadi ledakkan. Seorang pejuang, Endang Karmas, mengaku heran dengan adanya ledakan, padahal baru pukul 20.00 WIB. Ledakkan pertama itu terlanjut dianggap aba-aba, sehingga pejuang lain pun tergesa-gesa melakukan pembakaran dan peledakkan gedung.

Karena persiapan yang minim, banyak gedung vital yang tidak bisa diledakkan, kalaupun meledak, tidak sanggup merusak bangunan yang terlalu kokoh. 

Beberapa kemungkinan menjadi pemicu melesetnya jadwal ledakkan dari jadwal semula,  yakni faktor teknis atau keterampilan menguasi bahan peledak yang minim, alat peledak yang kurang, atau ada sabotase oleh musuh untuk menggagalkan sekenario Bandung Lautan Api.

Terlebih saat persiapan pengungsian pasukan Gurkha dan NICA terus melakukan provokasi hingga penembakan terhadap para pejuang. Hal itulah yang membuat rencana pembakaran dan penghancuran objek vital tidak berjalan seperti rencana.

Kebakaran hebat justru timbul dari rumah-rumah warga yang sengaja dibakar, baik oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela membakar rumahnya sebelum berangkat ngungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman, Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain.

Saksi Oon Suharman menyaksikan langsung bagaimana malam itu Bandung benar-benar menjadi lautan Api. Para pengungsi mengosongkan kota di tengah ketakutan serbuan Belanda. Mereka berbondong-bondong diiringi dentuman bom dan kobaran api. Saksi lain, Oetama Sa’arah, aksi bakar rumah yang sebenarnya di luar perintah. Warga yang membakar rumahnya membuktikan penolakan warga terhadap penjajahan.

Tindakan rakyat juga terdesak situasi yang kacau dan panik, tanpa perhitungan yang matang, sehingga tidak sempat berpikir bagaimana jika nanti mereka pulang. “Ya, mereka itu merasa bahwa ini kemerdekaan... Jadi udah, karena nanti kalau sudah merdeka mah bakal hebat. Diganti itu jadi yang baru...,” kata Oetama.

Secara bergelombang antara 100 ribu hingga 200 ribu warga Bandung meninggalkan kampung halamannya dari siang hingga malam. Sebagian besar pengungsi bergerak dari daerah selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer (melewati Sungai Citarum) sebagaimana ultimatum Inggris. Ada juga yang yang bergerak dari utara, barat dan timur. Jalan raya besar seperti Regentsweg (kini Dewi Sartika), Jalan Raya Banjaran (Muhammad Toha), Jalan Kopo, dan Jalan Buahbatu menjadi jalan utama yang digunakan pengungsi. Sebagian pengungsi ada yang melalui Cigereleng, Jalan Raya Banjaran, Menuju Dayeuhkolot.

Sementara api terus berkobar sepanjang malam. Kebakaran Bandung terlihat oleh pengungsi di Majalaya. “...Saya tidak melihat suasana kota saat itu, hanya melihat api berkobar dari Majalaya. Langit di Kota Bandung tampak merah,...sekitar jam 24.00 sampai subuh,”  kata seorang pengungsi, Mashudi.  Di Banjaran langit Bandung juga memerah. “...Ketika sudah sampai di Banjaran, kita lihat langit Kota Bandung sudah merah. Kebanyakan mungkin di sekitar stasiun dan markas-markas tentara,” tutue Amalia Sumarsono. Dengan cara mengungsi, warga Bandung berharap tidak dijajah kembali Belanda.

Peristiwa BLA menunjukkan semangat patriotisme warga Bandung begitu kuat, sehingga mendorong pengungsuan dan membakar rumah. Terlebih, pada 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan baru saja dikumandangkan. Bagi rakyat, kemerdekaan sudah mutlak. Selain itu jika rakyat tetap bertahan di dalam kota, mereka takut dicap sebagai antek NICA di tengah taktik licik adu domba yang dilancarkan Belanda yang menimbulkan kecurigaan antar sesama rakyat. Peristiwa BLA juga sebagai psywar bagi Inggris dan NICA serta dunia internasional, bahwa mayoritas warga Bandung mendukung kemerdekaan RI.

“....yang penting bagi kami, bagaimana memobilisasi rakyat untuk berdiri bersatu di belakang kita (pejuang atau tentara) untuk melawan musuh....Dengan bersatu itu nanti bisa mengalahkan mereka” (AH Nasution, 1 Mei 1997). Nasution menambahkan, pengungsian dan pembakaran Bandung sebagai strategi perlawanan terhadap Inggris dan NICA sekaligus menyiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda.

Dampak positif peristiwa BLA di antaranya, pertama, adanya kekompakan antara pemerintah sipil, TRI dan rakyat dalam melakukan pengungsian dan pembumihangusan. Kekompakan ini bukti dari adanya supremasi pemerintahan sipil, prinsip yang dipegang negara demokrasi. PM Sjahrir menggunakan peristiwa BLA sebagai alat tawar dengan Sekutu-Inggris dalam usaha memperoleh konsesi politik, yaitu pengakuan RI secara de facto.

Peristiwa BLA membuat Inggris “memaksa” Belanda agar melanjutkan perundingan dengan RI. Padahal sejak awal Belanda menolak berunding dengan alasan Indonesia adalah negara Bentukan Jepang. Beberapa perundingan ini yakni Linggajati 10 November 1946, perjanjian Renville pada 1948, perjanjian Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 27 Desember 1949 si mana diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda. (kem)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar